NovelToon NovelToon

TUMBAL RUMAH SAKIT

Kejahilan Radit

Namaku Gea Agnestia. Aku memiliki kedua sahabat bernama Via dan Radit. Ayahku telah tiada, jadi aku tinggal bersama Ibu.

Ini tahun terakhirku bersekolah. Aku, Via dan Radit baru saja pulang dari rapat kelulusan di sekolah.

"Sudah kuduga! Kau memang menyebalkan, Radit!" teriak Via seraya mengejar Radit. "Berikan tasku itu! Atau tidak kau akan kupukul!"

"Pukul saja! Lagian belum tentu kau bisa mengejarku! Ayo cepat! Kau lambat sekali!" ejek Radit. Ia terus mengusili Via.

Kutatap mereka dari belakang seraya tertawa. Radit memang jahil dan tengil.

Hari ini kami putuskan untuk pergi ke rumah pohon dekat danau. Tempat main kita sejak kecil. Jarak dengan rumah lumayan jauh dan tak searah. Sejak kecil kami selalu berbohong untuk pergi ke tempat itu. Tentunya, pasti tak diizinkan oleh Ibu dan Bapak.

"Lambat sekali! Tidak ada kemajuan! Kau selalu lambat!" teriak Radit. Sampai di rumah pohon Radit langsung memanjat.

"Awas ya kau Radit!" Via berusaha memanjat pohonnya.

"Biarkan saja orang itu. Radit memang tengil. Kita duduk di tepi danau yuk," ajakku.

Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Sana! Lagian sekolahnya pun sudah selesai."

Dari rumah pohon, seperti biasa Radit selalu melompat ke danau.

BYUARRRR!!

"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Radit memercikan air seraya tertawa. "Rasakan ini!"

"Ck! Argh!" ketusku. "Basah Radit! Kau mahu kalau aku masuk angin?"

"Lebay!" Radit terus memercikan air dengan sikap tengilnya.

"Aku harap kau diterkam buaya saja, Radit!" teriak Via. "Awas ya kau!"

"Mana buaya? Akan kuhabisi saja dia. Berani melawanku?"

"Dih ... lagakmu menyebalkan sekali!" ucapku seraya mendelik.

"Lagi pula, bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"

"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam saja? Duduk manis menatap sunset. Kau memang pecicilan." Kucari tempat yang kering.

"Awas ya! Aku tak akan segan-segan membunuhmu!" teriak Via.

Aku dan Via menghiraukan ucapannya. Kami duduk kembali dan menatap sunset.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Radit masih belum selesai berenang.

"Apa yang kau cari Radit? Naiklah ... sudah terlalu lama kau berada di sana," ucapku seraya menatap Radit.

"Lagi pula ... kau tidak akan pernah menemukan mutiara dan harta karun."

Tak lama dari itu ... Radit terdiam. Menatap sekeliling. Tak ada pergerakan di tubuh Radit.

Aku dan Via semakin keheranan seraya melihat tingkah Radit.

"Kenapa dia?" tanya Via.

"Dia memang cari perhatian saja. Hiraukan saja ...." Aku alihkan pada pembicaraan sebelumnya.

"Sampai—" (jawaban Via terpotong oleh teriakan Radit).

"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!"

Radit tidak bisa menenangkan dirinya. Sesekali Ia tenggelam.

"Via! Tolong Vi!" Tentu aku panik saat Radit tenggelam.

Aku dan Via langsung berlari hendak menyelamatkan Radit. Membuka kedua sepatu yang dipakai. Lalu berenang menuju Radit.

"Radit!" Kupegang lengannya. Kudongkakkan kepalanya agar bernapas.

Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama di samping sebelahnya.

Napasnya terengah-engah. "Aw-shh! Tapi bohong! Heheheh!" Raut wajahnya berubah seraya tertawa. "Memangnya ... kalian pikir aku bodoh dalam berenang?"

Kudorong langsung tubuh Radit. Via langsung menenggelamkannya.

"Rasain! Sana! Tenggelam!" teriak Via.

Radit berusaha mengambil napas. "Ck-ah! Iya-iy—" (ucapnya terpotong karena langsung ditenggelamkan Via).

"Sudah Vi, kita tinggalkan dia saja! Awas ya! Kau membuatku panik, Radit!" Aku hendak kembali menuju tepi.

Lagi-lagi Radit memercikan air ke arahku juga Via.

"Ck! Argh! Mahu kau apa Radit?"

****

"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucapku seraya mendelik.

Hari semakin gelap. Akhirnya kami memutuskan pulang.

"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," timpal Radit.

"Sikapmu memang tengil, Radit!" sahut Via. "Lagi pula, aku dan Gea tak ingin menjadikanmu suami. Justru ... pilihan kami sangat bertolakbelakang dengan sikapmu."

"Itu bukan masalah yang besar ... masih ada 23 kandidat pilihan yang berada di ruang hatiku. Kalau kalian tak ingin, pergilah ...."

Hanya ada suara kami berjalan. Tak ada kendaraan yang berlalu-lalang.

"Tumben gelap dan sepi ...." Via mengamati sekitar.

"Memang selalu seperti ini. Kau tak pernah keluar rumah saat malam hari?" tanyaku. "Beberapa rumah memang sering mati lampu."

Jarak kami dengan rumah sudah semakin dekat. Dari jauh terlihat pedagang nasi goreng di depan bangunan besar yang terbengkalai.

"Lapar ...." Radit memelas.

"Rumahmu sudah di depan mata. Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu lalu makanlah."

"Ibuku menyuruhku makan diluar ... hari ini Ia tak memasak." Tatapannya menatap pedagang nasi goreng.

Aku dan Via menghiraukannya. Kami ingin segara beristirahat dan membersihkan tubuh. Rasanya tubuh ini sudah mulai lengket.

Kami sudah sampai di pertigaan jalan. Aku dan Gea berpegangan hendak menyeberang. Dipertengahan jalan aku menoleh ke arah belakang.

Tatapanku menatap Radit yang sedang terdiam seraya memelas. Menatap pedagang nasi goreng yang kala itu sedang sepi pembeli.

Kuhentikan langkahku. Kutarik Via saat itu untuk kembali.

"Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?" ucapku.

"Sudah kubelikan ikan."

"Ikan?" tanyaku heran.

Wajah Via sudah terlihat kesal. "Sudah kubilang jangan membeli ikan cupang itu ... kau sudah besar Radit! Tapi lihatlah Gea ... Ia membelinya."

Kukerutkan keningku. "Lalu? Ikannya ke mana?"

"Sudah kusimpan di kolam dekat danau."

"Kau memang pantas kelaparan," ucapku dengan geram. "Ya sudah ... sisa uang itu belikan nasi goreng."

"Dia membeli empat ikan cupang," timpal Via. "Pedulikan saja hidupmu Gea. Kau memedulikan orang yang salah." Via mengerutkan bibirnya, kesal.

"Ya ... kenapa kau membeli ikan itu, Radit?" tanyaku masih heran. "Hidupmu memang tak bisa ditebak."

"Sudah lama aku ingin mengoleksi ikan cupang. Ibuku tak mengizinkanku. Ya sudah ... kusimpan di kolam buatanku."

"Mengoleksi?"

"Pantas saja Ibunya murka," sahut Via.

"Ya ... ikanku sudah banyak." Lagak Radit bangga dan sombong. "Kusisihkan uang untuk membelinya."

"Dia sudah membeli banyak ikan," bisik Via terhadapku.

"Dan kau tinggalkan mereka tanpa makanan? Sama saja kau menyiksa mereka dengan kelaparan."

"Kau goreng saja semua ikan-ikanmu itu. Sekarang tanggung lah akibat dari perbuatanmu sendiri." Kutarik tangan Via untuk menyebrang. "Biarkan saja dia merasa kelaparan seperti ikan-ikannya."

