Pantangan

Feri membentangkan dirinya. Ia melompat bebas dari lantai 8.

"Ah!"

Orang-orang dilantai bawah melihat kejadian itu.

"Ck ah! Kau ini kenapa!" teriak rekan Feri, Gumilang. Ia bersikeras menahan Feri agar tidak terjatuh. "Ah! Angkatlah tubuhmu itu, Feri. Tidak usah bermain-main. Kau akan mati."

Tatapan Feri terlihat kosong. Ia hanya bisa terdiam seraya tersenyum.

"Tolong! Teman-teman tolonglah!" teriak Gumilang. "Feri tidak sadarkan diri! Tangkaplah dari bawah."

Suasana menjadi rusuh. Orang-orang dengan sigap membantu menangkap Feri dari lantai bawah.

****

"Lagi-lagi dan lagi?" Sera membuka pintu kamar. Ia terkejut saat melihat Gea, Via dan Radit tertidur pulas di belakang pintu beralaskan selimut. "Ya ampun! Apa kalian tidak kedinginan?"

Mendengar suara Sera, mereka bertiga langsung melompat ke arahnya karena ketakutan.

Gea merangkul erat kedua kaki Sera. "Kumohon ... aku sudah tak sanggup. Ibu, sosok itu mengganggu kami."

"Siapa? Siapa yang mengganggu kalian? Lalu, kenapa Radit memakai baju dastermu, Gea?"

"Itu nanti kujelaskan ...." Radit menyergah. "Seorang nenek tua mengganggu kami. Kurasa itu Mak Piah," ceplos Radit. Seketika suasana menjadi asing dan dingin.

"Hush ...." Sera langsung menghentikan pembahasan itu. "Kalian melakukan apa lagi?"

"Tidak .. kami tidak pernah melakukan apapun," timpal Via.

"Memangnya kalian kenapa? Semalam baik-baik saja, kan?"

"Tidak sama sekali, Ibu. Semalam kami diganggu. Kami bertiga hanya bisa tertidur lelap pukul empat pagi." Gea menunjukkan bekas cakaran di luka bakarnya. "Ia melukaiku." Cakarannya begitu dalam.

"Betis pada kakiku juga terasa panas." Radit menunjukkan luka pada betisnya. "Lihatlah." Lukanya kemerahan dan melepuh, seperti luka bakar.

"Coba ceritakan, apa yang telah terjadi semalam?"

Sementara, malam tadi ....

"Tenangkan dirimu, kita tidak boleh melihat kebelakang!" bisik Gea pada Via. "Anggap semuanya tidak ada yang terjadi."

Mereka perlahan berjalan menuju tempat cuci piring. Di depannya, tiba-tiba saja, air pada krannya menyala. Sontak langkah kakinya terhenti.

"Hahah ... krannya memang rusak, sering menyala sendiri," Gea menyergahnya langsung.

"Ya—aa ...." Tubuhnya melonjak takut pun, Ia ikut menyergahnya juga. "Di rumahku juga sering mengalami hal itu. Itu hal yang wajar."

"Y-ya, kalau kejadian itu sering terjadi di kamar mandi rumahku, itu terjadi karena airnya mati dengan kondisi krannya terbuka," ucap Via. "Sudah, simpan lah semua piring-piring itu."

BUSHHH

Srekk

BUSHHH

Srekk

Krannya membuka-menutup lagi.

"Tutup mulutmu, setannya jadi haus validasi," bisik Gea.

Tatapan mereka bertiga tak lepas pada kran air yang sedang dipermainkan.

"K-kau tahu tidak bahwa hal itu termasuk pada gravitasi bumi? Semuanya pasti ada hal yang menjadi penggerak. Bisa saja karena krannya sudah lama, kan? Rumahmu berdiri tahun berapa?" Wajahnya penuh dengan keringat.

"Tidak tahu. Sekitar sudah 30 tahun lamanya."

"Ya sudah dipastikan kerannya rusak."

"Tidak masuk akal," bisik Via.

"Diamlah! Kutahu itu! Kau diam saja," gumam Radit.

Gea menahan langsung kran air yang bergerak-gerak itu. Tangannya langsung meraih sabun cair. "Cepatlah, cuci tangan kalian!"

Via dan Radit dengan rusuh langsung mencuci tangannya yang kotor.

"Cepatlah! Kembali ke kamar."

Mereka langsung membalikkan badan. Berlari kecil menuju kamar. Hingga .....

