NovelToon NovelToon

TUMBAL RUMAH SAKIT

Kejahilan Radit

Setiap orang memiliki kepribadian masing-masing. Begitu pun ketiga sahabat dari kecil yang memiliki kepribadian unik.

"Makan dulu Gea ...."

"Tidak mau." Ia menggedik, sembari menggoes sepedahnya.

BRUGGG

Tangisan kencang mengangetkan orang-orang yang sedang beraktivitas di luar rumah.

"Ada apa?" tanya beberapa tetangga saat itu.

"Hanya terjatuh dari sepeda. Dia hanya terkejut. Semuanya baik-baik saja, tak ada yang terluka." Sera sembari membangunkan Gea.

Ya, Gea memang cengeng.

Dan kepribadian sahabat perempuannya .... Via Yashya.

"Sialan!"

"Hei, siapa yang mengajarimu seperti itu!" Rina tampak marah

"Semuanya tampak menjengkelkan. Ayah merampas handphoneku."

Sejak kecil, Via memang emosian.

Sementara itu, kepribadian Radit Niagara.

Tok ... tok ... tok.

"Ya ... masuklah. Pintunya tak dikunci."

Suara pintu berdecit.

"Loh Sera, masuklah. Ada apa?" tanya Lala, Ibu Radit.

"Sebelumnya ... aku minta maaf. Atas kedatanganku ke sini, aku mau mengambil tongkat peri milik Gea. Katanya Radit telah mengambilnya. Gea tak berhenti menangis ingin barangnya itu kembali."

Lala terkejut. "Anak itu ... sebentar." Ia langsung bergegas pergi ke kamar anak lelakinya, Radit.

Dimenit pertama Lala keluar membawa tongkat peri kecil yang sudah penuh dengan tatto mainan yang menempel.

Sera hanya tersenyum, menatap tongkat itu kini sudah menjadi tongkat peri-batman.

"Maaf ...."

Sementara itu di keesokan harinya ....

"Lala ...." panggil seseorang seraya mengetuk-ngetuk pintu rumahnya.

Ceklek.

"Pasti anakku lagi ya? Dia melakukan apa lagi?" tanya Lala. Wajahnya terlihat letih.

Rina tersenyum. "Kulihat di cctv, Ia membeli ikan di kolam rumah tanpa sepengetahuanku, hanya menyimpan uang dua ribu diselipkan di batu dekat kolam."

"Ikan apa?"

"Arwana."

Tak perlu dijelaskan, bayangkan saja kalau Radit berada di hidupmu?

Dan sejak ayahnya Gea meninggal, sifat cengengnya itu melenyap.

****

Gea Agnestia, wanita cantik berumur delapan belas tahun yang memiliki kedua sahabat kecil yakni Via dengan Radit. Saat itu, tampak Via sedang mengejar Radit dengan raut wajah penuh dengan amarah.

"Gea! Bantu aku." Via berusaha merebut tasnya dari genggaman Radit. "Hei! Kembalikanlah!"

"Ambilah ... kalau dapat akan kukembalikan." Radit berlari, lalu menoleh, mengejeknya lagi.

"Cukuplah Radit!" Via menghentakkan kakinya. "Kau tak melihatku? Aku sungguh lelah."

"Tidak." Radit langsung memejamkan matanya.

Via langsung menoleh ke belakang. "Gea! Lihatlah!" Ia mengadu, langsung meraih batu di samping tapakan kakinya. "Kembalikan! Atau kepalamu akan bocor?"

Matanya sipit semakin tak terlihat. Ia tertawa puas karenanya. "Nih ...." Ia menepuk-nepuk kepalanya. "Lemparkan saja.'

Dilemparkannya batu itu pada Radit. Di sisi lain Radit berpose menungging, sengaja Ia merendahkan Via bahwa lemparan itu tak mengenainya.

"Kuhitung satu sampai tiga—"

"Tiga," sela Radit, sambil berlari.

Di sisi lain, Gea berjalan dengan lambat seraya mengamati tingkah laku kedua sahabatnya itu.

Mereka berjalan menuju sebuah danau kecil dengan rumah pohon tua yang sudah dijadikannya base camp saat mereka kecil.

Radit langsung memanjat rumah pohon itu. Membuka seragam sekolahnya, menyisakan kaos dalam dan celana pendeknya.

BYUARRRR!!

Lompatan bebas itu, mengganggu air yang tenang.

