BAB 12

“Kak Nisa sudah meninggal.” Andra terkejut menatap Alesha “Saat Azzam genap berusia satu tahun.”

“Apa yang terjadi dengannya?”

“Kecelakaan mobil. Orang tuaku sangat berduka, terutama Abi. Jantung beliau kembali kambuh dan meninggal satu bulan setelah kepergian Kak Nisa. Sejak saat itu tinggal Ummi, Azzam dan aku.”

Alseha memilih untuk tidak menceritakan jika kakaknya mengendarai mobil satu-satunya milik keluarganya yang biasa digunakan untuk mengantar Haikal kontrol ke rumah sakit, dalam keadaan mabuk karena stres oleh tagihan pinjol akibat judi online yang Annisa lakukan.

Besarnya biaya pengobatan dan kelahiran, serta kebutuhan Azzam kala itu membuat Annisa melakukan segala cara untuk memperoleh uang, namun sayangnya ia memilih cara yang salah.

“Kejadian itu mengubah seluruh hidup kalian.”

“Ya,” Alesha mengiyakan dengan sedih.

Perasaan bersalah makin berkecambuk di diri Andra. “Jujur saja saat itu merupakan saat yang menyenangkan bagiku, sudah satu bulan aku pulang ke Indonesia untuk menghabisakan liburan semesterku bersama teman-teman SMAku, malam itu adalah malam terakhirku di Indonesia.” ucap Andra, ia menyesap kopinya.

"Sebenarnya aku tidak berniat datang ke ulang tahun Brandon, tapi karena Anggel memaksa, akhirnya aku menyempatkan datang beberapa jam sebelum aku terbang ke AS untuk melanjutkan pendidikanku" lanjutnya.

"Jadi itu sebabnya aku dan keluargaku tidak menemukanmu di kamar hotel bersama Kak Nisa?"

"Kalian datang ke hotel?"

Alesha tersenyum sinis kemudian mengangguk. "Kau sungguh beruntung. Setelah bersenang-senang dengan Kakakku, kau pergi seolah tak pernah terjadi sesuatu. Hidupmu begitu sempurna, kau bukan hanya menjadi lulusan terbaik di Juilliard School tapi juga kau memiliki keluarga yang harmonis, utuh dan selalu mendukung karirmu. Mereka sampai rela tinggal di AS demi kau, benar kan?"

“Dari mana kau tahu?”

"Biografimu ada di internet, siapa pun bisa membacanya. Belum lagi berita-berita tentangmu berseliweran di TV dan seluruh media sosial," Alesha pikir harusnya Andra tidak heran semua orang tahu tentangnya.

Andra tersenyum, namun tiba-tiba senyum itu lenyap. "Berita-berita yang ada bukan menampilkan kejadian yang sesungguhnya. Orang tuaku bukan sengaja pindah ke New York demi menemaniku kuliah, Dad memang mendapatkan pekerjaan di sana dan Mom mau tidak mau ikut pindah. Mereka tinggal di New York hanya beberapa bulan saja, kemudian pindah ke California. Sementara aku tetap di New York menyelesaikan pendidikan musikku." Andra memberi tanda pada pelayan untuk mengisi kembali cangkir kopi mereka.

Alesha menghirup kopinya dengan pelan, masih merasa risih oleh tatapan mata para tamu lain di sekeliling mereka.

“Tapi Al, aku selalu pakai kondom.”

Kopi panas tumpah di atas tangan Alesha, membuat tangannya melepuh dan membanjiri tatakan cangkirnya. Ia terenyak. “Apa maksudmu?”

Dengan tenang Andra mengambil dua lembar tisu dari wadahnya di meja dan menggunakannya untuk menyerap tumpahan kopi di tatakan cangkir Alesha. “Tanganmu melepuh?”

“Tidak apa-apa,” Alesha berdusta, bertanya-tanya apakah ia berani meminta obat pada pelayan. Ia tidak perlu melakukannya, sebab Andra sudah memanggil pelayan itu dan meminta obat padanya.

“Tidak perlu, aku tidak apa-apa kok, sungguh,” elak Alesha ketika pelayan dengan cepat kembali dengan kotak P3K untuk teman wanita Keenandra yang dengan ceroboh telah menumpahkan kopi di tangannya sendiri.

“Terima kasih,” ujar Andra pada pelayan sambil tersenyum mengusir.

“Aku bisa melakukannya sendiri,” ujar Alesha. “Sungguh....”

“Kemarikan tanganmu.”

Alesha menjulurkan tangannya yang melepuh merah. Dengan dua jari Andra mengoleskan gel untuk luka bakar dan mengusapkannya ke luka yang melepuh itu.

“Setiap kali aku tidur dengan seorang wanita, aku selalu pakai kondom,” ujarnya pelan. “Selalu.”

