Hal itu membuat Sera mendatangi mereka lagi.
"Sudah kubilang tidurlah—"
"Ibu! Ibu tolong ... satu sosok mengganggu kami!" ucap Gea memelas. Jantungnya berdebar kencang.
"Aku tidak berbohong Ibu ... dia meraba-raba keningku. Ia berkata bahwa dia ingin mendengar kami bercerita lagi," sahut Radit.
"Kan ... sudah kubilang untuk tidak bertingkah pada malam hari. Lihat jam." Semuanya melihat ke arah jam dinding. "Sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi! Kalian ini kenapa? Esok kalian akan melanjutkan aktivitas lain! Ibu saja sudah bangun ... kalian tidur pun belum. Sudah! Tidur semuanya, sekarang."
"Ah tidak Bu .... kami semua akan tidur di ruang tv saja. Kumohon, dia ada di sana. Dia mengganggu kami," sergah Via.
"Ah tidak ada ... itu semua dampak dari halusinasi karena kalian belum tidur. Sudah, kembali ke kamar dan tidurlah." Sera tetap kekeh. "Sudah ... cepat kembali ke kamar."
"Tapi Bu." Gea menyergahnya.
"Ck! Sudah kembalilah ...."
Gea, Via dan Radit sudah berada di depan pintu. Mereka hanya bisa berdiam diri menghadap ke arah pintu seraya mendorong satu sama lain untuk masuk ke dalam kamar duluan.
"Kau saja." Radit perlahan mulai mundur.
"Tidak, kau saja." Begitu pun Gea, ikut mundur bersama Radit.
"Radit! Kau seorang pria! Memalukan." Via juga perlahan ikut mundur.
Sekarang jaraknya masih sama, hanya saja selangkah lebih jauh dari pintu.
"Lebih baik kita lakukan kertas gunting batu saja ... kalau kalah dia yang akan maju duluan," ucap Via.
"Ck! Ayolah ... aku memiliki firasat yang buruk soal ini. Kurasa, aku yang akan kalah." Radit menghela napasnya.
"Belum apa-apa saja kau sudah merasa kalah ... pecundang," ketus Via.
"Kau ini! Kau pikir aku robot. Aku kan juga manusia. Memiliki rasa takut."
"Ya kau seorang pria, harus lebih berani ketimbang aku dan Gea."
"Tidak! Aku takut. Kurasa aku ingin pulang saja," melas Radit.
"Huh—ganti saja bajumu memakai baju strawberry," ejek Via.
"Kalau begitu ... kau saja yang memulainya," perintah Radit pada Via. "Kalau kau berani, kenapa harus aku?"
"Ya ... karena aku tak berani. Kurasa kau adalah seorang pria. Dan kau akan melindungi kami berdua."
"Kau saja!"
"Tidak ... kau saja!"
Cekatan suara pintu kamar terbuka.
CRIETTT
Seketika semua terdiam. Via dan Radit tak lagi berdebat. Mereka kini hanya bisa menatap pintu kamar yang tiba-tiba saja terbuka. Mereka langsung saling bertatapan.
****
"Cepatlah! Kalau kau sudah berani mengambil hak orang lain, berarti kau juga berani untuk dihukum! Berani-beraninya. Sialan!" Pemilik toko itu menyeret paksa tubuh Feri yang sudah tak berdaya.
"Kau memang sedang sial hari ini, harus bermasalah denganku." Pemilik toko itu terus menggerutu.
Kebetulan, Bayu juga sedang mengurus beberapa berkas di sana. Melihat itu Bayu langsung terkejut.
"Seperti Feri ... kenapa dia?" Bayu menatap raut wajah Feri yang kala itu sudah tak berbentuk.
Bayu langsung menghampiri Feri. "Ada apa Pak?" tanya Feri. "Lepaskan Pak."
"Urus saja hidupmu, pecundang. Aku sedang kesal! Pria ini mengambil uangku, brengsek!" murka Pemilik toko itu.
"Dia temanku ... bagaimana bisa dia melakukan hal itu. Percayalah ... dia tidak akan pernah melakukan itu."
Pemilik toko itu menghentikan kakinya. "Hei, bodoh! Kulihat sendiri memakai mataku. Apa kau seorang pencuri juga?—"
"Tidak."
"Minggirlah ... aku sedang kesal, daripada kau juga kuhabisi." Pundaknya menabrak Bayu.
Lagi-lagi Bayu mengikuti langkah pemilik toko itu.
"Biar kuganti uangnya ... berapa? Biarkan dia bebas," pinta Bayu. "Ketahuilah hidup temanku itu sangat menderita."
