"Ehmm ... Carlson?"
"Ya, Amanda? Ada apa?"
"Bolehkah aku meminta sesuatu padamu?"
Carlson membuka mata. Menundukkan kepala untuk bisa melihat sang istri dengan jelas. Tersenyum lalu mengecup kening Amanda.
"Apa yang kamu inginkan?" tanya Carlson dengan lembut seperti biasa.
"Tapi janji jangan marah padaku atau memikirkan hal yang tidak-tidak mengenai diriku. Oke?"
"Iya ... lagipula apa yang memangnya kamu inginkan? Selagi aku bisa mengabulkannya pasti akan ku kabulkan," balas Carlson.
"Aku ingin kita pindah dari sini."
Deg!
Carlson menatap tanpa berkedip. Dia agak terkejut dengan permintaan sang istri. "Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa kamu suka tinggal di sini karena bisa bertemu setiap hari dengan Kevin?"
"Aku ... aku hanya ...." Amanda mengela napas panjang. Jantungnya berdegup kencang karena khawatir respon yang akan diberikan Carlson tidak akan sesuai dengan keinginannya.
"Katakanlah! Aku janji tidak akan marah atau membuatku tersudut," tutur Carlson.
"Aku sudah merasa tidak nyaman tinggal di rumah ini. Terlebih semenjak Ellina menikah denganmu, Mama menjadi sering membandingkan diriku yang belum bisa memberikan keturunan dengan Ellina yang sudah memiliki Kevin."
Carlson menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Memijit batang hidungnya untuk mengurangi rasa sakit kepala yang tiba-tiba menyerang.
Sebenarnya dia sudah lelah hari ini. Kejadian tadi pagi dan setumpuk pekerjaan yang mengantri meminta untuk dia kerjakan benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Bahkan pekerjaan yang harus dia urus masih banyak yang belum diselesaikan. Carlson hanya ingin terlelap untuk sekedar mengembalikan tenaga.
"Bisakah kita membicarakannya besok? Ehmm ... maksudku, aku hanya benar-benar lelah dan ingin beristirahat. Otakku serasa akan meledak jika dipaksa untuk terus beraktivitas. Kamu mengerti, kan, maksudku?" ujar Carlson hati-hati. Khawatir sang istri akan merasa tersinggung karena reaksinya.
Sejak dulu Amanda memang pandai menyembunyikan perasaan. Jadi, ketika dia kecewa, Carlson sama sekali tidak mengetahuinya.
"Oke, aku akan menunggu sampai kamu siap untuk membicarakan hal ini lagi. Maafkan aku karena mengganggu waktu istirahatmu," ujar Amanda membalasnya. Terdengar nada suaranya yang penuh kekecewaan.
Carlson tersenyum dan mengecup kening sang istri. Menarik wanita itu ke dalam dekapannya. "Terima kasih karena sudah menjadi istri yang selalu mengerti aku. Aku bahagia memiliki kamu di hidupku, Amanda," ujar Carlson dengan tulus dan bangga. Baginya, Amanda adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuknya. Meskipun perasaan tu baru bisa dia rasakan setelah dua tahun menikah.
Amanda membalas pelukan sang suami. Merasakan dekapan hangat tubuh Carlson hingga merasuk ke dalam hati. Amanda pun sama. Dia sangat bahagia memiliki Carlson di hidupnya. Dia hanya berharap bahwa perasaan Carlson tidak akan berubah meski sudah ada Ellina di tengah-tengah mereka.
***
Seperti biasa, ketika hari Senin sampai Jum'at Ellina akan bangun pagi-pagi sekali karena harus mengantarkan Kevin bersekolah. Setelah mandi dan bersiap, dengan menuntun Kevin, ibu muda tersebut mengajak sang putra untuk ke ruang makan terlebih dahulu. Mengisi perut sebelum memulai aktivitas di hari pertama setelah libur panjang kemarin.
"Hai, Kevin!" sapa sang nenek yang sudah duduk di ruang makan.
"Nenek!" teriak si kecil Kevin dengan riang. Hari ini dia terlihat sangat bahagia karena setelah libur panjang kemarin, akhirnya bisa kembali bersekolah.
"Wahh ... sepertinya cucu kakek senang sekali hari ini," ucap sang kakek yang duduk di kursi kepala keluarga.
Ellina duduk di samping Kevin yang bersebelahan dengan Elisabeth. Mengambil piring dan mengisinya dengan roti isi untuk sang putra. Kemudian mengambil roti untuk dirinya.
"Kepin teneng kayena hayi ini tudah muyai tekoyah," ucap Kevin ketika hendak memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya.
"Wahh ... kalau seperti itu, Kevin harus belajar yang rajin, ya! Biar pintar dan jadi kebanggaan nenek, kakek, ibu, serta om dan tante, ok?" sahut Elisabeth dengan membuat gerakan ibu jari dan telunjuk yang menempel di depan mata. Kemudian dibalas dengan hal yang sama oleh Kevin.
Keluarga itu akhirnya makan dengan tenang. Seperti biasa hanya Kevin yang cerewet. Sedangkan kelima orang dewasa yang berada di sana hanya menimpali sang bocah tersebut.
"Ellina, bagaimana dengan keinginanmu bekerja? Apakah sudah ada kepastian?" tanya Robert. Sontak membuat ibu satu anak tersebut menjadi terkejut dan sedih di saat bersamaan.
"Sepertinya saya memilih untuk menjaga Kevin setidaknya sampai dia siap untuk saya tinggalkan sendiri," balas Ellina dengan ekspresi wajah tenang.
"Kemarin sepertinya kamu sangat ingin untuk bekerja. Kenapa sekarang bisa berubah, Ellina?" tanya sang ayah mertua.
"Tidak apa-apa, Pa. Saya hanya ingin menyaksikan tumbuh kembang Kevin. Saya tidak ingin melewatkan masa emasnya," sahut Ellina seraya mengusap kepala sang putra yang tengah asyik memakan sarapannya.
Robert terheran mendengarnya. Mengingat betapa menggebunya Ellina ketika meminta ijin kemarin. Sesaat muncul kecurigaan di hati. Menatap satu per satu Amanda dan Carlson, dia melihat Amanda tersenyum aneh seraya memakan sarapannya. Sedangkan Carlson hanya tertunduk diam. Dia harus mencari tahu tentang kebenarannya.
"Carlson, tolong antarkan Ellina dan Kevin, ya!" pinta Elisabeth ketika acara makan pagi itu telah selesai.
"Carlson tidak bisa, Ma. Dia harus mengantarkan Amanda terlebih dahulu. Sedangkan sekolah Kevin tidak searah dengan kantor Amanda. Khawatir nantinya malah Carlson akan terjebak kemacetan," sahut Amanda, seolah tidak rela.
"Kan, yang tidak searah itu kantor kamu, Amanda. Kalau sekolah Kevin masih searah. Jadi, lebih baik kamu berangkat sendiri saja. Kasian, kan, Kevin kalau harus naik angkutan umum," ujar Elisabeth.
Amanda terkejut mendengarnya. Tidak menyangka bahwa Elisabeth akan berbicara seperti itu. Padahal sebelumnya wanita paruh baya itu akan lebih mengutamakan kepentingannya dari pada Ellina. Sang ibu mertua akan lebih memerhatikan perasaannya. Namun, kini ibu mertuanya itu seakan tidak memandangnya lagi. Seolah dia hanyalah sebuah barang yang sudah tidak lagi dibutuhkan.
"Ma, tidak bisa seperti itu. Meski kami berbeda perusahaan, tapi selama ini 'kan, Amanda selalu berangkat bersama saya. Saya juga tidak bisa membiarkannya untuk mengendarai mobil sendirian," ujar Carlson menolak.
"Tapi, kasihan Kevin. Ellina tidak bisa mengendarai mobil. Kamu memang tega jika keponakanmu harus naik transportasi umum? Lagipula supir kita baru akan kembali besok," timpal Elisabeth, membuat Carlson menjadi luluh.
"Oke, Carlson bisa mengantarkan Ellina setelah mengantarkan Amanda," ucap Carlson pada akhirnya. Berusaha mencari jalan tengah supaya tidak terjadi keributan.
"Tapi, nanti kasihan Kevin. Dia akan terlambat datang ke sekolah," ujar Elisabeth. Masih berusaha agar Amanda berangkat sendirian.
"Ya sudah, nanti Carlson akan mengantarkan Kevin terlebih dahulu setelah itu baru mengantar Amanda," ucap Carlson. Dia tidak bisa meninggalkan sang istri pertama.
"Kalau seperti itu, kamu yang akan terlambat dan jadi memutar balik. Sudah, lebih baik kamu ikuti saran mama. Biarkan Amanda untuk berangkat sendiri sedangkan kamu pergi mengantar Ellina dan Kevin," ucap Elisabeth tak terbantahkan.
***
Bersambung~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments