Padahal hari sudah Berubah gelap tapi Moza masih fokus akan komputernya, memeriksa hasil editan beberapa project customer yang sudah selesai dan akan di ambil lusa oleh costumernya.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk."
Setelahnya seseorang masuk kedalam ruangannya begitu di izinkan pemiliknya masuk.
"Astaga, lemburnya nya udah kali kak. Udah jam delapan itu kerjaan yang lain juga udah pada kelar. perlu gue bantu juga kak?" Tanya Okan—salah satu fotografer yang bekerja di studionya.
"Gak usah, dikit lagi kok. Riski mana? Belum balik?" Tanya Moza balik setelah menolak tawaran Okan menanyakan keberadaan fotografer lain yang juga bekerja dengannya.
"Udah, tadi gue telpon orangnya udah sampai rumah. Katanya abis motret langsung pulang. Padahal niatan gue mau ajak ke club gitu dugem ajep ajep, sambil minum satu dua gelas." Okan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil sedikit berjoget seakan akan tengah menikmati musik di dalam club, padahal suara musik pun tidak ada sama sekali.
Mata Moza melotot "heh, itu anak pak haji jangan kamu sesatin kan."
Okan pun tertawa setelah melihat reaksi Moza "hahaha, bercanda kak. Gue anak baik baik loh ini mana mungkin mau ke tempat begituan. Bisa di sleding dari KK dong gue sama emak kalau sampai itu terjadi. Eh, kok malah ngebacot deh gue disini kan bukan ini niat awal gue. Astajim!"
Moza terkekeh kecil melihat karyawannya satu ini.
"Lu si kak." Tuduhnya.
"Lah, salah kakak dimana kan?" Perasaan dia tidak ngapa ngapain loh ini.
"Ah, udah lah, gue pulang duluan kak! Jangan lembur. Assalamualaikum!" Ia langsung pergi keluar dari ruangan Moza tanpa berbasa basi lagi, ya niatnya datang ke ruangan bos cantiknya itu cuma mau pamit pulang karena kerjaannya sudah selesai.
Moza geleng geleng kepala saat sudah tak melihat Okan, memang di antara karyawannya yang lain Okan ini yang paling random.
Pintu kantor belum tertutup sempurna, dua orang gadis muncul dari sana "kak kita pulang!" Seru keduanya, sudah seperti anak kembar, padahal tidak sama sekali.
"Eh, iya iya hati hati. Kakak pikir udah pada pulang loh." Kali ini Moza menatap kedua gadis yang berdiri di ambang pintu yang merupakan dua resepsionis studionya bernama Laila dan Ana.
"Hehehe, abis gibah sama kak Windy dulu tadi di bawah jadi lama." Tidak lupa keduanya nyengir.
"Astagfirullah! Istighfar dosa loh gibahin orang."
Lagi keduanya terkekeh "sekali sekali kak gak papa." Jawab Laila tanpa dosa.
"Kalian mah keseringan."
Lagi keduanya cuma cengengesan "gak pulang kak?" Tanya Ana mengalihkan.
"Bentar lagi na. Oh ya Windy mana?"
"Di bawah lagi Nerima telpon." Jawab Laila.
"Customer?"
"Gak tau." Kompak keduanya menjawab.
Moza mengangguk saja "kalian mau pamit pulangkan?"
"Hehehe, iya kak. Kita duluan ya kak, bolehkan?"
"Iya boleh. Tolong nanti bilang ke Windy untuk buatkan kakak kopi ya."
"Siap kak." Seru keduanya lalu berjalan keluar.
Moza kembali sibuk dan fokus akan komputernya, mengedit beberapa foto customer disana sampai sampai ia tak sadar ada orang masuk kedalam ruangannya.
"Udah kali za, kapan sih tu foto di ambil customer?" suara Windy—asisten sekaligus sahabatnya. Windy membawa segelas kopi yang di minta Moza.
"Lusa, makasih. Lettu Aji masih nunggu di bawah?" Tanya Moza tentang keberadaan sang ajudan.
"Lagi ke mesjid katanya tadi, Lo suruh nunggu bentar kalau mau pulang."
Moza mengangguk anggukkan kepalanya paham, karena ini sudah waktunya sholat isya sih. Jangan tanya Moza kenapa gak sholat, sudah pasti lagi m, males maksudnya. Huehehe.
"Eh, za. Gue... mau minta tolong sama Lo... boleh gak?"
