Keringat Abri bercucuran seraya terus berlari santai mengelilingi komplek perumahan orangtuanya. Sesekali ia menyapa para tetangga yang sedang berada di halaman rumah.
Setelah mengantar Moza pulang tadi, Abri juga langsung pulang ke rumah dengan berlari karena jaraknya rumah mereka tak terlalu jauh.
Abri melihat salah satu ibu tengah berjalan memegang dua kantong belanjaan yang ukurannya besar besar sepertinya baru pulang dari pasar. Lantas Abri pun menghampirinya.
"Pagi mbok, sini Abri bantu bawa." Abri mengambil alih dua kantong plastik itu dari tangan ibu yang Abri panggil dengan sebutan mbok dan merupakan warga sekomplek orangtuanya.
"Pagi cah bagus. Ya Gusti, si mbok gak ngerepotin kan le?"
Dengan segera Abri menggeleng disertai senyum, lalu masuk ke salah satu rumah yang sudah pasti milik si mbok itu.
"Sarapan sek le, si mbok mau wes masak iku." tunjuk si mbok pada meja makan begitu mereka tiba di dapur dan Abri meletakkan belanjaannya di dekat kulkas agar si mbok lebih enak menata barang belanjaannya.
"Ra usah mbok, Abri mau lanjut pulang aja wes capek juga. Ada yang perlu Abri bantu lagi gak mbok?" tanya Abri Pumpung dia masih berada di rumah si mbok. Karena tau si mbok hanya tinggal berdua dengan suaminya yang juga sudah berumur.
Si mbok tersenyum, lalu menggeleng "ora le, wes ini wae. Mbok kesuwun yo wes di bantu. Iki mbok kasih permen." seperti kebiasaan Abri kecil dulu saat membantu si mbok pasti memberikannya permen gula aren pada pria itu.
Kali ini Abri menerimanya dengan penuh senyum. "Sama sama mbok. Kalau gitu Abri permisi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." jawab si mbok melihat Abri yang sudah berlalu dengan penuh senyum.
Abri Kembali berlari menyusuri komplek.
"Haduh, pagi-pagi udah lihat calon mantu. Mantu baru pulang joging? Mampir dulu sini nak Abri, Pumpung Dea ada di rumah." ucap salah satu tetangga Abri yang hampir setiap bertemu selalu menjodohkannya dengan putrinya yang seorang perawat di salah satu rumah sakit. Ibu itu mengklaim bahwa Abri Sangat cocok dengan anaknya karena kebanyakan tentara itu cocoknya sama bidan, perawat atau dokter. Itu kata ibu-ibu satu ini. Tapi tidak dengan Abri. Karena jodoh itu sudah ada yang atur. Jika memang ada yang demikian contohnya seperti orangtuanya itu hanya kebetulan saja.
"Maaf ibu. Abri udah capek mau langsung pulang aja." Tolak Abri secara halus agar tak menyinggung perasaan wanita itu. Jujur saja Abri juga tak tertarik sedikitpun dengan anaknya. Ia lanjut berlari santai.
"Gimana nak Abri? Kau nak terimo tidak lamaran yang Bundo bawa untuk kau? Nak berapa uang jupuik yang harus bundo siapkan? Bilang saja, pasti akan bundo siapkan." lagi Abri di todong oleh ibu-ibu komplek, kali ini si Bundo Minang.
*Jupiak \= uang Panai.
Abri menghentikan langkahnya seraya menggaruk pelipisnya bingung harus jawab apa dengan penghuni komplek disini. "Rancak itu anak gadis Bundo si Lina. Apa tak minat kau dengan anak Bundo itu?" lanjut Bundo Minang itu mengobral.
Abri menghela nafas, ia menangkupkan tangannya di depan dada "Maaf ya bundo. Permisi." Tolak Andri dengan sopan untuk kesekian kalinya.
Hampir seluruh tetangga komplek itu tau bagaimana pribadi Abri yang ramah, murah senyum, sopan dan pastinya berakhlak baik. Siapa yang tidak ingin menawarkan anak gadis mereka pada Abri yang super duper paket komplit ini.
"Cari calon sendiri bri, nikah supaya itu para emak-emak gak terus-menerus nodong Lo dengan lamaran gak jelas mereka." kali ini seorang pria yang tampak sedikit lebih tua darinya tengah mendorong sepeda roda tiga yang di naiki anaknya yang baru berusia delapan bulan.
Abri menghentikan larinya sembari terkekeh saja sebagai tanggapan, lalu ia menoel pipi cubi anak dari pria tersebut dengan gemas.
"Kapan lagi bri?" Tanya pria itu untuk memastikan.
"Entar kalau udah ketemu jodohnya deh bang."
"Ya iyalah bri, kalau belum ketemu jodoh lu mau nikah sama siapa emang? cacing pita?"
