Danira mengangguk pelan. "Aku sudah cukup sehat, Vin." jawab Danira.
"Mungkin kamu perlu banyak istirahat lagi, sebaiknya kami pulang nanti kapan-kapan kesini lagi." ucap Arvin.
"Iya benar, sebaiknya kami pulang, Han. Sepertinya Danira masih perlu banyak istirahat." Shaka menimpali ucapan Arvin.
"Oke, hati-hati di jalan ya." sahut Hannah.
Setelah Shaka, dan Arvin pulang. Danira dan Hannah duduk berdua di dalam kamar Hannah.
"Ra, apa ada sesuatu yang terjadi antara kamu sama Papa selama aku pergi?" tanya Hannah.
Danira mengangguk. Lalu menceritakan tentang pesta di rumah orang tua Dona, juga tentang kedatangan Dona ke rumah ini.
"Ooh... berarti karena itu, Papa sampai berpikiran seperti itu?" Ucap Hannah.
"Maksudmu berpikir untuk menceraikan aku?" tanya Danira.
Hannah terkejut. "Kamu... tahu Ra?"
"Papamu pernah bilang, dia akan melepaskan aku, jika aku sudah merasa yakin dengan Arvin. Tapi aku tidak menyangka, kalau pada akhirnya dia justru ingin secepatnya kami berpisah." jawab Danira dengan suara bergetar.
"Ra... apa kamu jatuh cinta sama Papa?" tanya Hannah.
Danira mengangguk lirih. "Tadinya aku berpikir Papamu mau berpisah denganku karena Tante Dona, tapi saat mendengar ucapannya kalau dia ingin yang terbaik untukku, ingin aku bahagia, aku sadar, Han. Ada ketulusan cinta dibalik ucapannya. Hanya saja dia salah, aku tidak ingin bahagia dengan orang lain, aku merasa bahagia di dekatnya. Kamu tidak keberatan kan, Han. Kalau aku mencintai Papamu. Tidak keberatankan, kalau aku berjuang untuk meyakinkan Papamu kalau aku bahagia dengannya?" tanya Danira.
Airmata Hannah sudah mengalir sejak tadi. Hannah memeluk Danira dengan erat.
"Aku bahagia, Ra... bahagia luar biasa...." Hannah melepaskan pelukannya.
"Kita akan berjuang bersama untuk meyakinkan Papa. Tapi aku minta imbalan untuk itu. Mam!" mata Hannah berkedip cepat.
Danira menyipitkan matanya. "Imbalan... apa?" tanya Danira.
"Berikan aku adik yang banyak!" goda Hannah, lalu ia terbahak.
Wajah Danira seketika memerah. "Oke... tapi kamu harus janji ....." jawab Danira.
Kali ini Hannah yang menyipitkan mata menatap Danira
"Janji apa, Mam?" tanya Hannah.
"Berikan aku cucu yang banyak!" jawab Danira. Tawa mereka meledak bersama.
"Apa yang kalian berdua tertawakan? Terdengar sampai ke lantai bawah." Hajun muncul di ambang pintu.
Hannah, dan Danira saling pandang dan saling tersenyum, dan mengedipkan mata mereka.
Hajun memandang keduanya, ia penasaran dengan arti senyum dan kedipan mata Hannah dengan Danira.
Hannah dan Danira selalu bisa berbicara tanpa kata, cukup senyum, dan kedipan mata. Mereka seperti tahu yang diinginkan satu ke lainnya.
"Hubungan yang luar biasa." gumam Hajun dalam hati.
***
Sejak sembuh dari sakit, Danira merasa nafsu makannya bertambah, ia sering mendadak lapar.
Seperti malam ini, padahal jam di atas meja, sudah menunjukan pukul satu dinihari, tapi perutnya malah berbunyi minta diisi.
Dengan langkah malas, Danira melangkah ke dapur. Lalu membuka kulkas, ada puding strawberry yang menggugah selera.
Diambilnya puding dan juga sebotol air mineral lalu dibawa ke ruang tengah.
Danira menyalakan TV yang dijam segini ternyata ada tayangan drama Korea.
Lumayanlah untuk menemaninya ngemil, pikir Danira.
Suara mobil yang datang mengagetkan Danira.
"Apa Om Hajun baru pulang bekerja jam segini. Saat makan malam tadi, dia memang belum datang." gumam Danira.
Danira berdiri, ia menatap Hajun yang berjalan sambil melonggarkan dasi di lehernya.
"Baru pulang dari kantor, Om?" tanya Danira, mengagetkan Hajun.
"Kenapa kamu belum tidur?" Hajun balik bertanya.
"Aku lapar." jawab Danira.
"Om mau aku buatkan minum? Atau mau makan sesuatu, atau mau aku pijitin?" tanya Danira
Hajun menatap Danira.
"Kenapa gadis kecil dekil ini, sekarang jadi agresif begini." pikirnya
"Om!" Danira menunggu jawaban.
"Mandikan aku mau tidak?" tanya Hajun sambil mengedipkan matanya.
Mulut Danira ternganga, ia sungguh terkejut dengan pertanyaan Hajun, yang membuat mukanya merah.
Hajun langsung terbahak.