Pemilik toko itu menghentikan langkahnya seraya menoleh ke arah Bayu. "Kau pikir hidup orang yang menderita boleh menderitakan hidup orang lain? Mengapa harus hidupku yang bajingan ini ganggu?" Pemilik toko itu melangkahkan kakinya lagi.
"Percayalah ... walaupun tubuhmu besar, kuyakin kau memiliki hati."
"Diam lah!" teriak Pemilik toko itu.
Membuat orang-orang di sekeliling menatap ke arah mereka.
"Kau membuatku tambah pusing! Enyahlah ... pergi dari hadapanku!"
"Tidak. Kumohon dia hidupnya sangat malang, kasihanilah."
"Kalau kau saksi semuanya, ikutlah denganku. Lihatlah bedebah ini beralasan."
****
"Kalian tidak tidur di kamar? Aduh ... bagaimana kalau masuk angin?" Terdengar Sera menggerutu. Saat itu Gea, Via dan Radit menghiraukannya. Mata mereka sangat lengket dan sulit dibuka.
"Ayo ... segera pindah ke kamar."
Sebenarnya, hal itu membuat setengah persen dari kantuk mereka mulai hilang. Tetapi mereka berpura-pura tetap tertidur.
"Ayo ... cepat Radit." Sera menepuk-nepuk kaki Radit. "Via dan Gea ... cepat kembali masuk ke kamar dan lanjutkanlah tidurnya."
"Hoammm tak apa, sebentar lagi bangun," ucap Via kembali memeluk Gea. "Tetap berpura-pura saja Gea, biarkan Radit yang tidur di kamarmu." Via berbisik kecil pada Gea.
"He'em ... hoamm." Gea merubah posisi tidurnya.
"Aku pulang saja ya ... sampai jumpa teman-teman." Matanya saja masih sulit dibuka, Radit langsung berjalan hendak pulang.
"Hei ... kau mahu kemana? Cepat kembali ke dalam kamar." Sera menarik tangan Radit. Tetapi lagi-lagi Radit menyergahnya.
"Tidak Ibu ... aku lupa harus membantu Ibu pagi ini." Kantuk Radit menghilang begitu saja. "Kumohon Bu ... Ibuku bisa marah."
"Sejak kapan kau membantu Ibumu? Bukankah kau selalu menjadi pusat amarah Ibumu? Kembalilah tidur di kamar, di rumah kau belum tentu bisa tidur. Ibumu akan menyuruhmu."
"Tidak apa-apa. Hari ini aku akan menjadi anak baik." Radit langsung berlari dan membuka pintu dengan kencang.
BLUGGG
"Sikapnya aneh ... yasudah—kau mahu ke mana?" Sera melihat Via yang sudah berdiri di hadapannya.
"Aku harus membantu Ibuku menyiapkan beberapa pesanan pempek. Kasihan, Ia selalu kewalahan," ucap Via. "Pulang ya Bu ... terimakasih."
****
"Jawablah dengan jujur ...." Pemilik toko itu lagi-lagi berteriak.
"Hei ... bisakah kau turunkan volume ucapanmu itu?" kesal Bayu. Bayu langsung menoleh ke arah Feri yang kini keadaannya sudah lebih baik.
"Kau memerintahku?" Pemilik toko itu menarik kerah baju Bayu. "Kau berpihak pada perampok? Kau berpihak pada pencuri? Berarti memang layaknya kau berhak untuk kupukul."
BRUGHH
"Sudah! Hentikan! Kondusifkan keadaan!" ucap Polisi. "Apakah kau benar mencuri uang itu?" tanya polisi pada Feri.
"Benar ...." Raut wajah Feri berubah menjadi sendu.
"Lihatlah ... ucapanku benar, kan?" kesal Pemilik toko itu. "Ayo hukumlah!"
"Ck! Bisakah kau menghargai orang lain untuk berbicara? Kau memang tak sopan!" teriak Bayu.
Lagi-lagi Bayu hampir saja dihantamnya.
"Sudahlah!" Lagi-lagi polisi menghentikannya.
"Aku terpaksa melakukan ini untuk aku bisa bertahan hidup." Air mata Feri mulai berlinang. "Ketahuilah Pak ... aku tak menjadikan alasan untuk kejahatanku ini, tapi aku tak bisa melakukan lebih untuk hidupku."
Seketika semuanya terdiam.
"Jelaskan secara perlahan dan rinci ...."
"Ibuku mengalami gagal jantung. Kost-anku beberapa kali menunggak. Hari ini kalau belum menyegerakan pembayaran, aku akan diusir. Aku sangat bingung, Pak. Tetapi ... hukumlah aku atas perbuatanku ini." Feri menatap ke pemilik toko itu. "Kumohon Pak, maafkanlah aku ... hukumlah aku seberat-beratnya, tetapi kumohon, biarkanlah aku tetap bekerja untuk Ibuku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments