Lagu Indonesia raya mengalun begitu lantang di dalam sebuah aula. Sekitar tiga puluh anggota perwira tentara Republik Indonesia mengenakan seragam loreng serta baret di atas kepala dengan berbagai jenis warna dari korps masing masing tempat mereka bertugas tampak berbaris rapih di dalam aula yang merupakan markas besar TNI dan di hadapan mereka berdiri seorang pemimpin yang merupakan panglima jenderal Hamzah Abraham, bapak panglima jenderal negeri ini.
"Lapor, Abrizam putra Bimantara, Kapten infanteri beserta dua puluh sembilan perwira pertama lainnya telah di naikkan pangkat lebih tinggi dari pangkat yang lama. Laporan selesai." Ucap komandan upacara berbaret merah menandakan dia dari korps kopassus begitu lantang dengan suara baritonnya, tubuhnya berdiri tegap, tinggi menjulang begitu gagah di tengah tengah aula, wajahnya yang juga termasuk dalam katagori tampan membius beberapa kowad, wara, dan kowal serta anak petinggi yang hadir di sana. Ya, itu anak sulung Saga dan Nada, Abri. Wajah manisnya benar-benar terbungkus apik dengan ketegasan yang melingkupi wajahnya. Sangat sempurna.
Dan ah, ternyata ini adalah acara kenaikan pangkat.
Tampak seluruh anggota yang naik pangkat hari ini merupakan anggota perwira dari mulai angkatan darat, laut dan udara berbaur menjadi satu di dalam aula.
Dan Abri, pria berusia tiga puluh tahun itu kini telah resmi naik pangkat dari Letnan satu infanteri menjadi kapten infanteri. Kedua orangtuanya yang menghadiri acara di sudut ruangan sana sudah menatap bangga dan haru putra sulung mereka.
"Laporan resmi saya terima, kembali ke tempat." Ucap jenderal Hamzah menatap wajah Abri begitu lekat yang rasanya sangat familiar dimatanya. Seperti pernah melihat wajah itu, tapi dimana? Dan Bimantara? Seperti nama belakang rekannya. Pikiran Hamzah berkecamuk merasa penasaran dengan komandan upacara satu ini.
"Kembali ke tempat." Beo Abri dengan suara baritonnya lalu memutar tubuhnya melangkah dengan gagah untuk kembali ke tempat awal ia berdiri.
Selain mendapatkan pangkat baru Abri juga mendapat tugas dan tanggung jawab baru yaitu sebagai komandan kompi atau yang sering di sebut Danki di mabes kopassus 81 Gultor di Cijantung, Jakarta Selatan.
"Pesan saya cuma satu untuk seluruh perwira pertama yang hari ini mendapatkan pangkat dan tugas baru untuk kita tak cepat berpuas diri namun justru meningkatkan kualitas dan kapasitas terbaik untuk pengabdian pada bangsa dan negara. Saya juga berharap kenaikan pangkat ini harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Jangan sampai nanti makin tinggi pangkat makin bingung apa yang akan dilakukan." Ujar jenderal Hamzah di tengah pidatonya.
Benar bukan? Tak satu dua orang yang seperti ini, pangkat tinggi tapi nol besar dalam pergerakan. Kenaikan pangkat bukan hanya sekedar naik dan mendapatkan gelar baru di depan nama saja tapi juga tugas baru yang harus di emban juga jauh lebih besar dari sebelumnya. Misalnya saja seperti Abri yang dulunya seorang danton yang memimpin sebuah pleton dan terdiri dari lima puluh anggota kini sudah naik menjadi Danki dan memimpin satu kompi yang terdiri dari seratus anggota. Bayangkan Abri harus melindungi, mendidik dan mengayomi orang sebanyak itu di bawah kepemimpinannya.
"Jadi saya akan menunggu ide atau kinerja para perwira yang aplikatif, yang riil. Jangan sampai sudah pangkatnya tinggi, tapi tidak ngerti apa yang mau diperbuat," pesan jenderal Hamzah pada akhir pidatonya.
