Sudah hari kedua Laura dirawat, selama dua hari itu juga Laura tidak memberikan respon apapun. Dia hanya menjawab apa yang dokter tanyakan padanya, terkait kondisi tubuhnya tidak lebih dari itu.
Pandangan Anna selalu kosong, dia sering kali menyentuh perutnya yang kini rata. Tidak jarang juga air mata membasahi pipinya yang kini tak lagi gebu.
Kondisi Anna yang seperti itu menarik rasa empati perawat maupun pasien yang satu ruangan dengan Laura.
"Gimana keadaan Laura?" tanya Dokter Indra, pada perawat IGD.
"Ya masih begitu, Dok. Dia bahkan tidak mau menyentuh makanannya lagi. Kami khawatir hal ini akan memperburuk kondisinya, Dok."
Indra kemudian mengambil nampan makanan milik Laura, dia kemudian berjalan dan duduk di kursi yang ada di dekat ranjang pasien.
Kursi yang tidak pernah ada yang menduduki selain dirinya ataupun perawat yang terkadang mengajak Laura berbincang.
"Halo, Laura. Aku dengar kamu tidak mau makan? Apa rasanya tidak enak?" tanya Indra. Tidak ada tekanan atau paksaan di kalimatnya.
Laura menoleh pada Indra, dia menggeleng sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan yang diberikan dokter muda itu.
"Aku suapin ya, aku tidak mau nanti kamu malah tambah sakit. Kamu tidak ingin cepat keluar dari rumah sakit?"
Indra masih terus membujuk Laura, perempuan itu masih belum merespon apapun. Dari sorot mata yang kosong itu mencerminkan seberapa perempuan ini terlihat tidak memiliki semangat hidup.
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya?" gumam Indra.
"Mau ya?" Indra mengambil sendok dan menyodorkan makanan ke depan mulut Laura.
Laura awalnya tidak mau menerima makanan tersebut, tapi dia tidak sampai hati. Akhirnya Laura menerimanya, suapan pertama hingga ketiga berhasil Laura lalui. Hingga disuapan keempat, perempuan itu menangis.
Tangis pilu yang menyita perhatian banyak orang di ruangan tersebut.
"Kasihan sekali wanita itu, tidak ada yang menjenguknya dan katanya dia juga baru saja keguguran."
Bisik-bisik serupa terdengar walau samar dan hal itu membuat tangis Laura makin kencang.
"Tidak apa-apa, menangislah jika itu membuatmu lega."
Indra menepuk punggung Laura, sikap hangat dan suara lembut Indra membuat benteng pertahanan Laura. Perempuan itu pun mencengkeram kuat jas dokter Indra. Isak yang kini bercampur dengan senggukkan Laura membuat mereka yang ada di ruangan yang sama merasa iba, bahkan salah satu perawat yang selama ini mendampingi Laura memeluk perempuan yang tengah rapuh tersebut.
Sejak siuman, baru sekarang Laura menunjukkan emosinya. Siapapun dapat menduga pasti teramat berat beban yang menimpanya.
"D-dia telah memb-unuh anakku ..."
"A-aku tidak akan memaafkannya!" jerit Laura kala itu.
Indra yang tidak tega melihat keadaan pasiennya itu memerintahkan pada perawat untuk memberikan obat penenang.
Tidak begitu lama, Laura kembali tenang dan dia pun tertidur akibat efek obat bius tadi.
Ketika suasana mulai tenang, keributan justru terdengar dari area resepsionis rumah sakit. Suara teriakan seorang perempuan memanggil nama Laura menggema, hingga menimbulkan kekacauan.
Indra yang tidak suka ada hal yang mengganggu ketenangan para pasien pun mendatangi kekacauan tersebut. Dan ketika Indra sampai di sana, perempuan paruh bayah tengah berseteru dengan dua perawat yang berusaha menenangkan dan satpam yang kewalahan menangani aksi gila perempuan tua tersebut.
"Ada apa ini? Tidakkah Anda lihat tempat ini bukan tempat yang bisa sesukanya Anda berbuat ulah?"
Semua yang ada di situ seketika langsung senyap, tidak ada satupun yang berani bersuara. Termasuk si pembuat onar.
Lagian siapa juga yang mau berurusan dengan dokter berandalan di rumah sakit itu? Bahkan petinggi rumah sakit saja tidak ada yang berani mengusiknya, selain karena postur tubuh yang mengintimidasi, Indra Sjafri juga anak tunggal direktur utama rumah sakit tersebut.
"Dokter, di mana Laura? Menantu tidak berguna itu katanya dirawat di sini bukan? Cepat suruh dia keluar saat ini juga!"
Perempuan yang mengaku sebagai mertua dari pasien yang ditangani oleh Indra.
