...°{ Happy Reading }°...
"Ini Bun, tinggal Kau minum," perintah seorang wanita cantik menggunakan pakaian hilary slik dress berwarna merah hati. Ia menunjuk nampan berisi sebuah pil dan air putih untuk di minum gadis muda nan cantik di hadapannya.
Wanita muda itu tanpa berpikiran panjang langsung meminumnya. Keputusannya sudah sangat bulat untuk melakukan semua sesuai keinginannya.
Mata cantik dengan bulu mata lentik, hampir saja berkaca-kaca sesaat melihat penampilannya yang terlalu terbuka. Ya, gadis itu tak pernah berpenampilan terbuka sedikitpun. Ia adalah wanita yang menutup auratnya dan menjaga kesuciannya.
Namun malam ini ia tampak sukarela menjual dirinya demi kesembuhan sang ibunda tercinta.
Perasaan menakutkan namun penuh pengorbanan. Bunga_gadis tujuh belas tahun, melangkahkan kakinya secara paksa menelusuri lorong untuk sampai ke kamar yang telah di sediakan.
Ya, malam ini Bunga menjual keperawanannya. Ibunya terjangkit penyakit yang saat ini marak terjadi di kalangan masyarakat akibat pergaulan bebas.
Sang ibu, mengalami penyakit HIV, setelah tertular dari ayahnya yang ternyata di luaran sana bermain wanita, berjudi, dan meminum alkohol.
Gadis malang yang hidup terlalu pelik. Kerja siang malam banting tulang setelah pulang dari sekolah. Uang gajinya kali ini tak dapat memenuhi pengobatan kedua orang tuanya.
Kondisi mereka boleh di katakan begitu miris. Ayahnya yang sakit-sakitan masih juga bekerja dan melakukan aktifitas sesuka hatinya. Tak menyangka juga, sang ayah berhutang ke rentenir untuk bisa memuaskan hasratnya.
Timbulnya Bunga yang menjadi korban kekerasan. Tak sedikit pula lebam pada sekujur tubuhnya melukis dengan jelas. Habis kepalang sakit dari pada ibu tercintanya meninggal, gadis itu mencari uang yang banyak untuk mengobati dan membawa wanita yang terbaring di rumah sakit pergi sejauh mungkin.
Awalnya Bunga akan ragu ia akan tidur dengan pria yang mempunyai penyakit tersebut. Nyatanya persyaratan itu meyakinkan Bunga bahwa pria hidung belang yang akan membelinya dalam keadaan bersih dan sehat.
Sebelum ke sana Bunga juga sudah melakukan tes kesehatan terlebih dahulu. Ia mempersiapkan dirinya agar terlihat lebih menarik. Bunga harus bisa melayani dan memuaskan kliennya.
...***...
"Gue kalah taruhan!" seru Gon meletakkan kartu kamar untuk temannya Ali.
Duduk santai sembari memijit pelipisnya, garis bibir pria matang itu sedikit meninggi. "Jadi apa yang Lo kasih, apartment or car?" kedua matanya melirik kartu yang tampaknya kunci kamar hotel.
Yah, kedua pria itu melakukan taruhan. Taruhan yang cukup menggelitik di telinga. Apa itu? Mereka berdua menghitung berapa langkah semut berjalan untuk sampai ke lubang yang mereka tentukan.
Alhasil Gon kalah! Bagaimana bisa? Tentu karena permainan yang hanya menebak berapa langkah semut berjalan sambil menutup mata menggunakan kain hitam, menjadi perhitungan yang menebarkan.
Keduanya seperti gabut tak berkesudahan. Sampai-sampai pertandingan tersebut saja berhadiahnya cukup fantastis.
"Ini lebih yang Lo harapkan. Seumur hidup menjadi investasi Lo Li." Gon meyakinkan.
Ali mengambil sesuatu yang ia sendiri bingung ada apa di kamar itu. "Kalau nggak seumur hidup, gue minta dua kali lipat." Ali membolak-balik kartu di tangannya sembari menebak ada apa di kamar itu. Jaminan seumur hidup untuk berinvestasi. Mungkin sebuah surat saham yang sepertinya sering mereka berikan satu sama lain.
Kebetulan Ali sedang libur besok, sekalian ia tidur di kamar hotel bintang lima dengan fasilitas yang cukup membanggakan, hal itu sering juga ia lakukan.
"Whatever you ask me to do." Gon menyetujui. "Silahkan Lo ke sana. Kebetulan gue lagi ada pasien. If you need any questions, please feel free to contact me." Gon membentuk tangannya ke telinga. Ia pun berlalu meninggalkan Ali sendirian.
Ali tersenyum tipis. Ia juga begitu berlalu untuk datang ke tempat yang di berikan temannya itu. Setelah seharian banyak melakukan operasi sesar, ia tampak kelelahan dan ingin sekalian beristirahat.
"Hai Li," sapa wanita cantik yang hampir melintasi pria di sampingnya. "Ngapain Lo di sini?" tanyanya sembari memegang minuman di tangannya.
"Kebetulan gue lagi ada kerjaan aja. Lo ngapain di sini?"
"Sama ada kerjaan juga. Besok Lo liburkan Li, temenin gue dong belanja, kebetulan—"
"Sayang, ngapain sih Kamu di sini?" tanya seorang pria yang terlihat sekali lingkaran matanya menunjukkan kurang tidur, mendekati sampai merangkul pinggang wanita tersebut.
"Aku lagi ngomong sama temen aku Sayang—Oh ya Li, sorry gue ada kerjaan. Besok gue hubungi Lo lagi kalau jadi,"
Ali mengangguk mantap, ia tak lupa pada wajah pria yang merangkul teman sekolahnya waktu SMA.
Seperti biasa pria tampan yang masih berstatus single dengan usianya yang tak muda lagi menjadi tameng teman-teman wanitanya.
Ya, walau Ali sendiri secara tidak langsung di lirik oleh teman-temannya untuk di jadikan suami, namun pria itu mempunyai standarnya sendiri. Bertemu dengan wanita yang pandai menutup dan menjaga diri, hal itu yang paling menjadi prioritas utama bagi Ali. Tak masalah berapa usianya. Ia akan menerima calon istrinya nanti.
Ali telah sampai di kamar sesuai angka pada kunci tersebut. Yah, apa pun yang di berikan temannya yang berprofesi dokter spesialis kulit dan kelamin itu akan ia terima.
"Om, tolongin aku, Om." suara berasal dari wanita di hadapannya. Ali begitu terperanjat melihat wanita yang terduduk di pinggir tempat tidur sembari memegang dadanya yang terlihat sangat sesak.
Sontak kata istighfar pria itu lontarkan. Tubuh wanita muda di hadapannya terlihat sekali dalam pengaruh obat-obatan. "Apa Kau merasakan sesuatu?"
"Panas Om, panas banget. Aku nggak tahan Om." Bunga secara perlahan membuka pakaiannya.
Ali cepat tanggap dengan hadiah yang di berikan Gon. 'Kelewatan banget dia,' Ali menggendong Bunga untuk masuk ke dalam kamar mandi dan meletakkan ke dalam bathtub. Sembari menggeliat-liat wanita muda itu terus membuka pakaiannya.
Ali tak mengidahkan pergerakan Bunga yang tanpa sadar gadis itu mempertontonkan segala lekuk tubuhnya. Ali dengan cepat memutar keran agar air terus merendamkan tubuh wanita di hadapannya. Berhubung ia telah terbiasa melihat rupa wanita sesuai pekerjaannya. Ali tak mudah tersulut pada penglihatannya. Baginya Bunga seperti pasiennya.
"Om, tolong. Aku nggak kuat." Bunga terus mengeliat-liat.
"Apa yang Kau lakukan di sini? Kau itu masih muda! Seharusnya Kau nggak boleh kayak begini." Ali tak bisa memaafkan temannya itu.
Bunga tak menjawab. Ia malahan mendesah cukup kuat.
Ali tersadar, ia tak seharusnya bertanya di saat kondisi Bunga terlihat sekali menderita akibat obat tersebut.
"Tahanlah sebentar! Obat itu akan hilang dengan sendirinya." Ali terus melihat jam tangannya sembari memeriksa denyut nadi Bunga yang cukup intens berdetak.
Ali meletakkan Bunga ke tempat tidur dengan menggunakan bathrobe dan menutupi gadis itu dengan selimut. Sekarang tugasnya memarahi pria yang sungguh keterlaluan. Beberapa kali Ali menelepon, pria di pelosok bumi itu akhirnya mengangkat.
"Lo benar-benar udah gila dan keterlaluan Gon," umpat Ali. Ia berbicara di balkon agar tak di dengar oleh gadis yang sedang tertidur terlelap.
Gon nampaknya sangat tahu dengan kemarahan yang akan datang dari temannya itu. "Tenang Bro, tenang!"
"Tenang apanya? Enak banget Lo ngomong! Lo kira buat kayak beginian bisa membuat gue mendapatkan investasi di surga gitu. Lo mau cari mati juga? Mau istri Lo jadi janda, hah?" Ali tampaknya tak bisa mengatur emosionalnya saat ini. Jika ada bom sudah ia ledakan rumah temannya itu.
"Don't talk like this, try listening to me first."
"Enggak ada yang namanya don-donan ye. Lo udah bikin gue emosi tingkat dewa."
Gon semakin tertawa renyah.
"Ketawa aja Lo terus! Lo di mana sekarang? Sini nggak? Tanggung jawab Lo!" Ali terus menerus mengocehi temannya itu.
"Bukannya Lo lagi cari istri. Lo juga nggak memandang umur. Bagus itu barang bersegel."
"Lo udah gila banget. Sekalian bayi baru lahir Lo kasih ke gue. Ngeselin banget Lo ya jadi orang." Ali ingin melemparkan ponselnya jika tadi temannya itu di hadapannya.
Gon semakin tertawa terpingkal-pingkal. "Tenang, tenang! Gue jelaskan dulu."
Ali berdecak kesal. Penjelasan yang terlihat sekali ingin membela diri.
"Dia anak dari pasien gue. Hidup gadis itu yang gue denger cukup mengharukan. Ibunya mengidap penyakit HIV gara-gara ketularan dari bapaknya yang suka jajan di luar. Terus bapaknya ini malahan masih nggak mau dengar perkataan kami untuk menjalankan pengobatan secara serius. Mana uang buat bayar pengobatan nggak ada. Gadis itu kasihan Li, dia anak yang pintar tapi jadi tulang punggung keluarga. Sekarang dia rela jual keperawanan demi pengobatan ibunya. Mana dia juga kayaknya di siksa sama bapaknya. Gue serahkan sama Lo. Lo kebetulan cari istri. Bagus itu untuk investasi Lo seumur hidup."
Ali ingin mengumpat namun kepalanya sudah berdenyut-denyut. Apalagi Ali memang melihat ada bekas luka lebam pada tubuh gadis itu. Sepertinya luka itu di tutup menggunakan alas bedak agar tertutupi.
"Jika Lo mau membantunya, silahkan! Jika Lo nggak mau terpaksa gue cari orang yang dapat membantu dan menikahi gadis itu. Kasihan! Gue kalau nggak ingat istri, udah gue jadikan istri lagi."
"Entar gue pikir-pikir dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Ali mematikan ponselnya. Ternyata gadis yang tadinya tidur sudah bangun dan duduk sembari meremas-remasnya selimut yang ia gunakan. Terlihat sekali wajah cantik itu ingin menangis namun sekuat tenaga sepertinya ia tahan.
Ali kembali masuk untuk berbicara dulu pada gadis yang tampak sekali penuh dengan tekanan di wajahnya.
Wanita itu saja sangat susah untuk menelan air liur yang terasa kelat untuk di telan. Apa yang sudah terjadi padanya? Apakah hal itu sudah berhasil ia lakukan?
"Katakanlah sejujur-jujurnya. Kenapa Kau berani melakukan hal ini?" Ali duduk santai di kursi minimalis yang terbuat dari kayu jati. Kepalanya masih berdenyut-denyut itu, ia pijit sedikit demi sedikit.
Bunga mengeratkan kedua tangannya. "Aku butuh uang Om. Aku mau bawa ibu pergi dan menyembuhkan penyakitnya." Bunga tak mau berbohong. Memang ia sangat membutuhkan uang untuk hal itu.
"Lalu Kau rela masuk neraka?"
Gadis itu meneteskan air mata yang memang membendung sedari tadi. Anggukan kecil ia lakukan.
Ali masih santainya memijit kepalanya. "Ayahmu kemana?" ia seperti seorang yang terlihat sekali ingin tahu tentang gadis itu. Ali hanya ingin mendengar secara langsung dari gadis yang tampaknya tak bisa berbohong.
"Bapak ada Om. Hanya aja bapak nggak pernah lagi kasih uang sama kami." Bunga terus meremas-remas kain yang terus menjadi tempat pelampiasannya.
"Kenapa bisa bapakmu itu nggak ngasih uang? Itu tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Lagian nih yah, jika Kau mau dapat uang, kerja yang halalkan banyak. Enggak kayak begini." Ali terus memancing agar gadis tersebut bercerita dan meluapkan apa yang di tahannya. Terlihat sekali wanita itu banyak tekanan dalam hidupnya.
"Bapak suka main wanita Om. Bapak juga nggak peduli lagi sama aku dan ibu. Ibu juga lagi sakit dan membutuhkan obat. Aku udah kerja di mana-mana Om, tapi uangnya kadang di ambil sama bapak, kadang buat pengobatan ibu, ini aja makan satu kali sehari aja sudah bersyukur banget Om," jelas Bunga dengan sekuat tenaga agar ia tak menangis. Nyatanya cairan itu tetap saja mengalir.
Hati mana yang tak teriris mendengar cerita tersebut. Ali semakin memijit keras kepalanya. Gadis itu benar-benar membutuhkan tempat berlindung. "Maaf jika aku lancang, apa bapakmu sering memukulmu juga?"
Bunga mengangguk mantap. Gadis yang selalu berkata jujur, walau sebenarnya ia tak mau menceritakan aibnya sendiri.
Ali membuang napas kasar. "Lalu berapa umurmu sekarang?"
"Bulan depan masuk delapan belas tahun Om."
Usia yang begitu sangat muda untuk di jadikan seorang istri. Adiknya saja menikah berusia sembilan belas tahun.
"Sekarang Kau masih sekolah?"
"Jika SPP sama uang lainnya di bayar besok, mungkin aku masih bisa sekolah Om. Kalau nggak, kayaknya aku di berhentikan."
Ali semakin sakit mendengarnya. "Sejak kapan Kau kerja?"
"Sejak usia sepuluh tahun Om. Waktu itu bantu ibu jualan gorengan. Semenjak ibu nggak bisa buat makanan lagi, terpaksa aku jualan. Kadang jadi tukang parkir, kadang kerja jadi tukang pencuci piring di rumah makan, kadang jadi tukang sapu dan merumput halaman orang, banyaklah Om."
Ali kembali menghembuskan napasnya. "Sekarang jika Kau menjadi istriku, apa Kau mau?"
Sontak sepasang mata indah itu melebar. "Apa Om bertanggung jawab karena sudah melakukan hubungan terlarang itu?"
Ali tertawa ringan. "Belum! Lebih tepatnya nggak! Kebetulan Kau cepat sadar akibat berendam di air dingin. Maaf, temanku sungguh keterlaluan."
Gadis itu menjadi bingung sendiri, ada sisi kelengahan ada juga sisi ketakutan. "Ini salahnya aku kok Om. Terus Om jika aku jadi istri, Om. Apa Om akan mengambilnya setelah kita menikah? Soalnya uangnya mungkin sudah masuk ke rekening tabunganku. Apa aku juga akan menjadi simpanannya Om? Kira-kira sampai kapan ya Om?"
Ali kembali memijit pelipisnya. "Intinya sekarang Kau pulang, urusan itu nggak perlu Kau pikirkan. Aku yang akan mengurusnya. Tinggalkan saja nomor ponselmu."
Gadis itu menggeleng cepat. "Aku nggak punya hp Om."
Dunia tanpa ponsel di zaman sekarang ini bagaimana hidup tanpa nyawa. Ali semakin bimbang dalam keputusannya ini. "Tunggu sebentar!" Ali beranjak dari tempat duduknya menelepon seseorang yang dapat mengirimkan pakaian satu set untuk gadis itu. Sahutan iya Ali terima.
"Kau tunggu sebentar, nanti ada orang yang akan datang. Setelah itu temui aku di lobby."
"Nama aku Bunga, Om." gadis itu menyebutkan namanya agar pria matang dan mapan di hadapannya tahu dengan namanya.
"Ali, itu namaku." pria itu segera berlalu setelah mendapatkan anggukan dari gadis yang seperti takut menatapnya.
Menggunakan pakaian sesaat setelah memuaskan hasratnya. Pria dewasa itu beringsut berdiri, dengan wanita muda di dekatnya masih merintih kesakitan. Ia baru terpuaskan sesaat menahan hasratnya gara-gara wanita yang di inginkan meminta sejumlah uang cukup fantastis.
Ketidak kesanggupan itu menjadikannya kesal dan melampiaskannya pada wanita muda yang berada di rumahnya itu.
"Inilah kalau Kau nggak mau nurut Ki. Kau sendiri yang susahnya," cecar pria itu.
Tak menjawab sibuk dengan tangisan serta rintihan wanita muda itu mengeratkan pegangan untuk menutupi tubuhnya dengan kain.
Dentingan ponsel milik pria itu berbunyi. Tarikan garis bibirnya meninggi sesaat nominal uang cukup banyak masuk ke akun anaknya atas namanya.
"Ternyata dia sudah berhasil mendapatkan uang atas jualannya." tawa pria itu semakin menjadi-jadi.
"Bapak... Jangan ambil uang bubun lagi Pak," ucap wanita muda berusia empat belas tahun, menyebut panggilan kesayangan untuk kakaknya.
Sekelebat saja rambutnya di tarik kuat, teriakan begitu terdengar menyakitkan. "Kalian itu hanya pembawa sial! Emangnya Kau bisa hidup sampai sekarang oleh siapa? Kau itu seharusnya menghasilkan uang juga Ki. Awas aja kalau Kau sampai memberitahukan orang-orang tentang hubungan kita. Bapak nggak segan-segan membunuhmu juga Ki." hempasan begitu kuat sampai wanita muda itu tersungkur ke tempat tidur kembali.
Ya, saat ini wanita muda itu menjadi pelampiasan sang ayah sesaat sang ibu tak dapat melayani lagi. Saat ini wanita dewasa itu saja tengah terbaring di rumah sakit karena imun tubuhnya begitu lemah.
Sekuat tenaga untuk membela sang kakak, Kirana kembali memeluk kaki ayahnya. "Pak, jangan ambil uang bubun, Pak. Kasihan bubun udah susah payah mencari uang buat kita."
Pria itu melepaskan anak keduanya untuk menjauhi. "Ini uang hanya milikku. Itu adalah balasan karena dia belum mendapatkan penyakit terkutuk ini. Sebelum kita mati, kakakmu itu juga harus mati bersama kita." lagi-lagi wanita itu terhempaskan, kali ini ke lantai sampai kepala wanita itu mengeluarkan sedikit cairan berwarna merah di sudut kepalanya.
Ya, tubuh Kirana sangat kurus. Di sekujur kulitnya tampak lebam dan bekas luka itu terlihat masih basah. Belum sembuh luka lama, sekarang luka baru ia dapatkan.
Tak pantang menyerah dengan semua sakit yang ia derita, wanita muda itu berusaha bangkit dari tempatnya. "Bapak udah janji sama aku. Bapak nggak akan menyebarkan penyakit ke bubun juga. Biarkan bubun hidup dengan tenang Pak," teriak Kirana mengejar sembari menahan sakit di bagian selangkangannya.
Pria dewasa itu tertawa menyeringai dengan meraup kasar wajah anaknya. "Kata tenang itu nggak ada untuk dia aja Ki. Dia juga ikut adil. Bukannya kita harus sama-sama merasakannya. Sekarang Kau urusi saja dirimu ini." ketiga kalinya wanita muda itu terlempar ke lantai. Sekarang kali ini ia tak dapat berdiri akibat kesadarannya menurun.
Andrean tak peduli bagaimana anaknya yang terkapar di ruangan kumuh itu. Ia lebih perduli pada kesenangannya kembali. "Aku lagi bahagia Ki, dari pada Kau sibuk memikirkan kakakmu, lebih baik Kau patuh kali ini untuk memuaskan ku."
Wanita muda yang tak berdaya itu hanya pasrah sesaat tubuhnya terus di hantam dengan kesakitan yang bertubi-tubi. Nasibnya begitu tak beruntung.
...***...
Ali masih memijit pelipisnya, memikirkan kondisi gadis yang sepertinya tak bisa ia nikahi. Gadis itu terlalu muda dan bahkan masa depannya masih sangat panjang. Cita-cita dan keinginannya masih bisa di gapai.
"Om," panggil Bunga berdiri di dekat Ali.
Jantung pria itu hampir terperanjat. Gadis itu menggunakan handuk besar menutupi kepalanya. Jelas gaya itu seperti menggunakan kerudung.
"Sekalian nggak seprei aja Kau gunakan, haishh... Wanita ini!" Ali menarik Bunga.
Sebelum itu salah satu wanita menggunakan pakaian pegawai mendekati. "Maaf Pak, peraturan di sini sangat melarang membawa alat-alat seperti handuk untuk di bawa pulang."
Ali menarik handuk di kepala Bunga. Sekuat tenaga gadis itu menahan. "Om, aku nggak bisa keluar kalau buka jilbab," ucapnya dengan wajah hampir menangis.
Ali mengerutkan kedua alisnya. "Tadi Kau—"
"Itu terpaksa Om. Tolong Om." Bunga sampai memohon-mohon.
Helaian napas pria itu hempaskan. "Kebetulan kami masih mau ke kamar, nanti saya kembalikan." Ali kembali menarik tangan gadis yang seperti menarik keponakannya saja. Sesampai di dalam lift baru pria tampan itu lepaskan. "Jadi Kau ini aslinya pakek jilbab?"
"Iya Om. Baju aku di bawa sama tante Leona."
"Siapa lagi Leona itu?" jangan bilang itu wanita yang menjadi perantaranya.
"Tante Leona itu kerja di club Om. Dia sering mencari pekerjaan untuk orang yang kayak kami," balas Bunga sembari mengikuti Ali untuk keluar lift.
"Lalu Kau kenal sama dia gara-gara Kau kerja di club itu?"
Bunga mengangguk mantap. "Enggak lama kok Om, baru satu minggu."
"Terus di sana Kau bekerja buka-bukaan?" Ali tak yakin bahwa wanita di sampingnya masih bersegel dan terbebas dari penyakit tersebut.
"Pekerjaanku cuma cuci gelas sama piring aja Om. Demi Allah saya masih menjaga diri."
"Jangan bawa-bawa nama Allah, Bun," sentak Ali. Ia tak mau tuhannya di bawa-bawa hanya untuk kepentingan pribadi.
Gadis itu menjadi bungkam. Kembali mereka masuk ke dalam. Ali menelepon seseorang untuk membawakan pakaian satu set muslimah. Kebetulan memang hal itu yang cocok untuk gadis itu.
Menjadi istri sepertinya memang tak cocok untuknya. Jarak juga terlalu sangat jauh. Adik angkat mungkin masih bisa ia lakukan untuk melindungi gadis itu. Jika ia pura-pura tak tahu maka berdosa juga ia sebagai manusia yang mengacuhkan manusia lainnya.
Pakaian yang di pesan telah sampai, wanita muda itu bergegas mengganti di kamar mandi. Sedangkan Ali menunggu di balkon. Memeriksa kembali ponselnya yang terdapat link dari temannya itu. Ya, Gon mengirim tetang kesehatan dan semua yang menyangkut keluarga itu.
Sungguh miris jika di biarkan. Apalagi gadis itu mempunyai adik kandung. Foto adiknya juga terlihat sekali tak terurus.
"Sudah Om." Bunga berdiri di ambang pintu.
Ali lumayan mengangguk kali ini. Penampilan gadis itu lebih enak di lihat. "Apa Kau memiliki seorang adik?" Ali ingin mendengar adakah wanita yang di kirim temannya. Bukan ia tak mempercayai Gon, hanya ini sangat penting bagi Ali untuk mengambil sebuah keputusan.
Pria matang yang tak pernah berperilaku gegabah. Ia pasti memikirkan jalan yang di ambil secara matang-matang. Apalagi menyangkut masa depannya.
"Memangnya kenapa Om?" Bunga tak tahu mengapa sekarang adiknya di bawa-bawa.
"Apa ini orangnya?" Ali menunjuk layar ponselnya.
Gadis itu mengangguk mantap. "Om kenapa nanyain adikku?" Bunga sudah mulai cemas duluan. Adik kesayangannya sampai di libatkan.
"Nanya aja! Aku cuma mau tau Kau berapa bersaudara. Rencananya aku nggak jadi menikahimu. Kau akan menjadi adik angkatku aja. Dengan perjanjian Kau harus fokus sekolah dan giatlah belajar. Berhentilah panggil aku Om. Panggil Kakak, itu lebih enak di dengar."
Garis bibir gadis itu menarik. "Bukan aku menolak sih Om."
"Panggil aku, Kakak! Jangan panggil Om!" Ali mengingatkan.
Bunga tersentak. "I-iya Kak! Jujur aku nggak mau jadi bebannya Om."
Ali memejamkan kedua matanya. Panggilan itu sepertinya tak dapat di hilangkan. Memang wajahnya sangat setua itu.
"Lagian aku akan kembalikan uang yang udah di transfer ke akunku ke Kakak. Aku bekerja sesuai bayaran. Aku nggak mau hidup di kasihani terus menerus. Besok kalau banknya udah buka aku kirim." Bunga sadar bahwa panggilan ke Ali rasa-rasa tak bisa di ubah.
Pria di hadapannya memang masih bisa di panggil kakak karena Bunga sediri baru pertama kali melihat pria tampan yang tak mudah jenuh untuk pandang. Berhubung dari awal ia sudah memanggil sebutan tersebut, maka lidahnya sangat sulit mengganti panggilan lain.
Ali menarik garis bibirnya. Mungkin belum terbiasa. Saat ini ia juga mau marah tapi tak bisa dengan gadis di sampingnya. Baru kali ini ada yang menolak tawarannya kecuali adiknya yang tak mau mengalah dengannya. "Aku hanya berniat baik untuk membantumu. Keadaan Kau kayak begini pasti nggak mungkin baik-baik aja Bun."
"Selagi ada ibu sama adek, aku baik-baik aja kok Om. Om nggak perlu memikirkan aku. Sekarang Om tulis rekening Om aja. Besok tapi ya Om, balikinnya."
Ali menghembuskan napas kasar. Sepertinya ia harus menjalankan perawatan agar terlihat lebih awet muda. Dari pada memikirkan hal itu ia lebih fokus pada anak yang terlihat tegas, penuh pendirian. "Kayak begini aja. Malam ini Kau tidurlah di sini. Anggap aja aku membayarmu karena sudah tidur di kamar ini sebagai gantinya. Aku kebetulan sedang mendapatkan rezeki banyak. Ponselku Kau pegang. Besok aku akan menghubungimu lagi." Ali menyerahkan ponselnya.
"Ini sudah malam, nggak baik pria dan wanita berada di dalam satu kamar yang bukan mahramnya. Jika besok aku belum juga datang, Kau pulang aja duluan. Nanti kita ketemuan lagi untuk mengambil ponselku. Ponsel ini sebagai jaminan bahwa Kau bertanggung jawab dengan pekerjaanmu." Ali sangat banyak alasan untuk membujuk perlahan gadis itu. Ia tak mungkin menyerahkan gadis yang kondisinya saja terbilang tak beruntung.
Bunga tersenyum manis sembari matanya berkaca-kaca. "Pekerjaan ini akan aku lakukan dengan sebaik mungkin Om." nasibnya masih beruntung. Bertemu dengan orang baik yang mau menolongnya secara cuma-cuma.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!