Nervous

Keheningan tiba-tiba menyelimuti keduanya, Laura bahkan tidak tahu harus melihat ke mana. Dia tidak menyangka orang yang dia tolong kemarin adalah bosnya. Betapa malu Laura ketika dia ingat tampilan lusuhnya kemarin.

Wajah Laura merona merah, dia tidak sanggup melihat langsung pada laki-laki yang masih berdiri di depannya itu. Ah, jika saja ada lubang tikus, mungkin Laura akan masuk tanpa keluar lagi.

Debaran jantung Laura pun entah kenapa ikutan tidak beraturan, seolah drummer yang tengah menabuh drum di acara festival sekolah.

"Kamu tidak apa-apa? Wajahmu merah sekali." Alvaro menunduk agar bisa melihat wajah Laura dengan jelas.

"E-eh, s-saya baik-baik saja, Pak Alvaro ...," ucap Laura gagap seketika.

"Wajahnya ini cobaan paling berat untuk jantungku," gumam Laura.

"Wajah siapa? Wajahku?" tanya Alvaro ketika dia samar-samar mendengar gumaman Laura.

"B-bukan, Pak!"

Laura segera menjauhkan diri dari Alvaro, bisa bahaya jika laki-laki itu terus mengusiknya.

Melihat tingkah Laura yang menggemaskan di matanya, Alvaro terkekeh sampai air matanya keluar.

"Kamu ini lucu banget ya, Laura. Jangan nervous gitu lah, aku nggak akan makan orang, kok."

Laura memamerkan senyum kudanya, baru dia sadari ternyata kelakuannya itu sudah di luar kebiasaannya. Malu juga rasanya jika dia bersikap demikian, padahal dia bukan lagi remaja labil yang mudah terhanyut oleh suasana. Eh, lebih tepatnya oleh paras lawan jenis.

Jika mengingat paras lawan jenis, Brian juga tidak kalah menawan kok. Sayangnya, Brian tidak bisa menjaga kesetiaannya. Bahkan cinta laki-laki itu palsu semata.

Alvaro masih memperhatikan perubahan wajah Laura, dari yang tadinya malu-malu, sekarang perempuan di depannya itu menunjukkan ekspresi kekesalan. Alvaro jadi penasaran apa yang ada di dalam kepala kecil perempuan itu. Hingga Laura menunjukkan berbagai macam ekspresi wajah dalam hitungan menit.

"Duduklah, kamu pasti penasaran kenapa bisa diterima. Padahal bawahanku menolakmu secara sepihak," ujar Alvaro.

"B-benar, Pak."

Laura tidak mau membuat kesalahan dan bertingkah memalukan lagi, dia pun mengikuti Alvaro. Laura duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Alvaro, berhadapan dengan bosnya itu.

Beberapa kali Laura menelan salivanya, debaran jantung Laura kian tak menentu. Sementara Alvaro sedang membolak-balikkan lembar demi lembar CV milik Laura.

"Di dalam CV ini, kamu tidak mencantumkan pernah menjadi seorang sekretaris. Kamu hanya menyatakan bahwa mengetahui garis besar kinerja sekretaris itu seperti apa. Dari mana kamu tahu?" tanya Alvaro setelah beberapa saat keduanya diam tanpa kata.

"Oh, i-itu ... di tempat kerja saya dulu, ada teman saya yang di bagian sekretaris sering meminta bantuan. Dia juga sering kali meminta pendapat, jadi saya bisa mengetahuinya dari sana, Pak."

Laura tidak tahu pernyataannya yang apa adanya itu dapat membantu dirinya agar bisa meyakinkan bos barunya ini, Laura harus menerima kenyataan bahwa ada beberapa orang yang lebih memilih jawaban palsu dari pada kejujuran.

"Oh, aku paham sekarang. Lalu, apakah kamu yakin bisa mengimbangi cara kerja sekretaris yang sebenarnya? Sebab selama ini kamu hanya memberi masukan, tapi tidak terjun langsung."

Sorot mata Alvaro tajam menatap Laura, membuat suasana di kantor itu seakan tidak memiliki udara. Sungguh membuat dada Laura sesak.

"Saya yakin bisa, Pak. Saya cepat beradaptasi dengan lingkungan baru juga," tegas Laura.

Laura tidak akan terintimidasi oleh sorot tajam Alvaro padanya, jika dia tidak bisa melawan kegugupannya saat ini. Maka dia tidak akan bisa menghadapi lawan atau mitra bisnis ketika dia terjun langsung di dunia kerja seorang sekretaris.

Tidak sedikit sekretaris yang dianggap remeh oleh sebagian orang, Laura sering mendengar rumor buruk di dunia kantor terutama kesekretariatan.

"Sanggupkah kamu menahan semua pandangan buruk yang akan mengarah padamu? Jujur saja, aku baru pertama kali memiliki sekretaris wanita. Jadi, aku tidak akan melanjutkan kerja sama kita jika kamu tidak memiliki keteguhan," tutur Alvaro.

"Saya bisa, Pak. Saya janji tidak akan goyah." Laura lagi-lagi menjawab tanpa keraguan.

Ya gimana mau ragu, dia saja sedang butuh pekerjaan tersebut. Bagi mereka yang sedang terdesak, apa pun akan mereka lakukan untuk bertahan hidup. Apa pun, yang artinya bisa ke arah yang buruk dan baik.

Laura tidak peduli apa kata orang, selagi orang itu tidak bisa membeli harga dirinya maka dia tidak seharusnya merendah di hadapan orang tersebut.

"Bagus, Laura. Aku suka dengan semua jawabanmu. Baiklah, mulai sekarang kamu diterima dan bisa langsung bekerja."

Alvaro tersenyum puas akan semua jawaban yang Laura berikan, dia baru kali ini bertemu dengan perempuan yang tidak mengalihkan pandangan darinya.

"Terima kasih banyak, Pak Alvaro!" Laura tidak bisa menutupi rasa bahagianya, hingga dia langsung menjabat tangan Alvaro.

"Eh, m-maafkan saya, Pak." Gelagapan Laura akan sikapnya sendiri. Sungguh hari ini dia tidak mengerti kenapa bisa tidak terkontrol begitu.

"Hahaha ... kamu ini benar-benar lucu, Laura. Baiklah, silakan ke luar dan temui Seno. Dia sekretarisku, kamu akan diajari oleh Seno tentang apa yang akan menjadi tugas-tugasmu kedepannya," ucap Alvaro.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak. Saya permisi ...."

Laura beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruangan Alvaro, senyum mengembang di wajahnya. Laura sangat beruntung dia bisa mendapatkan pekerjaan secepat ini, ternyata benar apa kata ibu panti asuhan dulu. Berbuatlah baik terhadap sesama, tanpa perlu mengharap imbal dari mereka. Biarkan tangan Tuhan yang akan bekerja.

"Sekarang aku sudah punya pekerjaan, setidaknya aku tidak akan malu saat pulang ke rumah keluarga Indra," gumamnya.

"Laura ya? Ayo ikut saya, akan saya tunjukkan semua hal yang menjadi tugasmu," ucap seorang laki-laki yang telah menunggu di depan pintu masuk ruang direktur.

"Baik, terima kasih banyak."

Laura mengikuti sekretaris pertama Alvaro, ada banyak mata yang melirik padanya saat dia dan Seno melewati meja demi meja para karyawan. Tatapan ketidaksukaan. Itu lah yang dapat Laura tangkap.

Di mana-mana memang ada yang seperti ini, tidak menyukai jika ada orang lain bahagia. Menganggap rendah orang lain, senioritas yang membuat para pelakunya congkak.

Laura sudah cukup hapal dengan hal itu, bermuka dua, menjilat, hasut hasad, iri dan dengki. Di manapun ada manusia dengan sifat seperti itu.

"Semoga langkahku di sini tidak sulit. Aku tidak suka mengusik orang lain, semoga mereka juga demikian. Aku ingin bekerja dengan tenang," gumam Laura.

Rupanya gumaman Laura itu terdengar oleh Seno, dia menghela napas dan berkata, "Biarkan saja mereka begitu. Kalau ada yang mengganggumu, katakan saja pada saya atau kamu bisa langsung lapor pada Pak Alvaro."

"Eh, t-tidak, Pak Seno. Saya tidak suka berbuat demikian," kata Laura.

"Panggil saja saya Seno, oh aku juga akan berbicara informal kedepannya. Umur kita juga tidak terpaut jauh."

Laura tersenyum tipis, dia kembali bersyukur sebab Seno terlihat baik. Walau dia tidak tahu apakah benar-benar demikian. Pengalamannya dulu membuat Laura tidak langsung percaya orang itu baik.

"Jangan terlalu percaya 100% pada orang lain. Sebab bayangan kita sendiri saja meninggalkan kita saat gelap menyapa," batin Laura.

Seno mulai mengajari Laura satu per satu akan tugasnya, dia juga dibawa keliling area perusahaan. Agar Laura tidak tersesat saat dia sendirian.

Terpopuler

Comments

Imas Ratnasari

Imas Ratnasari

cantiik bingit.. Laura... /Kiss/

2024-11-16

0

Tati st🍒🍒🍒

Tati st🍒🍒🍒

aku juga kadang berpikir jelek tentang sekertaris,gara2 satu orang yg salah,jadi yg lain kebawa ikut jelek🤭😅

2024-08-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!