Jari-jari Andra meluncur di sela jari Alesha, mengolesi gel ke lekuk yang sangat sensitif. Alesha nyaris terlonjak dari kursinya.

“Pemerintah harusnya menjadikanmu duta kondom karena kau pasti memiliki banyak stok.”

Suara Alesha sama sekali tidak terdengar normal, luka di tangannya membuat suaranya serak. Atau mungkin sentuhan Andra yang membuatnya begitu? Saat jari-jari pria itu terus meluncur di antara jari-jarinya, Alesha bergerak-gerak di tempat duduknya dan menggigit bibirnya supaya tidak mengerang nikmat, ini kali pertamanya ia di sentuh oleh seorang pria.

“Waktu aku tidur bersama Annisa, pemerintah sedang gencar melakukan penyuluhan tentang bahaya AIDS,” lanjutnya. “Aku selalu pakai kondom untuk mencegah penyakit itu dan juga kehamilan. Aku tidak akan berhubungan intim dengan seorang gadis yang pertama kali aku kenal di pesta tanpa pakai kondom.”

Pijatan tangan Andra begitu memabukkan hingga bisa membuat Alesha meleleh, untuk mengontrol perasaannya, dengan cepat Alesha menarik tangannya dari pria itu.

“Artinya kau masih belum percaya jika Azzam adalah anakmu.”

“Coba kau pikir,” tukas Andra, mencondongkan tubuhnya ke meja. “Sebelum hari ini, aku bahkan tidak tahu bahwa dia ada. Apa kau mengharapkan aku langsung menerima penjelasanmu mentah-mentah?”

“Aku tidak mengharapkan apa-apa darimu, Tuan Keenandra,” ujar Alesha dingin. “Aku sudah mengatakannya di pintu rumah sakit tadi.”

“Tapi aku bukan tipe pria yang bisa begitu saja bersikap tidak peduli saat mendengar bahwa aku mungkin punya seorang anak. Wajar saja kalau aku jadi emosi, karena hal ini benar-benar mengejutkan. Begini saja, aku akan menanyakan beberapa pertanyaan, jawablah dengan jujur.”

Alesha mendorong cangkir dan tatakannya ke samping dan menaruh lengannya di atas meja, memberi udara pada tangannya yang luka. “Tanya saja. Apa yang ingin kau ketahui?”

“Mana mungkin Azzam anakku kalau aku sudah berhati-hati seperti itu?”

“Kau tidak menggunakannya.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya, alisnya berkerut tajam. “Kau bahkan tidak ada di dalam saat aku bercinta dengan Annisa, kalau kau ada di sana sudah pasti aku juga akan menidurimu.”

"Aku masih punya moral." Alesha merenggut tasnya dan langsung bergeser ke ujung bangku. Andra langsung meraih lengannya. “Maaf jika ucapanku tidak pantas. Tapi ayolah...”

Alesha berusaha merenggut lengannya tapi mata pria itu menahannya. “Ayolah, Alesha...”

Mungkin karena mendengar pria itu menyebut namanya dengan lembut, atau mungkin karena Alesha merasa perlu menjelaskan semuanya pada Andra. Entah untuk alasan yang mana, ia kembali duduk di kursinya.

“Aku benar-benar menyesal. Ayolah...”

Alesha mengangguk lemah.

“Jadi bagaimana kau tahu apa yang terjadi?”

“Coba saja kau pikir pakai logika. Tadi kau mengatakan kau tak berniat datang ke pesta ulang tahun Brandon karena sedang terburu-buru mau kembali ke AS, tentu kau pasti tidak membawa kondom karena kau juga tidak ada niatan untuk bercinta kan?” Alesha menatap Andra dengan tatapan bertanya.

Andra mengangguk. “Benar juga?”

“Tapi ternyata di pesta itu kau bertemu dengan kakakku, dan kalian sama-sama tidak mau berhenti, jadi kalian melakukannya...”

Andra menerawang sesaat, lalu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingat.”

“Kau mabuk.”

“Kalau begitu mungkin kejadiannya memang seperti itu.”

“Tuan Keenandra, aku...”

“Panggil aku Andra saja,” pintanya kesal. “Aku ingat saat bertengkar denganmu di lift hotel, kau memanggilku dengan nama Andra. Jadi panggil aku Andra saja, oke?”

Alesha terkejut pria itu ingat, meskipun hanya sedikit. Tapi entah mengapa hal itu membuat Alesha sedikit gembira. “Tidak penting apakah Azzam anakmu atau bukan,” bisik Alesha. “Hidup kita bisa terus berlanjut seperti biasa.”

“Kau melupakan satu hal yang penting, Alesha.”

“Apa?”

“Surat-surat itu.”

Alesha mengangkat tangannya dengan pasrah. “Berapa kali harus kukatakan padamu bahwa bukan aku yang menulisnya?”

“Kalau benar begitu berarti masalahnya lebih besar.”

“Maksudmu?”

“Kalau bukan kau, berarti orang lain yang menulisnya.”

Memikirkannya dari sudut itu membuat alis Alesha berkerut. “Aku mulai mengerti maksudmu.”

“Kau bilang kau tidak meminta apa pun dariku.”

“Memang tidak.”

“Tapi siapa pun yang menulis surat itu pasti meminta sesuatu dariku, dan itu berarti Azzam berada dalam bahaya yang sama seperti aku.”

“Kau berpikir seseorang berniat mencelakainya?”

“Mungkin saja.”

Alesha menggigiti bibir bawahnya. “Apa yang harus kita lakukan?”

“Aku tidak bermaksud membuatmu cemas, hanya saja kau perlu waspada. Sementara kita mencari tahu siapa yang berada di balik semua ini, menurutmu siapa? Adakah yang kau curigai?”

“Entahlah. Azzam mirip sekali denganmu, tapi orang lain baru akan menyadarinya jika kalian berdiri berdampingan.”

“Bagaimana dengan dokter yang membantu kelahirannya? Mungkinkah dia memerasku?”

“Aku tidak tahu. Kami pindah dari Jakarta sudah belasan tahun lamanya, dan aku tidak pernah bersinggungan dengannya. Lagi pula, dia tidak tahu siapa ayah dari bayi Kak Nisa.”

“Mungkinkah Annisa menceritakan pada sahabatnya?”

“Kurasa tidak, tapi siapa tahu. Menurutmu ada orang yang tahu dan begitu kau menjadi sangat terkenal, mereka ingat dan memutuskan untuk memerasmu?”

“Teoriku sih begitu.” Andra memperhatikan kopinya sesaat, berdeham, lalu tanpa tedeng aling-aling berkata, “Rumah sakit jiwa tempat ibumu tinggal tampaknya mewah.”

“Itu rumah sakit milik pemerintah, pasien di sana kebanyakan menggunakan BPJS… jadi sebaiknya hentikan pikiran burukmu saat ini juga.” Alesha memelototinya dengan tajam, hingga Andra menegakan tubuhnya.

“Hidup memang tidak mudah,” ujar Alesha dengan kemarahan yang ditahan, “Tapi aku bisa memenuhi kebutuhanku maupun Azzam. Kami sama sekali tidak kaya, Azzam tidak bisa mendapatkan semua yang diinginkannya, dan karena itu saat melihat benda-benda mewah dia lebih heboh dari teman-teman sebayanya. Tapi kami bukan orang melarat. Azzam tidak pernah kekurangan makan, rumah, ataupun pakaian, dan yang terpenting, dia tidak kurang kasih sayang.”

“Alesha, aku hanya...”

“Diam dan dengarkan aku!!” perintah Alesha dengan kegarangannya. “Aku menyayangi Azzam, dan Azzam pun menyayangiku. Sejauh ini yang kau pikirkan hanyalah bagaimana dampak semua ini terhadapmu kalau hal ini sampai terungkap, kau sangat egois. Kau sama sekali tidak memikirkan bagaimana dampaknya terhadap Azzam." Alesha menatap Andra dengan tajam.

"Dia sedang berada dalam usia remaja yang rentan, sangat mudah terpengaruh. Dia anak yang hebat, aku tidak mau terjadi apa pun yang dapat merusak akhlah dan cara berpikirnya tentang masa depan. Itu termasuk mengetahui bahwa ayah kandungnya adalah musisi hebat yang gemar mabuk, tidur dengan banyak wanita menggunakan stok kondomnya yang banyak, dan yang menyetir seperti orang gila. Kalau kau melakukan atau mengatakan apa pun yang bisa mencelakai Azzam, kau akan berhadapan denganku, Tuan Keenandra.” Alesha mendengus. “Tolong antar aku pulang sekarang!”

Terpopuler

Comments

M⃠Ꮶ͢ᮉ᳟Asti 𝆯⃟ ଓεᵉᶜ✿🌱🐛⒋ⷨ͢⚤

M⃠Ꮶ͢ᮉ᳟Asti 𝆯⃟ ଓεᵉᶜ✿🌱🐛⒋ⷨ͢⚤

coba tes DNA aja 🤭

2024-08-09

3

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

ya pasti ada orang yang tau yang sebenarnya kalau tidak bagaimana dia tau kalau Azzam anaknya Andra

2024-07-29

3

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

ehhh kenapa Alesha malah menikmatinya bukankah ini nggak bener

2024-07-29

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!