"Ka Beena!" Beyza lari memeluk Beena sambil menangis.
"Bebey kenapa nangis?" Tanya Beena membelai kepala Beyza dengan pelan.
"Kak Beena jangan ninggalin Bebey lagi. Bebey takut. Bebey kira Bang Berry orang jahat." Beyza menangis sesegukan. Beena menatap Berry yang sedang menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Maafkan Kak Beena ya, semalam ninggalin Bebey sama Bang Berry karena orang jahat itu ngejar Kakak. Jadi daripada Bebey tertangkap juga mendingan Bebey titipin ke Bang Berry. Bang Berry orangnya baik, kan?"
Beyza mengangguk sambil terisak. Beena menepuk punggung Beyza untuk menenangkan.
"Jadi ke rumah ibumu?" Tanya Berry sambil menguap berkali-kali.
"Jadi dong. Sepertinya kamu lelah, dari tadi nguap terus. Sini aku saja yang nyetir!" Beena menyambar kunci dari tangan Berry.
"Kamu engga apa-apa nyetir?"
"Aman. Gih duduk di belakang. Tidur aja dulu. Beyza mau di depan atau belakang?" Tawar Beena.
"Aku depan aja bareng Kakak." Kata Beyza mulai tersenyum.
"Oh boleh. Ayo kita berangkat ke rumah Kakak Beena." Beena mengangkat tubuh Beyza dan mendudukannya di jok samping kemudi.
Hanya butuh waktu 3 jam untuk sampai ke kampung ibunya.
Ada rasa rindu terbersit dalam hati ingin mendekap ibu secepatnya.
Ia sangat merindukan sosok ibu yang begitu tulus mencintainya, mendidiknya walaupun tanpa belaian kasih sayang seorang laki-laki di sampingnya. Ibu kuat menjalani kehidupannya sendiri. Ada kekecewaan pada ayah Beena yang sampai saat ini tidak tau rimbanya. Ayah yang tidak mau bertanggung jawab yang membiarkan ibunya menderita tanpa status pernikahan.
Beena menghentikan mobilnya di halaman rumah yang di depannya terdapat tenda dan terpasang kain kuning.
Deg
Deg
Deg
Beena membangunkan Berry yang terlelap tidur. Badannya gemetar, kekhawatiran melanda jiwanya. Teringat sosok yang begitu sangat dicintainya. Tidak ada yang aneh saat ditinggalkan. Ibunya begitu sehat. Ibunya hanya menitip pesan agar ia bisa menjaga dirinya dan jangan pernah tinggalkan sholat. Air mata merembes manakala teringat pesan terakhir. Entah sejak kapan ia meninggalkan kewajibannya itu.
"Eh sudah nyampe ya?" Mata Berry mengerjap. Seketika ia tergagap melihat Beena tengah berurai air mata.
"Hey kenapa menangis? Bukankah kamu senang akan bertemu ibumu?"
"Ber bagaimana aku bisa senang kalau ternyata di depanku disambut pemandangan seperti itu?" Beena menunjuk dengan dagunya.
Berry terkesiap melihat pemandangan yang membuat hatinya ikut berduka.
"Innalillahi wa innailaihi rajiun. Siapa yang meninggal Bee?" Berry menatap tajam halaman rumah yang sudah terpasang tenda, pintu depan rumah masih terbuka, samar terdengar alunan ayat suci Alquran oleh beberapa orang.
Beena hanya menggeleng sebagai jawaban. Ia tidak kuasa untuk sekedar bicara.
"Beena kita tidak akan pernah tahu siapa yang meninggal kalau kita tetap di sini. Turunlah aku menunggu di sini!"
Beena mengangguk pasrah. Ia menatap Beyza yang tengah tertidur pulas.
"Jangan khawatir Bocah itu biar aku yang jaga. Turunlah!" Ujar Berry seolah mengetahui kekhawatiran Beena.
Pintu terbuka lebar tertiup angin malam itu. Beena bergeming saat melihat jenazah masih ditutupi kain, belum dikafani. Ia melangkah pelan menuju dipan tempat ibunya terbaring kaku.
"Assalamualaikum...." Bibirnya tercekat tak mampu untuk berucap.
Semua orang yang berada di ruangan tersebut menghentikan bacaannya sejenak hanya sekedar ingin tahu siapa yang datang.
Dengan gemetar ia membuka kain yang menutupi wajah jenazah. Ia harus kuat menghadapi takdir yang sudah ditetapkan.
"Ibuuuuu...ibuuuuu.....ibuuu....Ini Beena Bu, Beena pulang Bu. Bangun Bu....Bangun!" Ujar Beena lirih nyaris tak terdengar.
Beena menangis, tidak menyangka kepulangannya justru disambut dengan kematian ibunya.
"Siapa kamu?" Tanya seorang perempuan yang berada di hadapannya.
Perempuan itu menatap heran pada gadis yang serta merta menangis di samping jasad kakaknya. Gadis berpakaian gamis tanpa hijab. Rambutnya dikuncir kuda, dia mengenakan topi warna hitam. Telinganya tindik 3 masih memakai anting-anting bergaya punk.
Beena mendongak menatap perempuan yang umurnya sekitar 40 tahun. Dia melihat perempuan itu sedang menyorot tajam ke arahnya dengan kening mengerut.
"Tante...." Beena menelan salivanya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering.
Beena menyapu sekelilingnya, orang-orang yang hadir di sana pun sedang menatapnya penuh tanda tanya.
"Aaaaku Beeenaaa Tante. Beena anak Ibu Arumi." Jawab Beena terbata menunjuk pada dirinya.
"Astagfirullah Beena kenapa kamu jadi seperti ini?" Omnya Beena menghampirinya langsung mendekap keponakannya yang sudah kembali setelah kepergiannya selama 2 tahun.
"Alhamdulillah akhirnya kamu pulang juga." Mata laki-laki itu berkaca-kaca melihat kepulangan keponakannya.
Beena merasa tenang Omnya masih menyayanginya. Air matanya mengalir deras.
Seorang perempuan secara kasar menarik Beena dari dekapan kakaknya. Ia membawa Beena ke dalam kamar yang agak jauh dari ruangan tersebut.
Plaaak!
Tamparan keras mendarat di pipi Beena. Rasa panas di pipinya tak sebanding dengan kepedihan yang ia rasakan saat ini.
"Jadi begini kelakuan kamu di luar sana! Pekerjaan ini yang kamu maksud? Dasar anak ga tahu diuntung, ga tahu diri. Ibu satu-satunya kamu tinggal pergi hanya untuk pekerjaan yang engga jelas ini! Dasar preman kamu engga pantas tinggal di rumah ini lagi, kamu pantasnya tinggal di jalanan. Aku engga sudi punya keponakan seperti kamu!"" Tante Beena yang bernama Rena memukulnya bertubi-tubi seperti ia memukul anaknya yang tengah melakukan kesalahan.
"Cukup Ren, cukup! Kasihan Beena ia baru saja datang. Pukulanmu tidak akan mengubah apa pun. Tidak akan membuat kakakmu hidup kembali. Beena bersihkan dirimu, ganti pakaianmu yang lebih bersih dan buka aksesoris yang melekat pada tubuhmu!" Titah Omnya Beena. Omnya khawatir Beena akan pergi lagi.
Beena menurut. Ia beranjak dari tempatnya berdiri menuju kamar mandi. Hatinya hancur, ia sudah membiarkan ibunya pergi di saat ia tak ada di sampingnya. Segala penyesalan terbersit dalam hatinya.
Samar terdengar tante Rena sedang memarahi seseorang di ruangan yang berbeda.
"Beena kamu sungguh keterlaluan ya! Pulang bawa laki-laki dan anak kecil. Kamu udah kawin? Di mana otak kamu, benar-benar kamu sudah tidak menganggap ibumu lagi. Sudah tidak menganggap keluargamu lagi sampai nikah pun kamu ga kasih kabar!" Hardik Rena begitu melihat Beena yang baru keluar dari kamar mandi.
"Bu...kami....." Berry ingin meluruskan.
"Diam kamu! Dasar laki-laki yang engga beradab, kamu kan yang sudah menjerumuskan Beena? Dulu Beena itu seorang gadis baik-baik. Kenapa sekarang dia berpenampilan sama sepertimu, dasar preman!"
Berry mengepalkan tangannya. Ingin rasanya menonjok perempuan jutek itu. Kalau saja tangannya tidak dipegang Beyza saat itu, ia sudah melayangkan bogem mentah di wajah Rena.
"Dan kamu anak kecil! Pakaian kamu lebih sopan dari ayah ibumu. Ajari mereka sopan santun! Tidak tahu malu ya kalian, anak kecil aja ngerti adab berpakaian."
"Cukup Rena....kamu tidak pantas berbicara seperti itu di hadapan tamu."
"Bela aja terus, kakak akan menyesal sudah membela dia!" Rena menyorot tajam satu persatu orang yang membuatnya jengkel malam itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Nasira✰͜͡ᴠ᭄
ko pas ya kepulangan nya bersamaan ibu nya meninggal yang sabar ya
2024-11-03
1
Kanigara
sabarr Beena
2024-10-24
0
Kanigara
tante ku lakban mulutnya mauuu
2024-10-24
0