"Oh jadi Anda adalah wali dari pasien yang bernama Laura Kiehl, tapi kenapa Anda tidak pernah menunjukkan diri di saat menantu Anda sedang dalam keadaan kritis?"
"Lalu? Apa urusannya denganku? Lagian ngapain sih Dokter pake nyelametin wanita tidak berguna itu? Dia itu benalu di dalam keluargaku!"
"Benalu?" tanya Indra yang memastikan apakah pendengarannya itu benar atau tidak.
"Iya lah benalu, apa lagi? Dia itu yatim piatu, anak yang besar di panti asuhan, yang tidak diketahui asal-usulnya. Nasib putraku saja yang apes, sampai bisa menikah dengannya. Syukur-syukur dia itu mati kemarin, eh Dokter malah menyelamatkan wanita gila itu!"
Perempuan tua itu masih terus mengoceh, kalimat demi kalimat yang dilontarkan bahkan sudah tidak nyaman untuk didengar.
Indra bahkan tidak habis pikir, jika dirinya yang seorang dokter tapi tidak boleh menyelamatkan nyawa pasien lalu tugasnya apa?
"Baiklah, saya mengerti bahwa dia tidak diterima dalam keluarga Anda. Namun demikian, Anda dan putra Anda tetaplah walinya. Anda tidak bisa berbuat seenaknya seperti itu."
Mertua Laura makin naik pitam ketika dokter muda yang ada di depannya itu justru membela Laura.
"Bawa ibu ini keluar dari sini, jika dia tidak ada kepentingan yang berarti dengan pasien maka janhan biarkan dia mendekati are rumah sakit," titah Indra pada dua satpam yang langsung mematuhi titahnya.
Sumpah serapah diucapkan oleh mertua tidak tahu diri tersebut, rencananya untuk membuat Laura diusir dari rumah sakit gagal total. Kebencian yan ada dihati perempuan tua tersebut kian besar terhadap Laura.
"Awas saja kamu, Laura. Akan kubuat kamu menyesal sudah mempermalukan aku di depan umum!" ancamnya sebelum dia masuk ke dalam mobilnya dan berlalu meninggalkan area rumah sakit.
Dalam perjalanan ke rumah, Brenda menelpon putranya. Dia menceritakan kejadian di rumah sakit dengan versinya sendiri. Perempuan itu bahkan mengatakan pada putranya itu, bahwa Laura telah membujuk dokter yang bertugas untuk mengusir dirinya.
"Mama yakin, istrimu itu sudah cerita hal buruk tentang Mama dan kamu, Nak. Masa kamh mau diam saja melihat kelakuan istrimu yang tidak benar itu," celoteh Brenda.
"Mama tenang saja, aku akan siapkan hadiah spesial untuknya," jawab Brian.
"Yang benar saja, masa kamu mau ngasih hadiah ke perempuan tidak tahu malu itu. Dia itu sudaah membuat nama Mama buruk. Apa lagi kamu, banyak keluarga pasien yang menganggap Mama ini gila dan kamu sebagai suami tidak bertanggung jawab," tutur si ibu.
Emosi Brenda sudah meluap sejak di rumah sakit, ini apa lagi mendengar anaknya ingin memberi hadiah untuk perempuan yang dibenci olehnya.
"Bukan hadiah itu, Mama. Sudah sekarang Mama tenangkan diri dulu, aku akan urus sisanya."
Brian memutuskan sambungan teleponnya dengan ibunya itu, dia kemudian merengkuh tubuh Zaskia yang baru saja tertidur setelah permainan panas mereka.
"Kenapa, Bri?" tanya Zaskia yang menyadari lengan Brian merengkuhnya.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin memelukmu saja. Tidurlah lagi. Oh iya, sore nanti aku mau ke rumah sakit, di mana Laura berada."
"Hah? Ngapain kamu mau ke sana? Ternyata benar ya, kamu ini masih peduli dengan istrimu itu," ucap Zaskia yang tidak suka dengan apa yang dikatakan Brian.
"Sst, bukan begitu. Aku akan memberinya pelajaran yang tidak akan bisa dia lupakan seumur hidupnya. Masa kamu masih meragukan cinta dan sayangku ini hanya untukmu seorang?"
Zaskia pun tersenyum kembali setelah mendengar bujuk rayu Brian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
cool kid
kesel deh sama mertuanya 😬
2024-07-03
0
Tati st🍒🍒🍒
mungkin si laura mau ditalak,tapi justru itu bagus dia lepas dari kamu
2024-07-02
0
Tati st🍒🍒🍒
kamu sendiri yg mempermaluka diri teriak2 di rumah sakit
2024-07-02
0