Mendengar itu Moza langsung memasang wajah was was, apa lagi melihat wajah Windy yang amat sangat mencurigakan, ia tau sahabatnya ini kadang kalau minta tolong gak mikiri harga diri orang "Apa?" matanya berubah tajam.
Menyadari Moza yang sudah masang ancang-ancang Windy nyengir "papa gue jodohin gue lagi za." Windy melancarkan aksinya kini wajahnya di tekuk sesedih mungkin untuk menarik perhatian sang sahabat agar mau menolongnya.
Nah kan. Moza sudah tebak pertolongan macam apa yang Windy harapkan darinya "gak ada ya win, gak mau aku jadi tumbalmu!" Moza kembali fokus akan komputer, ia berusaha tak menatap wajah Windy.
"Please... Sekali ini aja za." mohonnya, dengan wajah di buat senelangsa mungkin.
"Gak gak. Dari dulu pun kamu bilang sekali aja, nyatanya malah berkali-kali." tolak Moza, kali ini ia tidak akan menuruti permintaan Windy lagi, yang ada trauma Moza mah. Niatnya nolak mewakili sang sahabat, eh malah para pria yang mau di jodohkan oleh Windy malah putar haluan mengejar dirinya.
"Ini benar benar yang terakhir za. Please." mohon Windy dengan menangkupkan kedua tangannya di depan wajah memohon.
"Aku sibuk, kerjaan ku banyak gak sempat jadi Basarnasmu. Sana telpon damkar aja, minta tolong ke mereka yang sudah pasti mau nolong kamu." sebisa mungkin Moza menghindari tatapan mata memelas Windy yang mengiba itu, soalnya Moza paling tidak tahan melihat wajah mengibah seseorang pada dirinya.
"Oza..." rengeknya bak bocah yang minta di belikan permen dengan wajah memelas yang sudah berada di sebalah Moza tidak lupa gadis itu menangkup kedua pipinya berlagak sok paling imut. Akh! Moza tidak kuat kalau diginiin. "Please..." ia mengerjapkan beberapa kali matanya berlagak sok polos dan sok imut. Moza melirik melalui ekor matanya.
Moza benar benar tidak kuat, ia memejamkan matanya dengan paksa, frustasi sendiri akan permintaan sang sahabat "apa susahnya sih win ikuti kata orangtua. Toh, si Rama juga gak jelas, aku lihat dia juga gak ada niatan serius sama kamu. Kali ini aja gak ada salahnya mempertimbangkan pilihan orangtuamu." ya, entah sudah berapa kali Windy di jodohkan oleh orangtuanya. Tapi Windy tidak pernah mau, selalu menolak dengan alasan ya karena dia udah punya pilihan sendiri dia sudah punya kekasih bernama Rama, tapi sudah 4 tahun pacaran Rama tak kunjung memperlihatkan keseriusannya. Orangtua mana yang gak jengkel. Kalau dapat papinya Moza, udah di jadiin Kampas rem Alusista yang begitu itu.
"Gak, papa gue aja yang gak sabaran. Suatu saat nanti pasti Rama datang melamar gue za Rama yang bilang sendiri sama gue."
"Win, udah berapa kali dia ngomong gitu, sadar. Empat tahun gak sebentar win. Dan selama empat tahun itu pula kamu di iming iming janji semu. Kali ini aja dengerin apa kata orang tuamu."
Windy terdiam dan menunduk sejenak "gue cinta sama Rama za, gue cuma mau nikah sama dia. Gak mau yang lain. Lagian Lo enak banget ngomongnya. Seandainya ya, seandainya gue kebalikin ini posisi gue ke Lo. Lo di jodohin sama papi lo dengan cowok yang gak Lo cintai, apa Lo mau? Apa Lo terima?"
"Ya, aku terima, kenapa enggak? Toh aku yakin sama pilihan kedua orangtua ku win, apa lagi pilihan papi yang udah pasti pilihan terbaik dan gak akan mengecewakan aku. Aku pasti terima dengan Lapang dada. Dan soal cinta? Cinta akan datang karena terbiasa aku yakin itu." tanpa berpikir lebih dulu, Moza begitu mantap mengatakannya. Membuat Windy terdiam kaku.
