Grep!!
"Aku mencari mu kemana-mana ternyata disini!"
Seorang pria dewasa memeluk Emma dari samping. Membuat Emma terkejut dan berusaha melepaskan pelukan pria itu.
"Aku sedang bersama temanku."
Tekan Emma menatap tajam pria itu memberi kode untuk segera pergi.
"Ok. Aku tunggu di tempat biasa."
Pria itu terlihat pasrah, melangkah pergi meninggalkan Emma juga Steven yang tidak terganggu sama sekali. Steven sudah terbiasa dengan hal semacam itu.
"Hahaha. Dia suka sekali bertindak sesuka hati padahal tidak memiliki hubungan."
Emma tertawa canggung, mengalihkan diri dengan merapikan penampilannya, kembali menatap Steven.
"Dimana kekasihmu?"
"Aku sendiri."
Kata Steven masih sibuk dengan ponsel. Entah kenapa saat mendengarnya senyum Emma semakin mengembang.
"Kamu tidak punya kekasih. Really?"
"Aku tidak percaya. Cowok setampan dirimu tidak memiliki kekasih."
Emma terlihat mulai membicarakan tentang bagaimana dulu Steven yang selalu dekat dengan banyak gadis. Sebagian besar gadis cantik di Senior High School pasti pernah kencan atau sebatas dekat dengan Steven.
"Atau Steven yang dulu juga sudah berubah. Menyangkut tentang perempuan!"
"Kenapa. Mau menjadi kekasihku!"
Steven menatap Emma dengan iris blue yang menyorot datar, raut wajahnya terlihat tidak berekspresi. Emma terdiam, memikirkan perkataan Steven.
"Kamu serius? Jangan bercanda, bisa saja Aku salah paham."
"Kamu mau!"
"Steven jangan bercanda."
Emma terlihat salah tingkah. Apakah ini kesempatan untuknya, setelah sekian lama mengagumi dalam diam.
"Kamu serius?"
"Jika tidak mau...!"
"Aku mau. Aku mau Steven. Aku mau menjadi kekasihmu."
Emma terlihat sangat bahagia, akhirnya dirinya bisa mendapatkan Steven dan resmi menjadi kekasihnya. Steven sendiri justru terlihat datar, tersenyum remeh menatap Emma. Tapi sepertinya Emma tidak menyadarinya.
Tidak henti-hentinya Emma tersenyum. Detik berikutnya Emma langsung menerjang Steven, memeluk Steven dengan erat merapatkan diri. Steven hanya terdiam tanpa membalas pelukan Emma.
Diam-diam Emma memperhatikan wajah Steven yang begitu dekat dengannya. Memberanikan diri Emma mendekatkan wajahnya pada wajah Steven. Terlihat Emma mulai menutup mata dan semakin mengikis jarak.
Chup!
Emma membuka mata merasakan dorongan dari Steven, membuat keduanya kembali berjarak.
"Kenapa?"
Emma terlihat kebingungan, sudah berdiri tidak jauh dari Steven. Steven menatap Emma dengan sinis.
"Aku tidak suka dicium dibibir."
"Kenapa! Bukankah kita sudah resmi menjadi kekasih. Kenapa Aku tidak boleh menciummu Steven?"
Mendapat penolakan dari Steven Emma merasa kesal, karena tadi Steven menghalangi dengan tangan alhasil Emma tidak berhasil mencium bibir Steven.
"Jangan munafik Steven. Bukankah Kamu sudah terbiasa bermain dengan banyak gadis?"
Tersenyum tipis Emma menatap Steven dengan marah, tidak terima atas penolakan Steven. Apa dirinya tidak cukup cantik untuk Steven.
Melihat kemarahan Emma membuat Steven terkekeh sinis, iris blue Steven menyorot dengan tajam. Detik berikutnya Steven mencengkram erat lengan Emma, menariknya mendekat. Emma meringis menahan sakit akibat cengkraman kuat tangan Steven.
"Steven!"
Emma berusaha melepaskan cengkraman tangan Steven yang semakin erat.
"Kenapa. Terbiasa bermain dengan banyak pria?"
"Seharusnya kalian merasa beruntung. Aku tidak mengambil keuntungan dari perempuan murahan seperti kalian."
"Yeah. Brengsek. Dekat dengan banyak perempuan!"
"Maaf. Aku tidak akan mengotori diriku dengan merusak barang yang sudah rusak. Menjijikkan."
Tekan Steven mendorong tubuh Emma begitu saja membuatnya hilang keseimbangan, beruntungnya ada meja bar sebagai penyangga yang membuat Emma tidak sampai terjatuh ke lantai.
Dengan cepat Steven mengambil uang beberapa lembar setelahnya diletakkan begitu saja di atas meja untuk membayar minumannya.
"Sial. Hanya membuang-buang waktu berhargaku."
Sinis Steven melangkah pergi tapi dengan cepat Emma menahan tangannya.
"Siapa Kau berani mempermainkan Aku."
PLAK!!
Steven menepis tangan Emma dengan kasar, beralih mencengkram leher gadis itu dengan kuat. Menarik Emma dengan paksa untuk mendekat padanya. Emma berusaha melepaskan cengkraman tangan Steven karena dirinya sudah mulai kesulitan bernafas.
"Kkrhhh. S-Stev!!"
"Siapa Aku!!"
"Sepertinya Kau tidak benar-benar mengenalku!"
"Aku beri saran untukmu. Sebelum bermain-main kenali lebih dulu lawanmu. Jika tidak ingin menyesal."
Steven kembali mendorong tubuh Emma dengan kuat membuat Emma jatuh ke lantai. Sebagian orang yang melihat kejadian itu tidak ada yang berniat melerai atau menolong Emma. Mereka acuh, merasa bukan urusan mereka.
"Uhuk. Uhuk. Uhuk."
Emma memegang lehernya yang terasa panas, terlebih tenggorokannya. Steven berjongkok tepat di hadapan Emma, mengusap pelan pipinya. Tapi detik berikutnya Steven mencengkram kedua pipi Emma untuk menatapnya, iris blue Steven menyorot tajam.
"Ini peringatan untukmu. Jika Kau pintar, jangan sampai muncul lagi di hadapanku. Atau Aku bisa melakukan lebih dari ini."
Kesekian kali Steven mendorong tubuh Emma. Melangkah pergi meninggalkan Emma dengan tubuh yang mulai bergetar. Menahan rasa marah juga takut, apakah Emma sudah salah menyinggung Steven, terlebih latar belakang Steven yang bukan orang biasa.
...***...
Semenjak pertemuan Aliesha dengan Steven tempo hari, Aliesha selalu mengurung diri di kamar. Disibukkan dengan laptop dan berbagai lembar kertas berserakan memenuhi kamarnya.
Sudah lima hari berlalu. Penampilan Aliesha terlihat berantakan, mulai ada kantung mata karena selalu begadang juga iris jade green yang terlihat kelelahan. Wajah Aliesha yang terlihat pucat karena kurangnya istirahat, rambut yang di ikat secara asal.
Melangkah dengan malas Aliesha menuruni setiap anak tangga menuju dapur. Membuka lemari pendingin untuk mengambil air mineral, meneguknya beberapa kali tegukan.
"Nona Aliesha!"
Panggil Bi Frida yang membawa keranjang berisi pakaian.
"Bunda belum pulang Bi?"
"Belum."
Aliesha mengangguk sekilas, kembali menutup botol air mineral yang baru diminumnya.
"Ya sudah Aku keatas dulu Bi"
"Iya."
Aliesha melangkah pergi menuju kamar tidak lupa membawa botol air mineral. Dirinya harus berhadapan lagi dengan tugasnya.
...*...
"Hoamhh."
Sudah kesekian kali Aliesha menguap mengabaikan rasa kantuknya. Sudah pukul 02:57 A.M. tapi dirinya memaksa untuk tetap terjaga. Sore tadi Aliesha sudah menerima jadwal bimbingan, memaksa untuk segera bisa menyelesaikan bab satu dari skripsi untuk bimbingan esok hari.
Tangan Aliesha masih sibuk mengetik dengan kelopak mata yang secara perlahan sudah mulai terpejam.
TUK!!
"Haishh!"
Aliesha mengusap keningnya yang terbentur meja, menggosoknya secara perlahan untuk menghilangkan rasa sakit yang mulai mendera.
"Aliesha fokus."
Aliesha memukul pelan kedua pipinya sendiri untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menguasai. Kembali mengetik berbagai rangkaian kata yang sudah dirinya susun untuk bab satu skripsinya.
Bruk!!
Karena rasa kantuk yang semakin mendera dan bertumpuk, Aliesha tertidur pulas dengan kepala bersandar kesamping di atas meja tepat di sisi laptop yang masih menyala. Dengkuran halus yang terdengar membuktikan bahwa Aliesha semakin terlelap dalam tidurnya.
Cklek!!
Pintu kamar Aliesha terbuka, terlihat Gaillard berdiri di ambang pintu melihat kearah Aliesha yang sudah terlelap di meja belajarnya. Melangkah menghampiri untuk mengetahui dari dekat.
Gaillard menghela nafas panjang menatap setiap kertas yang ada di atas meja. Membungkukkan badan Gaillard membawa Aliesha ke dalam gendongan untuk memindahkan Aliesha ketempat tidur.
Merebahkan secara perlahan tidak lupa menyelimuti sampai bahu untuk membuat Aliesha tetap merasa hangat. Duduk diri di sisi tempat tidur Gaillard mengusap pelan puncak kepala Aliesha, menatap Aliesha yang terlelap. Terlihat dari wajah pucat Aliesha yang kelelahan.
Chup!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments