Suara pintu di ketuk dua kali. Lalu perawat membuka pintu separuh saja. Ia sangka tidak ada pasien lagi. Regi maju mundur untuk memberitahukan kondisi Kirana. Enggak maju salah, kalau mundur takutnya ia terkena masalah.
Ali menaiki alis sebelah. "Masuk aja Gi. Lo kayak begitu, buat gue merinding tau nggak."
"Pak Dokter kira saya ini heantu." Regi jadinya masuk sembari menutup pintu. Cengiran kuda dan rasa sungkan melihat kedua pasutri yang tampak tak mungkin memiliki anak lagi di usia senja mereka.
"Iya, heantu yang memberikan peringatan bahwa waktu Anda tinggal sedikit lagi."
"Makanya menikah." sentak Rinjani.
Regi menahan tawanya. Sedangkan Ali sebaliknya. Ia ingin menangis mendengar perkataan ibunya.
"Maaf Dok, saya nggak ikut." Regi akhirnya tertawa.
Ali menarik garis bibirnya ke bawah. "Awas Lo ya!"
"Ish Dok, bercanda." Regi tak mau mempunyai masalah dengan Ali.
"Sudahlah! Ada apa?" Ali tak mau membahas statusnya.
"Anu, itu Dok." Regi kembali ragu-ragu untuk membicarakan pasien lain.
"Anu-anunya siapa yang bermasalah?" tanya Ali ikut kebingungan.
Komar dan Rinjani menahan tawa sedari tadi. Dari pada panjang ceritanya Regi pun sedikit mendekati telinga Ali. Kedua pasutri itu menajamkan pendengaran agar bisa mengetahui sesuatu yang terlihat mereka tak boleh mendengar.
"Apa?"
Rinjani, Komar, Regi terperanjat. Beruntung jantung mereka masih dalam kondisi baik-baik saja.
"U-udah di tangani sih sama dokter Syarifa," ucap Regi sembari memegangi dada.
Ali beranjak dari tempat duduknya. Ia harus melihat kondisi wanita muda itu. "Ma, Pa. Aku mau lihat Kirana dulu sebentar."
Kedua pasutri itu ikut berdiri. Mereka menduga bahwa nama yang anaknya sebutkan itu adalah wanita yang akan di nikahi Ali. "Kami ikut!" Rinjani tak mau ketinggalan melihat anak menantunya.
Sekali anggukan mantap, Ali menyetujui. Sedangkan Regi sedikit tersentak, ia kira kedua pasutri itu pasien, ternyata kedua orang tuanya Ali tengah berkunjung.
Bertepatan mereka datang wanita berjas putih dengan rambut diikat kuda keluar ruangan.
"Gimana Fa?" Ali melihat sekilas kondisi Kirana terlihat tak sadarkan diri sebelum pintu di tutup sempurna.
"Kondisi anak itu butuh penanganan lebih lanjut Li. Dia kayaknya trauma banget. Kita harus memindahkan Kirana ke rumah sakit jiwa. Di sana dia bisa mendapatkan perawatan lebih insentif."
Ali rasa hal itu memang harus di lakukan untuk sementara waktu. "Lakukanlah! Jangan lupa kasih tau Gon dan Daniel."
Syarifa mengangguk mantap sembari tersenyum manis. "Gue ada pasien. Entar kita bahas lagi."
Ali mengangguk pelan dengan Syarifa melirik Rinjani dan Komar sebentar sembari tersenyum. Wanita cantik itu tak lama berlalu.
"Masih kecil banget Li, kalau dijadikan menantu Mama." Rinjani mengintip sekilas Kirana di ikuti Komar. Wanita muda itu masih di urus oleh para perawat di dalam sana.
"Bukan Kirana Ma, tapi Bunga. Kalau Kirana itu adiknya Bunga. Dia masih usia sepuluh tahun. Mama kayaknya nggak dengerin cerita Vano sampai tuntas deh."
"Iya emang! Ini semua gara-gara Kamu yang buat jantung Mama hampir copot. Sekarang mana yang namanya Bunga? Mama mau lihat dulu. Kalau masih kecil, mending di angkat jadi adik Kamu aja. Mama yang akan menyembunyikan mereka." Rinjani sangat antusias memiliki anak lagi.
"Kita nggak tau hari apes kapan terjadi Ma. Kalau bapaknya nekat, Mama bisa apa?"
Rinjani terdiam sejenak. "Mana anaknya, Mama mau lihat dulu."
Ali menunjuk kamar inap bertuliskan angka 302 dihadapan mereka. Kamar Bunga sebelahan dengan kamar Kirana.
"Jangan terburu-buru ambil tindakan. Itu anak orang, bukan anak kita," ucap Komar menasehati Rinjani.
Ali membuka pintu sedikit. Ternyata Bunga terduduk sembari merenung melihat pemandangan luar dari kaca di sampingnya. Wajah Bunga sedikit pucat, adanya luka lebam masih membekas di wajah cantiknya. Balutan hijab putih mencerminkan bahwa ia benar-benar bersih seperti kapas.
Rinjani hampir meneteskan air mata. "Mama merestui Li, walau usianya masih tujuh belas. Badannya udah gedek juga," ucapnya spontan.
Ali mengerutkan kedua alisnya mendalam. "Dua hari lagi usianya delapan belas Ma." Ali baru ingat kalau Bunga sebentar lagi berulang tahun.
Rinjani tersenyum bahagia. "Beda tiga belas tahun nggak apa-apa Nak. Udah pas kalau delapan belas buat istri Kamu. Kalau mau punya anak. Tamati dia sekolah dulu."
"Papa juga sependapat sama Mama." Komar ikut bersuara. "Lebih baik kalian berdua ngobrol dulu. Papa sama Mama ikut keputusan kalian. Jangan di paksa kalau dia nggak mau. Kami pulang ke rumah kamu duluan. Entar kita sambung di sana aja."
Ali mengangguk mantap. "Mama sama Papa hati-hati di jalan. Di rumah ada bik Nani dan mang irul aja. Bik Idah, bik Oyan, sama bik sahrini lagi ikut arisan komplek. Cari yang ada aja buat nyiapin makan siang kalian."
"Nambah banyak pembantu Kamu. Kamu lagi nyimpen istri orang atau menjadikan mereka istri simpanan?" tuduh Rinjani. "Setidaknya cari yang di bawah umur Kamu atau seumuran. Masa cari yang seumur kayak Mama sih Li," ocehnya tak terima memiliki menantu seusianya.
Ali menahan tawa sembari menahan pukulan kecil yang di berikan Rinjani.
"Udah Ma nanti aja kita bahas. Tuh lihat calon menantu Mama, melihat kita." Komar menujuk Bunga yang tersenyum manis.
Rinjani terpaku. "Aduh gemes banget Pa. Mama—"
Komar menarik Rinjani sesaat wanita dewasa itu ingin masuk. "Nanti aja. Kita pulang dulu. Ini bukan waktu yang tepat buat kita kenalan—Kamu masuklah. Kami pergi dulu." Komar menarik Rinjani kembali setelah mendapatkan anggukan dari anak sulungnya.
Ali menggeleng saja sembari tersenyum. Ia pun masuk ke kamar lalu menutup pintu. "Bagaimana kondisi Kamu Bun?" Ali berjalan mendekati.
Senyuman manis tadi menjadi hambar dengan kedua mata gadis itu membendung. Ia memang ingin bertemu Ali. "Aku udah baik-baik aja Om."
Kata-kata yang cukup Ambigu. Ali duduk santai di dekat Bunga.
"Om, makasih udah bantuin aku sampai sekarang. Maaf aku udah nyusahin hidup Om. Aku janji akan balas kebaikan Om."
