"Bagaimana kondisiku, Dokter? Apa aku sudah diperbolehkan pulang hari ini?" tanya Gea pada dokter.
"Untuk hari ini saya masih belum bisa memberikan keputusan. Kita lihat esok." Dokter memeriksa memakai stetoskopnya. Ia melihat luka-luka Gea dengan detail. "Ada beberapa luka yang memang tidak boleh terkena air, hari ini ... kita ganti dulu perban pada lukamu ya," ucap dokter.
"Baik, Dokter." Gea hanya mengangguk sesekali menjawab setuju. Rasanya, Gea sudah merasa bosan selalu berbaring di rumah sakit.
"Sh! Aw!" Sesekali Gea menjauhkan lukanya dari cairan pembersih itu. "Sakit."
"Agar tidak terjadi infeksi. Pastinya kau merasa sangat kesal kan berada di sini? Untuk itu ... tahanlah sedikit." Lagi-lagi Dokter itu memberikan Gea semangat. "Kau masih bersekolah ya?" tanya Dokter itu, mengalihkan pandangan Gea agar tak fokus pada lukanya.
"Iya ... minggu depan hari kelulusanku."
"Untuk itu, kau harus benar-benar pulih. Kau harus selalu rutin membersihkan lukamu, tak mau kan kalau di hari kelulusanmu kau tidak mengikutinya?"
"Tentunya tidak. Aku hanya ingin kembali seperti semula, Tubuhku mulus tanpa lecet." Gea melihat name tag pada Dokter itu. 'Morgan Keyvano'. Namanya tampan, persis seperti Dokter itu.
"Rencana kau akan melanjutkan kemana?" tanya Morgan.
"Mungkin aku akan bekerja untuk membantu Ibuku."
"Semoga lahkahmu selalu dipermudah ...."
"Sudah," ucap perawat itu seraya membereskan beberapa barang ke dalam dorongan berisikan obat-obat.
"Baik, lukanya telah selesai dibersihkan, istirahatlah, saya izin pamit."
Percakapan itu terhenti begitu saja. Seketika Gea merasa ingin sedikit tinggal lebih lama di rumah sakit ini.
Tak lama, Radit datang bersama Via dibuka dengan pertengkaran.
"Sudah kubilang, jalan belakang itu ditutup Radit. Lebih baik kita lewat jalan utama saja. Kau saja kekeh pada pendirianmu yang salah itu!" Pagi-pagi terlihat Via sudah kesal.
"Oh ayolah ... kau tidak berpikir bahwa ruangan ini begitu jauh dari gerbang utama?"
"Tetapi lihatlah akhirnya? Kita sama-sama berputar arah, jaraknya semakin menjauh."
"Ya sudah ... hitung-hitung kau berolahraga saja. Tubuhmu lembek," sahut Radit.
"Oh ayolah ... burung saja masih berkicau merdu. Awal pagi kalian diawali dengan perdebatan yang tidak berfaedah. Kepalaku pusing melihat kalian yang selalu saja mengoceh," kata Gea.
"Kau tahu Gea!" Via berusaha mengompori. "Kau suka menunggu?"
"Perihal?"
"Perihal apapun! Kau suka tidak?"
Gea mengingat beberapa kejadian. "Tergantung. Tetapi lebih tepatnya tidak—"
"Nah! Kan! Kau tidak suka kan?" Gea menarik napasnya. "Kau tahu! Ketika kupanggil namanya, Ia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku harus menunggunya sekitar 2 jam, Gea. Make up-ku sudah mulai longsor karena keringat—"
Radit berusaha memotong ucapan Via. "Dengarlah Gea—"
"Hushh! Diam ... kau tau Gea? Dia sudah siap untuk berangkat, aku harus menunggunya lagi karena perutnya mulas."
"Ya bagaimana lagi? Mulas tidak pernah ada dalam jadwalku. Memangnya kau mahu menopang kotoranku?"
Raut wajah Via mulai memerah. "Kau ini!" Via melanjutkan ceritanya. "Dan terakhir ... diperjalanan sana, dia menarikku untuk sarapan bubur."
"Itu bukan masalah yang besar, kau mahu aku pingsan?"
"Masalahnya ... kita sudah di dalam angkutan umum, Radit! Kau memberhentikan tukang angkutan umumnya saat sudah melewati pedagangnya ...."
"Tinggal berjalan, itu tidak jauh. Kau ini berlebihan."
"Kau pikir aku tak menghitung jaraknya? Seratus lima puluh tiga Radit."
"Oh ayolah ... hitung-hitung kau berolahraga."
"Lihatlah Gea. Tidak ada kata ucap 'maaf' atas perlakuannya." Via mulai terlihat putus asa.
"Ayolah Radit, minta maaf saja." Gea sudah malas mendengar perdebatan kosong mereka.
"Tetapi kau memikirkan perut kosongku tidak?" Perdebatan itu masih panjang.
"Tidak. Karena kau tidak memberitahuku bahwa kau juga lapar," jawab Radit.
"Sudahlah ... katakan permintaan maafmu pada Via, Radit. Semuanya akan selesai," ucap Gea.
"Ya sudah ... maaf," singkatnya. Wajahnya tidak mencerminkan atas itu.
Via mendelik. "Manusia mana yang akan menerima permintaan maafmu dengan raut wajah seperti itu? Dan apa katamu 'maaf'? Itu saja?" Via mendecih. "Dan ... permintaan maafmu tidak tulus, kau diperintah oleh Gea, bukan tulus dari hati nuranimu."
"Kau lihat Gea? Serba salah hidupku. Kau memang rumit."
"Raut wajahmu saja terlihat ogah," ketus Via.
"Apakah ada lisanku yang berucap tentang hal itu?"
"Tidak. Tapi itu memang benar. Instingku akan selalu benar," ucap Via.
"Eh ayolah ... sudahi perdebatan kalian. Bagaimana kalau kita—" (belum selesai, ucapan Gea langsung ditolak).
"Tidak," ucap mereka dengan serentak.
"Oh ya sudah ...lanjutkanlah sampai petugas keamanan rumah sakit ini datang." Gea menutup telinga dengan kedua tanganku.
****
"Kau tahu? Bahwa rumah sakit adalah tempat orang beristirahat?" tegas petugas keamanan rumah sakit.
Via dan Radit hanya bisa menundukkan pandangannya.
"Awas ya! Sekali lagi saya mendengar keributan ini, tak segan-segan akan ku-blacklist dari rumah sakit ini."
"Bagaimana kalau sewaktu-waktu aku sakit dan masuk rumah sakit ini?" tanya Radit.
"Kau berharap apa? Mendapat reward? Kau akan dirawat hingga sembuh."
"Tadi kudengar bahwa aku sudah diblacklist dari rumah sakit ini."
"Tidak. Tidak ada yang mengatakan hal itu."
"Kau ... kau baru saja mengatakannya," sahut Via pada petugas itu.
Kini mereka berdebat bersama petugas itu.
"Maksudku ... itu hanya sebuah ancaman agar kalian tak lagi berisik."
"Kau berbohong?" tanya Radit.
"Bukankah berbohong sikap yang buruk dan paling tidak terpuji?" ucap Via.
"Itu hal baik kalau berniat baik—"
"Jadi ... kalau aku berbohong pada Ibu pergi sekolah ternyata aku bolos dan pergi menjenguk temanku, itu hal yang baik?" jebak Radit.
"Kalau meminta uang pangkal sekolah lalu dibagi dua untukku dan orang yang membutuhkan, bagaimana?" timpal Via.
"Itu berbeda, kalau itu memang perlu hantaman dan pukulan," jawab petugas rumah sakit itu.
"Jadi menurutmu? Menghantam dan memukul wanita itu baik?" Radit terus mencari secelah masalah dalam ucapannya yang salah.
"Jadi menurutmu juga tak boleh memberi?" lanjut Via.
Petugas keamanan itu mengerutkan keningnya. "Loh ... kok? Saya tak mengatakan hal itu. Kalian itu terlalu mengada-ada."
"Kau tahu tidak, bahwa Via ...." Radit menunjuk Via. "Adalah seorang wanita yang sedang bolos sekolah hanya karena ingin melihat sahabatnya yang sedang berbaring itu." Tangannya menunjuk ke arah Gea.
"Kau akan memukuli wanita cantik ini hanya karena berniat baik? Kurasa kau terlalu berlebihan, Pak."
"Menurutku, tidak ada pembelaan untuk orang-orang yang berbohong." Lagak Radit seperti orang benar. "Kalau semua orang di dunia melakukan hal itu, dunia akan benar-benar berantakan. Coba bayangkan kalau ada yang mencopet untuk membuka jalan mata air untuk kampungnya yang kekeringan ...."
Gea hanya mendengarkan pembicaraan kosong itu seraya berbaring. Sesekali Gea menahan tawanya, serasa menonton komedi di acara televisi. Petugas itu tetap saja menimpali mereka yang sedang menjahilinya.
"Ah! Sudahlah! Sebenarnya mahu kalian apa?" murka Petugas keamanan itu.
****
Kini hanya ada tawa diantara mereka bertiga.
"Diam! Rahangku sakit karena terlalu banyak tertawa." Via memegang rahangnya. Ia mengunyah chips-nya kembali.
"Aku tidak berpikir bahwa omong kosong itu akan berlanjut hingga kita mendapatkan makanan-makanan ini. Jadi, kumanfaatkan saja selagi bisa."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments