"S-semuanya baik-baik saja Ibu," jawab Gea.
Sera tersenyum. "Tenangkanlah diri kalian. Ceritakan semuanya pada Ibu. Ibu tahu, kalian sedang menyembunyikan sesuatu."
Mereka semua saling bertatapan.
Seketika semuanya kembali hening.
"Kau saja ...."
"Kenapa harus aku? Kaulah!"
"Kau saja."
"Tidak. Kau saja!"
"Aku—" seketika Radit takut bahwa sosok itu akan mendengarnya. "Aku sudah lapar. Mari kita makan."
Gea dan Via mengangguk.
"Ya ... semuanya baik-baik saja," timpal Via. "Tentang air itu sebetulnya kami hanya berinisiatif sendiri. Takut Ibu kekurangan air untuk memasak."
"Iya ... tadi kami hanya di kejar anjing hutan," timpal Gea.
"Baiklah ... makanlah yang banyak. Ibu harus pergi dulu."
Ketika sedang sedap menyantap makanannya, seketika semuanya terdiam. Rasa takut mulai datang lagi.
"Ibu mahu ke mana?" tanya Gea. Centong nasi yang Ia genggam pun dilepaskan lagi. "Menurutku Ibu lebih baik di rumah saja membantu kami menyiapkan beberapa berkas untuk kelulusan nanti."
Radit menimpal. Ia tahu bahwa ucapan Gea hanyalah kebohongan. "Betul Bu. Kami perlu bantuan Ibu. Tolonglah ... untuk malam ini saja."
"Ibu harus membantu memasak di rumah almarhum Pak Suryo, hari ini hari ke tujuhnya." Ibu mengerutkan keningnya. "Memangnya ada apa?"
"Tidak ada, hanya perlu sedikit bantuan. Ibu akan banyak membantu perihal ini."
"Bukankah kelulusan tak membutuhkan berkas-berkas lagi? Coba kalian tulis saja perlu dipersiapkan apa, nanti Ibu akan mempersiapkannya."
"Tidak ... kami hanya membutuhkan Ibu," ucap Radit.
"Ah ... biasanya pun, kalian baik-baik saja. Sudahlah, makanlah yang banyak lalu tidurlah," jawab Sera.
"Kurasa Ibu jangan pergi malam ini." Gea berusaha menghentikan langkah Sera.
Sera tetap kekeh bersiap-siap.
Gea mengangkat kedua alisnya, wajahnya kusut, tubuhnya ingin sekali berlari.
Gea hendak mengambil gelas di depan. Tentunya tubuhnya ikut beranjak. Hal itu membuat Radit dan Via hendak berlari.
"Kalau aku berlari, mereka akan berlari," batin Gea. "Apa yang kalian lakukan? Ayolah ... santai saja." Gea mengontrol dirinya untuk tetap tenang. Karena sekalinya ada pergerakan pasti Radit dan Via akan berlari.
Radit dan Via pun saling menatap.
Sera langsung melangkahkan kakinya. "Pintunya Ibu kunci ya?"
"Jangan!" sentak mereka bertiga.
"Kenapa?" ucap Sera dari ruang Tv. "Ya sudah, Ibu tidak menguncinya. Jaga rumah ya. Sepertinya Ibu akan pulang larut malam."
"Kenapa? Kurasa Ibu harus cepat pulang malam ini," ucap Gea dengan kencang.
"Tidak akan secepat itu ... tetapi Ibu akan mengusahakannya, Ibu pamit. Jaga rumah."
Blukk
Terdengar Sera menutup pintunya.
Gea, Via dan Radit saling bertatapan. Mereka langsung meng-alas nasi dan lauk pauk pada piring.
"Aku dulu!" sergah Radit.
"Cepatlah!" kesal Gea.
"Cepatlah! Lambat!" timpal Via. "Ah lambat!
Mereka bertiga langsung berlari menuju kamar dengan membawa piring berisi lauk pauk.
"Cepatlah masuk, Radit!"
"Kau memang selalu lambat!"
****
"Ini Den ... kapan akan pulang ke rumah?" tanya Mbok, seraya menyiapkan beberapa lauk pauk.
"Sepertinya sampai proyek rumah sakit itu selesai," jawab Bayu. "Mbok sudah makan? Makanlah bersamaku."
"Sudah ... Mbok sudah makan. Nikmatilah, Mbok mahu ke dapur dulu, mari Den."
"Baiklah."
"Kalau kau kembali, rumah ini dibiarkan kosong?" tanya Feri.
"Mbok menjaga dan membersihkan rumah ini. Ya ... itung-itung Ia tinggal di rumah ini. Sayang sekali, aku dan kedua orang tuaku harus pergi ke luar kota. Jarak rumah ini terlalu jauh dengan beberapa titik yang harus ku datangi setiap harinya. Sudahlah, sekarang saatnya makan ...."
Feri mulai mengambil nasi. "Aku mengambil ayam ini ya."
Bayu mengangguk. "Ambilah, ambil saja semuanya. Lagi pula, ini semua hanya untuk kita makan malam ini. Kau ini terlalu kaku."
Feri perlahan mengambil beberapa lauk pauk yang sangat menggiurkan dimatanya.
"Untuk sementara, sambil kau mengumpulkan uang, lebih baik kau tinggal di sini saja," ucap Bayu seraya menyantap makanannya. "Sungguh ... aku baru kembali ke rumah ini pada saat proyek itu, kurang lebih satu minggu kan? Lebih baik kau tinggal saja di sini. Jadi sayang sekali, rumah sebesar ini dibiarkan terbengkalai."
"Ah sudahlah ... tidak usah. Aku sungguh merasa malu terhadapmu."
"Lagi pula, ini semua bukan sekadar untuk membantumu saja. Sayang akan rumahnya, tidak ada yang merawat. Kau juga bisa memanfaatkan semuanya agar kau bisa lebih fokus membantu Ibumu. Uangmu lebih hemat, bukan? Keinginanmu bisa cepat terwujud."
"Bagaimana kalau nanti Ibu atau ayahmu pulang, apa yang harus kukatakan?" tanya Feri seraya menyantap makanannya.
"Itu bukan masalah yang besar, aku pasti akan meminta izin dan kau bisa beralasan bahwa kau adalah penjaga rumah ini. Bagaimana?"
"Baiklah, kalau itu tidak memberatkan dan merepotkanmu. Aku akan menerimanya."
****
"Menyantap makanannya pun jadi tak enak," ucap Radit, seraya menyantap suapan yang terakhir.
"Kau bilang tak enak tetapi kau menghabiskannya pertama kali," balas Via.
"Sudahlah Via ... hari ini aku ingin menjadi orang yang serius saja, tak ada energi untuk berdebat."
"Itu sebuah fakta, siapa yang ingin berdebat ...."
"Aku tak ada keberanian untuk menyimpan piring ini ke dapur. Kita harus berbarengan menyimpan dan mencuci piring-piring ini terlebih dulu," perintah Gea.
Seketika Radit terdiam. "Tahu seperti ini lebih baik aku meng-alas makanannya di plastik saja. Kali ini aku punya satu permintaan. Aku hanya ingin kalian berjanji. Ya, termasuk aku. Aku tak akan menginginkan hal lain lagi, tapi untuk ini kumohon. Berjanjilah."
"Katakanlah ... kau sedang merencanakan apa lagi?" tanya Gea.
"Sudah janji keberapa ini, Radit? Kurasa kau ini terus saja berjanji tapi tak ada bukti," ucap Via.
"Kali ini percayalah ... sepenuhnya akan kutepati. Kalian harus berjanji untuk tidak pernah berlari atau meninggalkanku."
"Dan bagaimana kalau posisimu adalah orang yang berlari paling depan?" ketus Via.
"Percayalah itu sebuah ketidaksengajaan," sahut Radit.
****
"Hai ... malam sayang." Fera berjalan seorang diri di malam yang penuh dengan perempuan-perempuan malam.
Beberapa dari mereka bersiul saat Fera melewatinya.
Fera memakai rok mini dan baju hitam sabrina yang ketat.
"Satu jam, berapa Kak?"
Beberapa lelaki sejak tadi selalu menggoda Fera.
Fera berjalan menuju diskotik.
Lampu kelap-kelip dan suara bass sudah mulai menutupi telinga.
Fera terus berjalan menuju satu ruangan. Ia hendak menemui seseorang di sana.
"Hai baby ... sisanya akan kukirim nanti, kalau kau bisa memperagakan gaya yang sesuai dengan apa yang kuminta," ucap seorang lelaki dihadapan Fera.
Raut wajah Fera terlihat Flat, sesekali Ia menghela napasnya.
****
"Ya ... aku tinggal bersama Ibu dan Adikku, Fera. Dia gadis yang baik, tidak pernah melakukan hal aneh. Dari dulu aku yang membantu membiayai sekolahnya, ya walaupun tidak sepenuhnya, tapi aku sangat berharap agar dia sukses dan tumbuh baik ... tidak seperti kakaknya, yaitu aku," jelas Feri.
"Kau harus cepat-cepat membuktikan. Kau masih memiliki tanggung jawab penuh atas Ibu dan adikmu. Berapa usia adikmu?" tanya Bayu.
"Tujuh belas tahun, kurang lebih hanya berbeda satu atau dua tahun denganku." Feri menatap Bayu. "Mengapa kau bertanya mengenai hal itu?" Feri menatap Bayu dengan curiga.
"Tidak. Mungkin kau bisa mengenalkannya padaku."
"Tidak ... tidak akan kuberikan, dia harus menyelesaikan sekolahnya terlebih dahulu, Ia tak boleh berpacaran ataupun melintas ke hal yang dianggap wajar zaman sekarang."
"Loh ... bukankah diusianya itu hal yang wajar kalau dia berpacaran? Kau ini terlalu mengekang."
"Dia harus fokus akan hidupnya. Masih banyak hal yang harus Ia kejar. Sungguh, harapanku sungguh besar terhadapnya." Feri terlihat berangan-angan seraya tersenyum. "Kalau aku sudah banyak uang, aku akan menyekolahkannya lagi ke universitas terbaik. Dan menjadi sarjana pertama di keluargaku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments