Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar Laura, hingga membuat perempuan berambut berombak sebahu itu terbangun dari tidurnya. Napas Laura memburu tatkala dia melihat jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Padahal dia tidak pernah bangun kesiangan seperti itu, tapi entah kenapa semalam dia bisa tertidur nyenyak.
Mimpi-mimpi buruk yang selalu menghantuinya tidak ada malam itu, bahkan suara tangis bayi yang dia selalu dengar itu pun juga tidak dia dengar. Laura merasa seolah dunia kembali tenang, seperti saat dirinya masih sendiri dan belum mengenal apa itu cinta dan Brian Regan.
"Sebenarnya kenapa bisa sangat berbeda begini? Sampai kemarin saja semua bayang-bayang buruk itu terus menghantuiku, apakah perlahan aku sudah mulai melupakan semua kenangan pahit tersebut? Apakah aku juga sudah tidak lagi merasa bersalah atas kepergianmu, Nak?" bisik Laura sambil memegang perutnya yang rata.
Hampir saja bulir bening membasahi pipinya jika saja dia tidak mendengar suara ketukan pintu, entah siapa yang membangunkan Laura saat ini. Namun, berkatnya, Laura langsung sadar dari lamunannya. Perempuan itu pun bergegas menghampiri pintu demi melihat siapa yang datang.
"Bodohnya aku, padahal aku ini tamu tapi malah aku bangun kesiangan dan membiarkan tuan rumah membangunkanku," gerutu Laura.
Dibukanya pintu kamar bercat putih dan menampilkan sosok Puspita Dewi, ibu dari dokter yang menanganinya. Puspita tersenyum melihat Laura.
"Maafkan Ibu karena membangunkanmu, Nak. Kamu tidak marah 'kan?" tanya Puspita.
"T-tentu tidak, Bu. M-maafkan saya karena bangun siang, seharusnya saya bangun lebih pagi untuk membantu Anda," jawab Laura. Kikuk sungguh Laura saat ini, dia malu setengah mati.
'Bagaimana kalau Ibu Puspita mengira aku wanita yang pemalas,' batin Laura. Laura tertunduk dengan jarinya memegangi ujung baku tidurnya.
"Eih, tidak apa. Lagian kamu juga pasti capek, banyak yang terjadi dalam hidupmu, Sayang. Ibu juga tidak mengerjakan pekerjaan rumah sendiri kok, ada bibik juga di rumah ini.
"Oh iya, Indra bilang dia akan berkerja di rumah sakit dulu sampai siang. Nanti dia yang akan menemanimu mengambil apa yang kamu butuhkan di rumah calon mantan suamimu itu, Nak," tutur Puspita sambil memegang bahu Laura.
"Dokter Indra sudah berangkat kerja?" tanya Laura yang memberanikan diri mangangkat kepalanya.
"Iya, dia baru saja berangkat. Dia harus mampir ke rumahnya dulu. Indra itu kan sudah punya rumah sendiri, jadi semua kebutuhan pekerjaannya ada di rumahnya. Sangat jarang Indra menginap di rumah kami. Jangankan menginap, berkunjung saja sangat jarang. Pasti alasannya itu selalu sibuk, banyak pasien," omel Puspita akan kelakuan putranya.
"Masa? Dokter Indra begitu?" Laura tidak percaya ternyata dokter yang berhati lembut itu, bisa memiliki sifat seperti itu.
"Eh, tapi bukan berarti Indra itu anak yang gak baik. Dia begitu mungkin karena tidak mau kami suruh kencan buta, maklum kami sudah berumur dan ingin menimang cucu. Hehehe ..."
Laura akhirnya mengerti, kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah dirasakan Laura sejak kecil bahkan mungkin sejak dia lahir.
"Duh, lupa! Keasikan ngobrol. Nak, kalau kamu hari ini tidak ada rencana, boleh temani Ibu berbelanja? Ibu itu jenuh kesana kemari sendirian terus, ayahnya Indra juga hari ini sibuk di kantornya. Namun, kalau kamu punya rencana lain tidak apa-apa, kok," ujar Puspita.
Laura tersenyum simpul mendengar permintaan perempuan paruh baya yang masih terlihat awet muda itu, tidak mungkin juga dia menolak permintaan yang sepele begitu. Tidak ada salahnya menemani berbelanja, ibu dari orang yang sudah banyak menolongnya.
"Baiklah, Bu. Akan saya temani."
"Benarkah? Syukurlah kalau kamu bersedia. Oh iya, nanti kamu pakai baju ini ya, Ibu rasa baju ini sangat cocok untukmu, Nak."
Puspita menyodorkan gaun berwarna merah muda pada Laura. Gaun dengan motif bunga-bunga kecil di bagian lehernya dan panjangnya di atas lutut sedikit. Terlihat sederhana tapi juga elegan, kombinasi yang sangat sesuai untuk dirinya yang tidak terlalu suka mengenakan pakaian yang terlalu glamour.
"Baju ini untuk saya?" tanya Laura.
"Iya, ini untukmu, Nak." Puspita memandang sayu ke arah Laura.
Ada sorot kesedihan dan kebahagiaan di saat yang bersamaan, Laura tidak mengerti apa yang terjadi dengan perempuan paruh baya di depannya ini. Karena tidak ingin menyinggung hati seorang ibu, Laura pun menerima gaun tersebut dan berkata akan mengenakannya. Seusai Puspita selesai dengan tujuannya, dia pun beranjak dari kamar Laura dan menunggu Laura di lantai bawah.
Sebenarnya gaun yang Puspita berikan pada Laura, dia beli untuk mendiang anak perempuannya. Sudah bertahun-tahun gaun itu tersimpan rapih di sudut lemari bajunya. Keinginannya untuk bisa mendandani seorang putri belum tercapai dan kehadiran Laura mengisi kekosongan dan harapan Puspita.
***
Keduanya pun telah sampai di pusat perbelanjaan, Puspita mengajak Laura untuk mencoba beberapa baju, sepatu, maupun aksesoris. Sudah berapa kali Laura menolak ketika Puspita hendak membelikan sesuatu untuknya, tapi usaha Laura sia-sia belaka.
Setelah cukup lama berjalan, menyambangi satu per satu toko dengan fashion terkini, keduanya pun terlihat kelelahan.
"Wah, sudah lama sekali Ibu ingin shoping seperti ini. Namun sayangnya, dua laki-laki di rumah itu tuh tidak bisa diharapkan," keluh Puspita akan sikap suami dan putranya.
Laura hanya tersenyum tipis tiap kali Puspita meluahkan isi hatinya itu. Bagi Laura apa yang perempuan di sampingnya ungkapkan hanyalah sebuah keluhan seorang istri dan ibu yang kesepian.
Hal serupa Laura rasakan beberapa minggu lalu, ketika semua perbuatan bejat Brian belum terendus olehnya. Laura pun tiap hari merindukan kepulangan sang suami, dia sama sekali tidak menyangka suami yang selama ini dikiranya giat bekerja hingga selalu lembur itu ternyata justru bermain hati di belakangnya.
Puspita yang mulai menyadari perubahan raut wajah Laura pun menghentikan langkahnya, dia meraih tangan Laura dan berucap, "Kita makan dulu yuk. Sudah hampir jam makan siang. Nanti biar Indra saja yang menjemputmu di sini. Gimana?"
"Baik, Bu."
Karena tidak ada penolakan dari Laura, Puspita pun mengajak Laura ke restoran langganannya. Kedatangan Laura di restoran itu langsung disambut oleh staff yang sudah tahu dirinya. Seusai memesan makanan untuk mereka dan makanan yang mereka pesan telah tiba, keduanya pun menyantap makanan sambil sesekali Puspita menceritakan masa kecil Indra yang teramat pendiam.
"Oh, itu orangnya datang," ucap Puspita saat matanya menangkap sosok putranya berjalan menuju ke mejanya.
"Bu, kok ngajak Laura muter-muter mall sih? Laura jnj baru sembuh loh, Bu," tegur Indra.
"Duh, kamu ini berisik sekali. Padahal Ibu tuh juga sering ajak Laura istirahat tahu, kita tidak berjalan non-stop. Iya kan Laura?"
"Benar, Dok. Kami sering istirahat, kok," sahut Laura yang tidak ingin Indra itu justru memarahi ibunya di tempat umum.
Mendengar Laura juga berkata demikian, akhirnya hanya helaan napas saja yang Indra keluarkan.
"Laura, kita berangkat sekarang, yuk. Bu, Ibu aku antar dulu ya," kata Indra.
"Duh, ngapain repot-repot. Ibu bisa pulang sendiri naik taksi. Sudah kamu berangkat saja sama Laura."
"Baiklah, Bu." Indra mengambil barang belanjaan Laura dan ibunya. Ketika Indra hendak menyusul Laura yang sudah berpamitan dengan ibunya, sang ibu mengehentikan langkahnya.
"Ndra, kamu harus bantu dan lindungi Laura, ya. Kasihan dia dari pagi ngelamun terus, dia juga terkadang menyentuh perutnya," bisik Puspita.
"Iya, Ibu tidak perlu khawatir. Ibu juga hati-hati saat pulang nanti."
"Iya, iya, Ibu tahu. Sudah sana susul Laura."
Indra pun mengangguk dan bergegas mengejar Luara yang sudah tidak terlihat.
"Oh Tuhan, tolong lindungi keduanya," gumam Puspita penuh harap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Bella Ox
semangat update thor 😆
2024-07-27
0
Tati st🍒🍒🍒
lanjut
2024-07-27
0
Tati st🍒🍒🍒
sinyal2 pemgen laura jadi mantu kayanya😁
2024-07-27
0