Mencari Sampingan

"Tidak. Kali ini aku benar-benar berjanji." Feri tetap meyakinkan. "Kumohon, beri aku kesempatan untuk terakhir kalinya."

Pemilik kost menatap Feri dengan tajam. "Kupegang ucapanmu itu! Kalau kau masih ingkar, habis kau!" Ia merebut uang dalam genggaman Feri. "Kau pikir aku tak membutuhkan uang, hidup memang sulit, jangan menjadikan alasan untuk kau bisa berleha-leha. Tak sudi kalau aku harus mengasihani orang-orang yang selalu tak mahu berusaha dan berjuang, memangnya ke mana kedua orang tuamu? Hidup bergelantungan tak jelas," ketusnya seraya pergi.

Feri menghela napasnya dan membuangnya secara perlahan. Feri menyusut air matanya yang menetes di pipinya. Ia kembali masuk ke dalam kostnya dengan penuh kepasrahan.

"Aku harus mencari uang dari mana lagi?" Ia berdiam diri seraya bersandar pada tembok. "Ibu ... tolong aku. Aku harus bagaimana ini, tak ada sandaran di sini Ibu ...." Tangis Feri mulai pecah. "Aku ingin menceritakan semuanya tapi tidak bisa. Aku tidak sekuat Itu."

Suara sengguk tangis mulai terdengar. "Aku ingin menyerah saja Ibu ... aku ingin memeluk Ibu, aku memang pecundang yang bodoh, seharusnya aku belajar yang rajin saat aku sekolah. Aku tak kuat lagi kalau harus selalu seperti ini."

Suara nada dering handphone berbunyi.

Feri menatap pada handphone, melihat langsung siapa yang menghubunginya.

"Ibu,"ucapnya. Yang meneleponnya adalah Ibu Feri.

Feri dengan cepat menyusut air matanya, memperbaiki suaranya seraya menyusut ingusnya.

Tut

"Iya Bu ...."

"Bagaimana kabarmu, Nak? Apa hari ini baik-baik saja?" Suara itu berhasil membuat semangat dalam diri Feri mulai kembali.

Feri tersenyum. "Baik-baik saja Bu ... Feri baru saja pulang bekerja."

"Syukurlah ...."

"Bagaimana dengan Ibu? Ibu sudah meminum obat?" tanya Feri, khawatir.

"Ada beberapa obat Ibu yang habis ... tapi tak perlu khawatir."

"Pergilah berobat bersama Kakak. Nanti uangnya kukirim," ucap Feri. Pikirannya begitu kacau. "Tetap sehat ya Bu ... aku akan kembali dengan semua mimpi-mimpi Ibu.'

"Ibu akan selalu di sini. Kau tidak merindukan Ibumu?"

"Feri sangat merindukan Ibu." Lagi-lagi air matanya berlinang. "Aku benar-benar sangat merindukanmu, Ibu."

"Ya sudah ... pulanglah, sini tinggal bersama Ibu."

"Tidak Ibu, aku akan mencari uang yang banyak ... bukankah Ibu ingin memiliki mobil? Aku akan pulang membawa mobil itu."

"Melihatmu bahagia, itu sudah lebih dari cukup melebihi apa pun. Kalau kau di sana sulit, pulang lah."

"Tidak. Kata siapa? Bekerja di sini sangat mengasyikkan Bu. Gajinya besar dan pekerjaannya tak berat. Percayalah."

"Di sana kau bekerja apa?" tanya Ibu.

"Aku menjadi operator disalah satu perusahaan yang besar."

"Wah ... Syukurlah. Kau sudah makan?"

"Sudah Ibu ...."

"Makan apa?"

"Temanku mentraktirku steak di kafe." Feri seraya menahan tangisnya.

"Dari tadi Ibu selalu teringat denganmu. Syukurlah kalau kau baik-baik saja, Ibu ikut bangga. Pulanglah dengan selamat ya Nak, ya sudah ... istirahatkan tubuhmu itu, Ibu tutup teleponnya ya, Nak."

Tut.

Lagi-lagi tangis Feri pecah.

"Ibu ... ketahuilah hidupku sangat sulit. Maafkan aku Ibu, aku terpaksa harus berbohong. Tidak ada yang harus kau banggakan dariku Ibu, aku hanya anakmu yang gagal."

Feri menatap jam di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Feri menyusut air matanya. "Belum terlalu malam. Aku harus mencari pekerjaan."

Feri mengambil jaketnya. Ia langsung bergegas pergi.

****

"Kan ... sudah kubilang, Mbak Lasmi itu memang gila." Radit merebahkan dirinya di lantai kamar Gea.

Mereka menginap di rumah Gea malam ini.

"Tapi ... bukankah semua itu berkaitan dengan Pak Suryo?" tanya Gea. "Kalian ingat tidak waktu malam terakhir bertemu Pak Suryo? Dia mengatakan hal yang sama."

"Kau benar ... sepertinya ada hal yang Mbak Lasmi ketahui."

"Tapi aku sedikit bingung, Mbak Lasmi itu gila, tentunya akalnya telah hilang, lalu kalian akan mengikuti cara pikir Mbak Lasmi? Namun ... ya, semua ucapannya sedikit masuk akal juga," ceplos Radit seraya mengambil buah-buahan sisa dari rumah sakit.

"Kan ... kubilang apa. Kau akan memakan itu. Kutahu bahwa perutmu dan perut Gea itu seperti karet. Luas seperti black hole. Sok-sokan tidak mahu makanan," ucap Via, masih saja mengungkit.

"Kau salahkan saja tanganku ini, dia tiba-tiba mengambil." Radit langsung melahapnya.

"Idih."

"Sudah ... kita lanjutkan pembicaraannya. Lalu, di sini Mbak Lasmi tinggal bersama siapa?" tanya Gea.

"Dengarkan aku! Dari dulu, Mbak Lasmi tinggal bersama neneknya. Neneknya meninggal karena terjebak kebakaran. Dari beberapa informasi, rumor menyebar bahwa neneknya pun termasuk orang pintar. Mbak Lasmi tanpa sepengetahuan mempelajari ilmu neneknya tanpa pengawasan dan guru. Ya ... akhirnya gila."

"Ah ... serius Radit. Masalahnya kau pintar sekali dalam berbohong," timpal Via.

"Yehhh!"

"Kutanya sekarang. Kau mengetahui cerita ini semua dari siapa?" tanya Via.

"Terpaksa aku harus membongkar ini semua." Radit mendelik. "Setiap sore, terkadang aku mendengar percakapan Ibu-ibu menggosip. Terkadang aku ikut bergosip juga."

"Pfttttt"

Via tertawa. "Kau mengetahui ini semua dari Ibu-ibu yang menggosip. Lalu, Ibu-ibu itu tahu dari siapa? Sedangkan neneknya sudah meninggal dan seperti yang telah kau bicarakan bahwa Mbak Lasmi gila. Tidak mungkin Mbak Lasmi menceritakannya sendiri," sahut Via. "Mbak Lasmi pun memang tinggal seorang diri bukan? Jelaskan kepadaku siapa yang akan mengetahuinya?"

"Kau benar juga," ucap Radit.

"Jadi, bagaimana? Kau ini! Memberikan informasi tak jelas," ucap Gea.

"Kau hanya menyebarkan aibmu menggosip bersama Ibu-ibu desa," ejek Via. "Coba kau tanyakan semua itu lagi. Kutunggu ceritamu." Via tertawa terbahak-bahak.

"Ck! Iya! Nanti kutanyakan kembali," ketus Radit. "Tapi percayalah ...." Radit masih pada pendiriannya.

"Ahh! Tidak ... cari informasi yang tepat, baru aku akan mempercayaimu," sergah Via.

****

Feri berjalan seorang diri di gelapnya malam.

"Aku harus bagaimana?"

Melihat botol-botol yang berserakan membuat terbesit satu ide dipikirannya. "Aku akan memulung saja. Lumayan."

Feri mengambil botol-botol itu hingga memenuhi pangkuan di tangannya.

"Kurasa aku harus mencari karung besar." Feri menyipitkan kedua matanya. Sampai Feri melihat karung goni yang berada di pertengahan jalan.

Feri memasukkan satu persatu beberapa botol bekas ke dalam karung. Ia berjalan lagi lalu memungut lagi setiap botol yang terlihat.

Tatapannya menatap pada kumpulan remaja yang sedang menongkrong. Mereka saling melemparkan candaan dan tertawa bersama-sama, membuat Feri sangat iri melihatnya.

"Aku juga ingin." Tatapan Feri begitu sendu. Ia melanjutkan langkahnya. Mengambil lagi beberapa botol bekas.

Feri sampai di toko kelontong yang pernah Ia tanyakan lowongan perkejaan.

"Permisi," ucap Feri seraya melihat sekeliling yang saat itu tampak sepi.

"Permisi," ucapnya lagi.

Tak lama, orang yang berbeda menghampiri Feri.

"Ya? Ada keperluan apa?" tanya lelaki paruh baya itu. Tubuhnya besar dan kekar.

"Sore tadi saya menanyakan lowongan pekerjaan di sini. Kata salah satu pegawai di sini, pemiliknya belum pulang."

"Saya pemilik toko ini, jadi kau sedang mencari pekerjaan ya?" tanya pria itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!