"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Mandor, Bayu. "Lanjutkan pekerjaanmu."
"Aku memikirkan Ibu di kampung. Beberapa hari ini, aku sudah tak mengirimkan uang padanya. Ia mengalami bocor jantung, butuh biaya yang banyak untuk pengobatannya," jawab Feri, seorang tukang pada pembangunan rumah sakit itu.
"Lanjutkanlah ... sebentar lagi gaji akan segera turun, kau bisa memberikannya pada Ibumu." Bayu terlihat iba pada Feri.
"Baik."
****
"Apa aku sudah diperbolehkan pulang sekarang?" tanya Gea pada Morgan. Harapannya kini begitu tinggi.
"Sepertinya kau ingin cepat-cepat pulang." Morgan memeriksa detak jantung Gea memakai stetoskopnya. "Kau boleh mengurus administrasimu sekarang ... asalkan, kau harus terus kontrol pada luka di tanganmu itu, kau harus menjaga lukamu dalam keadaan bersih, tidak boleh terkena debu dan air. Sepertinya butuh waktu untuk bisa sembuh total, lukanya cukup serius."
Raut wajahnya berubah menjadi riang. "Baik, Dok. Akan kuusahakan semaksimal mungkin."
"Baik ... kau boleh mengurusnya pukul dua belas nanti. Saya pamit, semoga lekas pulih, ya."
"Baik, Dok. Terimakasih."
Pandangan mereka tak lepas memandang Morgan yang keluar dari ruangan.
"Semua Dokter-Dokter memang wangi, tampan dan cantik, ya?" Via terus menatap Morgan tanpa henti hingga batang hidungnya tak lagi terlihat.
"Tentu saja, biayanya pun tidak sedikit untuk itu," sahutku.
"Apa hubungannya dengan uang? Memang dari lahir saja sudah tampan dan cantik," ketus Radit.
Gea dan Via langsung menoleh pada Radit.
"Tetap saja, mereka lahir tidak langsung menjadi Dokter, kan? Mereka harus melewati pendidikan yang sangat panjang dan melelahkan," jelas Gea.
"Kau pikir kuliah kedokteran tidak memakai biaya? Kau pikir perawatan tubuh atau pun wajah tidak memiliki biaya?" kesal Via. "Kurang-kurangi penyakit hatimu itu. Wajah yang licin itu harus diperlicin lagi menggunakan uang."
"Padahal natural itu lebih baik. Lagi pula, mereka memang memiliki kedudukan yang tinggi sejak lahir, mudah bagi mereka untuk mencapai itu semua," ucap Radit.
"Aneh ... sungguh! Pemikiranmu benar-benar aneh," timpal Gea.
"Kalau pun mereka memiliki kedudukan yang tinggi, tetap saja mereka harus melalui masa sulit. Tidak sepertimu yang selalu beralasan dan tidak mahu berjuang ... akhirnya kau selalu menyalahkan takdir."
"Aku tidak menyalahkan takdir ... aku hanya berpendapat." Radit menyilangkan kedua tangannya.
"Ya, aku hanya memberitahumu bahwa itu semua salah. Semua memiliki jalan masing-masing dan itu pun termasuk pendapatku."
"Ck! Ah~sudahlah ... ayolah kita bercerita lagi. Biarkan untuk sehari saja aku tak mendengar perdebatan kalian. Bagaimana kalau kita memakan ice cream hari ini? Bantu aku mengemasi barang-barangku dulu."
****.
"Feri ... tangkap," teriak tukang lain dari lantai empat mengestafetkan ember bekas semen.
Saat itu semua tukang bangunan berfokus pada pekerjaannya. Mereka bekerja sama dengan baik, termasuk Feri saat itu.
Bayu terus memantau dan mengamati dari kejauhan. Sesekali Bayu menghisap rokoknya lalu membuangnya secara perlahan.
Feri mengisi semen itu pada beberapa ember yang kosong. Temannya yang lain menariknya dari atas.
"Kiri ... kiri, terus ... terus ... yap! Berhenti!" Salah satu tukang mengkoordinir datangnya beberapa truk-truk besar pembawa batu dan tanah.
Beberapa dari mereka mengurus bagian-bagian lain.
Adukan semen telah habis. Tukang lain memasukkannya kembali pada penggiling semen. Siklusnya seperti itu sampai waktu istirahat datang.
"Yo ...." Suara tepukan terdengar. "Istirahatkan dulu tubuh kalian," ucap Bayu. "Kita lanjutkan di menit empat puluh, ada waktu tiga puluh menit."
Feri mengistirahatkan tubuhnya seraya bersandar ditembok seorang diri. Napasnya terengah-engah, raut wajahnya merah. Feri membuka topi proyek yang dikenakannya.
"Nih ...." Bayu memberikan sebatang rokok pada Feri.
"Terimakasih ... aku tak merokok, untukmu saja." Feri menolak pemberian Bayu.
"Ayolah ... hidupmu terlihat rumit. Setidaknya kau harus menghembuskannya perlahan lewat asap rokok ini," kekeh Bayu. "Kulihat kau selalu merenung. Seberat apa masalahmu itu?"
"Ah~ aku saja yang lemah dan pecundang ... aku baru saja fresh graduate, minggu kemarin baru kelulusan. Dahulu, cita-citaku bukan ini. Tapi aku harus membantu Ibu ... semuanya sungguh berkelahi di kepala."
"Memangnya kau bukan asli wilayah sini?" tanya Bayu.
"Bukan ... aku merantau."
"Umurmu belum mencapai kepala dua ... pantas terlihat tengil."
Mendengar itu Feri tertawa. "Ya ... memang, hanya terhalang keadaan saja."
"Hidupmu memang sangat malang," tutur Bayu. "Bekerjalah dengan semangat. Terus tetap berhati-hati. Kembalilah untuk Ibumu sembari membawa gajimu itu."
"Ya ... kuharap aku dapat membanggakan Ibuku."
"Kau tak boleh terlalu jahat pada dirimu. Dahulu aku pernah diposisimu, jadi aku tahu persis bagaimana rasanya."
"Jadi ... apa yang kau lakukan saat itu?"
"Aku lakukan semua yang aku bisa. Asalkan, kau tidak berdiam diri tanpa aksi. Soal keinginan dan cita-citamu itu jangan pernah kau bunuh ... biarkan hidup, kalau kau sudah tahu jalannya, Ia perlahan akan mati dengan tenang tanpa rasa menyesal."
"Ya aku harap, aku dapat menerima segala apapun dalam hidupku."
"Memangnya ayahmu ke mana?" tanya Bayu.
"Ayah telah berpulang dan aku tidak ingin melihat hal itu terjadi pada Ibuku."
"Kau pantas sukses, Bro! Teruslah berjuang, lagi pula ini bukan akhir dari segalanya. Anggap saja pengalaman pertamamu ... isilah perutmu, kau butuh tenaga banyak untuk menyelesaikan proyek ini."
Terlihat seperti kakak beradik yang saling menguatkan.
Feri tersenyum. "Thanks bro!"
****
"Apa ada barang yang tertinggal?" tanya Via.
Semuanya telah selesai di kemas. Tangan Radit dan Via penuh menggenggam barang-barang Gea. Kini ruangannya telah kosong dan rapi kembali.
"Tunggu ... apa Ibumu tahu bahwa kau telah diperbolehkan pulang?" tanya Radit.
"Ke mana Ibumu? Sejak tadi aku tidak melihatnya," timpal Via.
"Ibu akan kembali sebentar lagi, tadi Ia harus mengambil obat dan pulang terlebih dahulu karena paketnya telah sampai."
"Kenapa tidak minta tolong tetangga saja untuk mengambil paketnya?" tanya Via.
"Kau seperti tidak mengetahui sifat Ibuku, Ia memiliki sifat tak enak."
Mereka bertiga duduk di sofa menunggu kedatangan Sera, karena ada beberapa administrasi yang harus diselesaikan.
"Kau memang beruntung memiliki Ibu seperti Ibumu. Ia tidak banyak menuntutmu, Ia sangat menyayangimu, Ia benar-benar bertanggungjawab atas hidupmu diluar batas kemampuannya, hidup tanpa seorang ayah memang sulit bukan? Apalagi Ibumu," ucap Via seraya memasukkan beberapa makanan dimeja ke dalam tasnya.
"Benar ... kau memang benar, aku jadi khawatir. Aku takut tidak bisa membanggakannya," ucap Gea, perlahan membuatnya diam dan melamun.
Tatapan Radit menatap pada tangan Via. "Kau memang sengaja mengalihkan obrolan."
Via menatap Radit. "Memangnya kenapa?" Radit melihat tangan Via yang sedang memasukkan makanan-makanan itu. "Heh! Makanan yang kubawa ini untukku, untuk Gea dan untukmu juga ... seperti tidak pernah kelaparan saja."
"Aku? Silakan saja untukmu."
Via menatap Radit dengan kesal. "Ingin sekali kumengumbar semuanya dengan jelas ... sayangnya tidak ada CCTV untuk itu."
"Mulai," gumam Gea.
"Aku tidak pernah menyuruh dan meminta kau untuk itu," ucap Radit dengan ketus.
"Memang ... kau tidak menyuruhku, aku yang sengaja mengambilnya. Karena aku mengetahui kebiasaanmu dan Gea. Kesukaan kalian mengemil tanpa henti menghabiskan pilus tiga wadah di rumahku, menghabiskan pangsit pedas di rumah Gea dan menghabiskan snack itu di rumahmu sendiri. Salahku ... harusnya aku tidak perlu peduli."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments