"Tentunya, Pak Suryo. Kami sudah bersama dari kami kecil. Sudah lima belas tahun lamanya," jawab Radit. Radit menyantap nasi gorengnya dengan lahap. "Siapa yang membantu berjualan, Pak? Deni biasanya membantu Pak Suryo. Kemana Deni sekarang?"
"Deni sedang pulang kampung. Ia mengalami sakit keras."
"Deni sakit apa?" Radit dengan cepat menelan kunyahannya. "Apa dia tak dilarikan ke rumah sakit?"
"Entah, sudah bolak-balik rumah sakit, penyakitnya tidak kunjung sembuh." Suryo tersenyum sendu, lirikannya tertunduk. "Do'akan saja ya, semoga cepat pulih."
"Pastinya Pak. Semoga Deni kembali pulih," tutur Radit. Diikuti oleh Gea dan Via.
Didetik selanjutnya, suasana kembali hening.
"Memangnya tidak takut berjualan sendirian, Pak?" ceplos Radit. Seketika ucapannya membuyarkan keheningan itu. "Bapak kan tahu sendiri daerah sini seperti apa ... apalagi—"
"Sudah!" Tangannya menepis tubuh Radit agar tak membicarakan hal itu. "Kebiasaan. Tak tau tempat."
"Ya bagaimana? Takut atau pun tidak, saya kan juga harus tetap berjualan untuk keluarga di rumah. Apalagi ... ya kalian sudah melihatnya kan. Depan gedung tua dibelakang." Kepalanya bergerak, menunjuk ke arah gedung itu.
Sontak membuat mereka menoleh ke belakang.
"Memangnya ... pernah ada kejadian apa?" tanya Radit. Tatapannya sesekali menatap gedung tua itu dengan penasaran.
"Ah ... jangan ditanya lagi." Suryo melirik ke arah gedung tua itu. "Tak hanya satu ... dan 'mereka' jahil."
"Memangnya 'mereka' melakukan apa?" desak Radit.
Via langsung mencubit lengan Radit. Matanya melotot memberhentikan ucapannya.
"Aw!" Tangannya mengusap, mengurangi rasa sakitnya.
"Habiskan makananmu, atau ... kuberikan pada kucing di sampingmu?" bisik Gea. Wajahnya berkerut, terlihat Ia sangat kesal padanya.
"Ya ... aku hanya ingin mengetahuinya saja. Memangnya tidak boleh?"
"Tidak." Matanya mendelik,
"Mereka terkadang membeli dagangan saya, lalu membayarnya dengan uang daun."
Radit tampak penasaran. Pupil matanya semakin membesar ingin tahu. "Yang paling parah?" tanya Radit lagi.
"Menampakkan wajahnya yang hancur," lanjutnya.
Gea sontak mengusap lehernya, Ia merasa merinding. "Sudah!" sergahnya. "Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini."
"Ceritakan, Pak!" seru Radit.
"Bebal sekali, kubilang diam ...." Tatapan tajam menatap Radit, Via benar-benar kesal.
Suryo duduk di bangku kosong tepat di samping Gea. "Saya beritahu beberapa hal yang mungkin akan membantu kalian."
Suasana kembali hening lagi. Mereka langsung memasang kuping dan mendengarkan Suryo bercerita.
"Lebih baik selalu berhati-hati, karena ...." Suryo menoleh pada pembeli tanpa melanjutkan ucapannya itu. "Pesan apa, Mas?"
"Mie tektek Pak. Biasa ...."
"Pedas, Mas?"
Radit mengerutkan keningnya. "Loh?"
"Sudah ... ingat saja kata-kataku itu. Berhati-hatilah."
****
"Heh!" Senggolan tubuh Radit berhasil membangunkan lamunan Gea. "Kau mau ke mana?"
"Kau sedang memikirkan apa? Tampaknya banyak sekali beban di dalam pikiranmu," lanjut Via.
"Ah ... tidak. Aku hanya sedikit kecapekan. Ya sudah, kalian pulang dan beristirahatlah." Tanpa menoleh Gea langsung masuk ke dalam rumah. "Jangan lupa besok untuk menyiapkan beberapa berkas perbaikan nilai rapot kalian."
