Gea Agnestia, wanita cantik berumur delapan belas tahun yang memiliki kedua sahabat kecil yakni Via dengan Radit. Saat itu, tampak Via sedang mengejar Radit dengan raut wajah penuh dengan amarah.
"Gea! Bantu aku." Via berusaha merebut tasnya dari genggaman Radit. "Hei! Kembalikanlah!"
"Ambilah ... kalau dapat, kuberikan lagi padamu." Radit terlihat puas. Ia berlari menjauh, lalu terhenti lagi mengejek Via kembali.
"Cukuplah Radit!" Via menghentakkan kakinya. "Ayolah! Tak bisakah kau lihat bahwa aku ini lelah?"
"Tidak." Radit langsung memejamkan matanya.
Via langsung menoleh ke belakang. "Gea! Lihatlah!" Ia mengadu. Via mengambil batu di hadapannya. "Kembalikan! Atau kepalamu akan bocor?"
Matanya sipit semakin tak terlihat. Ia tertawa puas karenanya. "Nih ... ayo, buat kepalaku bocor."
Dilemparkannya batu itu pada Radit. Di sisi lain Radit berpose menungging sengaja merendahkan Via bahwa lemparan itu tak akan mengenainya.
"Akan kupukul kau. Kuhitung sampai tiga—"
"Pukul saja! Lagi pula belum tentu kau bisa mengejarku!" sela Radit. Ia berlari menjauh saat Via mendekatinya.
Di sisi lain, Gea berjalan dengan lambat seraya mengamati tingkah laku kedua sahabatnya itu.
Mereka berjalan menuju sebuah danau kecil dengan rumah pohon tua yang sudah dijadikannya base camp saat mereka kecil.
"Hahahahahh, ayo kejar aku." Radit langsung memanjat rumah pohon itu. Membuka seragam sekolahnya, menyisakan kaos dalam dan celana pendeknya.
BYUARRRR!!
Ia melompat ke danau.
"Awas ya kau Radit!" Via berusaha memanjat pohonnya.
"Biarkan saja anak itu. Ia memang mengjengkelkan. Lebih baik kita duduk di tepi danau saja," ajak Gea pada Via.
Tatapan murka Via masih pada Radit seraya berjalan menjauh. "Awas saja kau Radit!"
"Sini kalau berani ...." Radit tak berhenti-henti mengejeknya. Tak sampai disana, Radit pun berenang mengikuti mereka.
Via sontak menoleh padanya. "Diamlah! Kau ini maunya apa!"
"Ayolah ... Kita bersenang-senang!" Percikan air itu membasahi tubuh mereka.
"Ck! Argh!" ketus Gea. "Basah Radit!"
"Lebay!" Radit terus memercikan air dengan sikap tengilnya.
"Aku harap kau diterkam buaya" murka Via sembari mengusap-ngusap bajunya yang basah.
"Mana buaya? Aku dengannya kan sama-sama buaya. Akan kuhabisi dia," ejek Radit.
"Dih ... lagakmu ...." kata Via seraya mendelik.
"Bawa santai saja. Kapan lagi kita akan bersenang-senang seperti ini? Kurang dari satu minggu kita akan merayakan kelulusan. Nanti ... kau tak akan memiliki waktu banyak!"
"Iya ... maksudku bisa tidak kalau kau diam saja? Duduk manis menatap sunset. Kau memang pecicilan." Via langsung memilih tempat yang kering.
Radit tak mendengar ucapannya. Ia tetap bebal, menggoda Gea dan Via hingga kesal.
"Sudahlah Radit! Atau tidak aku tak akan segan-segan membunuhmu!" murka Gea.
"Woohhh, takut."
Matahari sudah mulai kemerah-merahan, tampaknya malam akan tiba.
"Sudahlah Dit, apa yang kau cari di sana? Naiklah ... sudah terlalu lama kau berada di sana," ucap Gea seraya menatap Radit.
"Iya, kau tidak akan menemukan mutiara dan harta karun di dalam sana," timpal Via.
Radit hanya terdiam. Ia tak merespon apapun.
"Dia kenapa?" tanya Gea.
"Dia hanya cari perhatian saja. Sudah, hiraukan ...." Via alihkan pada pembicaraan sebelumnya.
"Sampai mana kita tadi—" (jawaban Via terpotong oleh teriakan Radit).
"Ah! Tolong-tolong! Kakiku keram!" teriak Radit dengan histeris.
Gea dan Via tercengang. Melihat Radit sedang tenggelam seraya meminta tolong.
"Vi!"
"Gea! Sepertinya Radit tak berbohong."
Tanpa berpikir panjang, mereka langsung berenang untuk menyelamatkan Radit.
"Bertahanlah Radit!" teriak Via.
Gea berusaha menggapai tubuh Radit yang berada jauh ditengah danau. "Pyuh ... bertahanlah."
Hingga mereka berhasil merangkul tubuhnya
"Via, bantu akh untuk membawa tubuhnya ke tepian!" teriak Gea. Ia memegang lengannya, mendongkakkan kepalanya agar bernapas. "Bernapaslah ...."
Begitu pun juga Via. Ia melakukan hal yang sama di samping kanan Radit.
Napasnya terengah-engah. "T-tolong! Aw-shh! Tapi bohong! Heheheh!" Raut wajahnya berubah seraya tertawa. "Memangnya ... kalian pikir aku bodoh dalam berenang?"
Raut wajah Gea dan Via seketika berubah.
"Kau!" kesal Gea. "Leluconmu berlebihan. Hentikanlah."
"Rasakan ini." Via langsung menenggelamkan Radit. Ia tak memberikan satu pun hirupan oksigen pada Radit.
Radit berusaha mengambil napas. "Ck-ah! Iya-iy—" (ucapnya terpotong karena langsung ditenggelamkan lagi).
"Ak-minta maf—"
****
"Untungnya aku dan Via membawa baju olahraga," ucap Gea seraya mendelik.
Cahaya bulan mulai menggantikan cahaya mentari. Hari telah berganti malam.
"Heheheh ... ya sudah, maafkanlah aku wahai kedua isteriku," ceplos Radit.
"Tak bisakah kau bersikap layaknya manusia biasa? Menjengkelkan sekali!" sahut Via. "Ingatlah hal ini ... aku dan Gea tak ingin menjadikanmu suami. Justru ... pilihan kami sangat bertolakbelakang dengan sikapmu."
"Itu bukan masalah yang besar ... masih ada 23 kandidat pilihan yang berada di ruang hatiku. Kalau kalian menolaknya, pergilah ...."
Suasana tampak sepi. Tak ada kendaraan yang berlalu lalang dan hanya ada suara dari gesekan sepatu mereka.
"Tumben gelap dan sepi ...." Via mengamati sekitar.
"Memang selalu seperti ini. Kau tak pernah keluar rumah saat malam hari?" tanya Gea. "Beberapa rumah memang sering mati lampu."
Krauk ... krauk ... krauk.
"Lapar ...." Melas Radit.
"Jadi?" tanya Via. Ia mengangkat satu alisnya.
"Rumahmu sudah di depan mata. Bersihkan tubuhmu terlebih dahulu lalu makanlah di rumah."
"Ibuku menyuruhku makan diluar ... hari ini Ia tak memasak." Tatapannya menatap pedagang nasi goreng.
"Rese!" Via menggelengkan kepalanya, memberikan kode pada Gea.
Gea dan Via menghiraukannya.
"Pulanglah cepat! Tubuhku sudah mulai lengket," kata Gea.
"Di rumah kau bisa membuat mie instan," timpal Via. "Manja sekali."
"Sudahlah, peganglah tanganku," ucap Via seraya menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Radit, ikutlah menyebrang," timpal Gea tanpa menoleh.
Gea menarik tangan Via saat mengetahui Radit tak ikut menyebrang.
"KENAPA LAGI?" kesal Via. Via terlihat marah.
Gea mulai menghampiri Radit lagi. "Belilah ... bukannya Ibumu sudah memberikan uang saku untukmu?" ucap Gea dengan rasa iba.
"Sudah kubelikan ikan."
"Ikan? Kalau begitu, di mana ikannya? Goreng saja ikannya dirumah," ucap Gea.
"Bukan ikan itu Gea." Ia mengelap wajahnya dengan kasar. "Ck! Sudahlah! Kau tidak usah berlagak seperti korban. Kau hamburkan uangnya untuk membeli ikan tak berguna itu kan? Makanlah semua ikan-ikan itu."
"Kemana ikan-ikan itu?" tanya Gea. Ia terlihat keheranan.
"Sudah kusimpan di kolam dekat danau."
"Kalau begitu lupakanlah, lagi pula kau sudah membelinya, kan?" Tatapannya sesekali melihat terhadap Via. Gea masih mencerna kenapa Via terlihat murka. "Ya sudah ... sisa uang itu belikan nasi goreng."
"Dia membeli empat ikan cupang Gea ...." murka Via. "Dia membeli ikan itu dan membiarkannya di danau buatannya yang Ia gali sendiri di tanah. Kau telah memedulikan orang yang salah." Via mengerutkan bibirnya, terlihat kesal. "Sudahlah biarkan saja, Ia harus merasakan kelaparan seperti ikan-ikan itu. Aneh, usiamu sudah delapan belas tahun. Kau masih saja seperti ini."
"Aku tak mengerti."
"Oh ayolah Gea, ketidakpercayaan itu benar." Via mendelik, seraya menyilangkan kedua tangannya.
Gea langsung menatap tajam kearah Radit. Ia mengembuskan napasnya dengan kencang. "Kau goreng saja semua ikan-ikanmu itu. Sekarang tanggung lah akibat dari perbuatanmu itu." Gea langsung menarik tangan Via untuk menyebrang.
"Tunggu ... kumohon. Pakai uangmu dulu, besok kuganti uangnya."
****
Suara spatula saling beradu dengan wajan. Aroma dari bawang putih kian menyebar.
"Terimakasih kedua sahabatku." Radit kini tersenyum bahagia. Kedua lengannya sudah menggenggam sendok dan garpu untuk segera menyantap pesanannya.
"Satu nasi goreng spesial dengan ati komplit daging kambing dan ayam suwir sambal ijo," kata Suryo, penjual nasi goreng. Pesanannya sontak membuat Via langsung menatap ke arah nasi goreng itu.
"Siapa yang memesan ini Pak?" tanya Via.
"Radit sendiri toh yang pesan ini. Apa pesanannya salah ya?" tanya Suryo.
"Oh ..." Via tersenyum. Ia menggertakan giginya dengan kesal. "Tidak Pak. Keinginannya sendiri ya?" Tatapannya menoleh tajam pada Radit.
"Iya, Radit memang sudah biasa memesan menu ini. Oh ya ... kalian hanya membelinya satu?" Suryo menghitung keberadaan mereka. "Tiga orang ... nasi gorengnya satu? Kalian hanya akan menonton mukbang dari temanmu?"
Gea tersenyum. "Ya ... kami sudah kenyang,"ucap Gea langsung menoleh menatap Radit tajam.
"Melihat pesanan Radit saja, itu sudah membuatku kenyang." Via tersenyum lebar, tetapi tidak dengan tatapannya.
"Tadinya aku akan mentraktir mereka. Mereka menolaknya," ucap Radit dengan dingin.
"Oh ... begitu ya ...." Via mengecilkan suaranya. "Baru kali ini aku menyesal berbuat baik pada orang lain."
"Jaga sahabatmu itu, Nak. Zaman sekarang, susah cari teman yang menerima apa adanya, teman yang saling menjaga, apalagi teman yang selalu memberi." Nasehat Suryo, seraya mengelap meja.
"Tentunya, Pak Suryo. Kami sudah bersama dari kami kecil. Sudah lima belas tahun lamanya," jawab Radit, seraya menyantap nasi gorengnya. "Siapa yang membantu berjualan, Pak? Deni biasanya membantu Pak Suryo. Kemana Deni sekarang?"
Pak Suryo termasuk salah satu tetangga mereka. Rumahnya tak jauh dari tempat Ia berjualan.
"Anak saya Deni, pulang kampung ... sudah beberapa bulan Ia mengalami sakit keras."
"Deni sakit apa?" Radit dengan cepat menelan kunyahannya. "Apa dia tak dilarikan ke rumah sakit?"
"Sudah bolak-balik rumah sakit, penyakitnya tidak ketemu."
"Kok bisa?" tanya Gea.
Pak Suryo tersenyum sendu. "Do'akan saja ya ... semoga Deni cepat pulih."
"Aamiin ... kami selalu mendoakan yang terbaik untuk Deni," jawab Gea, Radit dan Via secara berbarengan.
Suasana kembali hening. Hanya suara sendok dan piring yang beradu. Radit dengan nikmat menyantap nasi gorengnya.
"Memangnya tidak takut berjualan sendirian, Pak?" ceplos Radit. "Bapak kan tahu sendiri daerah sini seperti apa ... apalagi—" (ucap Radit terpotong).
"Sudah!" kesal Via. "Kau memang tak pernah tahu tempat, Radit! Habiskan saja makananmu. Lagi pula, besok kita harus menjalankan aktivitas lagi."
"Ya bagaimana? Takut atau pun tidak, saya kan juga harus tetap berjualan untuk keluarga saya," jawab Pak Suryo. "Apalagi ... ya kalian sudah melihatnya kan. Depan gedung tua dibelakang."
"Memangnya ... pernah ada kejadian apa?" tanya Radit. Ia masih menyantap nasi gorengnya.
"Ah ... jangan ditanya lagi." Pak Suryo melirik ke arah gedung tua itu. "Tak hanya satu ... dan 'mereka' jahil."
"Memangnya 'mereka' melakukan apa?" desak Radit.
Gea langsung mencubit lengan Radit. "Sudah ... segera habiskan makananmu. Kau membuat suasananya menjadi tak nyaman."
"Ya ... aku hanya ingin mengetahuinya saja. Memangnya tidak boleh?" Radit seraya mengelus-elus tangannya yang sakit.
"Ya kau pikir saja ... kau bertanya langsung di tempatnya. Kau pikir 'mereka' tak akan mendengar," timpal Via, murka.
"Mereka terkadang membeli dagangan saya, lalu membayarnya dengan uang daun," singkat Pak Suryo.
"Yang paling parah?" tanya Radit lagi.
"Menampakkan wajahnya yang hancur," lanjutnya.
Seketika Gea merasa badannya panas dan merinding. "Sudah!" sergahnya. "Aku pikir bukan waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan ini."
"Ceritakan, Pak!" seru Radit.
"Kau ini!" ucap Via seraya memukul. "Tak bisa kah kau diam saja?! Kau memang menyebalkan."
Penjual itu duduk di bangku kosong tepat di samping Gea. "Saya beritahu beberapa hal yang mungkin akan membantu kalian."
Suasana kembali hening lagi. Mereka langsung memasang kuping dan mendengarkan Pak Suryo dengan seksama.
"Lebih baik kalian tidak pernah tau tentang itu semua. Karena mereka 'mengincar' ... lebih baiknya lagi, pergi menjauh." Pak Suryo langsung menoleh ke arah pembeli lain yang baru datang.
"Pesan apa, Mas?" tanya Pak Suryo seraya melayani.
Radit mengerutkan keningnya. "Loh ... itu bukan cerita Pak."
"Sudah ... ingat saja kata-kataku itu. Mungkin itu semua akan membantu kalian."
****
Sepanjang jalan menuju rumah, Gea masih mengingat kata-kata Pak Suryo.
"Heh!" Lamunannya dibangunkan oleh Radit. "Kau mahu kemana? Rumahmu sudah di sebelahmu."
"Kau sedang memikirkan apa? Tampaknya banyak sekali beban di dalam benakmu," lanjut Via.
"Ah ... tidak. Aku hanya sedikit kecapekan. Ya sudah, kalian pulang dan beristirahatlah." Tanpa menoleh Gea langsung masuk ke dalam rumah. "Jangan lupa besok untuk menyiapkan beberapa berkas perbaikan nilai rapot kalian."
"Byee Gea ... besok aku akan kembali menyapamu di pagi hari," teriak Via.
"Bye," ketus Radit. Radit langsung masuk ke rumahnya.
"Iwh malas!" balas Via pada Radit. "Hidupmu sok dingin dan misterius."
****
Waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Tak ada rasa kantuk yang datang. Rasanya, Gea sangat penasaran dengan apa yang telah diucapkan Pak Suryo.
"Memangnya kenapa? Apa yang telah terjadi? Bukankah selama ini aku tinggal di desa ini? Lagi pula, sampai saat ini aku merasa aman dan baik-baik saja." Gea mengganti posisi rebahannya. Ia membuang napasnya dengan kencang. "Ya ... semua itu hanya omong kosong saja. Aku tidak akan mudah percaya pada mitos itu, orang-orang aneh."
Tak lama dari itu, seketika Gea mendengar sayup-sayup dari seorang wanita yang menangis seperti merintih kesakitan.
Jrenggg
Sontak Gea langsung menoleh ke arah pintu. Gea fokus pada suara itu. Suaranya menjauh tetapi lagi-lagi mendekat, itu terjadi beberapa kali. Ia menatap sekeliling kamarnya dengan waspada. "Hah? Siapa yang menangis?" Jantungnya mulai berdegup kencang.
Perlahan suara itu pun menghilang.
"Aneh." Gea berusaha mendengarkan lagi suara itu dengan teliti. "Apa suara kucing birahi?"
Dan suara itu terdengar kembali, kali ini terasa jauh namun dekat.
Tubuhnya perlahan mulai lemas, Ia menakutkan hal buruk yang akan terjadi, Gea memutuskan untuk menutup matanya. "Sudahlah, tidur Gea!" Lagi-lagi fokusnya teralihkan. Gea terkejut karena suara itu semakin terdengar jelas.
Rasa takut dan penasarannya kini sama-sama sebanding. Sesekali Gea ingin sekali melihat keadaan ke arah luar, lagi-lagi Ia mengurungkan niatnya.
Suara tangis itu semakin menggema di telinganya, membuat fokusnya pun terganggu. Kini suara itu berubah menjadi suara Sera, Ibu Gea.
"Ibu? Kenapa Ibu menangis di tengah malam? Apa Ibu rindu pada ayah?" batin Gea. Kini pikirannya berubah menjadi rasa khawatir. Sempat Ia berkelahi dengan pikirannya sendiri.
'Keluar atau tidak? Kurasa, suaranya pun bukan di dalam rumah'. Tersirat di pikirannya, Gea terus bermonolog.
Perlahan dengan tekad yang besar, Gea melangkahkan kakinya menuju pintu kamar. Jari jemarinya mulai memegang handle pintu.
"Jika sesuatu hal terjadi menimpaku, aku akan berteriak dengan kencang. Lagi pula, Ibu bersamaku," batin Gea, Ia terus menguatkan dirinya sendiri.
Akhirnya ... Gea putuskan untuk keluar dari kamar, Ia membuka pintu kamarnya dengan perlahan. Matanya mengintip ke arah sekitar, hingga tertuju pada jendela yang terhubung ke arah luar. Suara itu kembali terdengar.
"Aduh ... kau harus terus melangkah Gea. Setidaknya rasa penasaranmu sudah terbayarkan," batinnya.
Gea mendekati ke arah sumber suara tangis itu, sampailah di depan jendela yang terhubung ke arah luar. Ia meraih tirai yang berada di hadapannya. Perlahan Gea mulai mengintip.
Tidak ada siapapun di sana. Suasana tampak sepi dan sunyi.
"Aneh!" Gea mengerutkan keningnya. Ia terus mengamati sekitar pada malam itu.
"Apa suara itu berasal dari kamar Ibu?" Gea menoleh kebelakang, ke kamar Sera. "Tidak, kurasa dari arah luar."
Gea kembali mengintip dari tirai. "Hah?" Ia melihat seseorang sedang duduk di teras membelakanginya. Gea menyipitkan matanya. Dan benar saja, seorang perempuan di teras depan rumahnya sedang menangis merintih. Suara itu terdengar lagi. "Siapa dia?" Gea terus bertanya-tanya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Perlahan wanita itu mendongakkan kepalanya, Ia mulai menoleh pada Gea.
Refleks Gea langsung menutup tirai itu dengan rapat. Dengan cepat Gea berlari masuk ke kamar.
****
"Tidak ... kumohon tidurlah Gea! Kumohon! Kau tak boleh menyusahkan dirimu sendiri." Gea menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Yang paling menjengkelkan dirinya, tubuhnya mulai mengeluarkan keringat.
Suasana malam itu sangat hening. Hanya Gea bersama dengan rasa takutnya.
Ckiettt
Suara pintu kamar Gea perlahan mencekit mulai terbuka.
"Siapa? Tak mungkin kalau itu Ibu, Ibu selalu mengetuk pintu terlebih dahulu," batinnya. "Ah sialan!"
Gea tetap pada pendiriannya ... Ia tetap terus berpura-pura tertidur.
Tok ... tok ... tok
"Anes ...." Seseorang memanggil Gea dengan sebutan itu.
"Tidak mungkin, itu sebutan namaku pada saat aku kecil, siapa?" gumam Gea. "Perlahan Gea mulai mengintip dari celah dalam selimut.
Separuh wajah sudah mengintip dari samping pintu. Tatapannya begitu tajam menatap ke arahnya.
'Ya ampun! Wajahnya hancur, senyumnya begitu menyeringai'.
Perlahan Ia semakin mendekat. Tubuhnya bungkuk, Ia mengendap-endap berjalan ke arah Gea. "Anes ...."
"Tidak mungkin ...." Tubuh Gea tidak bisa digerakkan. Ia hanya bisa terdiam kaku sembari melihat sosok itu yang semakin mendekat.
Aroma anyir darah semakin menyengat.
"Tidak, tidurlah Gea. Ini akan menjadi mimpi buruk seumur hidupmu!" Gea berusaha menutup matanya, tetapi karena rasa penasarannya yang besar lagi-lagi Ia mengintip.
Jrenggg
Dia sudah dihadapannya.
"Tidak, tidurlah ... berpura-pura tidur Gea! Tenangkan dirimu," batin Gea.
"Anes ... aku sudah tahu anes," Sosok itu tertawa, mengejek. Tawanya begitu melengking. "Aku di sini," bisiknya.
Tubuh Gea seketika lemas mendengarnya.
Tubuh Gea seketika lemas mendengarnya.
Suara cekikikan itu semakin menggema di telinga. Gea semakin tenggelam dalam rasa takut.
"Bagaimana ini? Bagaimana agar Ibu mengetahui ini?" pikiran Gea terus berkelahi dengan rasa takutnya. "Ibu tolong aku!"
"Ibu tolong aku ... Ibu tolong aku."
'Siapa itu?'
JRENGG
Sosok itu mengejek Gea, dia terus mengulang-ulang perkataan itu.
'Dia mendengarku!'.
"Ibu tolong aku." Suara itu terdengar dekat sekali di telinga Gea. Membuatnya tak bisa berkutik apapun lagi.
Suara cekikikan itu perlahan menjauh dan menghilang. Sekejap keadaan kembali hening dan normal.
"Apa dia sudah pergi? Oh ayolah, aku belum berani membuka mataku," batinnya.
'Sepertinya akan kulanjutkan kepura-puraan ini sampai esok pagi'.
"Aduh, mana gerah lagi. Ck! Tubuhku juga pegal!" Selimutnya begitu tebal, membuat Gea ingin sekali membukanya. "Tidak tahanlah, itu tak akan lama." Gea menguatkan dirinya, tetapi rasa gerah tak dapat dipungkiri.
"Ayolah, kali ini kumohon kau harus bekerja sama Gea."
Gea membuka matanya dengan perlahan. Sosok itu sudah pergi. Pintu kamar sudah tertutup rapat. Dengan cepat Ia menyingkirkan selimut tebal itu. Ia langsung mengganti posisi tubuhnya menyerong ke sebelah kiri menghadap tembok.
Gea merasa bahwa posisinya sudah aman. Meski rasa takut itu masih terus mengikutinya.
Tubuhnya mulai terlelap dan hanyut dalam mimpi. Namun lagi-lagi Gea menghirup aroma gosong.
Sontak membuat Gea langsung terbelalak.
Sosok itu sudah berbaring di hadapannya.
"Ketahuan ...." Wajahnya tinggal separuh dan penuh koreng dari luka bakar. Tatapannya menatap tajam. Senyumnya begitu menyeringai.
Sontak Gea langsung berteriak kencang. Hingga teriakan itu membangunkan Gea dari tidurnya.
"Turut berduka cita atas berpulangnya Bapak Suryo ...." Suara itu terdengar dari balai desa.
Matanya terbelalak tak lagi mengantuk. Gea menggisik matanya. Pikirannya begitu rumit. Jantungnya berdetak kencang, Ia menatap jam, saat itu menunjukkan pukul tiga pagi.
Gea mengamati sekitar. Semuanya terlihat baik-baik saja. Hanya ada Gea, sosok itu pun tidak ada. "Huh ... ternyata hanya mimpi."
Kali ini Gea memikirkan informasi yang disampaikan tadi lewat balai desa. "Tidak mungkin ... sepertinya aku salah dengar." Ia langsung bergegas bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar Ibunya, Sera.
Saat Gea membuka pintu kamarnya, Sera sudah mengintip di jendela.
"Bu," panggilnya. "Apa benar Pak Mulyo telah berpulang?" tanya Gea dengan panik.
"Ibu juga tidak percaya. Sedari tadi Ibu terus mengintip."
Seperti biasa, Sera pasti sudah terbangun karena harus menyelesaikan pesanan catering dan risoles.
Kini Gea mengintip bersama Sera di jendela ruang tamu.
"Sepertinya benar Ibu. Memangnya Pak Suryo kenapa, Bu?" tanya Gea lagi. "Apa telah terjadi sesuatu yang buruk?"
"Ah semua itu sudah ajalnya saja. Sudah ... nanti pagi kita melayat. Sekarang, bantu Ibu menyelesaikan beberapa pesanan."
"Baik Ibu."
****
"Baru kemarin malam aku mengobrol dengan Pak Suryo. Katanya, kita harus berhati-hati pada gedung tua di jalan depan sana," ucap Gea seraya membuat adonan kulit risoles.
"Maksud Pak Suryo ... kita tidak boleh main ke sana karena memang berbahaya, karena sudah pasti banyak patah-patahan bangunan dan keroposnya kayu. Takutnya, bangunan itu roboh," pesan Sera. "Kau tahu kan? Pak Suryo memang memiliki sifat humor."
"Memangnya untuk apa membangun gedung di wilayah kecil seperti desa ini. Lebih baik membangun perumahan saja," sahut Gea. "Sepertinya dari aku kecil bangunan itu tidak pernah berubah. Tetap jelek dan kumuh."
"Tadinya gedung itu tempat penyimpanan beras, tetapi kebakaran, lalu dilakukan renovasi, tetapi tidak ada biaya ...."
Ucapan Ibu mengingatkan Gea pada sesuatu. Seketika Ia berhenti mengaduk adonannya. "Apa ada korban atas kebakaran itu Bu?"
"Ada ... Mak Piah. Dulunya, Ia suka membantu menanam padi, terkadang Ia mencari beras-beras yang berjatuhan untuk makan. Kasihan," ucap Sera seraya membuat kulit risoles.
"Korbannya hanya satu?"
"Iya ... tak banyak orang-orang saat itu. Itu pun, Mak Piah ditemukan ketika hampir tiga hari lamanya."
"Tidak mungkin ... semalam pasti hanya mimpi," pikir Gea.
"Teruskan membuat adonannya. Kenapa kau melamun? Ada sesuatu yang membuat pikiranmu rumit?" tanya Sera.
"Tidak Bu ... aku hanya sedikit mengantuk."
"Memangnya tidak cukup tidur? Jangan-jangan kau tidur larut malam sekali ya?"
"Iya ... semalam aku tidak bisa tidur. Entahlah ...." Gea melanjutkan membuat adonan kulit risolesnya.
"Ya sudah ... tidurlah. Biar Ibu yang menyelesaikannya," kata Sera.
"Ah tidak apa-apa, aku ingin membantu Ibu," sergah Gea.
"Tidak, simpan saja adonan itu di sana. Lanjutkanlah istirahatmu. Kau harus beristirahat dengan cukup. Pagi pukul tujuh Ibu akan membangunkanmu, kau harus pergi ke sekolah, kan?
"Iya ... aku, Via dan Radit harus membenarkan beberapa nilai yang kosong."
"Ya sudah ... pergi istirahat saja. Lagi pula, pesanan hari ini tidak terlalu banyak. Dan Ibu bisa menyelesaikannya sendiri."
"Tidak."
"Sudah, tidurlah Gea ... cepat. Mumpung masih ada waktu, esok Ibu bangunkan kembali."
"Tidak ... aku merasa takut akhir-akhir ini."
"Kenapa?" Sera menoleh ke arah Gea.
"Sepertinya ... penunggu di gedung tua itu menggangguku Ibu."
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Sera.
"Nenek tua yang Ibu ceritakan tadi, Ia mendatangiku tadi malam Ibu. Wajahnya separuh penuh luka bakar. Ia mengenakan baju kebaya kutu baru namun sudah setengah terbakar juga." Gea menatap Sera dengan serius. "Tolong Ibu, aku takut."
"Memangnya kau sudah melakukan apa?" Sera menatap Gea dengan serius.
"Aku tidak melakukan apa-apa Ibu. Semalam aku membeli nasi goreng Pak Suryo, lalu Pak Suryo menyuruhku, Via dan Radit untuk berhati-hati. Itu saja ...."
****
"Gea ...." Via dan Radit sudah di halaman rumah memanggil Gea. Adanya mereka pasti membuat suasana menjadi ramai.
"Gea ... kami datang, cepatlah keluar," seru mereka lagi.
Gea mengintip di jendela. Mereka sudah mengenakan pakaian sekolah dengan rapi. Hari ini hari terakhir untuk mengurus beberapa nilai yang buruk.
"Pagi sahabatku," sapa Gea, di pagi itu.
"Wih ... mukamu masam sekali. Apa hal buruk telah terjadi?" tanya Radit.
"Tidak." Gea menyergah pertanyaan Radit dengan cepat. "Apa kalian sudah melayat Pak Suryo."
"Belum ... sebelum kita berangkat sekolah, kita pergi melayat terlebih dahulu," sahut Via. "Ayo, nanti kita terlambat.
****
"Pak Suryo meninggal mendadak. Menurut keluarganya, Ia mengalami serangan jantung," ucap Radit.
"Ya, benar sekali. Ibuku bilang, Pak Suryo meninggal karena jatuh saat berdagang. Kemungkinan mengalami serangan jantung."
"Aku tidak percaya Pak Suryo telah meninggal. Baru saja aku melihat semalam Ia pulang berdagang."
"Memangnya kau melihat pukul berapa?" tanya Gea.
"Pukul satu malam. Saat itu aku harus membetulkan antenaku diluar, signal televisiku begitu buruk. Kulihat Pak Suryo sedang mendorong rodanya. Bahkan saat itu aku menyapanya," ucap Radit.
"Ya ... takdir tidak ada yang tahu," sahut Gea.
"Kasihan Deni ... bukankah Ia juga mengalami sakit keras?" tanya Via.
"Iya. Sekarang Ia sedang kembali ke kampung asalnya. Pasti rasanya sangat menyakitkan mendengar kabar ini di kampungnya."
"Kalau bukan dari Pak Suryo, mereka harus mengandalkan siapa lagi ya? Kasihan ... mungkin Ibunya Deni juga akan kembali ke kampungnya," balas Radit.
"Kuharap Deni kembali pulih agar bisa membantu Ibunya, Aku tak bisa membayangkan kejadian ini," sahut Gea.
Sampailah mereka di rumah Pak Suryo. Bendera kuning sudah terpasang di depan rumahnya. Melihat Pak Suryo sudah dimasukkan ke dalam keranda suasana menjadi sangat haru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!