Gea langsung tersungkur.
"Ibu ...." Tangis Gea mulai pecah. "Ibu tubuhku sakit!"
"Gea ...." ucap Sera, raut wajahnya sangat khawatir. Sera hendak merangkulnya tetapi tubuhnya penuh dengan luka. "Gea ... pak tolong! Selamatkan anak saya! Bawa ke rumah sakit!"
"Bawa langsung ke ambulans ... lukanya cukup serius." Pemadam kebakaran itu langsung menopang Gea, membawa ke ambulans yang sudah disediakan.
****
"Rumah sakit Widjaya sudah penuh," ucap seorang dokter pria di samping Gea sedang mengobrol dengan pak supir ambulans. "Bawa ke rumah sakit Adhitama."
"Itu pun sudah penuh ... beberapa orang di sana terkena malaria," ucap pembawa supir ambulans.
"Rumah sakit Dewangga."
"Baik ... hanya mungkin jaraknya sedikit lebih jauh."
"Tak apa. Lakukan saja."
"Saya sudah memberikan beberapa obat anti nyeri, saya yakin kau dapat bertahan. Kau hebat!"
Gea terus meringis kesakitan. "Ibu ... tolong aku, tubuhku sakit Ibu." Air matanya tak mampu lagi keluar. Dadanya sudah mulai sesak. "Dokter, aku lelah ... tolong dokter, Ibu tolong aku ... aku kesakitan."
"Aku akan menolongmu, kau akan baik-baik saja ... kau hanya perlu menahannya sedikit lagi."
Gea menggelengkan kepalanya. "Aku tak mampu dokter, aku tak kuat menahannya. Luka ini begitu perih dan menyakitkan. Bagaimana kalau aku mati hari ini, dokter? Bagaimana dengan Ibuku? Siapa yang akan membantu Ibu?"
Ucapannya langsung disergah dokter. "Kau tidak boleh mengucapkan hal itu. Kau akan kembali sembuh. Itu adalah alasan agar kau bisa membantu Ibumu lagi."
Hingga Gea tak sadarkan diri. Obat bius itu membuatnya tak sadarkan diri.
****
"Siapkan ruangan," ucap dokter itu.
Gea hanya bisa mendengar samar-samar suara dari sekelilingnya. Tubuhnya didorong stretcher. Sesekali Gea merasa kesakitan saat perawat membersihkan lukanya dari kotoran.
"Aw! Sh!"
"Tahan, sebentar lagi."
Perasaannya sudah tak karuan. Sakit, mual, perih, semuanya terasa menyatu. Satu-satunya yang ada di dalam pikirannya bahwa 'aku takut mati'.
Lukanya sudah dibersihkan, termasuk mereka telah mengganti pakaiannya dengan pakaian pasien.
Kini Gea sudah berada di ruangan.
Tak lama, terdengar samar-samar suara Sera.
"Gea ...."
"Gea, di mana? Bagaimana keadaan Gea?" tanya Sera panik. Raut wajahnya terlihat sendu. "Bagaimana kabar Gea? Kumohon sembukanlah dokter."
Sera ditahan oleh perawat. "Gea akan baik-baik saja, Gea sudah ditangani oleh dokter. Ibu tenang, semulanya akan baik-baik saja."
Di ruangan itu hanya ada Gea. Dokter belum mengizinkan orang-orang menjenguknya. Jadi, mereka melihatnya dari kaca pintu. Karena, ditakutkan trauma Gea kembali lagi. Dokter dan perawat menjauhkannya dari hal-hal yang memicu Gea kembali mengingat kejadian itu.
Gea mulai tersadar. Ia menatap sekeliling. Remang-remang pandangannya mulai kembali jelas. Gea melihat infusan yang terpasang di tangannya. "Awsh!"
"Ibu ... aku di mana?" Lagi-lagi rasa nyeri itu kembali lagi. Memori itu menyerang pemikirannya lagi. Sontak membuat Gea menangis tersedu-sedu. "Ibu ... Ibu aku selamat! Ibu ... aku takut."
Yang terekam jelas di pikirannya, adalah mereka yang berserakan saat terjadi ledakan itu. "Ibu ... aku takut." Gea menangis seraya terbaring tak berdaya.
Tak lama dokter dan perawat datang melihat keadaannya.
"Hai, Nak! Bagaimana keadaanmu?" tanya dokter itu. Ia melihat Gea menangis seraya merintih kesakitan. "Tidak usah takut, kau sudah aman."
"Ibu di mana?" tanya Gea. Ia tetap mencari Sera.
"Ibumu sudah menunggu sejak tadi. Maka, kuatlah untuk Ibumu," pesan dokter itu. Ia memasukkan stetoskop di dalam baju Gea, mendengarkan detak jantungnya. "Sudah normal, kau akan segera sembuh. Minum obatnya agar kau bisa cepat kembali pulih. Hari ini, dokter berikan hadiah ... kau bisa ditemani Ibumu, malam ini."
****
"Ibu ...." Energi tubuhnya mulai habis. Ia tak lagi bisa menangis.
Melihat Sera yang baru memasuki ruang inapnya, seketika suasana menjadi haru.
"Sayang ...." Mata Sera mulai berlinang. "Jangan takut. Ibu akan selalu bersamamu."
"Tubuhku sakit Ibu ... aku takut mati. Tolong aku, tubuhku perih dan gatal ...."
"Kau tidak boleh seperti itu ... Ibu akan selalu ada di sini bersamamu. Sembuhlah dengan cepat." Sera mencium keningnya.
****
Pagi itu ....
"Tok ... Tok." Radit datang membawa parsel buah-buahan.
"Sepertinya ... ruangannya tidak boleh dimasuki dua orang ya?" Radit menyodorkan buah-buahan itu. "Aku disuruh Ibu untuk membawa ini. Kata Ibuku 'sampaikan permintaan maaf pada Gea dan Bu Sera karena Ia tak bisa datang'."
"Radit ... masuklah," ucap Sera. "Kalau kau mahu di sini, tinggal lah. Temani dulu Gea sebentar. Ibu ingin sekali ke kamar kecil."
"Baik ...." Raut wajah Radit pun terlihat haru. Sepertinya Ia sudah menangis.
Sera keluar dari ruangan. Kini hanya Gea dan Radit yang berada di ruangan.
Air mata Radit mulai berlinang.
"Kau kenapa?" tanya Gea sedikit diikuti ejekan. "Kau menangis? Kenapa kau menangis?" Gea tak kuasa menahan tawanya. "Hahahah ... tumben sekali."
"Tidak. Aku hanya merasa iba terhadapmu." Radit duduk di sofa. "Kau telah melewatkan segalanya. Kau tahu? Beberapa mayat tergeletak di jalan begitu saja. Untungnya kau selamat."
"Apa belum ada tempat untuk menyimpan korban-korban itu?"
"Mereka terlalu banyak. Beberapa rumah sakit pun kewalahan. Kini mereka berjejeran di sisi jalan. Tetapi, polisi dan petugas-petugas lainnya sedang mengatur semuanya. Aku jadi takut untuk pulang ...."
Seketika Gea terdiam. "Hal itu akan menjadi hal yang paling menakutkan. Di sisi lain, pasti akan menjadi angker, bukan?"
Radit mengelak. "Tidak juga."
"Kau bisa membuktikannya? Dari banyaknya korban-korban itu kau masih berpikir tidak akan ada hal-hal ghaib yang menghantui kita kelak?"
"Ah sudahlah ...." Terlintas dipikiran Radit tentang Gea saat itu. "Kau selalu memikirkan hal yang belum terjadi. Tidak boleh seperti itu. Jalani saja, mereka ada, tetapi bukan suatu masalah yang besar. Asalkan kau tidak mengganggu dan memikirkannya."
Perlahan Gea mengangguk. "Di mana Via? Sudah lama aku tidak melihatnya."
"Tidak tahu. Sepertinya Ia tidak mengetahui keadaanmu sekarang. Saat kejadian itu, aku tidak bertemu dengan Via."
"Pasti dia terkejut saat kembali ke rumah."
****
"Memangnya apa yang telah terjadi?" tanya Via. Ia terkejut melihat keadaan yang terjadi. "Di mana kedua sahabatku?" Via tercengang melihat beberapa mayat yang sedang dimasukkan ke dalam mobil ambulans. "Ya ampun! Ini sangat mengerikan."
Garis polisi mulai terpasang. Beberapa dari petugas sedang mengevakuasi para korban.
"Apa ada korban yang selamat?" Via mendengar percakapan petugas penyelamat.
"Tidak ada. Mereka semuanya sudah tidak berwujud," jawabnya.
"Ibu! Apa yang telah terjadi," tanya Via lagi. "Bagaimana kabar Gea dan Radit?"
"Biar Ibu telepon Sera," ucap Ibu Via, Rina.
"Di mohon untuk tidak mendekat!" tegas Pak Polisi.
"Bagaimana Bu? Apa Ibunya Gea mengangkat teleponnya?" tanya Via, khawatir.
"Tidak ...."
****
"Radit ... apa kau mahu di sini terlebih dahulu?" tanya Sera seraya memasuki ruanganku.
"Iya ... memangnya Ibu akan pergi ke mana?" tanya Radit.
"Kalau begitu, Ibu akan pulang sebentar, untuk membawa beberapa perlengkapan Gea yang tertinggal," ucap Sera.
"Ya sudah ... aku akan menemani Gea. Ibu pulanglah ... lagi pula, aku takut untuk kembali pulang, apalagi sendirian," sahut Radit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments