“Ini Bun, tinggal kau minum,” perintah seorang wanita cantik yang mengenakan gaun silk berwarna merah hati. Ia menunjuk nampan berisi sebuah pil dan segelas air putih untuk diminum oleh gadis muda nan cantik di hadapannya.
Wanita muda itu tanpa berpikir panjang langsung meneguk pil tersebut. Keputusannya sudah sangat bulat untuk melakukan semua ini sesuai dengan rencananya.
Matanya yang cantik dengan bulu mata lentik hampir saja berkaca-kaca ketika melihat penampilannya yang terlalu terbuka. Ya, gadis itu tak pernah sekalipun berpenampilan terbuka sebelumnya. Ia adalah seorang wanita yang selalu menjaga auratnya dan kesuciannya.
Namun, malam ini ia tampak sukarela menjual dirinya demi kesembuhan sang ibunda tercinta.
Perasaan takut bercampur dengan pengorbanan memenuhi dadanya. Bunga, gadis delapan belas tahun, melangkahkan kakinya dengan terpaksa, menelusuri lorong menuju kamar yang telah disediakan.
Malam ini Bunga menjual keperawanannya. Ibunya terjangkit penyakit yang kini marak terjadi di kalangan masyarakat akibat pergaulan bebas.
Sang ibu mengidap HIV, penyakit yang ditularkan oleh ayahnya yang ternyata di luar sana sering bermain dengan wanita, berjudi, dan minum alkohol.
Hidup Bunga begitu sulit. Setiap hari ia harus bekerja siang dan malam, banting tulang sepulang sekolah. Namun, uang yang didapatkannya tak pernah cukup untuk membiayai pengobatan kedua orang tuanya.
Kondisi keluarga mereka begitu menyedihkan. Ayahnya yang sakit-sakitan masih saja hidup semaunya, memuaskan nafsunya tanpa peduli dengan keluarganya. Lebih parahnya lagi, sang ayah bahkan berhutang kepada rentenir untuk memenuhi gaya hidup buruknya.
Bunga menjadi korban kekerasan di rumah. Tak sedikit lebam yang terlihat jelas melukis tubuhnya. Namun, rasa sakit itu sudah tak lagi ia hiraukan. Baginya, rasa sakit kehilangan ibunya jauh lebih menyiksa.
Ia tak ingin ibunya meninggal karena keterbatasan biaya pengobatan. Maka ia mengambil keputusan yang sangat berat, mencari uang dengan menjual dirinya demi menyelamatkan nyawa ibunya.
Awalnya Bunga sempat ragu, apakah pria yang akan menjadi kliennya benar-benar sehat. Namun, persyaratan yang dijelaskan oleh wanita itu meyakinkannya bahwa pria hidung belang yang akan membelinya berada dalam keadaan bersih dan sehat.
Bunga pun juga sudah menjalani tes kesehatan sebelumnya untuk memastikan dirinya layak. Dengan penuh persiapan, ia mencoba membuat dirinya terlihat lebih menarik.
Dalam pikirannya, ia hanya memiliki satu tujuan, melayani pria itu dengan baik agar mendapatkan uang yang cukup untuk ibunya.
......................
“Gue kalah taruhan!” seru Gon sambil meletakkan kartu kamar di depan temannya, Ali.
Ali duduk santai di sofa sambil memijat pelipisnya. Garis bibir pria matang itu sedikit terangkat, membentuk senyuman penuh arti. “Jadi apa yang lo kasih, apartment or car?” tanyanya, kedua matanya melirik kartu yang tampaknya adalah kunci kamar hotel.
Taruhan mereka kali ini memang tidak biasa, bahkan cukup menggelitik telinga siapapun yang mendengarnya. Mereka berdua bertaruh dengan menghitung langkah semut menuju lubang yang telah mereka tentukan.
Namun, taruhan itu menjadi lebih absurd ketika mereka melakukannya sambil menutup mata dengan kain hitam. Ali yang lebih cerdik kali ini berhasil menang, sementara Gon harus menerima kekalahan dengan lapang dada.
Gon mendesah pelan, tampak kesal, namun berusaha tetap tenang. “Ini lebih dari yang lo harapkan. Seumur hidup menjadi investasi lo,” jawabnya sambil mencoba meyakinkan temannya.
Ali memegang kartu itu, membolak-baliknya dengan penasaran. “Kalau nggak seumur hidup, gue minta dua kali lipat,” ucapnya dengan nada santai, meskipun jelas ia penasaran dengan hadiah di balik taruhan ini.
Ali menebak-nebak apa yang menantinya di kamar itu. Barangkali sebuah investasi, atau mungkin sesuatu yang lain. Ia membayangkan Gon memberikan surat saham seperti yang biasa mereka lakukan dalam taruhan-taruhan sebelumnya.
Gon, di sisi lain, tampak tak sabar untuk menyelesaikan percakapan ini. “Whatever you ask me to do,” ucapnya sambil tersenyum kecil. “Silahkan lo kesana. Kebetulan gue lagi ada pasien. If you need any questions, please feel free to contact me,” lanjutnya, membentuk gerakan tangan seperti telepon ke telinganya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Ali sendirian.
Ali menghela napas ringan sambil tersenyum tipis. Ia pun beranjak menuju kamar hotel yang dimaksud. Setelah melewati seharian penuh dengan jadwal operasi sesar yang melelahkan, tempat itu terdengar seperti pilihan sempurna untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya.
“Hai Li,” sapa seorang wanita cantik yang hampir melintasi pria di sampingnya. Suaranya lembut, namun penuh keakraban. “Ngapain lo di sini?” tanyanya sambil memegang segelas minuman dingin di tangannya.
Ali menoleh dan tersenyum tipis. “Kebetulan gue lagi ada kerjaan aja. Lo ngapain di sini?” jawabnya santai, namun tetap menjaga nada ramah.
“Sama, ada kerjaan juga. Besok lo libur kan? Temenin gue dong belanja. Kebetulan—”
Namun, sebelum wanita itu sempat menyelesaikan kalimatnya, seorang pria muncul mendekat. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang cukup mencolok. Tanpa ragu, ia langsung merangkul pinggang wanita tersebut.
“Sayang, ngapain sih kamu di sini?” tanyanya dengan nada suaranya terdengar lembut namun sedikit menuntut perhatian.
Wanita itu tersenyum kecil, “Aku lagi ngomong sama temen aku Sayang. Oh ya Li, sorry ya gue ada kerjaan. Besok gue hubungin lo lagi kalau jadi,” ucapnya sambil melirik Ali sejenak.
Ali mengangguk mantap. Matanya tak lepas dari pria yang kini merangkul teman sekolahnya waktu SMA. Ia tidak mengenali wajah pria itu.
Seperti biasa, Ali hanya menganggap pertemuan ini sebagai salah satu momen kecil dalam kesehariannya. Sebagai pria tampan yang masih berstatus single meski usianya sudah tak muda lagi, ia sering kali menjadi tameng bagi teman-teman wanitanya.
Walau begitu, Ali tidak pernah memanfaatkan situasi ini untuk sesuatu yang lebih. Ia tahu betul banyak di antara teman-temannya yang diam-diam meliriknya sebagai calon suami. Namun, Ali memiliki standar sendiri.
Baginya, bertemu dengan wanita yang pandai menutup aurat dan menjaga diri adalah prioritas utama. Hal itu menjadi hal terpenting yang ia cari, tak peduli berapa usia wanita tersebut. Suatu hari, ia yakin akan menemukan calon istri yang tepat, tanpa tergesa-gesa.
Ali melanjutkan langkahnya menuju kamar sesuai nomor yang tertera pada kunci yang ia pegang. Sesampainya di depan pintu, ia menarik napas panjang.
Apa pun hadiah yang diberikan Gon, temannya yang berprofesi sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin, akan ia terima dengan lapang dada, meskipun ia tahu Gon sering melakukan hal-hal yang kelewat iseng.
Namun, begitu ia membuka pintu, suara lirih seorang wanita langsung menyambutnya. “Om, tolongin aku, Om,” ucap wanita itu dengan suara terputus-putus.
Ali terkejut mendapati seorang wanita muda terduduk di pinggir tempat tidur, wajahnya terlihat pucat, dan napasnya memburu sembari memegang dadanya. Ia tampak dalam kondisi tak berdaya, dan jelas berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Sontak, Ali mengucap istighfar dengan nada pelan. Matanya memeriksa tubuh wanita muda itu yang berkeringat deras dan terlihat sangat lemah. “Apa kau merasakan sesuatu?” tanyanya cepat, mendekati wanita itu.
