Indra Sjafri

Indra yang baru tiba setelah perawat memanggilnya, langsung ke mendekati bangsal Laura. Situasi sebelumnya telah terkendali ketika dokter muda itu tiba.

"Apa yang terjadi padanya?" tanya Indra pada perawat yang baru saja memenangkan Laura.

"Tadi, suaminya itu datang, Dok. Suaminya membuat keributan dan mengatakan semua hal buruk pada pasien. Sepertinya juga suaminya itu mengajukan gugatan cerai," jawab si perawat dengan suara pelan.

"Jadi suaminya datang? Dia pergi setelah keributan yang dibuatnya?"

"Iya, Dook. Suaminya ini gila."

Indra mengangguk, dia juga sepertinya tidak membutuhkan penjelasan detail lagi. Mengingat bagaimana perlakuan perempuan paruh baya tempo hari, Indra bisa menebak seburuk apa perlakuan suami dari pasiennya tersebut.

"Kembalilah bekerja, biar aku yang bicara dengan pasien."

Dua perawat itu kemudian berjalan meninggalkan bangsal Laura.

Pasien yang seruangan dengan Laura juga kembali dengan urusan mereka masing-masing. Kini tinggal dokter muda itu yang duduk di samping bangsal Laura.

"Apa yang akan Anda lakukan?" tanya Indra.

Laura menatap kosong pada dokter yang telah memberi banyak bantuan padanya, hampir saja air mata itu tumpah lagi.

"Aku ... sejujurnya aku juga bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku tidak tahu harus bagaimana."

Laura sungguh dalam posisi yang tidak berdaya, bagaimana dia akan bangkit? Pekerjaan saja dia tidak punya, apa lagi tempat tinggal. Bisa saja Laura meminta bantuan temannya, tapi Sarah berada di kota lain yang jauh darinya.

"Aku bisa membantumu jika kamu ingin berpisah dengan suamimu," ucap Indra.

Indra sendiri juga tidak tahu, mengapa dia begitu peduli akan Laura.

"M-maksud Dokter?" Laura mengalihkan pandangannya dari lembaran surat gugatan cerai yang diberikan Brian.

"Saya punya teman seorang pengacara, jika kamu ingin berpisah dari suamimu itu aku akan bicara dengan teman saya," ujar Indra.

"Tapi, Dok. Saya sudah banyak merepotkan Dokter."

"Jangan bilang begitu, kamu adalah pasienku, jadi aku masih punya tanggung jawab akan dirimu," ucap Indra.

Laura terdiam, dia sadar bahwa saat ini sangat membutuhkan uluran tangan untuk bisa bangkit. Laura sangat menyadari dirinya tidak punya apapun untuk berhadapan dengan Brian dan orang-orang yang telah mengkhianatinya.

"Pikirkanlah baik-baik, jika sudah mengambil keputusan maka kamu bisa mengabariku segera. Apa kamu tidak ada orang yang bisa dihubungi selain keluarga suamimu?"

Laura menggeleng lagi sebelum dia berucap, "Saya punya teman, tapi saya tidak ingin merepotkan dia dan keluarganya."

"Teman?"

"Iya, teman saya waktu di panti asuhan dulu. Hanya saja sekarang dia sudah menikah dan ikut dengan suaminya pindah ke kota yang jauh. Jadi tidak mungkin saya cerita padanya tentang keadaan saya sekarang," tutur Laura.

Setelah mendengar penjelasan Laura, barulah Indra paham. Laura tidak memiliki sanak saudara yang bisa dimintai pertolongan, jika pasiennya itu berasal dari panti asuhan hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama pasiennya itu yatim piatu, atau orang tuanya tidak menginginkan hadirnya Laura dalam hidup mereka.

"Baiklah, aku mengerti. Sekitar dua hari lagi kamu bisa pulang, perkembangan kesehatanmu telah stabil. Hanya perlu memenangkan pikiran dan istirahat agar pulih sepenuhnya."

"Dok, tapi saya tidak tahu harus pulang ke mana," ujar Laura.

Barang-barang Laura semuanya masih ada di rumah mertuanya, jika dia diperbolehkan pulang itu artinya dia harus kembali ke rumah itu lagi. Bertemu dengan suami, mertua, dan adik tirinya yang menyebalkan.

"Kamu bisa tinggal sementara di rumahku. Oh, jangan khawatir, aku tinggal dengan ayah dan ibuku. Jadi mereka juga ada di rumah yang sama, aku akan cerita tentang dirimu dan keadaanmu. Ibu dan ayah pasti akan paham," tutur Indra.