Akhirnya barisan pun bubar setalah rangkaian demi rangkain acara selesai di laksanakan.
Abri menghampiri kedua orangtuanya yang juga menghadiri upacara hari ini. Tak lupa kedua orangtuanya membawa sebuket bunga untuk sang putra.
"Selamat atas pangkat dan tugas barunya bang semoga jadi komandan yang baik, yang bisa memimpin anggota dengan bijaksana dan tentunya tegas juga." Ucap Saga penuh bangga dengan si sulung. Ia memeluk Abri menepuk nepuk kecil punggung putranya yang kini jauh lebih lebar dari dirinya.
Sedari kecil hanya Abri yang terlihat jelas akan mengikuti jejaknya, kemanapun Saga bertugas pasti Abri kecil ingin ikut dan tentunya ia sering di bawa ke tempat Saga berdinas sesekali jika itu memungkinkan. Waktu kecil juga Abri sering mengenakan seragamnya dan berkata ingin jadi seperti papanya. Saat kecil di tanya guru atau siapapun itu yang mempertanyakan cita citanya jadi apa, pasti Abri menjawab "Abang mau jadi seperti papa Saga jadi tentara supaya bisa lindungi papa, mama dan adik adik abang juga seluruh rakyat Indonesia. Kata papa seorang prajurit itu adalah garda terdepan sebuah negara dan Abang mau jadi seperti papa."
Rasa patriotisme nya sudah tertanam sejak dini.
"Bang Saga?" Panggil seseorang yang membuat Saga, Nada dan juga Abri langsung menoleh.
Saga dan Abri langsung menegakkan tubuh mereka lalu memberi hormat "siap, benar panglima jenderal." Sahut Saga. Itu panglima jenderal Hamzah.
"Wah, apa kabar bang?" Tanya Hamzah, setalah berjabat tangan lalu saling berpelukan. Seakan meluapkan rasa rindu yang menggebu kepada rekan lama.
"Siap, sehat jenderal." Jawab Saga.
"Ah, kayak sama siapa aja sih bang. Gak usah siap siop lah. Kita ini teman lama loh."
Saga hanya tersenyum sungkan "siap, panglima."
"Katanya Abang jadi pangdam di Kodam jaya, tapi kita kok jarang ketemu ya, saya padahal bolak balik kesana loh. Inget saya paling cuma empat atau lima kali kita jumpa di sana." Cerita Hamzah, mengingat dia sering keluar masuk tempat kerja Saga tapi jarang sekali bertemu dengan pria itu disana. Lebih tepatnya masih terhitung dengan jari lah pertemuan mereka.
"Siap, sedang dinas di luar kadang jenderal. Bentar lagi juga saya masuk masa pensiun jadi lumayan sibuk, banyak kerjaan harus saya selesaikan."
"Ha? Yang benar? Astaga sudah tua ternyata bang mayjen ini." kekeh Hamzah.
"Anak juga sudah 3 jenderal, baru punya mantu satu. Ya sudah tua."
Ya, Hamzah tau itu, anak bungsu keluarga Bimantara sudah menikah sekitar tiga Minggu yang lalu. "Tapi abang belum punya cucu. Kalah jauh dariku." ledek Hamzah dengan penuh bangga, punya cucu untuk pria paruh baya seperti mereka itu adalah pencapaian loh.
Wajah Saga berubah asem, sifat ngeselin Hamzah ini tak berubah sejak muda sampai sekarang. "masih pengantin baru anak saya. Nanti juga saya punya cucu. Tunggu aja." jawab Saga setengah kesal.
"Santai dong bang mayjen." ujar Hamzah dengan jenaka melihat raut wajah Saga yang sudah berubah. "Tunggu tunggu, ini siapamu bang mayjen?" Tanya Hamzah kaget ketika baru menyadari keberadaan Abri yang berdiri di samping Saga.
"Siap, anak sulung saya komandan."
"Ha? Serius?" Wajah jenderal Hamzah jelas nampak kaget bukan main. Ia menatap bergantian wajah Abri dan juga Saga secara bergantian.
"Pantes namanya gak asing di telinga saya, wajahnya juga garang garang seperti muka siapa gitu? Eh, ternyata buntut bang Saga rupanya." ucap Hamzah seraya terkekeh saat mengatakannya. "Tapi saya perhatikan kok gantengan dia ya bang. Abang sih udah keriput." Lanjut Hamzah dengan nada bercanda setelahnya membandingkan wajah Abri, juga wajah Saga yang menurutnya begitu mirip bahkan bagai pinang dibelah dua.
"Siap, namanya juga saya sudah tua panglima. Lagian kalau anak ganteng begitu bibit saya gak gagal kan?" Jawab Saga dengan nada bercanda juga, jenderal Hamzah menjadi tergelak karenanya.
Abri yang mendengar candaan para pria Paruh baya itu hanya bisa mesam mesem saja. Bingung juga mau nimbrung apa kan?
"Bapaknya korps raider anaknya korps kopassus. Salut saya bang mayjen sama didikannya. Anaknya jadi abdi negara semua mana berprestasi lagi. Kalau itu nurun mamanya pasti pinter semua." Hamzah menepuk nepuk pundak Abri bangga membuat kedua sudut bibir Abri tertarik membentuk senyum manis menampilkan dua lesung pipi yang tadi nampak malu malu dan kini terlihat sangat jelas.
"Anaknya bener ini Bu mayjen?" Tanya Clara memastikannya pada Nada sang ibu.
"Siap, bener ibu jenderal." Jawab ibu tiga orang anak itu.
"Waduh, mukanya ganteng sekali kamu nak, gagah dan ya ampun tingginya." Clara sampai geleng geleng kepala langkah loh orang bertubuh tinggi tegap seperti Abri ini di Indonesia. "Tinggimu berapa kapten?" Clara saja yang termasuk wanita jangkung cuma sebatas pundak Abri.
"Siap, 190 cm ibu jenderal." jawab Abri dengan suara sedikit lembut karena berbicara dengan seorang wanita.
"Masya Allah tinggi banget kamu itu." Heboh Clara mengetahui tinggi Abri yang hampir mendekati dua meter. Abri hanya tersenyum saja lagi lagi memamerkan dua dimple di pipinya sangat manis sekali membuat wajah garangnya jauh lebih bersahabat.
"Kalau di dampingi orangtua begini ini pasti belum punya istri ini. Betul kapten... Abri-zam?" Hamzah membaca name tag Abri yang berada di dada.
Abri nyengir dan menunduk malu "siap, benar bapak panglima." dan satu yang Hamzah sadari, Abri ini ramah, murah senyum. Beda jauh sekali dengan Saga yang terkesan cuek bebek. Hamzah yakin kalau saja dirinya bukan seorang panglima Jenderal pasti ia sudah di cueki habis habisan. Hamzah yakin seratus persen.
"Kamu belum punya istri?" tanya Hamzah lagi pada Abri.
"Siap, belum bapak panglima."
"Pacar?"
"Siap, tidak punya."
"Kasihan sekali, ganteng ganteng gak laku kamu. Lihat itu tentara lain naik pangkat yang sama denganmu saja bahkan sudah punya anak, nah yang letnan satu juga sudah ada beberapa yang bawa istri. Eh, kamu malah gandeng orang tua. Gak iri kamu?"
Abri melirik beberapa rekannya yang lain. Hatinya meringis, rasa iri itu pasti ada, tapi hatinya belum mau bangkit ia masih terjebak dalam kubangan yang di namakan masa lalu. "Siap, tidak pak jenderal." Jawabnya pada akhirnya.
"Kapten lettingannya Adipati Dwikara Jenggala?" Tanya Clara merasa wajah Abri begitu familiar di matanya karena beberapa kali seliweran di medsos sang menantu, kalau dia tidak salah lihat sih.
