Edward menyeret Jasmine menuju kamarnya, Jasmine berusaha melepaskan cengkraman tangan pria itu, tapi sangat sulit, ia terus berteriak.
"Sakit, Edward! Lepasin!" bahkan tidak ada gunanya memukul-mukul tangan Edward sekalipun. Jasmine sampai harus berlari kecil untuk menyesuaikan langkah pria itu.
Edward mendorong tubuh Jasmine ke ranjang lalu menutup pintu dan menguncinya. Jasmine yang ketakutan segera beranjak dan hendak kabur lagi tapi Edward kembali mendorong tubuhnya.
"Bisakah jangan mempersulit hidupmu sendiri!"
Jasmine menatap Edward dengan mata berkaca-kaca, ada apa dengan pria ini, mengapa sikapnya kasar sekali, kenapa tatapannya begitu dingin dan terlihat sangat marah padanya.
"K-kenapa kamu jadi kaya gini, Edward ... Kenapa kamu jadi kasar, dulu kamu ---"
"BERAPA KALI AKU BILANG DULU DAN SEKARANG ITU BERBEDA!!" sentak Edward membuat Jasmine terkesiap kaget.
"Edward ---"
Belum selesai bicara, Edward sudah menindih tubuh gadis itu dan mencengkram dagunya dengan kuat. "Lupakan, lupakan apa yang kamu dengar malam itu, jangan pernah mengatakannya pada siapapun!" ucapnya penuh penekanan dengan rahang yang mengeras marah, bahkan pelipisnya pun memperlihatkan urat-urat kemarahannya yang membuat nyali Jasmine menciut.
"Ed---"
"Kamu mengerti, Jasmine?"
Jasmine mengangguk sambil menangis, Edward pun akhirnya melepaskan cengkramannya dan menjauh dari tubuh Jasmine. Dia pergi keluar dari kamar meninggalkan mantannya yang menangis tersedu-sedu.
"Edward, pinjem jaket dong!" teriak Jasmine di lantai atas kelasnya ke arah Edward yang ada di lapangan sedang main bola.
Edward mendongak dan mengacungkan jempolnya. "Aku kesitu bentar lagi!" teriak Edward.
Edward berlari ke kelas Jasmine dan langsung masuk begitu saja sebab teman kelas Jasmine sudah tahu mereka memiliki hubungan lebih dari teman.
"Mine, datang bulan, ya?" tanya Edward menghampiri meja Jasmine.
"Iya, nih," sahut Jasmine yang tengah menulis.
"Mana, coba berdiri."
Gadis itu pun berdiri dan Edward menyampirkan jaket di pinggang Jasmine lalu mengikatnya untuk menghalangi bagian belakang rok Jasmine.
"Makasih, Edward." Jasmine tersenyum dan kembali duduk sementara Edward masih berdiri di depan mejanya dengan menumpu kedua tangannya ke meja.
"Kamu belum beli makanan?" tanya Edward yang dijawab gelenggan dari Jasmine.
"Kok engga nitip sama temen."
"Engga ah, aku males."
"Aku aja yang ke kantin ya, mau apa?"
"Aku lagi males makan."
"Pokoknya harus makan, kamu tunggu di sini."
"Edward!" teriak Jasmine melihat Edward berlari keluar kelas, Edward memang keras kepala, dia selalu ingin Jasmine makan, karena kadang penyakit lambung gadis itu sering kali kumat kalau telat makan.
Tawa canda mereka terdengar jelas oleh teman-teman kelas Jasmine, mereka makan bersama di jam istirahat sambil mengobrol.
Biasanya di sekolah mereka mengadakan jalan santai seminggu sekali, seluruh siswa siswi wajib ikut untuk meramaikan.
Edward yang sedang mengobrol bersama teman-temannya menoleh ketika Jasmine memanggilnya dengan lambaian tangan dan teriakan gadis itu.
Lelaki itu pun menghampiri Jasmine. "Kenapa, Mine?"
Jasmine mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Edward. "Aku bawa nasi goreng pete, makan dulu, yuk." mendengar itu mata Edward langsung berbinar senang seperti anak anjing.
"Yuk."
Mereka berdua berlari menjauh dari kumpulan, toh jalan santai dimulai jam delapan. Biasanya mereka makan di belakang sekolah sebab Edward mengatakan jika ia malu seandainya teman-temannya tahu kalau ia suka pete.
"Enak?" tanya Jasmine sambil menyuapi Edward.
"Enak, tapi kurang pedes," sahut Edward sembari mengunyah nasi goreng di mulut.
"Ya, kan, mau jalan santai kita, kalau sakit perut gimana hayo."
"Iya sih," sahut Edward terkekeh pelan.
Setelah nasi gorengnya habis, mereka kembali ke lapangan dan Edward menghampiri teman-temannya sambil mengemut permen di mulutnya agar mulutnya tidak bau.
Jasmine membuka matanya perlahan, ingatannya yang mengulang kembali memori menyenangkan bersama Edward saat SMA dulu membuat gadis itu sampai tertidur dan baru bangun sore hari dengan mata sembabnya.
Saat bangun, ia mendesis kesakitan, setelah menangis terlalu lama Jasmine memang kerap sakit kepala.
Jasmine masih mengenakan gaun pengantinnya, dia ingin menggantinya tapi sadar tidak ada satupun baju miliknya di kamar itu sebab semuanya dibuat mendadak, dia bahkan belum kembali ke rumah dan bertemu Ayahnya setelah dia dibawa Bara ke perusahaan.
Ia mendengus kasar kemudian berjalan keluar dari kamar. Harapannya semoga saat keluar kamar, ia tidak bertemu dengan Edward, jika dulu bertemu dengan Edward setiap di sekolah adalah kebahagiaan maka sekarang hanyalah kesialan.
Kebetulan ia melihat Bara yang tengah menonton tv tak jauh dari kamarnya, cekikikan pria itu menonton acara komedi mungkin terdengar sampai lantai bawah.
"Bara."
Bara menoleh lalu bergerak memperbaiki cara duduknya. "Ya?"
"Aku engga ada baju di sini, aku mau ganti gaun ini."
Bara merasa iba melihat wajah sendu gadis itu, tidak tahu apa yang dilakukan Edward saat menyeret Jasmine ke kamar sampai membuat mata gadis itu sembab sekarang. Rambutnya terlihat acak-acakan, make up nya juga, malah mirip orang depresi.
Kalau Bara sudah biasa jika mendapatkan bogem mentah Edward, sudah menjadi cemilan sehari-hari.
"Ah iya, sebentar. Aku udah membelikannya tadi." Bara pergi ke salah satu kamar dan Jasmine pun duduk menunggu.
Pria itu keluar dengan menenteng tas belanjaan dan memberikannya pada Jasmine. "Ini ..."
Jasmine menerimanya. "Makasih ya." ketika Jasmine memperhatikan wajah Bara, ada bekas merah di pipi kanannya.
"Kamu baik-baik saja Bara? Wajahmu kenapa?"
Bara yang duduk pun memegang pipinya. "Engga apa-apa, ini udah biasa, kamu sendiri kenapa menangis?"
Jasmine menggeleng seraya tersenyum hambar. Padahal dua-duanya ulah Edward.
"Aku ke kamar dulu."
Bara mengangguk dan Jasmine pun pergi ke kamar untuk mengganti gaunnya. Ketika dia membuka tas belanjaannya, bukan hanya ada pakaian biasa saja tapi ada juga pakaian dalam.
Jasmine sontak memeluk tubuhnya sendiri dengan wajah tak percaya.
"Kok dia beliin aku bra? dari mana dia tau ukurannya?"
Bara yang asik nonton acara komedi harus terganggu lagi, kali ini oleh kedatangan David.
"Di mana Tuan Edward?"
Bara menoleh. "Ada apa? Aku yang akan mengatakannya nanti, dia sedang tidak ingin diganggu!"
"Tuan Lucas ingin ketemu. Sekarang!"
"Oke." Bara mengangguk. "Aku akan mengatakannya nanti."
"Bara, sekarang! Kau mengerti arti sekarang kan?"
"Kau mengerti arti nanti, kan?" balas Bara tak kalah sewot.
David menghela nafas kasar, kerjaannya sama-sama menjadi asisten, tapi Bara seolah tidak mengerti konsekuensi Sekretaris jika Tuan-nya ingin sekarang bukan nanti.
Bara juga tak kalah kesal menatap David karena menganggunya yang sedang santai nonton tv. Mereka saling menatap kesal.
"Apa?!"
"Apa?!"
Tanya mereka bersamaan lalu sama-sama memutar bola matanya malas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Ilfa Yarni
penasaran dgn kakeknya edward
2024-05-04
1