"D-dokter, itu artinya saya akan merepotkan Anda lagi. Bagaimana bisa aku se serakah itu?" Laura tidak tahu harus berkata apa lagi.

Perasaan malu tentu menggerogoti hatinya, dia sudah banyak berhutang budi pada dokter muda itu.

"Bicaralah dengan santai, lagi pula usia kita tidak begitu jauh. Hanya aku lebih tua dua tahun darimu."

"Pikirkanlah dulu apa yang kukatakan, jika kamu sudah memutuskannya jangan ragu untuk mengatakan padaku," pinta Indra.

Laura menatap sendu dokter muda yang masih setia duduk dan mendengarkan masalahnya.

"Dok, kenapa Dokter begitu peduli padaku? Padahal kita belum pernah ketemu sebelumnya," kata Laura.

"Tidak ada alasan khusus, aku hanya bertindak atas dasar rasa kemanusiaan," balas Indra.

Indra tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya sendiri juga tidak mengerti akan sikapnya tersebut, selama ini Indra bekerja untuk menyelamatkan pasien. Namun, sekarang baru kali ini dia bertindak melebihi kewajiban seorang dokter.

Laura masih tidak percaya ada orang yang membantunya dan baik padanya, tanpa memiliki motif tersembunyi seperti yang dilakukan Brian padanya di awal dirinya dan laki-laki yang telah menjadi suaminya.

"Baiklah, Dok. Saya akan terima tawaran, Dokter."

Indra tersenyum ketika mendengar jawaban tegas dari Laura, "Keputusan yang bagus, Laura. Kalau begitu aku memberitahu ibuku untuk menyiapkan segala sesuatunya yang akan kamu butuhkan."

Setelah selesai dengan urusannya, Indra pun meninggalkan bangsal Laura sebab dia masih harus mengurus pasiennya yang lain.

***

Hari kepulangan Laura pun tiba, dengan kikuk perempuan itu memasuki mobil Indra. Dokter yang telah merawatnya selama ini, bahkan setelah dia keluar pun Laura akan kembali berada dalam tanggungan Indra.

"Hm, Dokter. Boleh saya tanya sesuatu yang sedikit privasi?" tanya Laura.

"Tentu, silakan bertanya jika ada hal yang tidak kamu mengerti."

Indra mengemudikan mobilnya menuju kediaman orang tuanya.

"Apa Dokter sudah punya istri? Atau pacar gitu?"

Mendengar pertanyaan Laura justru membuat Indra terbatuk-batuk, dia melirik Laura yang juga tengah menunduk malu.

"Maksudnya?" tanya Indra yang bingung kenapa Laura mengajukan pertanyaan tersebut.

"Maksudnya tuh, kalau Dokter sudah punya istri atau pacar kan saya jadi segan untuk tinggal di rumah, Dokter. Saya tidak mau dianggap sebagai pelakor dan perusak rumah tangga orang lain," ujar Laura.

Indra yang mengerti duduk perkaranya itu hanya tersenyum tipis sebelum menjawab rasa penasaran Laura padanya.

"Laura, eh apa aku panggil Mbak saja ya?"

"T-tidak usah, Dok. Walau saya lebih tua dua tahun, tapi kan Dokter Indra yang paling punya wawasan luas," ucap Laura.

"Baiklah, akan kujelaskan lagi. Pertama aku belum pernah menikah, untuk sekarang ini juga aku tidak punya pacar jadi ya aku memang jomlo. Lalu, yang kedua, kamu tidak tidur di rumahku. Melainkan rumah orang tuaku," tutur Indra.

"Hah? Jadi kekhawatiran saya ternyata tidak ada artinya dong?" Ekspresi Laura begitu lucu di mata Indra.

"Kamu ini aneh, Laura. Aku tidak tahu kenapa aku begitu tertarik dan ingin menolongmu, seolah kamu ini memiliki magnet yang tidak bisa kutolak."

Terpopuler

Comments

Imas Ratnasari

Imas Ratnasari

jangan- jangan.. orang tua Dokter Indra adalah orang tua Laura. secara Laura, dulu dibuang di panti asuhan. dan Dr Indra itu adiknya Laura. /Grievance//Left Bah!/

2024-11-15

0

Tati st🍒🍒🍒

Tati st🍒🍒🍒

jangan2 temenya laura suaminya masih sodara sama pak dokter

2024-07-18

0

Tati st🍒🍒🍒

Tati st🍒🍒🍒

mungkin jodoh pak dokter

2024-07-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!