"Jadi aku harus mengisi lima belas soal matematika ini tanpa melihat contoh, Bu?" Wajahnya tampak tak percaya. Di hadapannya terdapat soal matematika berderet yang harus Ia selesaikan.
Nilai matematikanya sangat buruk sekali.
"Tentu saja ... nilaimu itu hanya dua belas Radit. Kurang tujuh puluh dua nilai lagi untuk mencapai kkm," ucap Hasni, Ia menggelengkan kepalanya.
Tatapannya memelas, menatap Gea agar membantunya. "Bagaimana dengan nilai Gea dan Via? Apa nilai mereka aman?"
Hasni melihat data di laptopnya. "Gea dan Via, kelas keperawatan ya?" Ia men-scroll mencari nama Gea dan Via. "Kalian ... nilainya aman, delapan puluh delapan."
Gea membuang napasnya lega. Begitu pun raut wajah Via terlihat sumringah, berbeda dengan Radit.
"Sudahlah, walaupun kau tak mau memperbaiki nilaimu, Ibu akan memaksamu. Kelak jika di perkuliahan nanti, kau tak akan mendapatkan belas kasihan dari dosen-dosenmu."
Sepertinya tak ada alasan lagi untuk Radit mengelak.
"Iya ... saya akan memperbaikinya, Bu."
"Baik ... Via dan Gea silakan keluar. Untuk Radit, saya tak akan beri waktu, selesaikan sampai selesai."
****
Radit keluar dari ruangan. Raut wajahnya pucat dan tak bersemangat.
"Sudah? Terlihat dari wajahmu kau telah menyelesaikan semua soalnya." Bibirnya bergetar menahan tawanya.
"Terasa lama sekali, sampai membuatku dan Gea menjadi basi. Sepertinya kau benar-benar akan mendapatkan nilai bagus."
"Hei diamlah! Tak usah banyak bertanya. Kita pulang saja, aku ingin sekali segera merebahkan tubuhku," ketus Radit seraya berjalan.
"Guru bahasa Indonesia dan bahasa inggris mencarimu, katanya kau belum menyelesaikan tugas-tugasmu?" kata Gea, membuat langkah Radit terhenti.
Ia mengembuskan napasnya dengan kencang. "Arghhhhh!" Tangannya menggacak rambutnya, Ia tampak kesal.
****
"Ayolah percepat langkah kalian ...."
"Sudah kubilang, dahulu saat semuanya sibuk dengan tugas kau malah bermain-main. Sekarang semuanya sudah bersantai, kau yang sibuk," ujar Gea. "Menyesal kan? Siapa suruh."
"Hidupmu memang penuh penyesalan, Dit. Sudah kubilang ini, itu, harus begini, harus begitu ... kau tetap pada pendirian payahmu itu," timpal Via.
Radit menoleh ke belakang. "Terus bagaimana? Kalian saja tak membantuku."
"Kau berharap apa?" timpal Gea. "Aku dan Via tak mungkin membantumu menghapal biografi tokoh terkenal, apalagi dalam bahasa inggris. Itu hal yang mustahil kecuali memang kau berniat ingin menghapalnya."
"Untuk kali ini saja ... niatkanlah sedikit untuk dirimu. Kerjakanlah dengan maksimal. Aku da Gea tak akan selalu membantumu. Kau ini ... inginnya instan, belajar tak mau, menghapal tak mau, tetapi ingin ranking satu!"
"Apa aku menyogok saja? Kuberikan uang pada Bu Ulfah."
Satu pukulan melayang pada leher Radit.
PLAKKK
"Kalau kau selalu seperti ini ... bagaimana nanti ketika kau harus survive di dunia pekerjaan? Tak mungkin kau akan mencontek temanmu setiap Ia melakukan sesuatu," kesal Gea.
"Heran ... sikapnya selalu saja seperti itu."
"Sepertinya gedung itu akan di bangun kembali," ucap Radit. Tatapannya menatap gedung tua itu.
Via mendecih. "Anak itu pandai mengalihkan pembicaraan."
"Ya sudah ... kita pulang saja, tubuhku sudah lelah. Kita lihat saja nanti ketika sudah selesai di bangun." Gea hendak menyebrang.
"Tunggu aku," seru Via.
"Kita tidak akan bermain?" Kalimat itu berhasil menghentikan langkah kaki mereka.
"Cuaca panas seperti ini, lebih baik kupilih merebahkan diri saja. Kau saja sana main sendirian. Hiraukan saja dia Gea."
****
Ceklekk
Aura sejuk menyapa tubuh Gea.
Sera mengintip dari dapur. "Makanlah. Ibu sudah membuatkan cumi kesukaanmu." Ia memberi jeda. "Bagaimana dengan nilai kalian?"
"Nilaiku dan Via bagus, kecuali Radit. Dia terlalu santai untuk itu, jadinya ada tiga mata pelajaran yang harus Ia perbaiki."
"Anak itu ... Ia memang tak pernah serius dalam mengerjakan sesuatu. Ajak Ia untuk selalu melakukan yang terbaik, kasihan Ibunya. Ya sudah ... ganti baju dahulu, lalu makanlah. Ibu sudah memasak cumi hitam kesukaanmu."
"Baik Ibu."
****
"Tumben sekali membuat cumi hitam ..."
Tiga centong nasi terpapar di piring milik Gea. "Makanlah yang banyak .... "
"Terlalu banyak Bu. Tak akan habis." Gea mengembalikan nasinya separuh pada wadah nasi.
"Heh ..." Sera menyergahnya. "Makanlah ... Pak Suripto baru saja pulang dari laut. Ia membawa beberapa ikan termasuk cumi ini. Lumayan, harganya jauh lebih murah dibandingkan di pasar."
"Ah tidak ... tubuhku mulai terlihat gemuk. Kali ini aku akan diet!"
"Tidak, tidak ada kata diet. Kau harus makan banyak agar pintar. Sesudah itu beristirahatlah .... Ibu harus pergi ke warung depan untuk membeli bumbu dapur yang habis."
"Baik Ibu."
Suapan pertama mencengangkannya. "Hummm ... masakan Ibu akan selalu menjadi juara."
"Jaga rumah Gea," kata Sera dengan suara yang keras.
"Ya Bu," jawab Gea sembari menyantap makanannya.
BLUGG
Sera sudah pergi, terdengar Ia menutup pintu rumah.
"Ya ampun ... masakan Ibu memang nomor satu, sampai kapanpun." Gea menghabiskan makanannya hingga tak ada sisa sedikitpun. Ia meraih centong nasi. mengambil lagi cumi hitam itu. "Dietnya mulai besok saja. Hari ini cheat day."
Detik setelahnya, fokus Gea teralihkan pada Sera. Ia berjalan di sampingnya. Tatapannya mengikuti sosok Sera yang kini duduk di kursi depan.
Gea menoleh ke belakang. Dahinya mulai berkerut, keheranan. "Ibu? Ibu sudah pulang? Kapan Ibu pulang?" tanya Gea. "Cepat sekali."
Sera tak menjawab pertanyaannya. Ia hanya terdiam dengan tatapan kosongnya.
Di detik setelahnya semuanya menjadi hening. Suasana semakin mencengkram saat Gea mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres.
"Ibu sudah makan?" tanya Gea, kali ini Ia tidak berani menatap Sera. "Aku sudah menyisihkan cuminya untuk Ibu, makanlah sekarang, nanti Ibu sakit."
'Kok Ibu aneh ya?'
Semerbak aroma anyir dan gosong tercium begitu menyengat. 'Seperti aroma yang berada dalam mimpiku'.
"Ibu menghirup bau ini tidak? Sepertinya ini bau dari cumi hitam ini ya?" Tatapannya menatap Sera.
Senyuman tajam kini terukir di wajahnya.
Gea menyadari hal itu. Tatapannya Ia jatuhkan pada cumi di hadapannya.
"Bukan ... itu aku."
Deggg
Sontak membuat Gea tercengang. Tubuhnya kaku tak mampu untuk bergerak.
Mulutnya mengeluarkan lendir. Pergerakan dari mulut sosok itu, seperti sulit berbicara. "Aku di sini."
Gea tak bergerak. Matanya terbelalak, Ia sulit mengalihkan pandangannya. "Tidak. Pergilah!"
"Aroma itu ...." Senyumnya menyeringai. "Aroma wajahku yang masak."
Gea langsung berlari menuju pintu luar. Tangannya langsung meraih handle pintu. "Terkunci?"
Ceklek Ceklek Ceklek ....
"Tidak Ibu! Ibu! Tolong!" Gea berusaha membuka pintunya. Beberapa kali Ia mendobraknya tetapi sulit terbuka. "Bu!"
Gea menoleh. Sosok itu merangkak mendekat ke arahnya.
"Tidak! Jangan! Buka Bu! Ibu tolong! Ya tuhan tolonglah aku!"
"Ya tuhan tolonglah aku."
Suara itu bukan Gea yang mengatakannya. Gea terdiam. Dengan napasnya yang terengah, Ia menoleh ke belakang.
Sosok itu mengejek, mendekat dengan cepat ke arahnya. "Ya tuhan tolong aku, ya tuhan tolong aku!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments