Pria itu memiringkan kepalanya dengan angkuh. “Kalau begitu bagaimana mungkin kau mengaku memiliki seorang anak laki-laki dariku? Seorang anak laki-laki yang keberadaannya tidak pernah aku ketahui sampai aku menerima suratmu yang pertama beberapa minggu yang lalu.”
Alesha terpana memandang pria itu hingga tak mampu berkata-kata. Ia dapat merasakan wajahnya memucat, rasanya seolah bumi di bawah kakinya telah lenyap. “Aku tidak pernah punya anak, dan kuulangi lagi, aku tidak pernah mengirimimu selembar surat pun.” Alesha menunjuk ke arah kursi. “Sebaiknya kau duduk dulu?”
Keenandra terlihat berpikir untuk beberapa saat, ia menggigit sudut bibirnya dengan marah sebelum bergerak menuju sebuah kursi rotan. Ia duduk di sudutnya, seolah bersiaga untuk segera berdiri jika diperlukan.
Kemudian Alesha pun duduk di kursi berhadapan dengan pria itu, ia duduk dengan tegak, menangkupkan tangannya dengan gugup di atas pangkuannya. Alesha merasa seperti telanjang saat mata tajam pria itu bergerak menelusuri dirinya, wajahnya, hijabnya, bajunya yang kotor.
“Kau mengenalku?” Keenan melontarkan kata-katanya seperti tembakan peluru kendali.
“Siapa pun yang menonton TV atau membuka internet pasti mengenal Anda. Anda adalah seorang musisi dan pengusaha yang tengah naik daun.”
“Karena itu aku jadi sasaran paling empuk bagi setiap orang sinting yang mencari korbannya.”
“Aku bukan orang sinting!” tegas Alesha.
“Kalau begitu kenapa kau mengirimiku surat-surat itu? Kau tahu, cara seperti itu sudah biasa. Aku mendapat lusinan surat tiap harinya.”
“Ooh... Selamat kalau begitu.”
“Tidak semuanya surat penggemar. Ada beberapa surat dari orang-orang fanatik yang mengajakku menikah maupun tawaran-tawaran aneh lainnya,” ujarnya datar.
“Wow.. Kau sungguh beruntung sekali.”
Keenan mengacuhkan sindiran Alesha dan terus berbicara. “Tapi surat-suratmu yang paling gila. Kau adalah orang pertama yang menyatakan bahwa aku adalah ayah anakmu.”
“Anda dengar tidak sih? Dari tadi kan aku sudah bilang bahwa aku tidak pernah punya anak. Bagaimana kau bisa menjadi ayahnya?”
“Justru itu maksudku, Nona Alesha!” sergahnya.
Alesha berdiri, demikian juga pria itu. Ia mengikuti Alesha yang berjalan menuju meja gambarnya dan menyibukkan diri membereskan pensil-pensil sketsanya dan kuas-kuas catnya ke dalam berbagai wadahnya.
“Kau juga orang pertama yang mengancam untuk membeberkan hal itu seandainya aku tidak melakukan apa yang kau minta.”
Alesha berbalik menatap keenan. “Memangnya apa yang bisa kulakukan untuk mengancammu? Kau adalah seorang pengusaha dan musisi hebat, bahkan Pak Jokowi sering mengundangmu ke acara-acara besar kenegaraan. Kalau aku yang bukan apa-apa ini berani menentang orang setenar dirimu, aku pasti sudah gila atau orang bodoh. Aku bisa pastikan bahwa aku bukan dua-duanya.”
“Kau memanggilku Andra.”
Setelah ucapannya yang panjang-lebar itu, sergahan tiga kata dari pria itu menjadi pernyataan anti klimaks yang membuat Alesha terkejut. “Apa?”
“Tadi saat di luar tadi kau memanggilku Andra.”
“Itu memang namamu, kan?”
“Tapi semua orang memanggilku Keenan, bukan Andra. Kecuali kalau kita sudah saling mengenal sebelumnya.”
Alesha tak ingin mengakui bahwa dirinya pernah bertemu dengan Andra enam belas tahun lalu. “Apa yang diminta dari surat-surat yang kau tuduhkan itu?”
“Pertama-tama, uang.”
“Uang?” pekik Alesha. “Itu konyol sekali.”
“Lalu pemberitahuan pada publik atas keberadaan anakku.”
“Aku orang yang sangat mandiri, yang mampu memenuhi kebutuhanku sendiri. Aku tidak akan pernah menuntut uang darimu maupun dari orang lain,” ucapnya sembari membereskan sketsa-sketsanya yang berantakan.
“Oh ya? Siapa tahu kau butuh untuk membayar sewa kontrakan.”
“Ini rumah orang tuaku, aku tidak menyewa.”
Ya, beberapa bulan setelah Haikal harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Keuangan keluarga kian memburuk, sehingga Hana terpaksa menjual rumah yang di tempatinya dan pindah ke pinggiran kota Jakarta.
“Mereka tinggal di sini bersamamu?”
“Tidak. Abi sudah meninggal dan Ummi... Ummi terserang gangguan kejiwaan, sekarang beliau tinggal di RSJ.” Alesha membanting tumpukan sketsanya dan berbalik menghadap tamunya. “Tapi aku sanggup menghidupi diriku sendiri. Apa urusanmu dengan semua hal ini?”
“Kurasa korban harus mengenal orang yang hendak memerasnya.” Dengan suara parau ia menambahkan, “Dalam setiap segi.” Mata pria itu kembali menelusuri Alesha, kali ini lebih perlahan dan penuh penilaian.
“Sepertinya kau harus pergi sekarang,” ujar Alesha. “Sebentar lagi aku akan kedatangan seorang tamu dan aku harus bersiap-siap.”
“Siapa yang kau tunggu? Orang dari Bank itu?” Melihat tatapan kaget Alesha, Keenan menambahkan, “Kau menyebutnya waktu aku baru tiba tadi.”
“Dia datang untuk melihat sketsa-sketsa yang kutawarkan.”
“Kau seniman?”
“Ilustrator.”
“Kau bekerja di mana?”
“Bekerja sendiri. Aku pekerja freelance.”
“Sekarang ini kau sedang mengerjakan proyek apa?”
"Mendesign company profile.”
Alis Keenan yang hitam lebat terangkat, tampak terkesan. “Komisinya lumayan dong.”
“Aku belum mendapatkan pekerjaannya.” Alesha seharusnya tidak mengatakan hal itu, tapi pria itu sudah terlanjur mendengarnya.
“Kau sangat membutuhkan komisinya?”
“Tentu saja. Jadi sebaiknya kau...”
Pria itu menahan lengannya saat Alesha berusaha untuk melewatinya, berjalan menuju pintu. “Pasti sulit sekali, ya. Hidup dari satu komisi ke komisi berikutnya sementara kau harus memenuhi kebutuhanmu sendiri dan membiayai ibumu di RSJ.”
“Aku bisa mengatasinya.”
“Tapi kau tidak kaya.”
“Memang tidak.”
“Karena itulah kau mengirimiku surat-surat ancaman itu, kan? Untuk mendapatkan uang dariku?”
“Tidak. Untuk kesejuta kalinya, aku tidak pernah mengirimmu surat apa pun.”
“Pemerasan adalah kejahatan serius, Nona Alesha.”
“Dan tuduhan yang bahkan terlalu konyol untuk dibicarakan. Sekarang, tolong lepaskan lenganku.”
Pria itu tidak menyakitinya. Tapi jari-jari yang melingkari lengannya itu membuat Alesha terlalu dekat dengan pria itu, hingga aroma minyak wangi Keenan yang seksi tercium oleh hidung Alesha.
“Kau tampaknya cukup pandai.” ujar Keenan.
“Apakah itu pujian?”
“Kalau begitu kenapa kau mengirim surat-surat kaleng padaku, lalu menulis alamatmu di amplopnya?”
Alesha tertawa penuh keheranan dan menggelengkan kepalanya. “Harus berapa kali kukatakan? Aku tidak melakukannya. Atau begini saja, mana surat-surat itu? Apa aku boleh melihatnya? Mungkin setelah aku membaca surat-surat itu aku dapat memberi penjelasan padamu.”
“Memangnya aku bodoh? Aku tidak akan menyerahkannya padamu supaya kau bisa menghancurkan bukti-buktinya.”
“Astaga...” pekik Alesha. Ia lalu menengadah menatap wajah pria itu yang tampak tegang, dan berkata, “Kau benar-benar takut dengan ancaman yang tidak jelas itu?”
“Tidak. Kau hanyalah satu dari sekian banyak orang sinting. Tapi setelah surat yang kelima, waktu kau mulai mengancam atas tuduhan bahwa akulah ayah anakmu, kupikir sudah saatnya aku berhadapan langsung denganmu.”
“Aku tidak termasuk tipe wanita yang akan menuduh pria mana pun juga sebagai ayah anakku.”
“Bahkan pria yang sangat terkenal sepertiku ini?”
“Tidak.”
“Seorang pria yang akan kehilangan segalanya jika sampai terlibat skandal?”
“Ya! Lagi pula, aku kan sudah bilang bahwa aku tidak pernah punya anak.”
Mereka mendengar pintu depan dibuka dan tertutup kembali. Ada suara orang berlari di ruang depan, lalu seorang remaja laki-laki yang tinggi-kurus berlari menuju pintu.
“Ibu, cepat lihat mobil porsche terparkir di depan rumah kita. Mobil itu betul-betul keren!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Sri Puryani
kasihan umi ....yg krm srt pasti annisa
2025-02-27
0
M⃠Ꮶ͢ᮉ᳟Asti 𝆯⃟ ଓεᵉᶜ✿🌱🐛⒋ⷨ͢⚤
kasihan sekali nyampe masuk RSJ 😔
2024-08-09
3
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Pasti berat apalagi ayah Haikal sudah tidak ada, jadi harus menanggung beban sendiri.
2024-07-04
3