Abri lagi lagi hanya tersenyum menanggapinya.
"Gue doain deh bri semoga Lo segera ketemu jodohnya. Takut gue para emak emak komplek kita bertingkah brutal akibat Lo tolak Mulu anaknya dan malah nyulik lo. Lo tau sendiri di komplek kita ini hampir seluruh emak emaknya mendambakan Lo sebagai mantu idaman. Apa lagi tu si Bundo Minang yang paling gencar, takut gue ujung ujungnya dia pakai guna guna bri." tidak lupa pria itu melirik si Bundo yang tadi menanyakan prihal lamaran yang sudah ia tawarkan.
Bundo Minang yang tengah membuang sampah di depan rumah itu mendengar ucapan tetangga sebalah rumahnya dan langsung menatap tajam pria yang tengah mendorong anaknya di sepeda roda tiga itu. "Cakap apa kau?! Tuduh Aku pakai guna guna? Jangan asal kau tuduh orang Yo! Iri kau bilang. Udahlah tak kacak bertingkah lah lagi." setalahnya Bundo Minang itu masuk kedalam kediamannya. Semantara pria itu langsung mendelikkan matanya tak terima. Enak saja dia di Katai tidak Ganteng. Hello setidaknya tidak ganteng, tapi ia sudah laku dan punya anak pula. Tidak seperti Abri.
Abri hanya geleng-geleng kepala. Lebih baik ia mengakhiri jogingnya hari ini dari pada harus mendengar lebih banyak lagi ibu-ibu komplek yang sibuk ingin menjadikannya menantu.
___________________
Abri sedang memasukkan beberapa pakaian yang akan ia bawa ke kesatuan ke dalam tas ransel lorengnya karena sore ini Abri akan kembali ke batalyon.
Tok! Tok! Tok!
"Bang?" suara ketukan pintu di barengi panggilan sang mama.
"Buka aja ma."
Pintu kamar Abri langsung di buka oleh sang mama lalu Nada berjalan masuk menghampiri sang putra sulung
"Udah mau berangkat?" tanya mama Nada meraih pakaian yang ada di tangan sang putra dan memasukkannya ke dalam tas.
"Iya ma."
"Turun dulu gi, di panggil papa katanya ada yang mau di bicarakan penting."
"Mau ngomong apa?" tanya Abri penasaran menoleh pada sang mama sambil menarik Ziper ranselnya.
"Makannya sana temui papa dulu gih."
Akhirnya Abri keluar dari kamar membawa ransel di punggungnya menuruni anak tangga untuk menemui sang papa dan tentunya di buntuti sang mama dari belakang.
Tampak papa Saga tengah berada di dekat dapur memberikan makan ikan mas koi yang ada di dalam akuarium berukuran cukup besar disana.
"Pa." panggil Abri.
Papa Saga kontan menoleh lantas tersenyum.
"Katanya ada yang mau di biacarakan sama Abang. Mau ngomong apa?" tanya Abri to the point karena waktunya masuk sudah mepet juga.
Papa Saga sekilas melirik mama Nada yang nampak menganggukkan kepala sekali sebagai kode dan itu tak luput dari penglihatan Abri. Ada apa pikirnya. Ia jadi penasaran sekarang.
"Mama buatin papa kopi ya." pinta papa Saga setelahnya dan langsung di patuhi oleh sang istri. "Kita duduk dulu sini." setelahnya papa Saga berjalan ke ruang santai dan langsung di ikuti oleh Abri.
"Balik jam Berapa?" tanya papa Saga basa basi.
Abri menurunkan ranselnya "Jam enam harus udah sampai kesatuan pa."
Papa Saga nampak melirik ke arah jam tangannya yang masih menunukkan pukul 17.21. Setelahnya terdiam seperti menimbang nimbang sesuatu. Bahkan sampai lima menit berlalu papa Saga tak membuka suara membuat Abri merasakan keanehan papanya yang tak bersikap seperti biasanya dan akhirnya ia pun kembali bersuara. "Pa, papa mau ngomongin hal penting apa sama Abri?"
Saga sejenak menatap Abri cukup lama sebelum akhirnya membuka suara "Sekarang ini ada gak perempuan yang Abang suka atau dekati?"
Abri terdiam sejenak lalu selanjutnya menggeleng kecil sebagai tanda bahwa ia tak dekat dengan gadis mana pun. Papanya lupakah kalau dia masih trauma sama yang namanya perempuan dan juga hubungan?
"Syukurlah, jadi gini bang—" ucapan papa Saga terhenti kala mama Nada datang membawa kopi yang di minta papa Saga dan duduk di samping sang suami. "Papa rasa kamu gak perlu terlalu larut sama masa lalu, umur kamu juga gak lagi muda, kamu sulung keluarga bahkan Abang sampai di langkahi Aidan si bungsu. Papa rasa kamu juga udah saatnya menikah bang. Papa sama mama mau yang—"
"to the point pa." pinta Abri tak sabaran, otaknya sudah membuat kesimpulan sendiri di dalam sana namun ia ingin mendengarkan lebih jelasnya dari mulut sang papa.
