Eps 15

"Nasib, punya istri bocah ingusan. Disaat berapi-apa dia malah terbang ke alam mimpi." Gumam Hajun dalam hati.

Dibopongnya tubuh Danira lalu dibaringkan diatas ranjang. Dan ia selimuti tubuh istrinya sampai ke atas dada. Hajun berbaring di sisi Danira, ia memiringkan tubuhnya dan membawa Danira ke dalam pelukannya.

***

Hannah yang ingin mengajak Danira sholat subuh, tidak menemukan Danira di dalam kamarnya. Hannah mencari Danira ke lantai bawah, tapi Danira tidak ada juga di lantai bawah.

Akhirnya, Hannah membuka pintu kamar Papanya, ia ingin memberitahu Papanya, kalau Danira hilang.

Namun, Hannah justru tertegun di ambang pintu.

Ia melihat Danira tertidur lelap di dalam pelukan Papanya. Hannah mendekat perlahan, bibirnya tersenyum, melihat banyaknya bekas kecupan di bahu Danira yang terbuka.

Perlahan Hannah kembali melangkah ke luar kamar. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu ia masuk kembali ke kamarnya kembali.

Hannah melompat-lompat di atas kasur sambil berteriak tertahan.

"Yes... yes... yes! Alhamdulillah ya Allah akhirnya ...."

***

Mata Hajun terbuka saat azan subuh terdengar.

"Danira... Danira, bangun. Sudah subuh." Hajun menepuk pipi Danira lembut.

Danira membuka mata, ia menatap Hajun dengan terkejut, lalu menatap sekelilingnya.

"Aku... apa yang terjadi semalam, Om?" tanyanya, sambil menenggelamkan tubuhnya yang telanjang di bagian atas dibalik selimut.

"Yang terjadi semalam... coba kamu ingat sendiri." jawab Hajun agak kesal.

Danira ingat mereka makan di kamar, kemudian Hajun minta dipijit, kemudian mereka berciuman lalu Hajun membuka baju, dan dalamannya.

Wajah Danira seketika bersemu merah. Matanya menatap Hajun dengan penuh penyesalan.

"Maaf ... aku... aku, ketiduran ya, Om tadi malam?" tanya Danira dengan nada manja.

"Sudah, lupakanlah... sekarang sudah waktunya subuh, Kamu mau kembali ke kamarmu jalan sendiri, atau aku bopong?" Hajun sudah berdiri di sebelah Danira.

Danira segera bangkit dari berbaringnya. Ia membungkus tubuhnya dengan selimut.

"Jalan sendiri saja." jawab Danira, sambil setengah berlari ke kamarnya dengan tubuh terbungkus selimut persis kepompong.

Hajun sampai terbahak melihatnya.

"Dasar bocah kecil dekil"

Danira terpaksa memakai kaos berleher tinggi lagi, untuk menutupi kerajinan bibir Hajun yang ada di lehernya.

Rambutnya ia biarkan tergerai. Saat sarapan, Hannah berencana menggoda Danira dan Papanya.

"Ra, subuh tadi kamu ke mana?" tanya Hannah.

Membuat Danira hampir tersedak, matanya melirik Hajun. Tapi yang dilirik terlihat santai saja.

"Aku mencari kamu, mau ngajak sholat subuh, tapi kamunya nggak ada di kamar." lanjut Hannah.

"Eeh... aku di dapur." bohong Danira.

"Nggak ada juga, aku cari ke dapur juga." ucap Hannah lagi.

"Aku ... aku...." Danira bingung harus menjawab apa.

"Kamu tidur di kamar Papa ya?" goda Hannah.

Wajah Danira langsung memerah, ditatapnya Hajun, tapi yang ditatap asik menyuap sarapan ke mulutnya, tak terpengaruh dengan pertanyaan Hannah.

"Kalau iya, asyik nih... aku bakal punya adik!"

"Asyik apanya, kalo aku ketiduran pas lagi hot-hot nya, memalukan...." guman Danira dalam hatinya.

***

Malam minggu, Danira duduk di teras ditemani Ujang. Hannah sejak jam tujuh sudah dijemput Shaka. Sementara Hajun masih ada urusan pekerjaan di Bandung.

Dari pada bengong sendirian, akhirnya Danira memutuskan untuk ngobrol dengan Ujang di teras depan.

Saat Danira ngobrol dengan Ujang, sebuah mobil berhenti di depan pagar, terlihat Arvin turun dari dalam mobil.

"Temannya, Non?" tanya Ujang.

"Iya, bukakan pintu pagar ya, Jang." pinta Danira.

Bergegas Ujang membuka pagar, ia mempersilahkan Arvin masuk. Arvin memasukan mobilnya ke halaman, lalu ia melangkah mendekati Danira.

"Hay Danira...."

"Hay, Vin, silahkan duduk."

"Terima kasih."

"Mau minum apa?" tanya Danira.

"Ngak usah terima kasih." jawab Arvin.

"Ada apa nih, tumben malam minggu ke sini, nggak ke rumah pacarmu?" tanya Danira.

"Ini... lagi di rumah calon pacar." jawab Arvin.

"Jangan becanda, Vin!"Danira terkekeh.

"Aku gak becanda, Ra, Aku berharap kamu mau jadi pacarku." Arvin menatap bola mata Danira dalam, seakan ingin Danira melihat ketulusan hatinya lewat mata.

Danira memang melihat ketulusan di dalam mata Arvin, tapi sayangnya....

"Aku gak bisa menerima ketulusan itu, Vin. Maafkan aku, jiwa, dan ragaku sudah ada yang memiliki."

"Tidak perlu dijawab sekarang, Ra. Aku tahu kamu perlu waktu, kita jalani saja seperti ini dulu, Ra."

"Ya Tuhan, Hati wanita mana yang tidak meleleh, mendengar ucapan lembut yang ke luar dari mulut seorang pria tampan seperti Arvin. Tapi, sayangnya hatiku sudah kuberikan pada Om Hajun" Batin Danira

Danira menggeleng pelan. "Aku gak mau memberimu harapan. Lebih baik dari sekarang aku katakan, aku gak bisa menganggapmu lebih dari teman, maafkan aku."suara Danira terdengar lirih.

"Tidak apa, Ra. Jadi temanmu saja tidak apa. Asal kamu ijinkan aku untuk jadi teman dalam suka, dan duka."

Perkataan Arvin sungguh membuat Danira bingung.

"Terbuat dari apa hatimu, Arvin kenapa begitu lembut. Aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan belahan jiwamu sendiri nanti."

Danira menyodorkan tangan pada Arvin.

"Sekedar teman, oke?" Ucap Danira.

Arvin menyambut uluran tangan Danira.

"Oke!" jawab Arvin.

"Tapi aku takkan berhenti berusaha, Danira. Aku akan berusaha untuk memiliki cintamu, hatimu dan dirimu. Aku akan tetap berusaha untuk menjadikanmu pendamping hidupku kelak. Mungkin orang berpikir aku bodoh. Mengejar cinta seorang gadis yang mungkin dalam pandangan orang terlalu biasa, dibanding gadis-gadis yang selama ini mengejarku. Tapi itulah cinta, tidak pernah kita tahu kapan datangnya dan hati mana yang akan dipilih untuk tempat cinta kita berlabuh."

"Arvin, kok malah melamun?" Suara Danira menyadarkan Arvin dari lamunannya.

Arvin terkekeh "Om Hajun mana, Ra?" Tanya Arvin.

"Lagi ke Bandung, ada urusan pekerjaan." jawab Danira.

"Oh... pantas saja tadi Tante Dona ikut ke rumah orang tuaku dengan orang tuanya. Tidak ada yang menemani bermalam Minggu, Eeh... kalau orang seumuran mereka pakai acara malam mingguan juga tidak ya?" Tanya Arvin sambil terkekeh.

Danira ikut terkekeh, meski ada sedikit rasa sakit di dalam hatinya.

Arvin menatap Danira.

"Sering-sering tertawa, Ra. Kamu manisnya luar biasa kalo tertawa." Batin Arvin.

"Hannah sama Shaka jalan ke mana, Ra?" tanya Arvin.

"Katanya, Shaka mau memperkenalkan Hannah sama orang tuanya." jawab Danira.

"Wah... serius nih ceritanya hubungan mereka ya?"

"Mungkin."

"Om Hajun setuju tidak?"

Danira mengangguk. "Selama Hannah bahagia dan bisa menjaga diri. Shaka juga bisa jaga Hannah. Om Hajun sepertinya nggak bakal keberatan."

"Aku agak bingung sebenarnya, Ra. Aku kok melihat sepertinya, Om Hajun lebih over protektif sama kamu dari pada sama Hannah."

Danira menatap Arvin. "Masa sih?"

"Ingat gak waktu di cafe itu. Aku melihat pandangan mata Om Hajun marah sama kamu, terus saat aku menemani kamu nunggu jemputan di kampus. Aku juga merasa Om Hajun seperti yang tidak suka melihat kita berduaan. Waktu dipesta juga, aku melihat ada kilatan marah di matanya. Saat melihat aku menggandeng tanganmu, Ra." Panjang lebar Arvin menjelaskan.

Danira bingung harus menjawab apa. "Mungkin karena dia merasa harus bertanggung jawab atas diriku, pada orang tuaku." Akhirnya Danira menemukan jawabannya.

Obrolan mereka berlanjut kebanyak hal. Sampai Arvin pamit pulang.

**********

**********

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!