"Makanya jangan sok agresif, Nona kecil. Kamu itu masih terlalu polos." batin Hajun.
"Aku cuma bercanda Danira, aku sudah terlalu tua untuk di mandikan bukan?" kalimat terakhir Hajun, dirasakan Hajun melukai hatinya sendiri.
Entah mengapa kata 'tua' selalu membuatnya takut.
Wajah Danira kini cemberut, membuat Hajun mencubit pipi Danira gemas.
"Siapkan makan malam, dan teh hangat saja, antar ke kamarku kalau sudah siap. Aku mandi dulu ya." Hajun melangkah menaiki tangga dengan senyum di bibirnya.
Danira ke dapur untuk memanaskan makanan, ia juga membuat teh hangat dan menyiapkannya di atas nampan. Dibawa juga puding, dan air mineralnya.
"Om... Om, buka pintunya!" panggil Danira.
Hajun membuka pintu, rambutnya masih basah. Ia hanya menggunakan celana pendek tanpa baju. Membuat Danira mematung di ambang pintu.
"Masuk!" ucap Hajun, ia menatap Danira yang masih berdiri diam di ambang pintu kamar Hajun.
Meski terlambat mata Danira seketika terpejam rapat.
"Om pakai baju dulu, kalau nggak pakai baju aku nggak mau masuk." jawab Danira tanpa membuka matanya.
"Iya ... iya ...." Hajun meraih kaos polosnya.
"Sudah, buka matamu, dan masuklah!" perintah Hajun tidak sabar.
Danira masuk, ia meletakan nampan di atas meja dekat sofa. Hajun duduk di sebelah Danira.
Danira memandang ke luar jendela sambil menikmati pudingnya. Sementara Hajun menghabiskan makan malamnya.
"Bagaimana kuliah kalian?" tanya Hajun.
"Baik, Om" jawab Danira singkat.
"Bagaimana menurutmu, hubungan Hannah dengan Shaka?"
Danira menatap Hajun yang sudah menyudahi makannya.
"Shaka... baik, belum kelihatan ada kekurangannya." jawab Danira. "Memang kenapa, Om?"
"Kamu dekat dengan Hannah. Pasti dia sering bicara sama kamu. Aku berharap, kamu bisa bantu aku jaga dia, supaya dia tidak salah jalan."
"Nggak perlu Om minta, aku pasti menjaganya, Om. Dia itu sahabat terbaikku."
Keduanya sama terdiam sesaat. Hajun masuk ke dalam kamar mandi untuk menggosok gigi.
Ke luar dari kamar mandi, ia kembali duduk di sofa.
"Om sudah selesai makannya? Biar aku bereskan." ucap. Danira.
Tangan Danira yang sudah bergerak ingin membereskan bekas makan ditahan oleh Hajun.
"Besok pagi saja beresinnya, pijiti aku saja." pinta Hajun.
Danira mengangguk, padahal matanya sudah mulai mengantuk. Danira berdiri di belakang Hajun. Tangan kecilnya mulai memijit bahu Hajun pelan.
"Enak, Om?" tanyanya pelan.
Kepala Hajun mengangguk, ia menikmati sentuhan tangan Danira di atas pundaknya.
Tangan itu memang tak terasa lembut, tapi sentuhannya mampu membakar kulit dan perasaan Hajun.
"Masa bodoh dengan umur... dia istriku, tidak salahkan kalau aku menginginkannya."
Hajun masih bergelut dengan pikirannya. Jemari Danira memijit di tengkuknya. Hajun menarik tangan Danira, ia mendudukkan Danira di atas pangkuannya.
"Om....." tatapan mata mereka bertemu. Hajun menundukkan wajah, bibirnya mencari bibir Danira.
Danira kini memejamkan matanya.
"Lakukan apa yang ingin Om lakukan. Lakukan apa yang harus dilakukan seorang suami pada istrinya." batin Danira
Bibir Hajun mencium Danira lembut, sangat lembut.
Tangan Kiri Hajun menahan tengkuk Danira. Tangan yang satunya mulai membuka kancing piyama Danira.
Hajun melepaskan piyama Danira dari tubuhnya, ia melepaskan juga dalaman Danira. Hajun menenggelamkan wajahnya di atas dada Danira.
Danira menggigit bibirnya sampai berdarah, Ia merasa malu untuk bersuara.
Hajun mengangkat kepala dari dada Danira, ditatap bibir Danira yang berdarah. Disekanya darah di bibir Danira.
"Tidak perlu malu Danira. Bersuara lah sesukamu ...."
Hajun mengecup bibir Danira. Ia mengecup bagian bawah telinga Danira dan itu berhasil membuat Danira, mengeluarkan suara. Bibir Hajun terus mengecupi bahu, dan leher Danira.
Danira merebahkan kepalanya di atas bahu Hajun. Kantuk menyerangnya dengan sangat dahsyat, mengalahkan rasa yang lainnya.
Hajun merasakan hembusan nafas Danira yang teratur.
"Ya ampun.... Dasar bocah kecil dekil, disaat seperti ini dia malah tertidur!" Hajun bergumam seraya menggeleng pelan.
**********
**********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
N Wage
hahahaha dasar bokil...bocah dekil.
2024-10-12
0