"Kau akan tidur di kamarku atau kamar tamu?" tanya Bayu.
Feri keheranan. "Terserah kau saja."
"Kau tidur di kamarku saja, biar aku tidur di kamar bawah."
"Tidak. Aku akan ikut denganmu saja," ucap Feri.
"Kau gay? Pulanglah."
"Sialan!" sentak Feri. "Maksudku ... bukankah semua orang akan menginap di kamar temannya? Mereka tidur beralaskan tikar atau hanya diselimuti oleh jaket yang dibawanya. Mereka akan tidur pada pukul tiga pagi bahkan tidak tidur."
"Tega sekali temanmu. Kalau aku jadi kau, kujauhi mereka."
"Bukan tega." Feri mengerutkan keningnya. "Semua orang memang melakukan itu, bukan?" Feri merubah posisi berdirinya seraya menebak. "Sebetulnya kau ini memang aneh atau .... begini saja, kau pernah mendengar suara token rumah berbunyi?"
"Mungkin pernah dengar tetapi aku tak pernah mendengarnya di rumah ini atau sekelilingku."
"Apa kau pernah mengganjal pintu kamar mandi memakai batu?" tanya Feri. "Melihatnya kau pernah, bukan?"
"Ayolah ... bukankah dari dulu sudah ada teknologi yang bernama 'kunci'?"
"Bahkan kau tidak pernah melihat itu. Mengapa kau memilih rumah di pertengahan desa dan kota seperti ini? Bukankah di perkotaan sana lebih banyak perumahan besar yang lebih modern?" tanya Feri.
"Ya memangnya kenapa?"
"Aneh saja ...."
"Tidak semuanya bisa dipikirkan dengan simpel, dahulu Ibu dan ayahku memang membeli rumah ini agar tidak terlalu jauh untuk pulang ke rumah nenek. Beberapa kali merombak karena kebutuhan juga. Sekarang aku punya pekerjaan di wilayah ini, mungkin kedepannya aku tidak lagi di sini." Bayu menonjok perut Feri. "Kau pasti lapar ya? Simpan tasmu di kamar, sepertinya Mbok telah menyiapkan beberapa makanan."
"Kau memangnya tidak ingin sekamar denganku?"
Bayu langsung menatap tajam. "Ck! Masih saja ... sialan." Ia mengerutkan keningnya. "Aku sedikit takut padamu, memangnya apa alasanmu ingin tidur bersamaku?"
"Dih ... aku hanya merasa tidak enak. Lagi pula, aku tidak ingin tidur bersamamu, kalau pun sekamar, mungkin kau akan tidur di kasur dan aku di karpet. Siapa sangka, pemikiranmu terlalu jauh. Aku jadi takut dan merinding."
"Ah sudahlah ... simpan barang-barangmu di kamar tamu."
"Kamarnya di mana?" tanya Feri seraya melihat sekeliling ruangan yang luas. "Rumahmu sangat luas."
"Nih." Bayu menunjuk satu ruangan disebelahnya.
"Loh .... sudah sampai ternyata. Yasudah terimakasih banyak."
****
Terlihat dari kejauhan, Sera berdiam diri di halaman rumah. Raut wajahnya tampak khawatir.
Gea, Via dan Radit berlomba-lomba untuk cepat sampai ke dalam rumah. Napas mereka mulai terengah-engah.
"Ck ahh!" Radit menoleh ke belakang, seraya mengatur napasnya.
Matanya terbelalak, tersentak kaget. Sera langsung menghampiri mereka yang langsung terkapar di halaman rumah.
"Dari mana kalian? Ibu sudah mengatakan untuk tak keluar ketika menjelang malam!" sentak Sera, khawatir.
Mereka semua tak ada yang menjawab pertanyaan Sera. Tatapannya saling menatap heran.
"Masuklah. Dasar anak-anak nakal!"
Sera menatap ke arah Gea. "Lukamu harus selalu bersih dan higenis. Tak boleh terkena air atau pun debu. Bagaimana kalau infeksi?"
Radit memberikan pompa air. Tangannya bergetar. "Ini ... kebanyakan tumpah saat kami berlari."
Sera mengerutkan keningnya. "Siapa yang menyuruhnya? Kenapa tidak ambil di dalam rumah saja? Air di rumah masih banyak."
"Bukankah tadi Ibu memaksa kami untuk pergi mengambil air ke posyandu," timpal Gea.
Seketika semuanya hening.
Amarahnya tampak redup. "Sudahlah ... lupakan. Mari masuk, makan malamnya keburu dingin. Ibu sudah memasaknya sedari tadi," ucap Sera.
Radit menoleh ke belakang. Wajah Gea pun tampak kebingungan. Begitu pun dengan Via yang terus menatap dengan rasa takutnya.
****
"Orang dengan hartanya yang banyak, mereka sebetulnya bekerja apa, sih? Padahal, mencari uang sepeser saja susahnya minta ampun." Feri terus menatap ruangannya. "Kamar untuk tamu saja seluas dengan rumahku di kampung. Kalau Ibu merasakan kasur empuk ini, mungkin Ia akan senang." Raut wajahnya tersenyum.
Krauk ... krauk
Feri langsung menahan perutnya. "Lapar sekali ...."
Tak lama terdengar suara telepon berbunyi. Feri langsung mengambil handphonenya yang berada di saku celana.
Tut ....
Feri mengangkatnya. "Malam Ibu, bagaimana kabarnya?"
"Ibu masuk rumah sakit lagi!" sentak saudara kandung Feri, Fera.
Matanya terbelalak. "Bagaimana bisa? Bagaimana kabar Ibu sekarang?"
"Kondisi Ibu semakin kritis. Pulanglah ... kumohon, kalau tidak, kirim uang saja. Ibu harus segera membeli obat."
"Apa tidak bisa dibayar memakai asuransi kesehatan?"
"Tidak. Tolong Kak!"
"Berapa harga obatnya?"
"Dua juta lima ratus satu obat, untuk lima belas butir. Aku sudah mencari uang. Tinggal tersisa dua juta. Aku akan mencari uang lagi malam ini."
"Kau akan mendapatkannya dari mana?" Feri mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, aku akan segera mengirimkan uangnya. Tenanglah, tetap menemani Ibu."
"Tolong ... cepatlah Kak! Jaga dirimu baik-baik."
"Malam ini aku akan mencari uangnya."
Feri langsung bangun dengan tubuhnya yang masih terasa sakit. Ia menghela napasnya. "Kali ini aku harus bisa!"
Feri memakai jaketnya lagi. Ia langsung keluar dari kamarnya.
Ceklek
Berpapasan dengan Bayu hendak turun tangga.
"Kau mau ke mana?" Suaranya menggema.
"Ibuku kritis. Aku harus mencari uang sekarang."
"Kau akan mencarinya ke mana?"
"Belum pasti. Tetapi semuanya akan kulakukan. Sudahlah aku pamit dulu." Feri hendak melangkahkan kakinya lagi-lagi Bayu terus bertanya.
"Memangnya Ibumu membutuhkan biaya berapa?"
"Untuk obat saja. Tak banyak."
"Katakan saja berapa."
"Dua juta, itu untuk lima belas butir obat." Feri terus berjalan seraya menahan kakinya yang sakit. "Aku akan kembali secepatnya."
Bayu mengangguk. "Sudahlah ... ayo makan malam."
Feri menoleh.
"Santai bro ... uang itu ada di saku celanaku. Kau bisa mengisi energi dulu agar esok bisa bekerja." Ia tak menghentikan langkahnya menuju meja makan.
Seketika Feri menoleh ke belakang. "Ah tidak. Kau terlalu banyak membantuku, biarkan aku berusaha sendirian."
Langkahnya terhenti."Ayolah ... hidup itu tidak semudah itu. Semuanya butuh waktu. Kau tak kan langsung mendapatkannya malam ini. Berpikirlah logis. Sekarang, terimalah hal yang sudah ada di depanmu, bukankah itu sebuah kesempatan yang bagus?"
****
Sera menyiapkan beberapa lauk yang sudah di masaknya. "Ibu sudah memasak berapa lauk untuk malam ini. Radit, apa kau sudah memberitahu Ibumu untuk menginap lagi di rumah ini?" tanya Sera.
Radit tak menjawabnya. Ia terlihat melamun.
"Radit," panggilnya agi. "Hei ...."
Radit terkejut. Lamunannya membuyar.
"Kau kenapa? Terlihat banyak sekali beban di pikiranmu, kau punya hutang? ... Bagaimana? Kau sudah memberitahu Ibumu?"
"Hm? Memberitahu apa?" ucap Radit tampak gugup.
"Malam ini kau akan pulang atau menginap lagi?"
"Aku akan bersama Gea dan Via malam ini. A-aku sudah memberitahu Ibuku." Raut wajahnya tampak ketakutan.
Sera membawa piring-piring berisikan lauk pauk ke meja makan. Ia langsung duduk di bangku yang kosong, di hadapan Gea.
"Sebenernya, apa yang terjadi dengan kalian semua?" tanya Sera. Kini suasana kembali hening lagi.
Tidak ada keberanian dalam diri mereka untuk menjawabnya. Mereka semua hanya terdiam. Apalagi memori tadi masih terekam jelas dalam ingatannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments