Debaran jantung cukup berdetak kencang. Bukan debaran karena cinta, namun ada perasaan begitu aneh di rasakan Bunga. Tempat yang begitu nyaman ia kunjungi. Sehari menjadi orang kaya bukanlah masalah. Seharusnya ia juga merasakan bahagia di kala ada orang baik yang memperkerjakannya untuk beristirahat saja.
Alih-alih harus berpikiran demikian, Bunga semakin tak bisa merasakan kedamaian dalam dirinya. Firasat ketakutan, cemas, khawatir, menjadi satu.
Ada apa ini? Gadis itu semakin gelisah. Menunggu matahari terbit saja sepertinya cukup lama berputar porosnya. Bunga sampai-sampai memutuskan untuk menunggu di lobby saja. Jika pria tampan itu mengambil ponselnya, ia bisa bergegas untuk menuju bank mengambil uang.
Mungkin perasaannya tak enak, bisa jadi kepikiran dengan kondisi ibunya yang harus operasi. Jika tak melakukan tindakan tersebut, ia bisa-bisa kehilangan ibunya.
Jam sudah pukul sembilan pagi. Pria itu tak menampakkan wajahnya. Bunga yang semakin gelisah tak menanggung, ia pun lebih baik ke bank yang mungkin sudah buka. Baru melangkah keluar, Bunga di suguhkan dengan para teman SMA-nya yang kebetulan melewati hotel.
Ketiga putri remaja itu saling berseru menunjuk gadis yang selalu di bencinya. Siapa yang tidak suka pada gadis pintar namun pelit soal jawaban ujian? Tentu mereka bertiga paling utama.
Mereka seperti biasa bolos dari sekolah. Mendengar Bunga ambil libur karena ibunya sakit, mereka merasa tak ada mainan. Sekarang malahan mereka menemukan sebuah permainan baru untuk musuhnya itu.
"Ada yang baru keluar dari hotel nih," celetuk Jannes merangkul bahu Bunga. "Bobok dengan berapa pria, Bun?" wanita itu mencolek pipi Bunga.
"Kalau hotelnya kayak begini sih, biasanya tiga ya," seru Claire mengudarakan kedua tangannya menunjuk bangunan tinggi di hadapannya itu.
"Ya elah Bun, tanggung amat sih tiga, lima dong," cerca Jannes.
Kedua wanita lainnya menutup mulut, mata melebar, dengan wajah terkejut. Selepasnya mereka tertawa.
Bunga tak banyak waktu untuk melawan ketiga musuhnya itu. Ia secara santai menurunkan tangan wanita di sampingnya. "Apa itu masalah buat kalian?" Bunga tak takut pada omongan semua orang.
Ia lebih takut jika kedua orang yang ia sayangi kenapa-kenapa. Memang hampir benar teman-temannya mengatai ayam kampung untuk mengecap namanya. Namun saat ini gadis itu masih mempertahankan kesuciannya.
"Masalah dong Bun. Emang kita bertiga nggak tau masalah keluarga Lo yang terjangkit HIV. Mungkin termasuk Lo," tuduh Maile berbisik menekan. Tentu kedua mata Bunga mendelik. Jika semua orang tahu habislah ia.
Bisa-bisa Bunga di keluarkan dari sekolah dan mengikuti tes kesehatan. Gadis itu tak takut jika melakukan tes kesehatan, namun sekolah yang sedikit lagi usai di hentikan, bagaimana nasib gadis itu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Memang benar dulunya Bunga mendapatkan beasiswa. Namun sekarang tidak lagi. Nilainya merosot jauh. Ia juga telat datang sekolah gara-gara bangun kesiangan akibat pekerjaannya yang memulangkannya jam tiga subuh.
Saat ini gadis itu sudah di cap juga sebagai anak nakal. Apalagi sebutan ayam kampung menjadi nama trendnya.
"Terus kalau begitu apa yang akan kalian lakukan? Menyebarkan? Silahkan! Aku nggak pernah takut." Bunga bergegas melangkah menjauh. Sakit hatinya sudah membeku, sampai ejekan semua temannya tak ia ambil hati lagi. Sekolahnya memang penting, tapi nyawa ibunya saat ini yang lebih penting.
Ketiga wanita itu bertingkah kesal. Mereka tak akan membuat wanita yang namanya sudah jelek akibat ulah mereka, selalu hidup damai. "Kita akan buat dia secepatnya keluar dari sekolahan." iri dengki sudah merasuk ke kerak hati Jannes.
Wanita cantik itu bukan hanya kesal karena Bunga pintar saja, melainkan ketua osis yang tampannya tak tertandingi bisa-bisa menyukai gadis itu. Jannes sangat menyukai pria yang menjadi rebutan para siswi itu, ia tak rela jika orang seperti Bunga yang menjadi pemenangnya.
...***...
Jika ada kata emergency, pria tampan itu tak dapat menolak. Pagi-pagi Ali mendapatkan informasi agar segera ke rumah sakit karena ada ibu hamil yang semalam mengalami kontraksi tiada henti sampai air ketubannya habis, bayi tak juga lahir. Terpaksa pria tampan itu melakukan operasi mendadak demi keselamatan sang ibu dan bayi.
Tangisan sang bayi tak terdengar, detak jantung masih memompa. Ali berusaha dan tetap tenang melakukan pertolongan pertama agar bayi itu melewati masa kritisnya.
Semua orang pada cemas, tidak untuk Ali. Sudah bertahun-tahun menemukan kasus seperti ini dan tentu, tidak begitu lama suara teriakan bayi menangis menggema di ruangan tertutup itu. Kemampuan yang ia miliki membuat para staf bangga memiliki dokter seperti Ali.
Tenang dan cekatan dalam pekerjaannya menjadi dominasinya mendapatkan banyak penghargaan.
"Kapan nih giliran Lo yang bisa mendengar tangisan anak sendiri?" Daniel, sebagai dokter anestesi salah satu teman dekat Ali.
Setiap pertanyaan itu selalu muncul setiap mereka bertemu. Ali menganggap bahwa itu makanan sehari-hari. Bukan hanya Daniel, banyak juga para staf lainnya yang selalu menjahili pria tampan itu.
"Gue denger Lo dapat hadiah dari Gon. Gimana-gimana, enakkan?" Daniel tak ikut karena ia ada urusan sendiri. Biasanya tiga sekawan itu aktif dalam taruhan yang terjadi sebulan sekali.
Ali menyeringai sembari melepaskan sarung tangannya. "Apa gue bisa berkata bahwa ini adalah jebakan dari kalian berdua?" tak mungkin jika ini hanya kebetulan semata.
Daniel menggaruk lekuk lehernya yang tak gatal. "Lo mau lihat nggak ibu dari wanita itu?" secara tak langsung pria tampan itu mengakui jebakan mereka.
Ali menarik garis bibirnya sebelah. Ia mengingat bahwa gadis itu masih di hotel sesuai perjanjian mereka. Pria itu melirik jam tangan yang terlihat gadis itu mungkin sedang bersekolah.
Padahal Bunga ambil libur tanpa sepengetahuan Ali. Sebab ia harus melakukan transaksi pembayaran secepat mungkin untuk menyelamatkan masa depannya serta nyawa sang ibu tercinta. Jika wanita dewasa itu pergi meninggalkannya, maka Bunga bisa-bisa tak dapat menjalankan hidupnya lagi.
Ali sendiri penasaran dengan kondisi wanita yang di katakan saat ini dalam fase di ujung tanduk. Selang dan banyak alat kesehatan itu menempel pada wanita yang terlihat tak sadarkan diri.
Lirikan mata Ali mencari salah satu keluarga yang biasanya menemani. Namun di sana sepertinya tak ada sama sekali. "Apa keluarganya memang menunggu di luar?" tanyanya yang ingin tahu saja. Lagian dalam kondisi seperti ini memang keluarga di larang untuk mendekati pasien. Selain risiko, bisa juga mengganggu istirahatnya pasien.
Namun Ali ingin saja melihat wanita muda yang di lihatnya melalui ponsel yang di pegang Bunga. Ya, pria tampan itu memiliki dua ponsel yang ia pisahkan. Satu untuk kerja, satunya untuk pribadi. Namun semua data-data pribadinya ia pindahkan ke ponsel kerjanya karena ponsel itu memang ingin di berikan ke Bunga untuk bisa menghubungi gadis yang saat ini sedang bersekolah, itu kiranya Ali.
"Adik dari wanita itu hanya sekali ke sini Li untuk menjaga ibunya. Setelah itu nggak lihat lagi. Apalagi wanita yang semalam sama Lo, ehem!" Daniel mengira bahwa Ali sudah menikmati gadis itu.
"Tenang, apa yang Lo pikirkan beruntungnya nggak terjadi. Investasi akhirat gue menjadi taruhannya. Jelas!" Ali keluar dari dalam ruangan.
Tebakan pria tampan itu meleset. Nyatanya iman pria di sampingnya cukup kuat. "Lo suka tipe pria yang kayak gimana Li?" curiga lainnya timbul di benak pikiran Daniel dan semua orang terhadap Ali.
Kedua mata hitam pekat itu menusuk kedua mata Daniel. "Sekali Lo fitnah gue, istri Lo jadi bini gue!" ancam Ali.
Daniel mengangkat kedua tangan untuk mengatakan menyerah. Ia kembali melangkah mengejar teman seperjuangannya itu. "Lalu apa yang akan Lo lakukan dengan gadis itu? Sampai detik ini kayaknya nggak ada kabar bahwa wanita itu akan membayar rumah sakit ini. Hari ini terakhir dia di beri waktu untuk membayar rumah sakit. Bayaran yang menunggak serta operasi yang harus di lakukan juga serentak hari ini. Kalau sampai hari ini dia tetap nggak bayar, kami terpaksa memulangkan ibu itu Li."
Ali berhenti melangkah. Kenapa begitu menyedihkan kisah gadis itu.
"Mungkin ibu itu hanya di berikan obat jalan. Sisanya kita nggak bisa banyak bantu. Lo tau sendiri gimana kondisi masing-masing. Mana suaminya ibu itu acuh tak acuh sama istrinya. Padahal dia yang mendatangkan penyakit."
Ali mengeratkan kedua tangannya. "Memangnya kapan Bunga berjanji buat bayar rumah sakit?"
"Yang gue denger dari perawat sih pagi ini. Tapi kayaknya nggak ada kabar. Sebenarnya sih kondisi ibu itu harus segera diatasi. Kalau sampai siang nggak juga operasi kami semua angkat tangan."
Daniel mendekati telinga Ali. "Sebenarnya juga kami semua sudah banyak bantu. Yang membuat kami berhenti itu si bapaknya ini Li banyak tingkah. Siapa yang nggak kesel Li, uang bantuan yang kami berikan malahan di habiskan buat urusan pribadinya. Sedangkan istri dan anak jadi taruhan. Setiap Bunga ke sini aja keliatan kayak kecapean, kadang dia tidur di tempat bangku tunggu."
Ali tak bisa membiarkan hal ini. "Dimana Gon sekarang?"
"Kayaknya di ruangan poli."
"Iya udah kita ke sana, jika Lo nggak ada kerjaan lagi."
"Ikut!" Daniel membuntuti langkah Ali yang tampak sekali wajah pria tampan di sampingnya tidak begitu tenang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yus Warkop
masukin aj k penjara bunga bpmu itu yg gak tahu diuntung
2025-01-05
0
Tina Nine
Kasihan bunga,
2024-08-09
0
Eva Karmita
ayo up lagi otor 🙏😊
2024-08-09
0