Jenderal keras kepala

Abri menatap seseorang yang berbaring di brankar dengan di bantu alat alat medis dari balik dinding kaca. Aji berbaring belum sadarkan diri di ruang ICU tersebut bahkan sudah dua bulan lamanya.

Iya, kejadian mencekam di besman mall itu sudah dua bulan lamanya berlalu. Aji mendapatkan enam luka tembak di tubuhnya, satu di tangan, satu di kaki, dan empat di punggung di antara empat peluru itu dua di antaranya mengenai organ vital yang membuat pria itu tak sadarkan diri.

Aji itu merupakan salah satu anggota Abri juga, hanya saja pria itu di tunjuk untuk menjadi Ajudan tapi tak pernah mengatakan akan menjadi ajudan siapa dan setelah kejadian ini Abri baru mengetahui bahwa Aji menjadi ajudan dari anak panglima jenderal Hamzah yang tidak lain tidak bukan adalah Moza.

Mengingat Moza, Abri tidak tau keadaan gadis seperti apa memang ia tidak mendapatkan luka di tubuhnya hanya saja Abri dapat memastikan gadis itu pasti akan mendapatkan trauma yang cukup parah dari kejadian tersebut karena gadis itu yang melihat kejadian itu dari awal sampai akhir sudah pasti trauma yang ia dapat tidak main main.

Sementara Sean, bocah lima tahun itu kini sudah membaik, yang Abri tau bocah itu hanya koma selama dua hari lalu menginap di rumah sakit selama satu Minggu. Dan ada satu fakta baru yang membuat Abri cukup kaget, yaitu Sean yang Abri duga adalah anak dari Moza ternyata bukan, bocah itu anak dari kembaran Berlian—istri Dwika. Dan Moza itu masih gadis belum bersuami pantas saja di jodohkan dengannya.

Tapi walaupun begitu Abri masih tetap pada pendiriannya. Ia tak akan menerima perjodohan dengan gadis itu, Abri masih benar benar ingin sendiri. Ia masih belum berani membuka hati untuk orang baru.

Abri menghela nafas "kalau ada waktu saya kesini lagi ji sama yang lain. Ini mereka lagi sibuk makanannya cuma saya yang datang," gumamnya dari balik dinding kaca tersebut seolah olah ia berbicara pada Aji langsung.

Lantas ia melangkah pergi dari sana, pria itu dengan gagahnya berjalan menyusuri lorong namun langkahnya terhenti kala ia melihat Hamzah dan beberapa ajudannya berjalan berlawanan arah, sepertinya juga akan menjenguk Aji.

Abri membusungkan dadanya dan memberikan hormat pada Hamzah ketika pria yang usianya tak jauh beda dari papanya itu melintas di hadapannya.

Langkah pria itu pun langsung berhenti menatap Abri sejenak. Wajahnya jenderal itu masih tetap nampak tenang seperti biasa, hanya saja tidak seriang dulu. Abri menyadari perubahan Hamzah ini setelah beberapa kali bertemu dengan Hamzah yang tentunya di rumah sakit ini dan juga pernah sekali datang kemarkas mereka untuk mengucapkan terimakasih.

"baru jenguk Aji?"

Abri tak menatap Hamzah, pandangannya lurus kedepan dengan membusungkan dada dan berdiri tegap ia menjawab "sia, benar jenderal."

Hamzah mengangguk anggukkan kepalanya, lalu menepuk sekali pundak Abri "makasih sudah mau datang. Kalau begitu saya gantian jenguk Aji dulu."

"Siap," jawab Abri, setelah rombongan Hamzah pergi Abri lantas melanjutkan langkahnya. Namun lagi lagi berhenti karena panggilan seseorang dengan langkah cepat menghampirinya.

Abri lantas berbalik kembali "kenapa bang?" Tanya Abri setelah mengetahui yang menghampirinya adalah Marwan ajudan pribadi jenderal Hamzah.

"Bilang bapak, bisa minta waktumu sebentar. Beliau mau bicara denganmu."

Abri lantas menatap lurus dimana Hamzah yang kini tengah berbicara pada seorang dokter.

"Kau sibuk?" Tanya Marwan lagi karena Abri tak segera menjawab.

"Enggak bang, saya tunggu beliau di sini." Ujar Abri lantas duduk di kursi tunggu yang memang tepat berada di sebelahnya.

Marwan mengangguk "saya sampaikan dulu sama beliau." Lalu Marwan kembali bergabung pada ajudan lain dan menyampaikan pesan Abri pada Hamzah.

Tiga puluh menit lamanya Abri menunggu dengan bermain game di ponselnya dan begitu ia melihat Hamzah muncul dari kejauhan ia langsung saja menyudahi dan menyimpan ponselnya kembali ke saku celana, Abri berdiri.

"Nunggunya kelamaan ya kapten?" Tanya Hamzah ramah sedikit tak enak karena menyuruh Abri menunggunya padahal mungkin pemuda itu ada kesibukan lain di luar sana.

"Siap tidak jenderal!" Walaupun lumayan lama mana berani Abri bilang iya, bisa bisa di mutasi dia.

"Kita duduk di sini saja gak papa kan? Saya sambil nunggu dokter yang meriksa Aji."

"Siap."

"Dasar anak Saga, tidak jauh beda seperti bapaknya, siap siop siap siop," gumam Hamzah yang masih dapat di dengar Abri, "sudah sini duduk, gak usah berdiri begitu." Hamzah menarik pergelangan tangan Abri untuk kembali duduk dan mau tak mau Abri pun langsung mendudukkan dirinya.

"Bagiamana kabar papamu bri?" Tanya Hamzah berusaha akrab dan tidak formal pada Abri.

Abri terdiam sejenak, ia sudah dua bulan tidak pulang karena rencana perjodohan yang jelas jelas tak Abri inginkan itu, ia seperti ini karena memang tak menginginkan perjodohan itu. Apapun itu dan anak siapapun itu Abri memang belum berniat untuk menikah. Dan Abri sudah pernah bilangkan kalau dia itu masih menata hatinya yang masih berantakan agar siap menerima orang baru? Nah, ia masih berusaha untuk itu.

"Abri!"

Seketika Abri tersadar dari lamunannya.

"Saya tanya loh, kamu malah melamun,"

"Siap salah jenderal!"

Mampus lah kau bri bisa bisanya bapak jenderal tanya kau cueki.

"Papa saya... Papa saya Alhamdulillah baik jenderal."

Hamzah mengerutkan keningnya "kenapa kamu ragu mengatakannya?"

Abri terdiam sejenak "siap, saya... Sudah lama tidak pulang."

"Bukannya jarak rumah mu dan tempatmu berdinas terbilang dekat? Kenapa malah jarang pulang?"

Abri kembali berpikir"siap, saya cukup sibuk akhir akhir ini." Bohong Abri nyatanya walaupun ia sibuk tapi kalau cuma pulang kerumah orangtuanya juga ia masih sempat.

Kali ini Hamzah mengangguk anggukkan kepalanya. Lalu ia memberi isyarat pada Marwan untuk lebih menjauh beberapa meter darinya lebih dulu. Dan setelah di rasa Marwan dan ajudan yang lain sudah cukup jauh Hamzah malah diam cukup lama seperti ada yang ia pikirkan dan itu sangat mengganjal bagi Abri.

"Maaf sebelumnya jenderal, bang Marwan bilang anda ingin berbicara dengan saya? Apa pembicaraan kita ini cuma mau menanyakan kabar tentang papa saya saja?"

Hamzah mendengus lalu selanjutnya tersenyum "kamu sibuk? Ada kegiatan lain malam ini?"

"Siap, tidak jenderal."

"Lalu kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Siapa salah jenderal!"

Melihat raut bersalah Abri lagi lagi Hamzah terkekeh lalu selanjutnya ia diam cukup lama selanjutnya terdengar helaan nafas. Abri menoleh dan melihat bahwa jendral bintang empat itu seperti dalam keadaan tidak baik baik saja. Wajar sih seperti itu, walaupun sudah dua bulan berlalu kejadian mencekam itu terjadi tetap saja pria ini tidak tenang karena musuhnya itu masih mengintai di luar, masing mengintai keluarganya juga. Terlebih lagi kini Berlian dan Dwika juga berada di kota yang sama dengannya semakin bertambah lah beban pikirannya.

"Maaf jenderal." Tiba tiba saja Abri bersuara agak sendu.

Hamzah yang melamun segera menoleh "maaf? Untuk apa?" Tanyanya bingung menatap anak rekannya itu.

