Begitu sampai di rumah Hamzah langsung memberitahukan istrinya tentang Abri yang sudah menyetujui perjodohan anak mereka.
"Tapi Pi, waktu itu papi bilang dia menolaknya?" Tanya Clara bingung, kenapa kini tiba tiba Abri berubah pikiran?
"Tadi papi ketemu dia di rumah sakit dia sendiri yang bilang mau menikahi Moza mi. Moza itu cantik mi, gak mungkin di tolak begitu aja sama dia. Dia pasti udah terpikat sama kecantikan yang putri kita miliki."
Iya sih, di luar sana pemuda mana sih yang tak terpikat ketika melihat wajah cantik putrinya, tapi ia rasa Abri bukanlah termasuk dalam pria seperti itu. Ada bau bau mencurigakan di sini tapi apa? Mata Clara pun memicing penuh curiga menatap suaminya. "Papi gak macem macem kan ya?" todongnya.
Segera Hamzah menggeleng "kalau gak percaya tanya Marwan, Marwan yang jadi saksi dia bilang dia akan nikahi Moza. Kan wan kamu tadi dengar sendiri kan? Ada kamu lihat saya apa apa kan dia? Misalnya saya todongkan senjata mungkin."
Marwan yang masih meneguk air di dapur segera menggeleng sambil membatin "gak di todongkan senjata sih, tapi bapak sambil berlutut maksa tu bocah gagal move on buat nikahi anak bapak. Mana pakai di paksa harus bilang iya lagi."
"Nah, mami lihat sendiri kan? Papi gak apa apakan dia."
"Kamu sekongkol sama bapak kan wan?" Clara masih belum percaya.
Lagi Mawan menggeleng "gak, buk. Bapak memang gak ngapa ngapain Abri." Jelas Marwan berbohong. Nyatanya yang ia lihat jenderal bintang empat itu memaksa adik lettingnya itu untuk jadi menantu.
Dan kali ini Clara percaya "aku mau telpon Bu Bimantara dulu pi. Mau atur jadwal pertemuan keluarga," kini Clara berubah semangat.
Hamzah mengangguk mengizinkan. "Papi mau ke kamar Moza. Kasih tau dia, dia belum tidurkan mi?"
Clara menggeleng "belum."
Segera Hamzah naik kelantai dua menuju kamar putri bungsunya.
Tok! Tok! Tok!
"Oza, dek. Udah tidur belum? Papi mau bicara," tanya Hamzah dari balik pintu yang tertutup.
Moza yang tengah melamun menatap lurus keluar kamar dari balik kaca jendelanya itu menoleh ke arah pintu. Mata yang semula kosong kini dengan raut sendu itu seketika langsung berubah, ia menarik kedua sudut bibirnya memaksakan senyum lalu selanjutnya berjalan membuka pintu. "Papi mau bicara apa?"
Hamzah mengelus kepala putrinya dengan sayang "Kok belum tidur? Kan udah malam? Gak bisa tidur lagi?" Tanya Hamzah melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Moza mengangguk. Setelah kejadian di besman itu Moza jadi susah tidur karena jika ia memejamkan matanya situasi mencekam itu langsung muncul lebih lebih kalau lampunya di matikan, bayang bayang keadaan mencekan saat berada di sana semakin jelas, Ia menjadi ketakutan setengah mati bahkan tubuhnya sampai bergetar hebat. Dan karena itu ia sampai keluar masuk psikiater untuk memperbaiki mentalnya yang sudah berantakan setelah kejadian itu.
Hamzah menatap wajah putrinya begitu intens, ia tau bibir Moza yang tersenyum itu hanyalah topeng, nyatanya Hamzah yang memang sangat paham putri bungsunya itu dapat membaca wajah Moza yang matanya tak lagi berbinar seperti dulu, bajingan bajingan itu benar benar menarik Moza dalam rasa trauma yang cukup parah. Bahkan lingkaran hitam di bawah mata itu Taka dapat membohongi Hamzah. Membuat rasa bersalah didalam hati Hamzah kian membuncah. Ia benar benar tidak becus menjadi ayah.
"Katanya mau ada yang papi bicarakan. Ayo masuk," Moza menepi memberikan akses Hamzah untuk memasuki kamarnya.
Ayah dan anak itu kini duduk di sofa yang ada di kamar Moza.
"Papi mau bicara apa?" Tanya gadis itu setelah duduk.
Hamzah lagi lagi menatap wajah ayu putrinya "Moza masih ingat perjodohan yang papi rencanakan?"
Gadis itu mengangguk, bagiamana ia bisa lupa dengan masa depan yang sudah di rancang oleh kedua orangtuanya. Bahkan menurut Moza jika saja kejadian di besman itu tidak terjadi mungkin saat ini ia sudah menikah dengan pria yang di jodohkan kedua orangnya dengannya.
"Bagaimana kalau kita lanjutkan?" Tanya Hamzah. Moza sebelumnya tak tau soal penolakan yang di lakukan Abri karena baik Clara ataupun Hamzah juga belum sempat memberitahukan itu pada Moza yang bahkan sampai saat ini masih mengalami trauma parah. Tidak mungkin kan mereka menambahi pikiran gadis itu dengan mengatakan kabar buruk itu di saat seperti ini.
Moza menunduk "itu terserah papi," Moza ini tipikal gadis penurut jadi apa yang di katakan orangtuanya ia akan menurutinya toh apa yang orangtuanya pilihkan selama ini tidak ada yang buruk bagi kehidupannya. Bahkan Moza rasa apa yang orangtuanya pilihkan dan tentukan selama ini pada hidupnya adalah yang terbaik dan demi kebaikannya juga. Jadi perjodohan ini juga akan seperti itu juga kan?
Hamzah tersenyum kembali ia mengelus kepala sang putri dengan lembut. Ia sangat senang putrinya tidak seperti gadis lain yang banyak memberontak saat akan di jodohkan, putrinya malah kebalikannya ia malah menerima dengan lapang dada. Anak berbakti sekali bukan Moza ini? "mami sedang membicarakan pertemuan dua keluarga. Keluarganya Abri itu keluarga baik baik nak, dia juga anak baik baik," ujar Hamzah menyakinkan putrinya.
Moza tersenyum kecil ia mengangguk menatap, "Oza tau Pi, pilihan papi pasti yang terbaik buat Oza."
Senyum Hamzah bahkan belum luntur dan malah bertambah lebar "iya, pasti. Pasti papi akan memilihkan yang terbaik untuk putri papi, apapun itu pasti yang berkualitas baik. Dan tentunya dia bisa menjaga Oza, Oza akan aman bersama nak Abri. Jadi sehat sehat ya sayang." Hamzah mendekap putrinya dengan sayang "papa mau kamu aman za, Oza akan aman kalau sama Abri," ucap Hamzah yakin dengan pilihannya.
Moza mengangguk dengan tersenyum kecil dalam dekapan sang papi. Walaupun ia tak tau pria dengan perawakan seperti apa yang papinya pilihkan tapi Oza yakin dia pria baik baik. Karena Hamzah yang mengatakannya seperti itu.
____________________
Abri baru saja sampai di baraknya. Sejak masih dalam perjalanan pulang tadi ponselnya terus bergetar di dalam saku celananya pertanda ada beberapa panggilan masuk begitu sampai kesatuan ia langsung memeriksanya pop up dengan nama 'mama ratu❤️' tertera di sana dengan lima belas panggilan tak terjawab. Bukan mamanya sekali kalau sudah begini karena biasanya mamanya itu kalau sudah maksimal lima kali panggilan tak Abri jawab, pasti Nada sudah tau kalau Abri sendang sibuk dan tidak akan menganggunya lagi. Tapi kali ini kenapa?
Cukup lama Abri berpikir dan satu perkiraan langsung menghinggap di atas kepalanya. Apa mungkin kedua orangtuanya sudah mendengar persetujuan Abri atas perjodohan yang di lakukan kedua orangtuanya?
Jika iya, jenderal Hamzah benar benar ingin membunuh Abri secara tidak langsung, bahkan dirinya saja sampai saat ini masih tak menyangka akan menjawab iya, jawaban yang tidak di inginkan Abri sama sekali. Rasanya Abri bahkan tak mampu bernafas memikirkan jawabannya tadi. Hebat memang jenderal keras kepala ini yang kelak akan menjadi mertuanya.
Dan ponselnya kembali berdering untuk yang ke enam belas kalinya tentunya dengan nama panggilan dari mamanya.
Cepat cepat Abri menjawab panggilan, setelah melepaskan helm yang masih melekat di kepalanya itu.
"Ass–"
"Bang Abri apa maksudnya ini?" Belum sempat Abri mengucapkan salam, mamanya sudah menyemburnya dengan pertanyaan yang sudah Abri ketahui kemana arahnya.
"Assalamualaikum mama." Ia mengulangi salamnya sekali lagi.
Terdengar suara dengusan sang mama di sebrang sana "waalaikumsalam. Bisa jelaskan bang Abri? Mama kaget loh tiba tiba nyonya Abraham menelpon mama terus nanya kapan pertemuan kedua keluarga akan di lakukan."
Nah, kan benar. Gebrakan jenderal Hamzah benar benar buat pusing kepala. Abri memijat pelipisnya yang mulai terasa sakit dan duduk kembali di atas motor.
"Bang, jawab dong. Mama tanya loh ini! Kamu benar benar terima perjodohan ini? Kenapa berubah pikiran?"
Abri menundukan kepalnya menghela nafas "kenapa? Apa mama gak seneng Abang berubah pikiran?"
"Seneng, mama seneng. Cuma kan mama kaget gitu. Abang juga udah gak pulang selama dua bulan. Telpon mama juga selama ini jarang di angkat. Dan tiba tiba dapat kabar Abang terima perjodohan ini kan mama jadi kaget. Kenapa Abang berubah pikiran?"
Ingin sekali Abri berkata kalau di paksa oleh Hamzah, tapi tak mungkinkan."karena mungkin udah saatnya Abang untuk nikah."
"Ya, bener itu harus. Abang itu udah tua. Jangan sampai Argan pulang bawa cewek bule terus Abang di langkahi lagi ya."
Abri tersenyum kecil "dia gak akan takluk sama cewek bule ma." Abri paham seperti apa adik pertamanya yang kini dalam masa pelatihan di Jerman itu.
"Iya sih, muka flat dia gak menjamin dia suka betina juga."
"Anak mama." Todong Abri lalu terkekeh di susul dengan kekehan sang mama.
"Pokoknya besok Abang harus pulang! Mama gak mau tau. Kita harus bicarain tentang masalah perjodohan ini!"
"Iya mama."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Sukemi Nak Murtukiyo
kak Up nya jangan lama" ya,,, ??????
2024-10-02
1
Ani
gitu dong bang jangan yamin mulu. cewek di dunia ini gak cuman satu
2024-10-02
2
Sri Wahyuni
☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕☕🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹tak gawakke kopi ro kembang thorr, ben syemangat gawe ide
2024-10-02
1