Saga menoleh pada sang istri sejenak yang juga menatapnya seakan mengerti arti tatapan sang suami, Nada la tas mengangguk memengang erat tangan Saga menenangkan. Papa Saga menghela nafas berat "Papa mau jodohin kamu sama anaknya jenderal Hamzah."
Ekspresi Abri langsung berubah ketika mendengarkan perkataan papa Saga yang melebihi apa yang telah ia simpulkan.
Awalnya ia hanya berpikir jika papanya cuma mau Abri segera menikah, bukan sampai di jodohin seperti ini mana sama anak jenderal pula, apa gak syok Abri. "Apa papa bilang? Papa mau jodohin Abang sama anaknya jenderal Hamzah?" tanyanya berharap yang ia dengar itu adalah salah.
"Iya sayang, Abang mau kan? Ini demi kebaikan Abang juga. Dia adiknya Berlian istri Dwika." jawab mama Nada.
"Iya Abang tau ma, Abang tau tapi... Pa, ma, Abri belum mau nikah, Abang masih mau sendiri."
"Apa alasan kamu gak mau nikah? Apa alasannya kamu masih mau sendiri? Kamu belum move on kan? Kamu masih terjebak di kisah masalalu kamu kan?"
Deg!
Abri terdiam sejenak menundukkan kepala, dalam hati membenarkan apa yang papanya ucapkan. "Tapi pa, Abri bisa cari calon istri sendiri, Abri gak mau di jodohkan kayak gini."
"Mau cari sendiri dengan cara apa? Diam seperti batu begini? Bri, papa tau apa yang Abang rasakan saat ini lebih lebih setelah Aidan menikah, bohong jika kamu baik baik aja setelah ini. Bohong kalau Abang gak terusik."
lagi Abri bungkam, ternyata selain mamanya papanya juga paling mengerti dirinya.
"Anaknya baik kok bang, penurut, sopan, dan cantik dia tiga tahun lebih muda dari kamu." kali ini mama Nada turut berusara karena pernah sekali bertemu dengan gadis yang akan di jodohkan dengan putra sulungnya.
"Apapun itu ma, mau dia spek bidadari sekalipun Abri bakalan tetap mikir berkali kali karena ini tentang hidup Abri, masa depan Abang, Abang yang akan jalani pernikahan ini kalau sampai terjadi bukan papa ataupun mama," Abri mulai mengeluarkan uneg-unegnya.
"Abri pikir papa sama mama gak seperti orangtua lainnya, karena yang Abang tau selama ini papa sama mama itu gak pernah ngatur kehidupan Abri ataupun adek adek Abri. Papa sama mama rela berbuat apapun untuk mengikuti kemauan kita, contohnya Argan, apapun papa sama mama dukung apa yang dia mau, sekalipun itu harus jual tanah berhektar-hektar. Tapi kenapa malah Abri kayak gini ma, pa? Kenapa soal jodoh malah papa sama mama yang nentuin? Abri gak pernah pacaran lagi bertahun tahun atau selama ini gak pernah kenalkan kalian ke gadis manapun buka berarti kalian bisa jodohin Abri kayak gini apa lagi di jodohin sama perempuan yang bahkan Abang gak kenal sama sekali." bantahnya begitu keras. Membuat kedua orangtuanya tertegun.
Jujur saja seumur umur Abri tak pernah membantah apa yang di katakan kedua orangtuanya, di antara ketiga saudaranya Abri adalah anak yang paling nurut.
"Abri pergi." hati Abri turut sakit ketika untuk kali pertama dalam hidupnya ia membantah permintaan kedua orangtunya. Tapi mau bagaimana lagi? Masa depannya di pertaruhkan di sini.
Pernikahan itu bukan ketemu jodoh udah selesai hidup bahagia, bukan. Tapi menikah itu malah fase kehidupan yang sesungguhnya, banyak cobaan dan ujiannya, banyak badai dan musibahnya. Jadi jika memang ingin masuk ke fase kehidupan itu kita harus menemukan teman hidup yang benar benar tepat. Bukan sembarangan menjodoh jodohkan begini.
Bodo amat soal anaknya panglima jenderal, mau apapun pangkat bapaknya kalau bertemu jodoh yang salah rumah tangga tetap tak akan bertahan seumur hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
nasywa
lanjutkan kakak author
2024-09-14
2
Erna
update dong mba Aidannya
2024-09-12
1
sakura hanae @ mimie liyana❤️
Emang d rubah beneran ternyata ceritanya thorr.... Gapapa aku tetap menikmati, semangat ya updatenya🤜🏻🤛🏻
2024-09-10
2