"Saya tidak berhasil menangkap penjahat itu. Misi saya gagal."

Hamzah tersenyum kecil mendengarnya "walaupun kita terlatih ada saatnya kita mengalami hal seperti itu kan? Dan Kamu menumpas habis anak buahnya saya rasa misimu gak segagal itu."

Abri hanya diam.

"Saya malah berterimakasih Abri, kalau kalian tidak datang, kalau kamu tidak menolong anak saya, mungkin saat ini saya tak lagi melihatnya dan malah menangisi fotonya," Hamzah menghela nafas lelah otaknya selalu saja membayangkan sesuatu yang kemungkinan akan terjadi jika saja Abri dan yang lain terlamat datang.

"Di sini yang bersalah itu saya Abri, saya yang membuat anak dan cucu saya dalam bahaya, saya gak becus menjadi ayah dan kakek, Saya lalai menjaga mereka. Dan bahkan sampai saat ini saya belum bisa memaafkan diri saya sendiri. Terlebih melihat mereka seperti ini."

Hamzah menundukkan dirinya Abri melihat betapa terpuruknya pria itu saat ini. Tubuh tegap, wajah tegasnya itu hanya bingkai ternyata, hanya cover saja untuk menutupi kerapuhan dirinya, kerapuhan seorang kepala keluarga yang tampak begitu hancur karena tak bisa berbuat apa apa untuk anaknya. Pangkat tinggi ternyata tak menjamin untuk keluarganya dalam keadaan aman, malah semakin membahayakan karena ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melindunginya keluarganya. Bahkan dalam keadaan hancur begini ia tetap harus terlihat baik baik saja, keluarganya juga harus terlihat baik baik saja, biasa saja seperti tak terjadi apapun. Karena apa? Karena kejadian itu menjadi rahasia negara.

Kalau di pikir pikir bahkan tak ada berita di tv ataupun media sosial yang menampilkan suasana saat itu, padahal Abri lihat dengan jelas ada beberapa orang yang memanfaatkan telpon seluler mereka untuk merekam setiap kejadian di luar besman. Tapi tak ada satupun yang di tampilkan di layar tv atau seliweran di medsos. Bapak presiden langsung bahkan yang turun tangan.

Kadang Abri juga berpikir sepenting apa chip itu sampai di jaga sedemikian, sampai menjadi rebutan dan melibatkan nyawa begini.

"Abri?"

"Siap jenderal."

"Papamu bilang kamu menolak perjodohan ini, kenapa?"

Deg!

Tiba tiba saja tubuhnya membeku di tempat, apa yang harus Abri jawab kalau begini?

"Anak saya cantik loh bri, di saat laki laki lain di luar sana menginginkannya, mengejar ngejar dia eh kamu menolaknya yang jelas jelas saya kasih lampu ijo, kenapa?"

"Maaf jenderal." Hanya itu yang bisa ia ucapkan.

Hamzah terkekeh lalu Setelah itu wajahnya berubah serius "bri." Panggilnya lagi

"Siap jenderal."

"Saya boleh minta sesuatu nggak?"

Abri diam namun kepalanya mengangguk sekali.

Hamzah terdiam cukup lama menatap Abri "tolong, tolong setuju dengan perjodohan ini. Nikahi anak saya."

Tunggu, apa?!

Kali ini jantung Abri mau lepas rasanya dari tempatnya. Abri tidak salah dengar kan? Ia kontan menolehkan kepalanya pada Hamzah dengan mata ingin keluar.

"Cuma kamu yang bisa bantu saya bri, saya rasa cuma sama kamu anak saya aman."

Deg!

"Maaf, jenderal. Tapi... Tapi banyak tentara yang lebih hebat dari saya." Benar kan? Hamzah ini hanya terbawa suasana saja karena ia mengetahui Abri lah yang menolong Moza saat itu.

Hamzah menggeleng "tapi tak ada prajurit yang saya percaya atas putri saya selain kamu. Saya kenal papamu seperti apa dan saya yakin kamu tak jauh berbeda darinya."

Abri diam di tempatnya. Bukan masalah baik buruknya di sini. Tapi hati Abri masih berantakan belum bisa menerima orang baru apa lagi memberikan cinta. Abri takut tak bisa membahagiakan anak orang, Abri takut malah menyakiti. Abri masih berada di kubangan masa lalu.

"Saya mohon Abri," ucap Hamzah memelas. "Saya mohon, anak saya masih dalam bahaya. Saya tak mampu menjaganya."

Ya apa di pikir Abri juga bisa menjaga gadis itu? Oh tuhan apa yang harus ia katakan?

"Maaf–"

Bruk!

"Bapak!"

"Jenderal!"

Seru para ajudan dan juga Abri berteriak secara bersamaan saat melihat Hamzah kini malah berlutut. Mereka semua kaget melihat Hamzah seperti itu.

Ajudan Hamzah sudah melangkah mendekat namun segera Hamzah mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat untuk berhenti. Begitu juga Abri, mana bisa dia melihat orang yang lebih tua begini berlutut di hadapannya, lebih lebih itu jenderal Hamzah. Gila kali ya.

"Saya tidak akan berdiri kalau kamu tidak berkata ya," ucap Hamzah sedikit memaksa. Ia kesampingkan pangkat dan kedudukannya. Kehidupan dan keselamatan putrinya lebih penting disini, ia tak mampu melindungi tapi setidaknya ia masih bisa mencari tempat teraman untuk putrinya kan?

"Tapi jen—"

"Saya tetap pada pendirian saya Abri." Potong Hamzah.

Abri meraup wajahnya frustasi "kenapa begini jenderal?"

"Karena saya mau putri saya aman."

"Tapi orang itu bukan saya!" kata Abri sudah mulai frustrasi dengan intonasi yang Muali meninggi. Ia sudah tak sadar berbicara dengan siapa.

Hamzah menggeleng keukeuh "tapi saya yakin tempat aman untuk anak saya itu kamu."

Ya Allah, kenapa jenderal Hamzah keras kepala?

"Jendral, pernikahan itu bukanlah pemainan."

"Baik, jika menurtmu ini bukan permainan. Maka saya buat menikahi anak saya ini sebagai perintah. Dan saya perintahkan kamu untuk menikahi putri saya Abri!" Ucapnya tegas.

Ini apa lagi ini?!

"Bangkit dulu jenderal," Abri menarik Hamzah untuk berdiri, ia juga tidak enak menjadi pusat perhatian seperti ini.

"Jawab dulu."

Astaga!

"M—"

"Saya hanya mau mendengar kata ya Abri." ucapnya penuh penekanan untuk jawaban Abri.

Sungguh Hamzah ini manusia paling pemaksa dan paling keras kepala yang pernah Abri temui.

"Katakan ya Abri." Desaknya. Abri semakin tak Karuan.

Ini gila. Tau kalau seperti ini Abri tak akan mau menunggu Hamzah. Tapi dia harus bagaimana? Menolak? Abri sudah pastikan Hamzah tak akan diam saja jika kata itu keluar dari bibirnya. Manusia sekeras dan sepemaksa ini tak akan tinggal diam begitu saja kalau tau putrinya di tolak mentah mentah padahal ia sudah mempertaruhkan wibawa dan Harga dirinya seperti Hamzah ini.

"Oke ,oke baik ya, ya saya akan menikahi putri anda." Final Abri pada akhirnya, ia terpaksa.

Hamzah lantas tersenyum lalu bangkit "nah, benar begitu. Kamu memang gak boleh menolak putri saya," pria itu menepuk pipi Abri.

Abri hanya diam saja dengan wajah Pasrah. Entahlah, entah ini pilihan benar atau salah, Abri sudah pasrah. Hatinya benar benar memasrahkan masalah itu pada otaknya yang cenderung ingin memberontak karena Abri tak pernah memakainya dalam urusan cinta.

Padahal biasanya pria itu cendrung menggunakan logika ketimbang perasaan. Tapi ternyata itu tak berlaku untuk Abri

...Bang Abri...

Terpopuler

Comments

Sukemi Nak Murtukiyo

Sukemi Nak Murtukiyo

kak ayooo Up lgi donk????

2024-10-01

1

Surtinah Tina

Surtinah Tina

bang ABRI ayo move on dengan moza

2024-09-30

1

Jossy Jeanette

Jossy Jeanette

wah keren abri sekelas jendral memohon2 untuk menikahi putri cantiknya👍😍..ayo bang abri move on..move on

2024-09-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!