"Tunggu ... kumohon. Besok kuganti uangnya."

****

Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.

"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Perutnya yang keroncongan terus meraung-raung.

"Satu nasi goreng," kata Pak Suryo, penjual nasi goreng. "Satu?" Pak Suryo menghitung keberadaan kami. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian akan menonton mukbang dari temanmu?"

Kututup rasa kesalku dengan senyuman. "Ya ... kami sudah kenyang." Aku langsung menoleh menatap Radit tajam.

"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.

Via mengerutkan keningnya. Tangannya seraya mengepal.

"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Pak Suryo, seraya mengelap meja.

"Aku sudah tahu."

"Tentunya, Pak Suryo. Kami sudah bersama dari kami kecil. Sudah lima belas tahun lamanya," jawab Radit, seraya menyantap nasi gorengnya. "Siapa yang membantu berjualan, Pak? Deni biasanya membantu Pak Suryo. Kemana Deni sekarang?"

Pak Suryo masih tetangga kami. Rumahnya tak jauh dari tempat Ia berjualan.

"Anak saya Deni, pulang kampung ... sudah beberapa bulan Ia mengalami sakit keras."

"Deni sakit apa?" Radit dengan cepat menelan kunyahannya. "Apa dia tak dilarikan ke rumah sakit?"

"Sudah bolak-balik rumah sakit, penyakitnya tidak ketemu."

"Kok bisa?" tanyaku.

Pak Suryo tersenyum sendu. "Do'akan saja ya ... semoga Deni cepat pulih."

"Aamiin ... kami selalu mendoakan yang terbaik untuk Deni," jawabku.

Suasana kembali hening. Hanya suara sendok dan piring yang beradu. Radit dengan nikmat menyantap nasi gorengnya.

"Memangnya tidak takut berjualan sendirian, Pak?" ceplos Radit. "Bapak kan tahu sendiri daerah sini seperti apa ... apalagi—" (ucap Radit terpotong).

"Sudah!" kesal Via. "Kau memang tak pernah tahu tempat, Radit! Habiskan saja makananmu. Lagi pula, besok kita harus menjalankan aktivitas lagi."

"Ya bagaimana? Takut atau pun tidak, saya kan juga harus tetap berjualan untuk keluarga saya," jawab Pak Suryo. "Apalagi ... ya kalian sudah melihatnya kan. Depan gedung tua dibelakang."

"Memangnya ... pernah ada kejadian apa?" tanya Radit. Ia masih menyantap nasi gorengnya.

"Ah ... jangan ditanya lagi." Pak Suryo melirik ke arah gedung tua itu. "Tak hanya satu ... dan 'mereka' jahil."

"Memangnya 'mereka' melakukan apa?" desak Radit.

Kucubit lengan Radit. "Sudah ... segera habiskan makananmu. Kau membuat suasananya menjadi tak nyaman."

"Ya ... aku hanya ingin mengetahuinya saja. Memangnya tidak boleh?" Radit seraya mengelus-elus tangannya yang sakit.

"Ya kau pikir saja ... kau bertanya langsung di tempatnya. Kau pikir 'mereka' tak akan mendengar," timpal Via, murka.

"Mereka terkadang membeli dagangan saya, lalu membayarnya dengan uang daun," singkat Pak Suryo.

"Yang paling parah?" tanya Radit lagi.

"Menampakkan wajahnya yang hancur," lanjutnya.

Seketika badanku terasa panas dan merinding. "Sudah!" sergahku. "Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan ini."

"Ceritakan, Pak!" seru Radit.

"Kau ini!" ucap Via seraya memukul. "Tak bisa kah kau diam saja?! Kau memang menyebalkan."

Penjual itu duduk di bangku kosong tepat di sampingku. "Saya beritahu beberapa hal yang mungkin akan membantu kalian."

Suasana kembali hening lagi. Kami langsung mendengarkan Pak Suryo dengan seksama.

"Lebih baik kalian tidak pernah tau tentang itu semua. Karena mereka 'mengincar' ... lebih baiknya lagi, pergi menjauh." Pak Suryo langsung menoleh ke arah pembeli lain yang baru datang.

"Pesan apa, Mas?" tanya Pak Suryo seraya melayani.

Radit mengerutkan keningnya. "Loh ... itu bukan cerita Pak."

"Sudah ... ingat saja kata-kataku itu. Mungkin itu semua akan membantu kalian."

****

Aneh ... sepanjang perjalanan pulang aku mengingat kata-kata Pak Suryo.

"Heh!" Lamunanku dibangunkan oleh Radit. "Kau mahu kemana? Rumahmu sudah di sebelahmu."

"Kau sedang memikirkan apa, Gea? Tampaknya banyak sekali beban di dalam benakmu," lanjut Via.

"Ah ... tidak. Aku hanya sedikit kecapekan. Ya sudah, kalian pulang dan beristirahatlah." Tanpa menoleh aku langsung masuk ke dalam rumah. "Jangan lupa besok untuk menyiapkan beberapa berkas perbaikan nilai rapot kalian."

"Byee Gea ... besok aku akan kembali menyapamu di pagi hari," teriak Via.

"Bye," ketus Radit. Radit langsung masuk ke rumahnya.

"Iwh malas!" balas Via pada Radit. "Hidupmu sok dingin dan misterius."

****

Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Rasanya, aku sangat penasaran dengan apa yang telah diucapkan Pak Suryo.

"Memangnya kenapa? Apa yang telah terjadi? Bukankah selama ini aku tinggal di desa ini? Lagi pula, sampai saat ini aku merasa aman dan baik-baik saja." Kumengganti posisi rebahanku. Kubuang napasku dengan kencang. "Ya ... semua itu hanya omong kosong saja. Aku tidak akan mudah percaya pada mitos itu, orang-orang aneh."

Seketika aku mendengar sayup-sayup dari seorang wanita yang menangis seperti merintih kesakitan.

Sontak aku langsung menoleh ke arah pintu. Kumenatap sekeliling kamarku dengan waspada. "Hah? Siapa yang menangis?" Jantungku mulai berdegup kencang.

Perlahan suara itu pun menghilang.

"Aneh." Kudengarkan lagi suara itu dengan teliti. "Apa suara kucing birahi?"

Dan suara itu terdengar kembali.

Tubuhku perlahan mulai lemas, takut akan suatu hal buruk terjadi, kuputuskan untuk menutup mataku. "Sudahlah, tidur Gea!" Lagi-lagi aku terkejut karena suara itu semakin keras.

Rasa takut dan penasaranku sama-sama sebanding. Sesekali ingin kumelihat keadaan di arah luar tetapi aku tidak memiliki keberanian untuk itu.

Suara tangis itu semakin menggema di telingaku. Kini suara itu berubah menjadi suara Ibu.

"Ibu? Kenapa Ibu menangis di tengah malam? Apa Ibu rindu pada ayah?" batinku. Pikiranku terus berkelahi.

'Keluar atau tidak? Kurasa, suaranya pun bukan di dalam rumah'. Tersirat di pikiranku, aku terus bermonolog.

Perlahan kulangkahkan kakiku menuju pintu kamar. Jari jemariku mulai memegang handle pintu.

"Jika sesuatu hal terjadi menimpaku, aku akan berteriak dengan kencang. Lagi pula, Ibu bersamaku," batinku.

Akhirnya ... kuputuskan untuk keluar dari kamar, kubuka pintu kamarku dengan perlahan. Mataku tertuju pada jendela yang terhubung ke arah luar. Suara itu kembali terdengar.

"Aduh ... kau harus terus melangkah Gea. Setidaknya rasa penasaranmu sudah terbayarkan," batinku.

Hingga, aku sampai di depan jendela. Kuraih tirai yang sudah di hadapanku. Perlahan aku mulai mengintip.

Tidak ada siapapun di sana. Suasana tampak sepi dan sunyi.

"Aneh!" Kukerutkan keningku. Kuamati terus suasana luar pada malam itu.