"Siap, benar ibu," Tentu saja Abri membenarkan. Memang ia berteman bahkan mereka bersahabat sejak pendidikan sampai saat ini. Tapi di karenakan mereka Abdi negara yang siap di tugaskan di manapun berada jadilah keduanya berpisah. Abri yang bertugas di satuan kopassus yang berada di Cijantung, Jakarta Timur dan Dwika di Kartasura, Jawa tengah. Sesekali mereka bertemu ketika ada latihan gabungan, misi, perayaaan besar korps kopassus atau TNI. Jika tidak ya tidak bertemu.
"Kok tau mi? Kenal?" Tanya Hamzah sedikit berisik pada sang istri.
"Gak sih, cuma pernah mami beberapa kali lihat postingan Dwika sama kapten Abri."
Jenderal Hamzah menganggukkan kepalanya paham.
"Bisa dong ini Bu jadi besanan kitanya, saya juga punya anak gadis loh di rumah." Mata Abri melorot mendengar ucapan istri dari panglima jenderal Hamzah barusan kepada sang mama.
"Hahaha, siap ibu, kalau mau angkut Bu angkut." Sahut Nada setengah bercanda. Ia tak menganggap serius ucapan Clara, sadar diri. Anak panglima loh ini ya kali jadi mantunya, kalau pun iya, mimpi apa Nada semalam.
"Tuh, Pi udah di suruh angkut sama mamanya yuk Pi. Buat Moza. Boleh loh ini." Clara menyenggol lembut lengan sang suami dengan wajah jenaka.
Sementara Hamzah menatap Abri dari atas sampai bawah dengan intens, menatap kapten baru di Lantik itu dengan tatapan yang tak mampu di jabarkan oleh siapapun. Ternyata pikiran istrinya tak jauh jauh dari dirinya yang jujur sedari awal sudah memiliki rencana itu setelah mengetahui Abri ini anak Saga.
Tau sendirilah Saga itu seperti apa, Hamzah yakin salah satu buntut Saga ini pasti sangat cocok jika jadi calon mantunya. Belum lagi pemuda ini termasuk dalam salah satu tentara elit terbaik yang kemampuannya di atas rata rata pasukan pada umumnya, terbukti dari mana ia berdinas di SAT-81 kopassus Gultor. Belum lagi Hamzah dengar Abri pernah mengenyam pendidikan militer di luar negeri.
"Bang Mayjen, habis ini sepertinya kita perlu bicara sebentar ya. Sudah lama kita gak minum kopi bareng bareng loh ini." Usulnya dengan niat tersembunyi lebih dari sekedar minum kopi.
Memang kedua pria paruh baya itu tidaklah begitu dekat, bahkan awal mulanya mereka ini musuhan loh. Masih ingat tidak tim gagak yang pernah Saga kalahkan dalam latihan sewaktu dulu?
Ingat kan?
Nah, Hamzah ini kapten dari tim itu, masih ingat tidak bahwa pria ini habis di ledeki oleh Dirga dan juga Saga karena kalah stategi saat latihan. Nah, itu yang membuat mereka jadi musuh bebuyutan beberapa tahun. Yang lebih jelasnya sih, ya Hamzah ini yang memusuhinya, pantang melihat wajah Saga pasti langsung ia lempar tatapan permusuhan dan mengibarkan bendera perang. Kalau Saga sih, bodo amat, dia fine fine saja. Sampai beberapa kali mereka di pertemukan di berbagai macam misi jadilah mereka mulai terbiasa, wajah Hamzah kian bersahabat saat mereka di satukan pada misi yang sama dan rasa gedek Hamzah pun mulai terkikis habis, sampai mereka jadi benar-benar akrab dan dekat hingga sekarang. Saga masih tak menyangka pria itu kini mampu duduk menjabat sebagai jenderal panglima TNI. Boleh pamer tidak sih Saga kalau dia pernah loh mengalahkan panglima TNI satu ini dalam latihan.
Sombong ya ga.
"Sekali lagi selamat kapten Abri. Semoga dapat amanah dan bertanggung jawab atas pangkat barunya." ucap jenderal Hamzah, ia malah melupakan tujuan awalnya ini. Abri memberi hormat lebih dulu, lalu menyambut uluran tangan jenderal Hamzah untuk di jabatnya.
"Siap. Saya akan berusaha menjadi pimpinan yang baik untuk anggota saya." jawabnya dengan suara bariton khasnya.
Hamzah mengangguk, ia beralih pada Saga"Yuk bang mayjen. Bareng Bu mayjen ya Bu, kita ngobrol ringan. Kapten Abri?" Ajak Jenderal Hamzah sebelum pergi dengan niat terselubung di balik duduk manis minum kopi.
"Izin panglima, saya tidak bisa ikut, rekan rekan saya datang." Lirik Abri pada beberapa rekannya yang berdiri tidak jauh darinya.
Jenderal Hamzah melirik kemana mata Abri tertuju, "oh, ya ya ya. Silahkan silahkan." jawabnya mempersilahkan "berarti kita kita saja ini bang mayjen?"
"Siap bapak panglima," Jawab Saga sudah berdiri bersisian bersama dengan jenderal Hamzah, sementara istri mereka juga sudah nampak lengket dan berbicara sendiri di belakang suaminya masing masing. Sudah akrab sekali calon besan ini.
"Kalau gitu kita duluan ya kapten Abri, selamat sekali lagi. Yuk bang Mayjen." Setelahnya para orangtua berjalan keluar dari aula tersebut di buntuti oleh beberapa ajudan masing masing.
"Siap panglima!"
"Halah gak usah panglima panglima lah bang Saga, kita teman kan?"
"Gak enak dong mas Hamzah."
"Mas? Astagfirullah. Panggil Hamzah aja bang saya lebih seneng dengernya. Kan Abang juga jauh lebih tua dari saya."
"Bisa di sleding saya sama ajudanmu."
Hamzah melirik Marwan "berani wan sama bang Saga?"
Marwan yang di tanya seketika menegakkan tubuhnya "siap kalau beliau mengancam keselamatan bapak kenapa tidak berani?"
Saga pun terkekeh kecil "boleh ku bilang itu pernyataan bodoh gak sih?" bisiknya takut di dengar ajudan Hamzah. Bisa bisa di dor dia kalau sampai ajudan Hamzah tau dia ngatai Komandannya.
di katai begitu bukannya marah Hamzah malah semakin tergeletak, ia merangkul pundak Saga, seakan akan mereka memang sedekat itu. Akhirnya mereka pun berlalu dari dalam aula.
Selepas kepergian orangtuanya yang di bawa oleh jenderal panglima TNI, Abri di hampiri oleh para rekannya yang ternyata berbodong bondong datang ke sana.
"Widih, gak main main koneksi bapak mayjen, temennya sekelas bapak panglima cok!" Heboh Marvin begitu tiba di hadapan Abri.
Abri hanya memutar bola matanya malas.
"Eh, eh, ngomong ngomong pada tau gak kalau anak bontot bapak panglima cantiknya Masya Allah banget. Mbak Berlian cantik kan? Nah ini lebih parah cantik banget, banget, banget." Gilang memulai aksinya sebagai buaya rawa, yang pasti tau saja anak anak petinggi yang bening bening tak terkecuali anak dari panglima jenderal mereka.
"Kau pernah lihat?" Tanya Denis penasaran.
"Buaya kelas paus ni bos, senggol dong. Ya jelas tau lah gue!" Gilang menepuk dadanya bangga dengan predikat buaya yang melekat dalam dirinya. "Bening cok bening parah, siapa? Luna Maya? Lewat, prili Latuconsina? Gak ada apa apanya, Sifa hadju? Jauh. Cantik poll sumpah poll. Kalau gak anak bapak panglima mah dari pertama lihat udah gue embat sumpah."
Oh tuhan, buaya rawa satu ini benar benar buaya rawa kelas paus.
"Kalau sampai dia terjerat perangkap buaya kelas paus kayak kau, di jadikan tumbal proyek kau yang ada sama bapaknya." Ujar Denis menakut nakuti.
Abri yang sejak tadi hanya mendengarkan kini mulai angkat suara "kalian kesini mau ngucapin selamat ke saya atau mau ngegosipin anaknya bapak panglima?" Jujur saja Abri pun tak pernah tau anak bapak jenderal itu bagaimana bentukannya, yang ia tau ya cuma Berlian, karena pernah bertemu beberapa kali dengannya. Waktu Dwika menikah dengan Belian juga tak bisa datang karena menjalani pendidikan di Australia.
Kelima pria itu cengengesan, tidak terkecuali si anak baru Marvin yang baru bergabung dua bulan lalu di kesatuan mereka.
"Maaf maaf komandan. Kita kan sekedar berbagi informasi, siapa tau bapak panglima lirik kita buat jadi calon mantu." Jawab Gilang dengan wajah jenaka sok yes nya.
"Yang betul aja, walaupun cantik kayak bidadari pun kalau bapak mertuanya jenderal Hamzah, maaf maaf aja lah. Aku gak ikutan, ngeri coy denger cerita bang Dwika waktu mau jadikan kak Berlian istri. Hutan, rawa, laut, gunung, jurang jadi saksi dia di babat habis bapak panglima coy buat seleksi calon mantu." Ibam bergidik ngeri di akhir mengingat cerita Dwika di waktu dulu mereka masih satu kesatuan saat bertugas di Banten.
Abri pun ikut membenarkan apa yang Ibam katakan karena ia yang tau persis seperti apa perjuangan Dwika untuk mendapatkan Berlian.
"Sudah sudah, bahas itunya nanti lagi. Ini kita ucapkan selamat dulu gak si ke komandan Abri?" Ujar Marvin. Jujur saja dia tidak paham dengan pembahasan para rekannya ini. Tapi ia turut penasaran, anak bapak jenderal ini cantiknya bagaimana sih, sampai mereka pada memujinya seperti itu.
"Hua pangkat baru dong!" Sorak Gilang tiba tiba heboh sendiri. Membuat mereka jadi pusat perhatian yang lain.
"Mulut Lang mulut. Macam kau buat di hutan pulak ini gedung aula, PAOK!" Gemas Ibam dengan logat khas Medannya. Gilang memutar bola matanya malas mendengar teguran yang di layangkan Ibam.
"Naik pangkat udah ndan, tinggal naik pelaminan aja ini ndan yang belum."
Oho, Mulut sowak siapa itu yang berkata seperti itu minta di tahlilin apa gimana?
Tidak taukah kapten barunya ini belum bisa move on akibat di tinggal nikah lima tahun lalu? Masih trauma dia. Malah di tanya kapan naik pelaminan. Huh, kapan kapan deh.
Semua mata langsung menatap horor Marvin si anak baru.
"Kita tunggu teraktiran nya bang." ucap Ibam menyenggol lengan Marvin, dia belum tau semengenaskan apa kapten barunya ini dalam dunia percintaan. Marvin mengangkat dagunya tanda bertanya, namun Ibam malah menggeleng. Nanti sampai di barak pasti akan Ibam beritahu apa yang tidak boleh di sebutkan dalam barak bujang mereka.
"Nah, nah ini nih yang di tunggu-tunggu pajak naik pangkatnya." sambar Denis dengan senyum bahagia, ia tidak ingin Abri mengingat-ingat kisah masa lalunya yang jujur sangat menyakitkan. Denis saja yang bukan korbannya ikut nyesek kalau ingat itu.
"Kalian atur aja dimana, nanti saya yang traktir. Tapi jangan malam ini, soalnya saya mau makan malam sama keluarga." ucap Abri santai seolah tak mendengar perkataan Marvin tadi.
"Woke kapten, siap laksanakan!" seru mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
DozkyCrazy
ah pak jendral syuuka bener deh kalo ngomong
2024-11-13
1
DozkyCrazy
aduh bang meleleh deh
2024-11-13
1
💗 AR Althafunisa 💗
Kalau dari cerita cantiknya terbina bina, yang perempuan juga kagak ngedip kali lihatnya. Koq ada ya secantik itu 🤣😅
2024-08-28
1