"Biarkan saja anak itu. Ia memang mengjengkelkan. Lebih baik kita duduk di tepi danau saja," ajak Gea pada Via.

Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Awas saja kau Radit!"

"Sini kalau berani ...." Radit tak berhenti-henti mengejeknya. Tak sampai disana, Radit pun berenang mengikuti mereka.

Via sontak menoleh padanya. "Diamlah! Sebenarnya kau maunya apa?"

"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Percikan air itu membasahi tubuh mereka.

"Ck! Argh!" ketus Gea. "Hentikanlah."

"Lebay!"

"Enyahlah, semoga buaya menerkammu." Wajahnya murka, tangannya mengibasi bajunya yang basah.

"Kami setongkrongan, akupun buaya."

"Dih ... lagakmu ...." Matanya memutar.

"Bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"

"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam duduk anteng layaknya orang normal pada umumnya?" Via langsung memilih tempat yang kering.

Matahari sudah mulai kemerah-merahan, tampaknya malam akan tiba.

"Dit, naik. Kita pulang, sudah hampir gelap," teriak Gea.

Radit hanya terdiam. Ia tak merespon apapun.

"Pasti drama lagi, idiot." Via memanggilnya. "Cepatlah naik ...."

"Sampai mana kita tadi—"

"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!" teriak Radit dengan histeris.

Gea dan Via tercengang, menatap Radit yang sedang tenggelam.

"Vi!"

"Gea! Sepertinya Radit tak berbohong."

Mereka langsung melompat ke danau.

BYUAR

Di detik selanjutnya, Gea berusaha menggapai tubuh Radit yang berada jauh ditengah danau. "Pyuh ... bertahanlah."

"Via, bantu aku untuk membawa tubuhnya ke tepian!" teriak Gea. Ia memegang lengannya, mendongkakkan kepalanya agar bernapas. "Bernapaslah ...."

Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama.

Napasnya tampak pengap. "T-tolong! Aw-shh! ... tapi bohong! Heheheh!" Radit menghempaskan rangkulannya. "Memangnya ... kalian pikir aku payah dalam berenang?"

"Kau!" kesal Gea. "Bisakah kau hentikan leluconmu itu?" Matanya

"Rasakan ini." Via langsung menenggelamkan Radit.

"Ck-ah! Iya-iy—"

"Ak-minta maf—"

****

"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucap Gea, bola matanya memutar.

Cahaya bulan mulai menggantikan cahaya mentari. Hari telah berganti malam.

"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," ceplosnya.

"Hiduplah selayaknya manusia biasa, bodoh. Membuat orang kesal saja." Via menimpal, tampaknya Ia masih kesal.

"Yeuu maaf ... begitu saja marah."

"Malam ini cukup sepi ya." Pandangannya beralih menatap sekitar.

"Memang selalu seperti ini," sahut Via.

Krauk ... krauk ... krauk.

Suara itu mengalihkan padangan Gea dan Via.

"Hari ini ibuku tidak memasak," kata Radit. Ia menatap penjual nasi goreng di sampingnya.

"Jadi?" Via mengangkat satu alisnya.

Gea langsung menarik tangan Via hendak menyebrang. "Pulanglah cepat! Tubuhku sudah mulai lengket."

"Di rumah kau bisa membuat mie instan," timpal Via. "Manja sekali."

Gea terhenti saat mengetahui Radit tak ikut menyebrang."Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?"

"Sudah kubelikan ikan."

"Ikan? Kalau begitu, di mana ikannya? Goreng saja ikannya dirumah," ucap Gea.

"Bukan ikan itu Gea." Ia mengelap wajahnya dengan kasar. "Dia membeli ikan cupang hias."

"Ya belikan saja sisa uangnya, kau memperumit hidupmu." Wajahnya tampak heran.

"Dia menghabiskan seluruh uangnya untuk dua cupang albino yang mahal itu. Ikannya mati digondol kucing kemarin sore."

Gea langsung menatap tajam kearah Radit. Ia mengembuskan napasnya dengan kencang. "Pikiranmu sungguh sangat sempit. Harusnya yang digondol kucing itu kau!"

"Tunggu ... kumohon. Pakai uangmu dulu, besok kuganti uangnya."

****

Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.

"Lihat? Dia tak berterimakasih." Via mendelik.

"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Kedua lengannya sudah menggenggam sendok dan garpu untuk segera menyantap pesanannya.

"Satu nasi goreng spesial dengan ati komplit daging kambing dan ayam suwir sambal ijo," kata Suryo, penjual nasi goreng. Pesanannya sontak membuat Via langsung menatap ke arah nasi goreng itu.

"Siapa yang memesan ini Pak?" tanya Via.

"Radit sendiri toh yang pesan ini. Apa pesanannya salah ya?" tanya Suryo.

"Oh ..." Via tersenyum. Ia menggertakan giginya dengan kesal. "Tidak Pak. Keinginannya sendiri ya?" Tatapannya menoleh tajam pada Radit.

"Iya, Radit memang sudah biasa memesan menu ini. Oh ya ... kalian hanya membelinya satu?" Suryo menghitung keberadaan mereka. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian hanya akan menonton mukbang dari Radit?"

Gea tersenyum. "Ya ... kami sudah kenyang,"ucap Gea langsung menoleh menatap Radit tajam.

"Melihat pesanan Radit saja, itu sudah membuatku kenyang." Via tersenyum lebar, tetapi tidak dengan tatapannya.

"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.

"Oh ... begitu ya ...." Via mengecilkan suaranya. "Baru kali ini aku menyesal berbuat baik pada orang lain."

"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Suryo, seraya mengelap meja.

"Aku sudah tahu."

"Tentunya, Pak Suryo. Kami sudah bersama dari kami kecil. Sudah lima belas tahun lamanya," jawab Radit. Radit menyantap nasi gorengnya dengan lahap. "Siapa yang membantu berjualan, Pak? Deni biasanya membantu Pak Suryo. Kemana Deni sekarang?"

"Deni sedang pulang kampung. Ia mengalami sakit keras."

"Deni sakit apa?" Radit dengan cepat menelan kunyahannya. "Apa dia tak dilarikan ke rumah sakit?"

"Entah, sudah bolak-balik rumah sakit, penyakitnya tidak kunjung sembuh." Suryo tersenyum sendu, lirikannya tertunduk. "Do'akan saja ya, semoga cepat pulih."

"Pastinya Pak. Semoga Deni kembali pulih," tutur Radit. Diikuti oleh Gea dan Via.

Didetik selanjutnya, suasana kembali hening.

"Memangnya tidak takut berjualan sendirian, Pak?" ceplos Radit. Seketika ucapannya membuyarkan keheningan itu. "Bapak kan tahu sendiri daerah sini seperti apa ... apalagi—"

"Sudah!" Tangannya menepis tubuh Radit agar tak membicarakan hal itu. "Kebiasaan. Tak tau tempat."

"Ya bagaimana? Takut atau pun tidak, saya kan juga harus tetap berjualan untuk keluarga di rumah. Apalagi ... ya kalian sudah melihatnya kan. Depan gedung tua dibelakang." Kepalanya bergerak, menunjuk ke arah gedung itu.

Sontak membuat mereka menoleh ke belakang.

"Memangnya ... pernah ada kejadian apa?" tanya Radit. Tatapannya sesekali menatap gedung tua itu dengan penasaran.

"Ah ... jangan ditanya lagi." Suryo melirik ke arah gedung tua itu. "Tak hanya satu ... dan 'mereka' jahil."

"Memangnya 'mereka' melakukan apa?" desak Radit.

Via langsung mencubit lengan Radit. Matanya melotot memberhentikan ucapannya.

"Aw!" Tangannya mengusap, mengurangi rasa sakitnya.

"Habiskan makananmu, atau ... kuberikan pada kucing di sampingmu?" bisik Gea. Wajahnya berkerut, terlihat Ia sangat kesal padanya.

"Ya ... aku hanya ingin mengetahuinya saja. Memangnya tidak boleh?"

"Tidak." Matanya mendelik,

"Mereka terkadang membeli dagangan saya, lalu membayarnya dengan uang daun."

Radit tampak penasaran. Pupil matanya semakin membesar ingin tahu. "Yang paling parah?" tanya Radit lagi.

"Menampakkan wajahnya yang hancur," lanjutnya.

Gea sontak mengusap lehernya, Ia merasa merinding. "Sudah!" sergahnya. "Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk membicarakan ini."

"Ceritakan, Pak!" seru Radit.

"Bebal sekali, kubilang diam ...." Tatapan tajam menatap Radit, Via benar-benar kesal.

Suryo duduk di bangku kosong tepat di samping Gea. "Saya beritahu beberapa hal yang mungkin akan membantu kalian."

Suasana kembali hening lagi. Mereka langsung memasang kuping dan mendengarkan Suryo bercerita.

"Lebih baik selalu berhati-hati, karena ...." Suryo menoleh pada pembeli tanpa melanjutkan ucapannya itu. "Pesan apa, Mas?"

"Mie tektek Pak. Biasa ...."

"Pedas, Mas?"

Radit mengerutkan keningnya. "Loh?"

"Sudah ... ingat saja kata-kataku itu. Berhati-hatilah."

****

"Heh!" Senggolan tubuh Radit berhasil membangunkan lamunan Gea. "Kau mau ke mana?"

"Kau sedang memikirkan apa? Tampaknya banyak sekali beban di dalam pikiranmu," lanjut Via.

"Ah ... tidak. Aku hanya sedikit kecapekan. Ya sudah, kalian pulang dan beristirahatlah." Tanpa menoleh Gea langsung masuk ke dalam rumah. "Jangan lupa besok untuk menyiapkan beberapa berkas perbaikan nilai rapot kalian."

"Byee Gea ... besok aku akan kembali menyapamu di pagi hari," teriak Via.

"Ya, beristirahatlah kalian," ketus Radit. Radit langsung masuk ke rumahnya.

"Heh," panggilan Via menghentikan langkahnya.

Radit menoleh. "Besok kita akan bertemu lagi, belajar untuk tak selalu merindukanku."

"Ganti dulu uangku yang kau pakai." Wajahnya sudah memerah, menahan amarah. "Merindukanmu? Ayolah."

Radit perlahan mulai menoleh, wajahnya tersenyum. "Esok ... esok kukembalikan bersama nasi goreng buatan Ibu. Tidur nyenyak ya sahabatku." Tangannya melambai, bersayonara.

BLUGGGG

Pintunya bertubruk, Radit menutupnya dengan kencang.

****

Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tak ada rasa kantuk yang datang. Rasanya, Gea sangat penasaran dengan apa yang telah diucapkan Suryo.

"Memangnya kenapa? Dasar oang-orang aneh. Selama aku hidup di desa ini semuanya baik-baik saja." Gea mengganti posisi rebahannya. Ia membuang napasnya dengan kencang. "Ya ... semua itu hanya omong kosong saja. Aku tidak akan mudah percaya pada mitos itu."

Dahinya berkerut, terdengar sayup-sayup seorang wanita merintih kesakitan.

Suaranya di luar ruangan. Gea langsung menoleh ke arah pintu. "Hah? Siapa yang menangis?" Jantungnya mulai berdegup kencang.

"Aneh." Gea memasang kupingnya dengan seksama. Mendengarkan suara itu apakah benar-benar nyata. "Apa suara kucing birahi?"

"Ah sudahlah, tidur Gea!" Kedua lengannya meraih selimut di bawah kakinya, menyelimuti tubuhnya.

Ia memejamkan matanya. Suara itu datang-pergi, mengelilingi pendengarannya.

'Keluar atau tidak? Kurasa, suaranya pun bukan di dalam rumah'.

Gea melangkah pelan menuju pintu.

Lirikan matanya memutar di celah pintu kamar, mengamati keadaan sekitar. Hening, hanya ada suara jangkrik yang terdengar. Hingga hinggap menatap di jendela luar.

"Aduh ... kau harus melihatnya. Setidaknya kau mengetahui semuanya," gumamnya.

Tangannya meraih gorden jendela, mengintipnya perlahan.

Dahinya berkerut. "Apa suara itu berasal dari kamar Ibu?" Ia menoleh ke kamar Sera. "Tidak, kurasa dari sini suara itu." Ia kembali mengintip. "Hah?"

Gea menyipitkan matanya. Dan benar saja, wanita tua berkebaya berada di depannya. Menatap Gea yang kala itu sedang mengintip dirinya. "Siapa dia?" Tubuhnya seketika lemas saat melihat kulitnya mengelupas berjatuhan.

Refleks Gea langsung menutup tirai itu dengan rapat. Dengan cepat Gea berlari masuk ke kamar.

****

"Kau harus tidur kali ini, kumohon." Gea menutupi seluruh tubuhnya mengenakan selimut.

Terdengar suara pintu berderit.

"Siapa? Tak mungkin kalau itu Ibu, Ibu selalu mengetuk pintu terlebih dulu ... ah sialan!"

Tok ... tok ... tok

"Anes ...." panggilan lembut mencekik suasana di malam itu.