"Apa suara itu berasal dari kamar Ibu?" aku menoleh kebelakang, ke kamar Ibu.

Kusipitkan mataku. Dan benar saja, seorang perempuan di teras depan rumahku sedang menangis merintih. Perlahan wanita itu mendongakkan kepalanya, Ia mulai menoleh padaku.

Kututup langsung tirai itu dengan rapat. Dengan cepat aku berlari ke kamar.

****

"Tidak ... kumohon tidurlah Gea! Kumohon! Kau tak boleh menyusahkan dirimu sendiri." Kututupi tubuhku menggunakan selimut. Yang paling menjengkelkan, tubuhku mulai mengeluarkan keringat.

Suasana malam itu sangat hening. Hanya aku ditemani rasa takutku.

Tidak lama dari itu, aku mendengar ada yang membuka handle pintu kamarku. Sontak membuat mataku perlahan mengintip ke arah pintu.

Suara pintu kamarku perlahan mencekit mulai terbuka.

"Siapa? Tak mungkin kalau itu Ibu, Ibu selalu mengetuk pintu terlebih dahulu," batinku.

Aku tetap pada pendirianku ... tetap terus berpura-pura tertidur.

Separuh wajah mengintip dari samping pintu. Tatapannya begitu tajam menatap ke arahku.

'Ya ampun! Wajahnya hancur, senyumnya begitu menyeringai'.

Perlahan Ia semakin mendekat.

"Tidak mungkin," batinku. "Kau harus berteriak Gea! Panggil Ibumu! Cepat!"

Sosok itu mengendap berjalan ke arahku dengan tubuhnya yang bungkuk.

Aroma anyir darah semakin menyengat.

Aku tetap berpura-pura tertidur. Sesekali kumengintip lagi.

"Ya ampun! Dia sudah dihadapanku. Ibu! Radit! Via! Tolong aku! Aku mohon." Kututup langsung mataku dengan rapat.

Anggapanku dia tidak akan mengetahui bahwa aku telah melihatnya.

"Aku sudah tahu ...." Sosok itu tertawa. Tawanya begitu melengking.

Tubuhku seketika lemas mendengarnya.

Selamat Jalan

Tubuhku seketika lemas mendengarnya.

Suara cekikikan itu semakin menggema di telingaku. Tubuhku semakin tenggelam dalam rasa takut.

"Bagaimana ini? Bagaimana agar Ibu mengetahui ini?" pikiranku terus berkelahi dengan rasa takutku. "Ibu! Tolong aku Ibu!"

"Ibu tolong aku Ibu ... Ibu tolong aku Ibu."

JRENGG

Sosok itu mengejekku, dia terus mengulang-ulang perkataan itu.

'Dia mendengarku!'.

Rasanya, aku ingin sekali meninggalkan tubuhku. Aku ingin berlari terbirit-birit. Aku ingin bersembunyi.

Suara cekikikan itu perlahan menjauh dan menghilang. Sekejap keadaan kembali hening dan normal. Tetap saja, masih tak ada keberanian untukku membuka mata.

"Dia menghilang secepat itu?" pikirku.

'Sepertinya akan kulanjutkan kepura-puraan ini sampai esok pagi'.

Sayangnya, tubuhku sangat pegal dan rasanya panas sekali. Ingin sesekali kumembuka selimut dan mengganti posisi tubuhku.

Aku membuka mataku dengan perlahan. Sosok itu telah pergi. Pintu kamar sudah tertutup rapat. Dengan cepat kusingkirkan selimut tebal itu. Kumengganti posisi tubuhku menyerong ke sebelah kiri menghadap tembok.

Rasanya aku sudah merasa aman. Meski rasa takut itu masih terus mengikuti.

Tubuhku mulai terlelap dan hanyut dalam mimpi. Namun lagi-lagi aku menghirup aroma gosong.

Sontak aku membuka mataku.

Sosok itu sudah berbaring di hadapanku.