"Tapi Lo ngomong gitu karena Lo gak punya pilihan za, sedangkan gue. Di sisi gue, gue punya orang yang gue cinta. Gue gak mau dijodohin. Kali ini aja za, tolong gue ya. Kali ini aja. Please." mohonnya untuk yang terakhir kali di barengi air mata yang mulai meluruh membasahi pipi. Ya, ia menggunakan senjata terakhirnya yang pasti kali ini tak akan gagal.
Benar saja Moza benar-benar tak kuat jika melihat Windy seperti ini.
Moza menghela nafas lelah, susah sekali memang berbicara dengan manusia yang sudah menjadi budak cinta seperti Windy ini. "Oke, gue bantu. Tapi ini yang terakhir. Janji?"
"Beneran?" matanya mulai berbinar.
"Janji dulu."
"Serius?" tanyanya lagi.
"Janji dulu Windy! Atau gak sama sekali." geram Moza.
"Eh, jangan dong. Harus bantu. Oke, gue janji, ini jadi yang terakhir. Lo juga harus janji juga harus bantu gue." Windy mengambil stempel yang ada di atas meja Moza. Dan memberi cap di atas punggung tangan Moza "udah gue cap janji lo, gak boleh di cancel."
Mata Moza kontan melotot melihat kelakukan sahabatnya satu ini. Dia belum jawab loh. "Windy!" kesalnya karena tangan mulusnya mendadak menjadi kertas.
"Lo udah tau tugas Lo kan?" tanya Windy tak perduli geraman Moza.
Moza menatap Windy malas "Seperti biasa kan?" tebaknya.
Windy mengangguk mantap. "Tapi..."
"Tapi...?" beo Moza mengikuti ucapan sang sahabat.
"Kali ini gak ada fotonya." tidak lupa gadis itu nyengir tanpa dosa memperlihatkan deretan giginya.
"Gila ya! Ya kali gak ada fotonya. Jadi gimana caraku untuk mengenalinya Windy?"
"Ya gimana. Mak gue gak kasih."
"Wah, gila, benar benar gila. Gak ada pertemuan, batal kesepakatan kita!" seru Moza. Gila kali dia di suruh temui cowok yang gak dia tau mukanya gimana. Di suruh nebak gitu dengan cap cip cup. Gila kali!
"Loh, mana bisa gitu. Kita udah sepakat. Lo juga udah janji mau bantu, udah gue cap loh itu."
"Ya gimana, fotonya juga gak ada. Mana bisa aku bantu. Batal deh pokoknya batal."
"Gak gak, harus jadi. Lo udah janji ya za. Gak boleh gak. Bentar gue telpon mak gue dulu." Windy dengan segera beralih ke kaca transparan yang menampilkan pemandangan ibu kota Jakarta kala malam hari. Sangat cantik.
Moza lantas mendengus melirik Windy yang wajahnya sudah panik duluan. "Sabar za." ucapnya, sepertinya panggilan di sebrang sana belum di angkat oleh mamanya Windy.
"Halo ma." suara Windy setelah sekian lama, panggilannya di angkat. semantara Moza hanya memperhatikannya dari kursinya.
Ah, Moza baru ingat dengan kopi yang ia minta buatkan Windy tadi. Dengan perlahan Moza meniup kopi yang masih terasa panas itu dan pelan pelan menyeruputnya.
Ting!
Ponselnya pun bergetar, pesan dari Aji.
Pumpung saya lagi di luar. Nona mau makan apa?
Letnan Aji
^^^Gak mau apa apa. Kamu cepat jemput aku, aku udah selesai.^^^
^^^Moza.^^^
Siap nona
Letnan Aji
Setelah membalas chat dari Aji, panggilan yang di lakukan Windy dengan sang mama pun terputus juga.
"Gimana?" tanya Moza langsung, lagi Windy hanya meringis.
"Oke, berarti batal ya, kalau begitu aku mau pulang." ucap Moza pada akhirnya bangkit dari duduknya memasukan laptop flashdisk ke dalam ranselnya.
"Eh, Jagan dong, di gorok Mak gue entar kalau yang ini gak di temui." Windy mencekal tangan Moza agar gadis itu berhenti berkemas. Urusan mereka belum selesai.
"Terus aku harus gimana? Aku bukan peramal ya, bisa nebak calon suamimu itu bagaimana bentukannya dan wajahnya."
"Gak ada calon suami! Gue cuma cintanya sama Rama!" teriak Windy tak terima.
Dasar bucin akut.
"Ya sudah bawa Rama ke hadapan kedua orangtuamu, gampang kan gak usah memperibet hidupku Windy!"
"Tapi kali ini harus di jumpai Moza..." ujarnya kali ini balik memelas.
"Ya udah sana kamu temui, kan itu calonmu bukan calon ku."
"Tapi kan Lo udah janji tadi. Gak punya perasaan banget si jadi temen."
"Itu tadi, kalau ada gambaran orangnya gimana. Lah, ini ya kali win aku mau asal jumpai orang."
"Mak gue lagi usaha kok buat minta fotonya sama mamanya tu cowok. Mungkin bentar lagi di kirim. Mau ya bantu gue." bujuknya lagi.
Moza menghela nafas pasrah, ia menganggukkan kepalanya. Toh, dia nolak juga pasti Windy akan terus menerornya dengan bantuan gila ini.
"Nah, gitu dong itu baru temen gue." Windy memeluk tubuh Moza begitu erat sangking senangnya.
"Lepas win, gak bisa nafas aku!"
Windy malah tertawa, namun tetap melepaskan pelukannya. "Haduh, anak jenderal yang cantiknya melebihi bidadari ini benar benar memiliki hati yang seputih salju mau menolong pengemis cinta seperti saya."
Tak!
Tanpa kasihan Moza nyelentik jidat Windy. "Ada maunya muji sampai ke akar akarnya ya."
Windy mengelus jidatnya yang jujur ini sangat sakit. Tapi dia gak boleh protes bisa berubah pikiran lagi nanti Moza.
"Nona, mari pulang." tiba tiba saja Aji muncul, ia langsung masuk karena pintu ruangan sang nona cantiknya tidak di tutup.
"Eh, tunggu dulu. Bang Aji harus anterin kita dulu ke suatu tempat ya." pinta Windy lebih dulu sebelum ajudan ganteng sahabatnya itu menggeret Moza untuk pulang.
Alis Aji menyatu bingung "mau kemana?" tanya Aji menoleh ke Moza meminta jawaban gadis itu.
"Ke restoran." bukan Moza yang menjawab tapi lagi lagi Windy yang menyerobot.
"Nona lapar?" tanya Aji lagi kepada nona cantiknya.
Moza sudah membuka mulutnya bersiap menjawab namun lagi lagi Windy menyerobotnya lebih dulu "kita punya urusan bang, gak usah banyak tanya deh anterin kita aja. Oke. Yuk za." langsung Windy menggeret Moza untuk segera keluar dari ruang kerja gadis itu, bisa bisa Aji terus menerus bertanya seperti wartawan yang sedang mengejar berita terpanas dan terhot. Belum lagi, jika Aji tau niat busuknya, haduh bisa gawat itu, jelas Aji akan mengadukan dirinya ke bapak jenderal dan mengatakan kalau Moza telah dijadikan tumbal perjodohan oleh Windy. Bisa gawat yang ada pak jenderal langsung menjatuhkan nuklir ke rumahnya.
By the way aja ya. Sebab akibat banyaknya pria yang mengejar dan mengirimi Moza bunga itu asal muasal nya ya dari Windy ini. Semua pria yang awalnya di jodohkan dengan Windy atau sekedar kenalan dengan Windy balik kanan putar jalan malah mengajar Moza yang selalu menggantikan Windy setiap kali gadis itu di jodohkan orangtuanya. Bumerang sekali bukan untuk Moza?
Hidupnya yang adem ayem mendadak riwuh ya gara gara Windy. Teman laknat memang dia. Tapi selaknat laknatnya Windy tetap saja Moza tak mampu menolak permintaan gadis itu, taulah ya Windy itu punya jurus seribu satu cari untuk meruntuhkan dinding bertahan yang bernama kasihan di diri Moza gadis itu paling tidak bisa kalau melihat orang mengiba padanya.
Aji menatap Moza yang ternyata juga menoleh pada Aji, tatapan pria itu seakan meminta penjelasan namun malah di balas hanya anggukan oleh gadis itu membuat Aji menghela nafas pelan dan mau tak mau menurut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
nasywa
lanjut kak authorrr yg cantik baik hati 🥺🥰😁
2024-08-26
1
Erna
lanut
2024-08-22
1
Naswa Al rasyid
lanjut kak, gak sabar pengen baca pertemuan bg abri, kak moza. 🥰
2024-08-21
1