Brush

Srekk

Brush

Srekk

Krannya nyala kembali. Reflek Radit membalikkan badannya. Melihat pada kran air itu.

Tatapan Radit tak bisa lepas. Ia melihat nenek tua sedang duduk seraya mengayunkan kedua kakinya. Wajahnya seram, Ia menatap tajam pada Radit dengan senyumannya yang menyeringai.

"Ayolah!" Sontak membuat Gea tak sengaja melihat ke belakang. Gea melihatnya. Dengan cepat Gea langsung menutup mata Radit. Gea langsung menarik tangannya, karena tubuh Radit membeku. "Hei!"

Dan, kini mereka menceritakan semua itu pada Sera.

Sera mengamati semua luka-luka pada tubuh mereka. "Tunggu di sini, Ibu akan kembali."

Tubuh mereka langsung menyergah Sera pergi. "Tidak! Ia akan menyerupai Ibu dan menganggu kami lagi."

"Kalian ikutlah denganku."

Sera langsung bergegas mengunci pintu rumah. "Awalnya aku tidak pernah percaya dengan mitos itu, tetapi mengapa kau mengganggu anakku!"

****

"Lepaslah! Kami akan menahannya dari bawah!" Teriak beberapa rekannya dari bawah.

"Tunggu. Aku berusaha untuk mengangkatnya dulu." Gumilang saat itu masih bersikeras mengangkat Feri. "Tubuhmu berat sekali! Ayolah! Angkat tubuhmu! Kau akan mati! Sebetulnya kau ini kenapa! Ck! Ah ...."

Banyak orang yang sudah berkerumun dibawah untuk menangkap Feri.

"Naiklah!" Urat lehernya semakin kencang. "Kau akan mati! Kau tak mengingat keluargamu? Ah! Tubuhmu kecil tapi berat."

Feri tak menjawab. Matanya terbelalak, Ia terlihat melamun dengan tatapannya yang kosong.

"Ayolah Gumilang! Lepas saja, Feri akan aman, kami di sini sudah siap untuk menangkapnya," teriak seseorang dari bawah.

"Lama sekali! Cepat lepaskan!" teriak rekannya lagi dari bawah.

"Iya! Akan kulepaskan sekarang!" Gumilang melepaskan genggaman tangannya. Perlahan Ia melepaskan pengait tali pada tubuh Feri. "Huh ... ada-ada saja. Merepotkan sekali. Ingatlah bahwa gajimu tak seberapa Feri, perusahaan tak akan menanggung apapun kalau kau mati."

****

"Kek ... kumohon, dia datang lagi mengganggu anakku dan teman-temannya." Sera mendatangi rumah Wono.

"Seharusnya ... kau tidak lagi mengungkit-ungkit kejadian yang membuat dia bangkit kembali," kata Wono seraya menyeruput kopinya.

"Tetapi mereka tidak melakukan apapun, tidak ada hal parah yang mereka lakukan yang menuju ke arahnya." Sera berusaha membela Gea, Via dan Radit.

"Jujurlah ... tidak akan ada asap kalau tidak ada api." Wono menatap mereka dengan tajam. "Kalian akhir-akhir ini melakukan apa? Mengapa kalian bisa mengenalinya? Apa kalian selama ini mencari tahu tentangnya?"

"Kami tidak mencari tahu ... awalnya kami hanya mengamati tingkah Mbak Lasmi yang aneh. Lalu ... tak sengaja mendengar bahwa konon, neneknya itu adalah Mak Piah yang telah tewas karena kebakaran." ceplos Radit.

Wono tersenyum. "Ini alasan dari semuanya. Bahkan, hanya dengan kau mengingat dia di desa ini itu adalah sebuah pantangan."

Sera menatap mereka bertiga. "Jadi harus bagaimana, Kek?"

"Kalian harus membiasakan semua ini."

"Tidak." Sera menggelengkan kepalanya. "Berikan satu jalan, hal apa yang bisa membuat mereka terjauh dari malapetaka itu?"

"Kalian telah mengundangnya untuk masuk dalam kehidupan kalian." Raut wajah Wono sangat serius. "Kalian tahu tidak apa tujuan sosok itu mengganggu setiap orang yang mengingatnya?"

Tidak ada yang bergumam sedikit pun ketika Wono mengucapkan itu.

"Karena dendamnya sangat besar terhadap orang-orang yang tinggal di desa ini. Apa kalian mau merasakan penderitaan yang dideritanya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!