Keenan mendekati Alesha dan memegang kedua lengan wanita itu. Dengan suara pelan namun sarat dengan kemarahan ia mendesis. “Tadi kau bilang kau belum pernah punya anak?” ia menatap tajam Alesha.
“Memang belum,” jawab Alesha dengan santai, ia tak ingin di intimidasi oleh Andra.
“Lalu anak yang tadi kau sebut apa?”
“Aku bukan ibunya.”
“Jelas-jelas tadi dia memanggilmu Ibu.”
“Ya, tapi...”
“Dan dia mirip denganku.”
“Dia...”
“Tapi aku tidak ingat pernah tidur denganmu.”
“Aku memang tidak pernah tidur denganmu! Kau juga tidak mengenalku kan?”
“Tidak. Tapi aku seperti pernah melihatmu.”
Andra menarik Alesha ke dalam pelukannya, ia menatap gadis itu lekat-lekat sembari mengingat dimana ia pernah melihat Alesha.
Alesha langsung bereaksi, ia mendorong Andra menjauh darinya. "Jangan sentuh aku pria brengsek!!" Ia tak bisa bertengkar dengan Andra sebab Azzam dan klien pentingnya sedang berjalan menyusuri lorong menuju studio.
Saat mereka berdua tiba di studio, Andra bersandar ke meja kerja Alesha. Keduanya memasang tampang polos, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Selamat pagi, Pak Hary,” ujarnya menahan napas, jari-jemarinya mengibaskan gamis panjangnya. “maafkan penampilan saya yang kotor ini. Saya sedang berkebun waktu…” Ia menunjuk ke arah Andra. “Waktu Keenandra datang kemari.”
Sebetulnya Alesha tidak perlu khawatir Hary akan terganggu dengan penampilannya yang acak-acakan ini, karena pria itu bahkan tidak memperhatikannya. “Wah, benar-benar kejutan yang menyenangkan bisa bertemu dengan musisi top secara langsung,” ujarnya bersemangat, ia melangkah maju untuk menjabat tangan Andra. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Anda.”
“Terima kasih,” ucap Andra singkat.
Setelah itu barulah Hary menoleh ke arah Alesha. “Mbak Alesha. Anda tidak pernah bilang bahwa Anda mengenal BA Bank ini.”
Andra mengerutkan alisnya. Hary berdeham salah tingkah lalu menambahkan, “Tentu saja tidak ada alasan bagi Anda untuk menceritakannya.”
“Ibu membuat sketsa Om Keenandra sebagai model untuk sampul depan company profile itu.”
“Kalau Ibu mendapatkan pekerjaannya, Azzam,” ujar Alesha. “Bagaimana kalau saya memperlihatkan gambar-gambar yang telah saya buat sejauh ini, Pak Hary?”
“Sementara kalian mengurus pekerjaan,” sela Andra, “aku akan mengajak Azzam jalan-jalan.”
“Maksud Om naik Porsche?” tanya Azzam berapi-api. Ia menjerit-jerit seperti orang Indian, melompat di udara, menepuk langit-langit, lalu melesat ke luar ruangan. “Beberapa minggu lagi aku akan memperoleh SIM lho, Om.”
“Azzam, awas ya kalau kau berani menyentuh mobil Om Keenan,” pekik Alesha ngeri.
“Dia akan baik-baik saja.”
“Tapi kalian mau ke mana?” tanya Alesha.
“Hanya keliling kompleks ini,” jawab Andra, mengangkat bahu dengan tak acuh. “Tidak ada tujuan tertentu.”
“Berapa lama?”
“Tidak lama.”
Alesha ingin memarahi pria itu karena memberikan jawaban-jawaban yang tidak jelas begitu. Ia ingin bersikap tegas dan mengatakan tidak, pokoknya tidak boleh, Azzam!!! Tdak boleh pergi ke mana-mana dengan Keenandra. Ia ingin mengejar Azzam dan mencengkeramnya kuat-kuat.
Tapi dengan adanya Hary di studio lukisnya, Alesha tidak punya pilihan lain kecuali bersikap ramah. Alesha sadar Andra sengaja mencuri kesempatan dalam kesempitan.
Gadis itu mengawasi Andra dengan mata elangnya, Andra berjalan menyusuri lorong dan melewati pintu depan untuk bergabung dengan Azzam, yang sudah duduk di kursi penumpang mobilnya.
“Apakah Anda? Eh, sudah kenal lama dengan Keenandra?” Hary bertanya dengan ragu-ragu.
Alesha menoleh dan melihat tamunya itu sangat kepo bak wartawan gosip TV. Dengan dingin Alesha menjawab, “Saya belum lama mengenalnya.”
Dua puluh menit kemudian Hary pergi. Alesha merasa yakin pria itu menyukai sketsa-sketsa buatannya. Meski tadi saat memasukkan sketsa-sketsa itu ke dalam tas kerjanya, Hary mengingatkan Alesha bahwa ada dua orang ilustrator lainnya yang sedang dipertimbangkan dan keputusan akhir tergantung direkturnya.
“Karya Anda lebih modern dari dua ilustrator lainnya.”
“Apakah itu berarti buruk?”
“Tidak,” jawab Hary sambil tersenyum. “Mungkin sudah saatnya kita sedikit beralih design. Kami akan segera mengabar kan hasilnya pada Anda dalam waktu satu atau dua minggu lagi.”
Alesha mengantar tamunya sampai pintu depan. Dari balik jendela ia mengawasi kepergian pria itu, sambil mencari-cari mobil Porsche di sepanjang jalan. Mobil itu sama sekali tidak kelihatan.
Dengan cemas, Alesha meremas-remas tangannya. Kemana perginya mereka? Apa yang mereka bicarakan? Apakah Andra menyerang Azzam dengan sederetan pertanyaan yang tidak akan dapat dijawab anak itu?
Sebelum kepalanya menjadi lebih pusing lagi, Alesha memutuskan untuk membersihkan diri. Tak lama kemudian ia keluar dari kamar tidurnya dan penampilannya sudah lebih baik.
Alesha merasa lega saat mendengar suara-suara dari kamar tidur Azzam. Ia melangkah masuk lewat pintu yang terbuka lebar, dan melihat Azzam terpesona mendengar kisah perjalanaan Andra keluar negeri untuk konsernya.
“Om tidak takut saat berada di atas panggung bersama musisi dunia lainnya?” tanya Azzam antusias.
“Tidak. Aku sudah berlatih berulang kali setiap harinya, jadi aku cukup percaya diri satu panggung dengan mereka."
“Tapi kan mungkin saja ada sesuatu yang melenceng dari perkiraan, misalnya Om tiba-tiba saja lupa lirik atau listrik mati.”
“Itu biasa terjadi, tapi aku punya trik untuk tetap bisa menguasai panggung dan memberikan performa terbaik ke penonton.”
“Bagaimana rasanya saat di tonton oleh jutaan pasang mata?”
Andra memejamkan matanya rapat-rapat. “Menegangkan. Tidak ada yang dapat menandingi rasanya. Itulah puncak dari serangkaian kerja keras, belajar, dan latihan.”
Azzam mendekat. “Apa yang Om pikirkan saat itu?”
“Sejujurnya?”
“Sejujurnya.”
“Aku berdoa supaya aku jangan sampai terkencing-kencing karena duet dengan Taylor Swift.”
Azzam tertawa. “Yang benar?”
“Ya, selain itu aku berpikir, ‘Ini dia. Inilah yang memang kuimpi-impikan. Aku terlahir untuk ini, kinilah saatnya. Aku sedang menjalaninya’.”
“Wah.”
Tatapan kagum di wajah Azzam membuat Alesha cemas. “Maaf mengganggu,” ujarnya dari ambang pintu, “tapi aku harus pergi ke rumah sakit sekarang. Dan, Azzam, kalau kau tidak cepat-cepat pergi, kau akan terlambat untuk latihan basketmu.”
Azzam berguling di atas kasurnya dan langsung berdiri. “Ibu, Ibu pasti tidak akan percaya! Om Keenan mengizinkanku menyetir! Mobil itu lain dari yang lain, rasanya seperti berada dalam kokpit saja, ya kan, Om?”
“Memang mirip kokpit, itulah alasanku membelinya. Agar bisa seolah-olah aku sedang terbang.”
“Rasanya hebat, Ibu. Seharusnya Ibu tadi ikut dengan kami.” Karena merasa bersalah terlalu asyik dengan kegembiraan dirinya sendiri, Azzam bertanya. “Bagaimana pertemuan Ibu dengan Pak Hary tadi?”
“Dia menyukai rancangan sketsa Ibu tapi Dia tidak menjanjikan apa-apa.” Alesha mengalihkan perhatiannya ke jam di pergelangan tangannya. “Sebaiknya kau segera berangkat, Azzam.”
“Kau main basket?" Andra yang tadi duduk di tepi ranjang Azzam beranjak berdiri.
“Aku playmaker, tim sekolahku. Kami pasti jadi juara di pertandingan antar sekolah nanti.”
“Kau penuh percaya diri, aku senang mendengarnya,” ujar Andra sambil tersenyum lebar.
“Pelatih menyuruh kami berlatih ekstra keras supaya kami benar-benar bisa menjadi juara.”
“Kalau begitu kau sebaiknya tidak terlambat untuk latihan.” Mereka berdua berjalan menuju pintu tempat Alesha menunggu.
“Apakah Om masih di sini sampai aku pulang?”
“Tidak!” Alesha dengan tegas menjawab pertanyaan yang ditujukan pada Andra, dua pasang mata yang serupa berbalik menatapnya. Alesha tersenyum kikuk. “Aku yakin musisi hebat pasti punya banyak pekerjaan, Azzam. Ayo, pergilah! Hati-hati naik sepedanya. Kau sudah bawa kunci rumah?”
“Sudah, Bu." Azzam mencium tangan Alesha kemudian beralih ke Andra. "Selamat tinggal, Om Keenan. Sulit dipercaya aku bisa bertemu dengan Anda. Terima kasih sudah mau menandatangani poster dan CDku.”
“Sama-sama, Azzam.” Mereka berjabatan tangan.
Baru kali ini Alesha melihat Azzam enggan pergi latihan basket biasanya Azzam selalu bersemangat. Anak itu melangkah gontai berjalan menuju pintu depan, sedikit-sedikit menoleh untuk memandang Andra.
Segera setelah Azzam keluar dari pintu depan, Alesha menatap tamunya.
“Aku benar-benar harus pergi ke rumah sakit. Ummi sedang tidak enak badan, dan kalau aku tidak ada di sana pada waktunya, Ummi akan...”
Andra menghalangi langkah Alesha dan memotong omongan basa-basi gadis itu. Keramahan yang ditampilkannya untuk Azzam menghilang bersama kepergian anak itu. “Aku minta jawaban yang jujur darimu saat ini juga!” Ia mengambil napas cepat. “Apakah dia anakku?”
Air mata mengambang di mata Alesha, gadis itu menundukkan kepala hingga seluruh hijab panjangnya menjuntai ke depan. “Azzam anakku,” bisiknya lirih. “Dia milikku.”
“Tapi dia pasti punya ayah.” Andra mengangkat dagu Alesha dengan jarinya, meminta gadis itu untuk menatap matanya “Apakah dia anakku?”
Alesha menatap mata Andra dan menjawab, “Ya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
Alesha wanita yang kuat..harus membesarkan azzam sendirian, mngurus dan merawat Ummi dan melakukan pekerjaan2 lainnya..lalu kmana Annisa ibunha Azzam apa telah tiada kah...
2024-07-11
3
☠ᵏᵋᶜᶟ ⏤͟͟͞R•Dee💕 ˢ⍣⃟ₛ
sepertinya menurun dari sifatmu ini Draa
2024-07-11
3
🌷💚SITI.R💚🌷
sebenarnya annisa kmn ya ko ga ada ceritay.
dia pergi atau meninggal,sampe azzam aleshs yg merawat.. lanjuut
2024-07-09
2