"Ketahuan ...." Wajahnya tinggal separuh dan penuh koreng dari luka bakar. Tatapannya menatap tajam. Senyumnya begitu menyeringai.

Sontak kuberteriak kencang. Hingga aku terbangun dari tidurku karena mendengar pengumuman dari balai desa.

"Turut berduka cita atas berpulangnya Bapak Suryo ...."

Mataku terbelalak tak lagi mengantuk. Aku menggisik mataku. Menatap jam saat itu pukul tiga pagi.

Aku mengamati sekitar. Semuanya terlihat baik-baik saja. Hanya ada aku, sosok itu pun tidak ada. "Huh ... ternyata hanya mimpi." Jantungku berdegup kencang. "Tidak mungkin ... sepertinya aku salah mendengar." Aku langsung bergegas bangun dari tempat tidur. Kulangkahkan kaki untuk pergi ke kamar Ibuku, Sera.

Saat kumembuka pintu kamarku, Ibu sudah mengintip di jendela.

"Bu," panggilku. "Apa benar Pak Mulyo telah berpulang?" tanyaku dengan panik.

"Ibu juga tidak percaya. Sedari tadi Ibu terus mengintip."

Seperti biasa, Ibu pasti sudah terbangun karena harus menyelesaikan pesanan catering dan risoles.

Kini aku mengintip bersama Ibu di jendela ruang tamu.

"Sepertinya benar Ibu. Memangnya Pak Suryo kenapa, Bu?" tanyaku lagi. "Apa sesuatu hal buruk terjadi padanya?"

"Ah semua itu sudah ajalnya saja. Sudah ... nanti pagi kita melayat. Sekarang, bantu Ibu menyelesaikan beberapa pesanan."

"Baik Ibu."

****

"Baru kemarin malam aku mengobrol dengan Pak Suryo. Katanya, kita harus berhati-hati pada gedung tua di jalan depan sana," ucapku seraya membuat adonan kulit risoles.

"Maksud Pak Suryo ... kita tidak boleh main ke sana karena memang berbahaya, karena sudah pasti banyak patah-patahan bangunan dan keroposnya kayu. Takutnya, bangunan itu roboh," pesan Ibu. "Kau tahu kan? Pak Suryo memang memiliki sifat humor."

"Memangnya untuk apa membangun gedung di wilayah kecil seperti desa ini. Lebih baik membangun perumahan saja," sahutku. "Sepertinya dari aku kecil bangunan itu tidak pernah berubah. Tetap jelek dan kumuh."

"Tadinya gedung itu tempat penyimpanan beras, tetapi kebakaran, lalu dilakukan renovasi, tetapi tidak ada biaya ...."

Ucapan Ibu mengingatkanku pada sesuatu. Seketika aku berhenti mengaduk. "Apa ada korban atas kebakaran itu Bu?"

"Ada ... Mak Piah. Dulunya, Ia suka membantu menanam padi, terkadang Ia mencari beras-beras yang berjatuhan untuk makan. Kasihan," ucap Ibu seraya membuat kulit risoles.

"Korbannya hanya satu?"

"Iya ... tak banyak orang-orang saat itu. Itu pun, Mak Piah ditemukan ketika hampir tiga hari lamanya."

"Tidak mungkin ... semalam pasti hanya mimpi," batinku.

"Teruskan membuat adonannya. Kenapa kau melamun?" tanya Ibuku. "Tampaknya pikiranmu sedang rumit ya? Bolehkah berbagi cerita bersama Ibu?" tanya Ibuku dengan lembut.

"Tidak Bu ... aku hanya sedikit mengantuk."

"Memangnya tidak cukup tidur? Kau tidur pukul berapa? Jangan-jangan kau tidur larut malam sekali ya?"

"Iya ... semalam aku tidak bisa tidur. Entahlah ...." Kulanjutkan membuat adonan kulit risolesnya.

"Ya sudah ... tidurlah. Besok kau harus beraktivitas kembali," ucap Ibu.

"Ah tidak ... aku ingin membantu Ibu," sergahku.

"Tidak, simpan saja adonan itu di sana. Lanjutkanlah istirahatmu. Kau harus beristirahat dengan cukup. Pagi pukul tujuh Ibu akan membangunkanmu, kau harus pergi ke sekolah, kan?

"Iya ... aku, Via dan Radit harus membenarkan beberapa nilai yang kosong."

"Ya sudah ... pergi istirahat saja. Lagi pula, pesanan hari ini tidak terlalu banyak. Dan Ibu bisa menyelesaikannya sendiri."

"Tidak."

"Sudah, tidurlah Gea ... cepat. Mumpung masih ada waktu, esok Ibu bangunkan kembali."

"Tidak ... aku merasa takut akhir-akhir ini."

"Kenapa?" Ibu menoleh ke arahku.

"Sepertinya ... penunggu di gedung tua itu menggangguku Ibu."

"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Ibu.

"Nenek tua yang Ibu ceritakan tadi, Ia mendatangiku tadi malam Ibu. Wajahnya separuh penuh luka bakar. Ia mengenakan baju kebaya kutu baru namun sudah setengah terbakar juga." Aku menatap Ibu dengan serius. "Tolong Ibu, aku takut."

"Memangnya kau sudah melakukan apa?" Ibu menatapku dengan serius.

"Aku tidak melakukan apa-apa Ibu." Aku berusaha menceritakan semuanya dengan detail. "Semalam aku membeli nasi goreng Pak Suryo, lalu Pak Suryo menyuruh aku, Via dan Radit untuk berhati-hati. Itu saja ...."

****

"Gea ...." Via dan Radit sudah di halaman rumah memanggilku.

"Gea ... kami datang, cepatlah keluar," seru mereka lagi.

Aku mengintip di jendela. Mereka sudah mengenakan pakaian sekolah dengan rapi. Hari ini hari terakhir untuk mengurus beberapa nilai yang buruk.

"Pagi sahabatku," sapaku, di pagi itu.

"Wih ... mukamu masam sekali. Apa hal buruk telah terjadi?" tanya Radit.

"Tidak." Kusergah pertanyaan Radit dengan cepat. "Apa kalian sudah melayat Pak Suryo."

"Belum ... sebelum kita berangkat sekolah, kita pergi melayat terlebih dahulu," sahut Via.

Jaraknya tak jauh. Kami bertiga berjalan seraya berbincang-bincang tentang kematian Pak Suryo.

"Pak Suryo meninggal mendadak. Menurut keluarganya, Ia mengalami serangan jantung," ucap Radit.

"Ya, benar sekali. Ibuku bilang, Pak Suryo meninggal karena jatuh saat berdagang. Kemungkinan mengalami serangan jantung."

"Aku tidak percaya Pak Suryo telah meninggal. Baru saja aku melihat semalam Ia pulang berdagang."

"Memangnya kau melihat pukul berapa?" tanyaku.

"Pukul satu malam. Saat itu aku harus membetulkan antenaku diluar, signal televisiku begitu buruk. Kulihat Pak Suryo sedang mendorong rodanya. Bahkan saat itu aku menyapanya," ucap Radit.

"Ya ... takdir tidak ada yang tahu," sahutku.

"Kasihan Deni ... bukankah Ia juga mengalami sakit keras?" tanya Via.

"Iya. Sekarang Ia sedang kembali ke kampung asalnya. Pasti rasanya sangat menyakitkan mendengar kabar ini di kampungnya."

"Kalau bukan dari Pak Suryo, mereka harus mengandalkan siapa lagi ya? Kasihan ... mungkin Ibunya Deni juga akan kembali ke kampungnya," balas Radit.

"Kuharap Deni kembali pulih agar bisa membantu Ibunya," harapku. "Aku tak bisa membayangkan kejadian ini."

Kami sampai di rumah Pak Suryo. Melihat Pak Suryo sudah dimasukkan ke dalam keranda suasana menjadi sangat haru.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!