“Panas Om. Panas banget. Aku nggak tahan Om,” jawab wanita itu, suaranya bergetar. Tanpa diduga, ia mulai membuka pakaiannya perlahan.
Ali segera menyadari sesuatu yang salah dengan hadiah dari Gon kali ini. “Kelewatan banget dia,” batinnya, sambil menggerutu dalam hati. Tanpa membuang waktu, ia langsung menggendong wanita itu menuju kamar mandi.
Setelah meletakkannya di dalam bathtub, Ali memutar keran air dingin agar tubuh wanita itu terendam sebagian. Meski wanita itu terus menggeliat, membuka sisa pakaiannya secara tak sadar, Ali tetap fokus.
Sebagai seorang dokter kandungan, ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Baginya, wanita muda di hadapannya hanyalah seorang pasien yang membutuhkan pertolongan medis.
“Om tolong. Aku nggak kuat,” keluh wanita itu dengan suara yang semakin lemah, sementara tubuhnya terus bergerak tanpa kendali.
Ali yang berusaha tetap tenang, mengalihkan pandangannya sejenak untuk mengontrol emosi. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau itu masih muda! Seharusnya kau nggak boleh kayak begini,” ucapnya dengan nada tegas, meski ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan nasihat.
Wanita itu tak merespons, hanya mendesah kuat, membuat Ali semakin khawatir. Ia menyadari bahwa pertanyaannya tidak akan menghasilkan jawaban dalam kondisi wanita itu saat ini.
Ali melihat jam tangannya sambil memeriksa denyut nadi wanita itu, yang berdetak sangat cepat. “Tahanlah sebentar! Obat itu akan hilang dengan sendirinya,” ucapnya sambil tetap memantau kondisinya.
Di dalam kamar mandi, Ali terus memeriksa tanda-tanda vital wanita tersebut, memastikan ia bisa melewati dampak buruk dari obat yang dikonsumsinya. Ia tahu situasi ini adalah ujian besar, bukan hanya sebagai dokter, tetapi juga sebagai seorang pria.
Ali meletakkan Bunga ke tempat tidur, memastikan gadis itu nyaman dengan bathrobe yang membalut tubuhnya. Ia menutupi Bunga dengan selimut hangat, berharap tidurnya tetap lelap.
Namun, pikirannya tak bisa tenang. Ada tugas lain yang menunggunya, memarahi seorang teman yang dinilainya telah bertindak keterlaluan.
Dengan ponsel di tangan, Ali melangkah ke balkon, memastikan percakapannya tak akan terdengar oleh Bunga. Beberapa kali ia mencoba menelepon, hingga akhirnya panggilannya diangkat.
“Lo benar-benar udah gila dan keterlaluan ya?” umpat Ali langsung tanpa basa-basi.
“Tenang Bro, tenang!” sahut Gon, mencoba meredakan kemarahan yang terdengar jelas dari nada suara Ali.
“Tenang apanya? Enak banget lo ngomong! Lo kira buat kayak beginian gue dapat investasi di surga, gitu? Lo mau cari mati juga? Mau istri lo jadi janda, hah?” Ali tak mampu menahan emosinya. Jika bisa, ia mungkin sudah meledakkan rumah temannya itu.
“Don't talk like this, try listening to me first.”
“Enggak ada yang namanya don-donan ya. Lo udah bikin gue emosi tingkat dewa,” balas Ali sengit.
Ali mendengar Gon tertawa kecil di seberang telepon.
“Ketawa aja lo terus! Lo di mana sekarang? Sini nggak? Tanggung jawab lo!” Ali terus meluapkan amarahnya tanpa jeda.
“Bukannya lo lagi cari istri? Lo juga nggak memandang umur. Bagus itu barang bersegel.”
“Lo udah gila banget. Sekalian bayi baru lahir lo kasih ke gue. Ngeselin banget lo jadi orang!” Ali ingin melempar ponselnya jika saja Gon ada di hadapannya sekarang.
Gon kembali tertawa, kali ini terdengar lebih puas. “Tenang, tenang! Gue jelaskan dulu.”
Ali mendengus kesal, merasa Gon hanya mencari alasan untuk membela diri.
“Dia anak dari pasien gue. Hidup gadis itu cukup mengharukan Li. Ibunya kena HIV, ketularan dari bapaknya yang suka main di luar. Parahnya, bapaknya ini masih nggak mau dengar omongan kami soal pengobatan.”
“Uang buat bayar pengobatan juga nggak ada. Gadis itu kasihan, dia anak pintar tapi jadi tulang punggung keluarga. Sekarang dia sampai rela jual keperawanannya demi pengobatan ibunya.”
“Mana dia juga kayaknya disiksa sama bapaknya. Gue serahkan dia ke lo. Lo kebetulan cari istri. Bagus itu untuk investasi lo seumur hidup.”
Ali hanya diam, kepalanya mulai berdenyut memikirkan cerita yang baru saja ia dengar. Ia memang melihat ada bekas luka di tubuh gadis itu, sepertinya sengaja ditutup dengan alas bedak.
“Kalau lo mau bantu, silakan. Kalau nggak, terpaksa gue cari orang lain yang bisa membantu dan menikahi gadis itu. Kasihan Li. Gue kalau nggak ingat istri, udah gue jadikan istri lagi,” ucap Gon, mencoba meyakinkan Ali.
Ali menarik napas panjang sebelum menjawab. “Entar gue pikir-pikir dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,” balas Gon singkat.
Ali mematikan ponselnya, menenangkan pikirannya yang masih kacau. Ketika ia kembali ke dalam, ia mendapati Bunga yang sebelumnya tertidur sudah bangun.
Gadis itu duduk di atas tempat tidur, meremas-remas selimut yang membalut tubuhnya. Wajah cantiknya jelas menunjukkan keinginan untuk menangis, meski ia berusaha sekuat tenaga menahannya.
Ali mendekat, melangkah masuk untuk berbicara dengan gadis yang jelas-jelas tampak terbebani oleh tekanan hidup. Ia duduk santai di kursi kayu jati di dekat tempat tidur, meski kepalanya masih terasa berdenyut-denyut. Dengan tangan, ia memijat pelipisnya, mencoba mengurangi rasa sakit.
“Katakanlah sejujur-jujurnya. Kenapa kau berani melakukan hal ini?” tanya Ali, memandang lurus ke arah gadis itu.
Bunga mengeratkan kedua tangannya di atas selimut. “Aku butuh uang Om. Aku mau bawa ibu sama adekku pergi, dan menyembuhkan penyakit ibuku,” jawabnya dengan jujur. Tak ada gunanya berbohong.
“Lalu kau rela masuk neraka?”
Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh juga. Bunga mengangguk kecil, membenarkan tanpa berkata apa pun.
Ali masih dengan santainya memijat pelipisnya. “Ayahmu kemana?” tanyanya lagi, kali ini nadanya lebih lembut. Ia ingin mendengar langsung dari gadis itu tanpa menghakimi.
“Bapak ada Om. Tapi bapak nggak pernah lagi kasih uang sama kami,” jawab Bunga masih meremas-remas kain selimut di pangkuannya.
“Kenapa bapakmu nggak kasih uang? Itu kan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Lagian, kalau kau mau cari uang, kerja yang halal itu banyak. Nggak usah sampai kayak begini,” ucap Ali mencoba mendorong gadis itu agar membuka dirinya.
“Bapak suka main wanita Om. Bapak juga nggak peduli lagi sama aku dan ibu. Ibu lagi sakit dan butuh obat. Aku udah kerja di mana-mana Om, tapi uangnya kadang diambil bapak, kadang buat pengobatan ibu.”
“Ini aja makan sekali sehari udah bersyukur banget,” ucap Bunga dengan suara bergetar. Ia berusaha keras menahan tangis, tetapi air matanya terus mengalir.
Hati siapa yang tak teriris mendengar cerita semacam itu? Ali menghela napas panjang, memijat kepalanya lebih keras. Gadis ini benar-benar hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi.
“Maaf kalau aku lancang, apa bapakmu sering memukulmu juga?” tanya Ali pelan.
Bunga mengangguk mantap, meski ia tampak enggan mengungkap aib keluarganya.
Ali menarik napas kasar. “Lalu, berapa umurmu sekarang?”
“Bulan depan masuk sembilan belas tahun Om,” jawab Bunga dengan suara kecil.
Ali tertegun. Usia gadis ini masih sangat muda. “Sekarang kau masih sekolah?” tanyanya lagi.
“Kalau SPP sama uang lainnya dibayar besok, mungkin aku masih bisa sekolah Om. Kalau nggak, aku mungkin diberhentikan,” jawab Bunga jujur, suaranya terdengar semakin lemah.
Ali semakin sakit mendengar itu. “Sejak kapan kau kerja?”
“Sejak umur sepuluh tahun Om. Waktu itu bantu ibu jualan gorengan. Setelah ibu nggak bisa masak lagi, aku terpaksa kerja apa aja. Kadang jadi tukang parkir, kadang cuci piring di rumah makan, kadang sapu halaman orang, banyak Om.”
Ali menghembuskan napas berat, merasa iba pada gadis di hadapannya. “Sekarang kalau kau jadi istriku, apa kau mau?”
Sepasang mata Bunga membelalak, terkejut dengan pertanyaan itu. “Apa Om bertanggung jawab karena sudah melakukan hubungan terlarang itu?”
Ali tertawa ringan. “Belum. Lebih tepatnya nggak. Kebetulan kau cepat sadar gara-gara berendam di air dingin. Maaf, temanku memang keterlaluan.”
Bunga terlihat bingung, ragu antara lega dan takut. “Ini salah aku kok Om. Terus, Om, kalau aku jadi istri Om, apa Om akan ambil uangnya setelah kita menikah? Uangnya sudah masuk ke rekening tabunganku. Apa aku juga akan jadi simpanan Om? Sampai kapan Om?”
Ali kembali memijat pelipisnya, mencoba menahan emosi. “Intinya sekarang kau pulang. Urusan itu nggak usah kau pikirkan. Aku yang akan mengurusnya. Tinggalkan saja nomor ponselmu.”
Bunga menggeleng cepat. “Aku nggak punya HP Om.”
Ali terdiam. Hidup tanpa ponsel di zaman sekarang rasanya seperti hidup tanpa nyawa. Ia semakin bimbang dengan keputusan yang harus diambil. “Tunggu sebentar.”
Ali berdiri, menelepon seseorang untuk mengirimkan pakaian lengkap bagi Bunga. Setelah menerima sahutan di ujung telepon, ia kembali berbicara.
“Kau tunggu sebentar, nanti ada orang yang datang. Setelah itu, temui aku di lobi.”
“Nama aku Bunga Om,” ucap gadis itu, memperkenalkan dirinya.
“Ali, itu namaku,” jawab Ali singkat sebelum beranjak pergi, meninggalkan gadis itu yang hanya mengangguk kecil, tampak takut untuk menatap Ali langsung.
Andrean mengenakan pakaian dengan santai sesaat setelah melampiaskan hasratnya. Ia berdiri dengan angkuh, sementara Kirana, gadis muda di dekatnya, masih meringkuk kesakitan. Rintihan lirihnya memenuhi ruangan kumuh itu, tubuhnya gemetar dengan air mata yang terus mengalir.
Amarah Andrean belum surut. Kekesalannya dipicu oleh permintaan selingkuhannya yang menginginkan sejumlah uang yang menurutnya terlalu fantastis. Ketidakmampuan Andrean memenuhi permintaan itu justru dilampiaskan dengan cara yang kejam kepada gadis malang tersebut.
“Inilah kalau kau nggak mau nurut Ki. Kau sendiri yang bikin semuanya susah!” cecarnya kasar.
Kirana tak menjawab, sibuk menangis dan menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang luar biasa. Tubuh kecilnya yang lemah hanya mampu menggenggam kain lusuh untuk menutupi dirinya.
Denting ponsel Andrean memecah keheningan. Suaranya membuat Andrean tersenyum sinis. Sebuah pesan masuk, memberitahukan bahwa nominal uang yang cukup besar baru saja masuk ke akun anaknya yang atas namanya.
“Ternyata dia sudah berhasil dapat uang dari jualannya,” tawa Andrean semakin menjadi, seolah menikmati situasi tersebut.
“Bapak… Jangan ambil uang Bubun lagi Pak,” lirih suara Kirana, menyebut panggilan kesayangan untuk kakaknya. Meski lemah, ia berusaha memohon.
Namun permohonannya dibalas dengan kasar. Rambutnya ditarik kuat hingga Kirana menjerit kesakitan. “Kalian itu cuma pembawa sial! Emangnya kau hidup sampai sekarang karena siapa? Kau itu harus menghasilkan uang juga, Ki.”
“Awas aja kalau kau berani cerita ke orang lain tentang hubungan kita! Bapak nggak segan-segan membunuhmu juga!” bentaknya seraya melempar Kirana ke tempat tidur dengan kasar.
Tubuh Kirana tersungkur di atas kasur lusuh. Tubuhnya yang penuh lebam tampak semakin ringkih. Ya, sejak ibunya terbaring di rumah sakit karena imun tubuh yang melemah, Kirana menjadi pelampiasan hasrat sang ayah. Ibunya tak lagi mampu memenuhi kehendak Andrean.
Dengan sekuat tenaga, Kirana mencoba membela kakaknya. Ia bangkit, memeluk kaki ayahnya, meski tubuhnya gemetar dan penuh luka. “Pak, jangan ambil uang Bubun Pak. Kasihan Bubun, dia sudah susah payah mencari uang buat kita,” tangisnya.
Andrean menepis pelukan anaknya dengan kasar. “Uang itu cuma milikku! Itu balasan karena dia belum dapat penyakit terkutuk ini. Sebelum kita mati, kakakmu juga harus mati bersama kita!” ucapnya penuh dendam, sembari mendorong Kirana hingga terjatuh ke lantai. Kali ini, kepalanya membentur keras hingga sudutnya mengeluarkan darah.
Tubuh kurus Kirana semakin lemah, lebam-lebam di kulitnya tampak menghitam, beberapa luka terbuka terlihat masih basah. Luka lama belum sempat sembuh, kini luka baru kembali menganga.
Namun Kirana tak menyerah. Dengan sisa tenaga yang ada, ia berusaha bangkit, meski tubuhnya bergetar hebat. “Bapak udah janji sama aku! Bapak nggak akan menyebarkan penyakit ke Bubun juga. Biarkan Bubun hidup tenang Pak!” serunya dengan suara serak, mengejar langkah Andrean meski rasa sakit di selangkangannya kian menyiksa.
Andrean tertawa mengejek, wajahnya penuh dengan kejamnya kesenangan. “Kata tenang itu nggak ada buat dia Ki. Dia juga harus ikut merasakan. Bukannya kita harus sama-sama menikmati hidup? Sekarang kau urusi saja dirimu ini!” bentaknya lagi, lalu untuk ketiga kalinya mendorong Kirana hingga tubuh kecil itu terhempas ke lantai.
Kali ini, Kirana tak mampu bangkit. Kesadarannya mulai hilang, dan tubuhnya terkapar lemas di ruangan kecil dan kumuh itu.
Andrean sama sekali tak peduli. Ia melangkah masuk lagi ke dalam kamar dengan senyuman penuh kemenangan.
“Aku lagi bahagia Ki. Jadi dari pada kau sibuk memikirkan kakakmu, lebih baik kau patuh kali ini. Aku butuh kau untuk memuaskanku lagi,” ucapnya dengan suara dingin, penuh hawa ancaman.
Kirana hanya bisa pasrah tubuhnya di hantam gelombang kesakitan. Baginya, hidupnya tak punya keberuntungan. Ia hanya bisa berharap rasa sakit ini bisa berakhir.
......................
Ali masih memijat pelipisnya, memikirkan kondisi gadis yang sepertinya tak mungkin ia nikahi. Gadis itu terlalu muda, masa depannya masih panjang, dan cita-citanya masih bisa digapai.
“Om,” panggil Bunga, berdiri di dekat Ali.
Jantung pria itu hampir melonjak kaget. Gadis itu menggunakan handuk besar untuk menutupi kepalanya, mirip seperti memakai kerudung.
“Sekalian nggak seprei aja kau pakek? Haishh... Wanita ini!” Ali menarik Bunga.
Sebelum ia sempat melanjutkan, seorang pegawai hotel yang mengenakan seragam mendekat. “Maaf Pak, peraturan di sini melarang membawa handuk ke luar hotel,” ucapnya.
Ali langsung menarik handuk di kepala Bunga, tetapi gadis itu menahannya sekuat tenaga. “Om, aku nggak bisa keluar kalau buka jilbab,” ucapnya, hampir menangis.
Ali mengerutkan alis. “Tadi kau—”
“Itu terpaksa Om. Tolong Om,” pinta Bunga dengan suara memohon.
Ali menghela napas panjang. “Kebetulan kami masih mau kembali ke kamar. Nanti saya kembalikan,” ucapnya, kemudian menarik tangan Bunga seperti membawa keponakannya. Sesampainya di dalam lift, ia akhirnya melepas tangan gadis itu. “Jadi kau ini aslinya pakek jilbab?”
“Iya Om. Baju aku dibawa sama tante Leona.”
“Siapa lagi Leona itu?” tanya Ali dengan nada curiga, menduga wanita itu menjadi perantara pekerjaan Bunga.
“Tante Leona itu kerja di klub Om. Dia sering mencarikan pekerjaan untuk orang kayak kami,” jawab Bunga, mengikuti Ali keluar dari lift.
“Lalu kau kenal dia karena kerja di klub itu?”
Bunga mengangguk mantap. “Enggak lama kok Om. Baru satu minggu.”
“Terus di sana kau kerja buka-bukaan?” Ali mencoba memastikan, khawatir akan kondisi gadis itu.
“Pekerjaan aku cuma cuci gelas sama piring aja Om. Demi Allah, aku masih menjaga diri.”
“Jangan bawa-bawa nama Allah Bun,” sentak Ali. Ia tak suka jika nama Tuhan digunakan untuk membenarkan kepentingan pribadi.
Gadis itu terdiam, tak berani menjawab lagi. Keduanya kembali masuk ke kamar. Ali segera menelepon seseorang, memesan satu set pakaian muslimah untuk Bunga. Baginya, itu yang paling cocok untuk gadis itu.
Menjadikannya istri rasanya terlalu berlebihan. Usianya terlalu muda, dan jarak mereka terlalu jauh. Namun, menjadikan gadis itu sebagai adik angkat adalah pilihan yang lebih masuk akal. Dengan begitu, ia tetap bisa melindunginya.
Setelah pakaian yang dipesan tiba, Bunga bergegas menggantinya di kamar mandi, sementara Ali menunggu di balkon, memeriksa ponselnya.
Di sana terdapat tautan dari Gon, temannya, berisi informasi tentang kesehatan dan kondisi keluarga Bunga. Foto adiknya juga ada di dalamnya, tampak tak terurus.
“Sudah Om,” ucap Bunga, berdiri di ambang pintu.
Ali mengangguk pelan, menilai penampilan gadis itu yang kini lebih sopan. “Apa kau punya seorang adik?” tanyanya, ingin memastikan informasi dari Gon.
“Memangnya kenapa Om?” Bunga terlihat bingung, tak tahu kenapa adiknya dibahas.
“Apa ini orangnya?” tanya Ali sambil menunjukkan layar ponselnya.
Bunga mengangguk mantap. “Iya Om. Kenapa nanyain adik aku?” nada suaranya mulai cemas.
“Hanya ingin tau. Kau berapa bersaudara?” Ali menatap gadis itu serius. “Aku rencananya nggak jadi menikahimu. Kau akan jadi adik angkatku aja, dengan syarat kau harus fokus sekolah dan giat belajar. Berhenti panggil aku Om, panggil kakak. Itu lebih enak didengar.”
Garis bibir Bunga perlahan tertarik membentuk senyuman. “Bukan aku menolak sih Om.”
“Panggil aku Kakak!” tegur Ali lagi.
“I-iya, Kak!” jawab Bunga gugup. “Tapi, jujur aku nggak mau jadi beban Om.”
Ali memejamkan mata, mendengar panggilan om lagi dari gadis itu. Rasanya sulit sekali mengubah kebiasaan tersebut.
“Lagian, aku akan kembalikan uang yang sudah ditransfer ke akun aku. Aku kerja sesuai bayaran. Aku nggak mau hidup dikasihani terus-terusan. Besok, kalau banknya sudah buka, aku transfer balik uangnya,” ucap Bunga, mencoba menegaskan prinsipnya.
Ali menarik napas panjang. “Sudahlah. Malam ini kau tidurlah di sini. Anggap aja aku membayarmu karena sudah tidur di kamar ini sebagai gantinya. Ponselku ini kau pegang dulu. Besok kalau aku belum datang, kau pulang aja duluan. Kita bertemu lagi nanti untuk ambil ponselku.”
Bunga tersenyum manis, matanya mulai berkaca-kaca. “Pekerjaan ini akan aku lakukan dengan sebaik mungkin Om.” ia merasa beruntung bertemu dengan orang yang mau menolongnya.
Ali hanya memandang gadis itu dengan tenang. Dalam hati, ia tahu gadis ini butuh bimbingan, bukan sekadar belas kasihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!