Ali mengangguk sesekali. "Kau sudah tau kabar Kirana sekarang?"
Bunga mengangguk mantap. "Tadi ibu perawat ngasih tau kalau Kiki di kasih obat penenang."
"Maaf aku nggak bisa banyak bantu. Kita nggak ada pilihan untuk membawa adekmu kerumah sakit jiwa. Di sana dia bisa mendapatkan penanganan khusus. Mudah-mudahan dia nggak lama di rawat."
Bunga kembali tersenyum. "Om nggak perlu minta maaf. Om nggak salah apa-apa. Kami yang malahan harus melakukan hal itu. Kami yang udah menyusahkan banyak orang. Mana biayanya kami semakin besar untuk Om bayar." Bunga menahan air matanya. Dari mana ia harus mencari uang tersebut?
Ali ikut tersakiti jika menatap Bunga. Keputusan yang akan ia ambil sepertinya memang tak bisa di lengserkan hanya gara-gara faktor usia.
"Kami membantu memang sudah kewajiban Bun. Akan tetapi bapakmu kayaknya nggak akan melepaskan kalian." Ali cukup berat mengajak wanita muda itu menikah.
"Aku akan melindungi Kiki, Om. Om nggak usah memikirkan kami lagi. Tapi untuk sementara aku akan menyusahkan Om dulu. Selepas kami udah sembuh, aku akan cari kerjaan dan membayar seluruh uang Om dan teman-teman Om." ini kesempatan bagi mereka untuk pergi jauh dari Andrean selagi pria itu sedang di penjara.
"Uangnya sangat banyak jika Kau mau mengembalikan uang itu Bun." Ali masih mengulur-ulur waktu untuk mengajak Bunga menikah dengan alasan yang tepat.
"Akukan masih perawan Om. Aku bisa jual—" Bunga terhenti berbicara disaat Ali berdecak kesal. "Ma-maaf, Om." ia memang salah telah berpikiran ke sana lagi.
"Kau itu nggak bisa apa berpikiran rasional sedikit aja Bun? Kau kira—" Ali tak sanggup mengumpat lebih dalam di saat wajah Bunga sudah tertekuk dan menangis dalam diamnya. Ali pun membuang napas kasar. "Menikahlah denganku. Dengan cara ini Kau bisa beranggapan menjual seluruh badanmu itu padaku." Ali jadinya teramat sakit setelah berkata demikian. Ia seperti membeli sebuah barang saja. "Bu-bukan itu maksudku."
"Aku bersedia Om. Lagian memang dari awal aku menjaga buat Om, biar nggak di ambil sama bapak."
Walau pria matang di sampingnya sudah memiliki banyak istri. Bunga tetap bersedia. Memang sedari awal tubuhnya ia jual ke Ali.
Ali semakin mengeratkan genggaman tangannya. Geram dengan perkataan Bunga atau geram pada dirinya yang terlihat seperti Andrean.
"Tapi aku juga akan kerja buat mengembalikan uang lainnya."
Ali menatap tajam Bunga secara intens. Walau dari tadi gadis itu takut menatapnya sembari meremas-remas kain yang menutupi bagian kakinya. Tingkah Bunga mengingatkan pertemuan mereka di kala Bunga telah sadar dari pengaruh obat-obatan. Ketakutan yang teramat besar gadis itu rasakan.
Padahal Ali tidak melakukan sesuatu pada gadis itu. "Dengarkan aku baik-baik Bun. Kau cukup mengikuti aturan dan perintahku. Kau fokus sekolah dan belajar. Gapailah cita-citamu setinggi mungkin. Semua biayanya aku yang tanggung."
Bunga tak tahu harus bahagia atau sedih. "Bagaimana dengan istri-istri, Om?"
Ali ingin sekali berteriak dan memberikan tulisan pengumuman bahwa ia saat ini belum mempunyai istri.
"Aku takut—" Bunga tersentak melihat kartu identitas yang di berikan Ali.
"Baca dengan baik-baik." Ali tak mau banyak berbicara. Mulutnya juga bisa pegal kalau harus membahas statusnya.
Bunga tentu mengikuti. Ghozali Dzuhairi, nama pria yang artinya cukup bersinar. Cerdas, baik, penuh dengan keberuntungan. Sayangnya ia harus mendapatkan istri yang tak seberuntung seperti nama pria itu. Jelas status lajang membuat Bunga sedikit lega.
"Pacar Om, gimana?" Bunga mengembalikan kartu identitas Ali.
"Nggak ada pacar dan istri," ucap tegas Ali sembari meletakkan kartu identitasnya ke dalam dompet. Bunga tentu menjadi semakin bersalah. Walau begitu ia tak bisa berbohong bahwa hatinya menjadi berdebar. "Sekarang apa yang Kau inginkan sebelum kita menikah? Kau boleh berpikir-berpikir dulu selama aku meminta restu dari bapakmu. Mungkin nggak akan cepat dan semudah itu kita menikah, mengingat bapakmu aja kayak begitu perilakunya," jelas Ali tak ingin membeberkan perilaku Andrean yang menjadi ketakutan bagi Bunga setelah pria itu bebas nantinya.
"Aku nggak minta apa-apa Om. Ini aja aku nggak enak nikah sama Om, karena Om lebih bisa mencari wanita yang Om inginkan."
Ali mengangguk pelan. Kalau ia di posisi Bunga pasti Ali akan berpikiran hal yang sama. "Aku hanya butuh Kau bisa menandingiku suatu saat nanti. Di saat itu, Kau bebas. Apapun maumu aku ikuti. Pilihanku nggak muluk-muluk soal siapa calon istriku kecuali dia bisa menjaga diri aja. Selebihnya itu Kau tinggal berpikiran bagaimana caranya kita bisa sebanding." Ali beranjak dari tempat duduknya. "Aku ada kerjaan, Kau pulihkan kondisi dulu sementara waktu. Soal sekolah, aku sudah meminta izin. Kau juga akan pindah dari sana ke tempat yang lebih menerimamu."
Bunga sungguh terharu atas perkataan Ali. "Aku masih mau sekolah di tempat lama Om. Lagian hanya butuh satu tahun lagi."
Ali mengangguk saja. Ia akan mempertimbangkan kembali keputusan Bunga.
"Tapi aku boleh minta satu syarat nggak Om?"
Ali baru mau melangkah, ia kembali berhenti. "Apa?"
"Aku nggak mau ketemu sama bapak lagi Om. Kalau Om mau mengucapkan ijab kabul, maaf aku nggak bisa hadir."
Pernikahan yang konyol terdengar. "Um, oke!" Ali mengerti maksud Bunga. Lagian gadis itu juga terlihat terpaksa menikah dengannya. "Istirahatlah lagi. Soal pernikahan kita, itu menjadi urusanku. Mungkin Kau hanya menerima rekaman video sebagai tanda bukti. Itu pun jika Kau membutuhkannya."
Bunga mengangguk pelan. Ia sangat bahagia Ali mengerti dan membantu situasinya. "Terimakasih banyak Om."
Ali mengangguk sekali, ia pun kembali melangkah meninggalkan Bunga. Bunga sendiri kembali tersenyum manis sampai pria matang itu tak terlihat lagi.
Kata sebanding sama saja setara. 'Aku harus berusaha.' Bunga akan mengikuti keinginan Ali, si pria penyelamat. 'Aku akan tetap membayar kebaikan Om Ali.'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yus Warkop
,lanjut
2025-01-07
0
Ekha, S
Lancar luncur pernikahan kalian
2024-09-10
0
Ekha, S
Maju mundur, maju mundur cantik, cantik 😂
2024-09-10
0