"Byee Gea ... besok aku akan kembali menyapamu di pagi hari," teriak Via.
"Ya, beristirahatlah kalian," ketus Radit. Radit langsung masuk ke rumahnya.
"Heh," panggilan Via menghentikan langkahnya.
Radit menoleh. "Besok kita akan bertemu lagi, belajar untuk tak selalu merindukanku."
"Ganti dulu uangku yang kau pakai." Wajahnya sudah memerah, menahan amarah. "Merindukanmu? Ayolah."
Radit perlahan mulai menoleh, wajahnya tersenyum. "Esok ... esok kukembalikan bersama nasi goreng buatan Ibu. Tidur nyenyak ya sahabatku." Tangannya melambai, bersayonara.
BLUGGGG
Pintunya bertubruk, Radit menutupnya dengan kencang.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tak ada rasa kantuk yang datang. Rasanya, Gea sangat penasaran dengan apa yang telah diucapkan Suryo.
"Memangnya kenapa? Dasar oang-orang aneh. Selama aku hidup di desa ini semuanya baik-baik saja." Gea mengganti posisi rebahannya. Ia membuang napasnya dengan kencang. "Ya ... semua itu hanya omong kosong saja. Aku tidak akan mudah percaya pada mitos itu."
Dahinya berkerut, terdengar sayup-sayup seorang wanita merintih kesakitan.
Suaranya di luar ruangan. Gea langsung menoleh ke arah pintu. "Hah? Siapa yang menangis?" Jantungnya mulai berdegup kencang.
"Aneh." Gea memasang kupingnya dengan seksama. Mendengarkan suara itu apakah benar-benar nyata. "Apa suara kucing birahi?"
"Ah sudahlah, tidur Gea!" Kedua lengannya meraih selimut di bawah kakinya, menyelimuti tubuhnya.
Ia memejamkan matanya. Suara itu datang-pergi, mengelilingi pendengarannya.
'Keluar atau tidak? Kurasa, suaranya pun bukan di dalam rumah'.
Gea melangkah pelan menuju pintu.
Lirikan matanya memutar di celah pintu kamar, mengamati keadaan sekitar. Hening, hanya ada suara jangkrik yang terdengar. Hingga hinggap menatap di jendela luar.
"Aduh ... kau harus melihatnya. Setidaknya kau mengetahui semuanya," gumamnya.
Tangannya meraih gorden jendela, mengintipnya perlahan.
Dahinya berkerut. "Apa suara itu berasal dari kamar Ibu?" Ia menoleh ke kamar Sera. "Tidak, kurasa dari sini suara itu." Ia kembali mengintip. "Hah?"
Gea menyipitkan matanya. Dan benar saja, wanita tua berkebaya berada di depannya. Menatap Gea yang kala itu sedang mengintip dirinya. "Siapa dia?" Tubuhnya seketika lemas saat melihat kulitnya mengelupas berjatuhan.
Refleks Gea langsung menutup tirai itu dengan rapat. Dengan cepat Gea berlari masuk ke kamar.
****
"Kau harus tidur kali ini, kumohon." Gea menutupi seluruh tubuhnya mengenakan selimut.
Terdengar suara pintu berderit.
"Siapa? Tak mungkin kalau itu Ibu, Ibu selalu mengetuk pintu terlebih dulu ... ah sialan!"
Tok ... tok ... tok
"Anes ...." panggilan lembut mencekik suasana di malam itu.
Sontak membuatnya tercengang. "Sudah lama tak ada yang memanggilku dengan sebutan itu." Lirikannya mulai mengintip dari balik selimut.
Separuh wajah sedang mengintip dari samping pintu. Tatapannya begitu tajam menatap ke arah Gea. Perlahan sosok itu semakin mendekat. Tubuhnya bungkuk, kakinya melayu terseret. "Anes ...."
"Tidak mungkin ...." Tubuhnya membeku, ketakutan. Aroma anyir berseliweran membuat Gea tak fokus untuk memejamkan matanya.
"Berpura-puralah untuk tertidur Gea. Kumohon—"
"Anes ... tidakkah kau lihat aku."
"Tidak kumohon ... pergilah." Dalam balik selimut tubuhnya sudah berkeringat. "Cepatlah bangun dari mimpimu Gea ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments