Kamu naksir saya?

Kepala Abri sudah akan bergerak namun dengan cepat Moza berucap "itu pacar saya pak."

Sontak itu membuat mata Abri melotot ke arah Moza. Perempuan gil ini benar benar meresahkannya ternyata, sebulan yang lalu dengan gilanya di mengklaim Abri sebagai calon pria yang di jodohkan dengan temannya, nah sekarang malah mengaku ngaku jadi pacarnya. Rumah sakit jiwa mana rumah sakit jiwa? Ini pasiennya tolong dong di kurungi. Meresahkan sekali.

Mungkin kalau itu pria bukan Abri akan senang mendengar ada gadis secantik Moza mengaku ngaku menjadi pacarnya. Tapi sayangnya pria itu Abri, si cowok yang paling kapok sama perempuan.

"Eh... Gak—"

"Yang tolongin aku dong." Lagi Moza memotong ucapan Abri yang sudah akan membongkar kebohongan Moza. Gadis itu melirik dua pria yang mengejarnya tadi dengan was was berdoa dalam hati sekencang kencangnya agar dua pria mencurigakan itu tak lagi mengganggunya.

Mata Abri kian melotot saat dengan seenak jidat Moza malah memanggilnya dengan sebutan "yang."

"Haduh masnya gimana sih? Pacarnya cantik begini kok malah di biarin naik sepeda sendiri. Mana mulus banget lagi. Kan sayang tu jadi lecet begitu." Belum sempat Abri berkata apa apa salah satu pria disana sudah menghakimi Abri.

"Bener itu bang. Haduh, cantik... Punya pacar kok gak bisa jagain begini sih? Mending sini neng sama Abang aja, jangan kan luka, lecet pun gak akan Abang biarkan neng."

Raut wajah Abri yang biasanya terlihat sangat manis seketika berubah menyeramkan, Abri langsung berkacak pinggang dan membalik tubuhnya menghampiri pria yang baru saja berbicara, dagunya mengangkat keatas seakan-akan ingin menantang pria songong di hadapannya ini.

Meremehkan sekali cacing pita satu ini. Abri paling tidak suka kalau ada yang meremehkannya. Belum tau saja dia bahwa harga dirinya pun Abri yang jaga setengah mati.

Seketika pria itu mendongak menatap Abri yang tubuhnya jauh lebih, lebih, lebih tinggi dari dirinya. Dia bahkan hanya sebatas ketiak Abri yang bertubuh seperti gapura kabupaten.

Kalau seperti ini, kok ya di tendang di sentil Abri juga tu laki langsung mental.

"Hehehe... Maaf bang! Peace, damai, damai." ujar pria itu lagi takut setelah melihat ukuran Abri yang bisa di bilang jauh... Sekali darinya. Jangankan tinggi, postur dan tampang saja dia sudah kalah telak.

"Kalian bisa pergi. Biar saya yang urus." pungkas Abri dengan suara yang terdengar tidak bersahabat membuat semua pria yang mengerubungi Moza langsung ngacir menjauh dari keduanya. Moza juga menatap dua orang tadi yang kini ikut menjauh. Membuat Moza langsung menghela nafas lega.

Lalu Moza mendongak menatap Abri yang ternyata sudah menatapnya, tatapan keduanya beradu. Tidak lama, hanya beberapa detik saja karena Abri lebih dulu memutuskan tatapan mereka, takut jatuh kedalam pesona Moza yang aduhai dia. Lalu selanjutnya Abri menghela nafas dan berjalan menghampri Moza, berjongkok di hadapan Moza membuat gadis itu was was, pasti Abri akan menelannya hidup hidup kali ini Karena berani mengaku ngaku.

"Kemarin ngaku ngaku nolak perjodohan atas nama temen, sekarang ngaku ngaku jadi pacar saya, terus Kamu tadi manggil saya apa? Yang? Kamu naksir saya?"

Oho! Gantian mata Moza yang mau keluar, tapi itu kemungkinan yang memang benar adanya sih. Sejak awal bertemu, Moza sudah jatuh hati pada pria satu ini. Tapi memang cara Meraka bertemu saja di luar prediksi BMKG membuat Moza jadi seperti gadis birahi. Alhasil Moza tak berani menjawab ia hanya bersuara bagai semut kejepit pintu sangat kecil "maaf." Syukur telinga Abri memang di rancang untuk selalu awas walaupun semut berbisik dia pasti dengar.

Abri lantas tersenyum kecil. Lalu menghela nafas dan mengalihkan pertanyaan. "Sepedamu ini waktu beli apa memang gak ada remnya atau kamu gak tau gimana cara menggunakan rem?" ujar Abri tak habis pikir ketika mengingat bagaimana cara gadis ini mengendarai sepedanya dengan ugal-ugalan.

Masih naik sepeda loh itu, tapi Moza sudah seugal-ugalan itu, bagaimana jika naik mobil atau motor. Apa hampir sama dengan adiknya—Argan yang menganggap jalanan itu lurus, tak ada belokannya?

"Saya di kejer orang makannya panik dan naik sepeda seugal ugalan itu." Jelas Moza, dia juga kalau gak di kejer orang tidak akan sampai segitunya.

"Di kejar? Kamu maling?" Tuduh Abri.

Mata Moza kembali mendelik "Weh, enak aja! Memangnya ada maling cantik macem saya ini?" Tentu saja ia tak terima atas tuduhan yang di layangkan Abri. Enak saja.

Abri memindai tubuh Moza yang masih lesehan di atas trotoar sambil meniup luka yang ada di lutut dan tangannya secara bergantian. Dengan seksama ia meneliti gadis itu.

"Cantik." Batin Abri mengakui ciptaan tuhan satu ini yang sangat sangat luar biasa dalam bentuk perempuan. Sungguh, belum pernah Abri bertemu gadis berwajah secantik ini di hidupnya. Belum lagi wajahnya bak boneka Barbie namun versi asia. Cantik tak tertolong Abri akui itu.

Kembali matanya menelusuri gadis itu dan tatapannya berhenti tepat di paha putih mulus Moza, seketika otak Abri mulai mengada ada dan jakunnya naik turun menelan Saliva. Mau di gimanakan pun Abri ini pria Normal nan perkasa melihat gadis cantik bak bidadari berpakaian seperti ini pasti membuat sisi lelaki Abri bangkit.

Segera Abri menepis pikiran pikiran sialan yang ada di otaknya, dan segera berdiri dari jongkoknya "siapa tau kan kamuflasemu sama seperti bunglon."ejeknya, Abri menatap lurus kedepan enggan menatap Moza.

"Heh, mulutnya mas!" Teriak Moza tak terima dan mencoba berdiri dari selonjorannya "Awsh! PAPI...!!" Ringisnya, lalu selanjutnya berteriak begitu nyaring memanggil super Hero andalannya .

Bahkan kali ini Moza sudah menangis sejadi jadinya karena merasakan kakinya yang sakit luar biasa.

Abri meringis tak tega mendengar rintihan dan tangisan gadis itu ia, menghela nafas kasar lalu kembali berjongkok di hadapan gadis itu.

Abri menarik kaki Moza yang terbalut sepatu dengan perlahan dan itu membuat sang empunya kaget.

"Eh?!"

"Dimana yang sakit?"

"Eh, itu di- awh! Awh! Sakit mas itu aduh, PAPI...!!" Rintihnya ketika Abri memengang tepat di pergelangan kaki kirinya yang sakit, ia kembali menangis.

"Sudah, cup cup diam. Kaki kamu ini terkilir. Saya pijat pelan pelan ya?" ujar Abri menenangkan Moza seperti anak TK bahkan suaranya juga di buat selembut mungkin.

Moza malah diam mematung disana, mematung karena perlakuan, tutur kata dan jarak mereka yang terlalu dekat dan masyaallah-nya lagi di zoom sedekat ini pun tak memperlihatkan cela buruk di wajah Abri. Garis rahangnya terbentuk tegas, hidungnya mancung, bibirnya tipis, serta lesung pipi yang terlihat saat pria itu diam sekalipun menambah daya tarik tersendiri pada pria itu. Belum lagi otot otot yang begitu menonjol di setiap lengannya dan Moza dapat meyakini di balik kaos tanpa lengan yang pria itu kenakan tersembunyi surga dunia yang paling di kagumi para wanita, kulit agak sedikit kecoklatannya juga menambah kesan maskulin yang seksi. Moza akui di lihat dari segi mana pun pria satu ini memiliki pesona yang tak main main.

Terpopuler

Comments

💗 AR Althafunisa 💗

💗 AR Althafunisa 💗

Lagi asyik-asyiknya baca habis, eh... masih ada lanjutannya 😅😍

2024-09-10

1

Surtinah Tina

Surtinah Tina

wes wes wes...sempurna sekali ABRI...

2024-09-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!