Sontak membuatnya tercengang. "Sudah lama tak ada yang memanggilku dengan sebutan itu." Lirikannya mulai mengintip dari balik selimut.

Separuh wajah sedang mengintip dari samping pintu. Tatapannya begitu tajam menatap ke arah Gea. Perlahan sosok itu semakin mendekat. Tubuhnya bungkuk, kakinya melayu terseret. "Anes ...."

"Tidak mungkin ...." Tubuhnya membeku, ketakutan. Aroma anyir berseliweran membuat Gea tak fokus untuk memejamkan matanya.

"Berpura-puralah untuk tertidur Gea. Kumohon—"

"Anes ... tidakkah kau lihat aku."

"Tidak kumohon ... pergilah." Dalam balik selimut tubuhnya sudah berkeringat. "Cepatlah bangun dari mimpimu Gea ...."

Selamat Jalan

Kini Ia mulai tertawa mencekik, membuat gema di kedua telinga Gea.

"Ibu tolong aku! Kumohon ...." bisik Gea. Ia memejamkan matanya seraya ketakutan.

"Ibu tolong aku ...."

JRENGG

Sosok itu terus mengulangi perkataan Gea. Tak banyak yang Gea lakukan selain bersembunyi di balik selimutnya. Hingga di menit selanjutnya, suara itu menghilang.

"Sial ... tubuhku kegerahan! Apa dia sudah pergi? Oh ayolah, aku belum berani membuka mataku."

Dengan perlahan Gea membuka matanya. Tatapan waspada terus mengelilingi setiap sudut. Sosok itu sudah pergi. Pintu kamar sudah tertutup rapat. Dengan cepat Ia menyingkirkan selimut tebal itu. Ia langsung mengganti posisi tubuhnya menyerong ke sebelah kiri menghadap tembok.

Matanya layu dan terkatup lagi, kini Ia sudah merasa aman. Semerbak aroma gosong mulai tercium. "Ck! Ibu ... kebiasaan sekali, kulit risolesnya pasti gosong."

Sontak membuat mata Gea langsung terbelalak.

Sosok itu kini sudah berbaring di hadapannya.

"Itu aroma dari kulit wajahku ...." Wajah itu penuh dengan luka bakar. Sontak Gea langsung berteriak kencang. Hingga teriakan itu membangunkan Gea.

"Turut berduka cita atas berpulangnya Bapak Suryo ...." Suara dari balai desa begitu menggema, membangunkan tidur malamnya yang buruk itu.

Sesekali Ia menoleh pada jam dinding. Waktu menunjukkan pukul tiga malam.

Napasnya terengah-tengah. "Tidak mungkin ... sepertinya aku salah dengar." Ia beranjak dari tempat tidur. Ia membuka pintu dan mendapati Sera yang sedang mengintip dari jendela.

"Bu," panggilnya. "Apa benar Pak Mulyo telah berpulang?"

"Ibu juga tidak percaya. Tadi sore baru saja menyapa Ibu saat hendak pergi berjualan."

****

"Baru kemarin malam aku mengobrol dengan Pak Suryo. Katanya, kita harus berhati-hati pada gedung tua di jalan depan sana," ucap Gea. Tangannya menuangkan adonan risoles pada wajan.

"Maksud Pak Suryo ... kita tidak boleh main ke sana karena memang berbahaya, karena sudah pasti banyak patah-patahan bangunan dan keroposnya kayu. Takutnya, bangunan itu roboh," jawabnya seraya memasukkan toping.

"Memangnya untuk apa membangun gedung di wilayah kecil seperti desa ini. Lebih baik membangun perumahan saja," sahut Gea. "Sepertinya dari aku kecil bangunan itu tidak pernah berubah. Tetap jelek dan kumuh."

"Tadinya gedung itu tempat penyimpanan beras, tetapi kebakaran, lalu dilakukan renovasi, tetapi tidak ada biaya ...."

Ucapan Sera mengingatkannya pada sesuatu. Tangannya berhenti mengaduk adonannya. "Apa ada korban atas kebakaran itu Bu?"

"Ada ... Mak Piah."

"Siapa dia?"

"Tetangga di belakang. Mak Piah menjadi korban karena diduga sedang memunguti beras saat itu. Kasihan, hidupnya memang sulit."

"Korbannya hanya satu?"

"Iya ... tak banyak orang-orang saat itu. Itu pun, Mak Piah ditemukan ketika hampir tiga hari lamanya."

"Tidak mungkin ... semalam pasti hanya mimpi." Pikirannya tak lepas pada kejadian tadi.

"Teruskan membuat adonannya." Sera menatap Gea. "Kenapa?"

"Tidak Bu ... aku hanya sedikit mengantuk."

"Memangnya tidak cukup tidur?"

"Iya ... semalam aku tidak bisa tidur. Entahlah ...." Gea melanjutkan membuat adonan kulit risolesnya.

"Ya sudah ... tidurlah. Biar Ibu yang menyelesaikannya," kata Sera.

"Ah tidak apa-apa, aku ingin membantu Ibu," sergah Gea.

"Tidak, simpan saja adonan itu di sana. Lanjutkanlah istirahatmu. Kau harus beristirahat dengan cukup. Pagi pukul tujuh Ibu akan membangunkanmu, kau harus pergi ke sekolah, kan?

"Iya ... aku, Via dan Radit harus membenarkan beberapa nilai yang kosong."

"Ya sudah ... pergi istirahat saja. Lagi pula, pesanan hari ini tidak terlalu banyak. Dan Ibu bisa menyelesaikannya sendiri."

"Ibu ... aku merasa takut akhir-akhir ini."

"Kenapa?"

"Sepertinya ... penunggu di gedung tua itu menggangguku Ibu." Pupil matanya mengecil, Ia tampak khawatir.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Sera.

"Nenek tua yang Ibu ceritakan tadi, Ia mendatangiku tadi malam Ibu. Wajahnya separuh penuh luka bakar. Ia mengenakan baju kebaya kutu baru namun sudah setengah terbakar juga." Tatapannya begitu serius. "Tolong Bu, aku takut."

"Memangnya kau sudah melakukan apa?"

"Aku tidak melakukan apa-apa Ibu. Semalam aku membeli nasi goreng Pak Suryo, lalu Pak Suryo menyuruhku, Via dan Radit untuk berhati-hati. Itu saja ...."

****

"Gea ...." Mereka datang, ya Radit dan Via. Adanya mereka pasti membuat suasana menjadi ramai.

"Gea ... kami datang, cepatlah keluar," seru mereka lagi.

Gea mengintip di jendela. Mereka sudah mengenakan pakaian sekolah dengan rapi. Hari ini hari terakhir untuk mengurus beberapa nilai yang buruk.

"Wih ... mukamu masam sekali. Apa hal buruk telah terjadi?" tanya Radit.

"Tidak." Gea menyergah pertanyaan Radit dengan cepat. "Apa kalian sudah melayat Pak Suryo."

"Belum ... sebelum kita berangkat sekolah, kita pergi melayat terlebih dahulu," sahut Via. "Ayo, nanti kita terlambat.

****

"Pak Suryo meninggal mendadak. Menurut keluarganya, Ia mengalami serangan jantung," kata Radit.

"Ya, benar sekali. Ibuku bilang, Pak Suryo meninggal karena jatuh saat berdagang." Via menambahkan ucapan Radit. "Wajahnya masih terbayang. Baru saja kemarin kita berbincang dengannya.

"Aku tidak percaya Pak Suryo telah meninggal. Baru saja aku melihat semalam Ia pulang berdagang."

"Memangnya kau melihat pukul berapa?" tanya Gea.

"Pukul satu malam. Saat itu aku harus membetulkan antenaku diluar, signal televisiku begitu buruk. Kulihat Pak Suryo sedang mendorong rodanya. Bahkan saat itu aku menyapanya," ucap Radit.

"Ya ... takdir tidak ada yang tahu," sahut Gea.

"Kasihan Deni ... bukankah Ia juga mengalami sakit keras?" tanya Via.

"Iya. Sekarang Ia sedang kembali ke kampung asalnya. Pasti rasanya sangat menyakitkan mendengar kabar ini di kampungnya."

"Kalau bukan dari Pak Suryo, mereka harus mengandalkan siapa lagi ya? Kasihan ... mungkin Ibunya Deni juga akan kembali ke kampungnya," balas Radit.

"Kuharap Deni kembali pulih agar bisa membantu Ibunya, Aku tak bisa membayangkan kejadian ini," sahut Gea.

Tak terasa mereka sudah sampai di rumah Suryo. Bendera kuning telah terpasang di pagar rumahnya. Tampak orang-orang pun sedang sibuk menyiapkan keranda dan tempat pemandiannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!