“Sumpah demi apa pun, Bu! Daisy yang minta aku dan mamaku buat tinggal di sini, selama kami belum punya tempat tinggal!” ucap Dimas masih melakukan segala cara agar dirinya bisa tinggal sekaligus numpang hidup ke Daisy.
“Bahkan meski Daisy memang begitu, seumur hidup saya, saya tidak akan mengizinkannya lagi! Malahan dari awal saya sudah curiga, jangan-jangan, kamu sudah melet putri saya!” lantang ibu Syifa masih marah-marah.
“Hayo ngaku!” lanjut ibu Syifa kali ini sampai menggepak pan.tat Dimas.
“J—jangan kasar-kasar dong jadi manusia! Dikiranya kami batu, asal dijotos begitu?!” protes ibu Lilis mengeluarkan sikap aslinya. Ia tak kalah emosi dari ibu Syifa yang juga sudah sepantasnya emosi.
“Apa?! Sudah tahu salah, masih berani mau numpang hidup?!” balas ibu Syifa tak mau kalah kalak dari mantan calon besannya. Tak peduli meski karena kesibukannya berteriak, tenggorokannya jadi sakit. Paling tidak, balasan lebih galak darinya itu langsung membuat ibu Lilis menunduk takut.
Setelah menoleh ke kanan kiri termasuk depan belakangnya yang memang sepi, Daniel yang tak mau Dimas dan ibu Lilis makin berulah, sengaja mengundang masa.
“Tolong ... tolong ... ada pencuri yang nau berakhir!” teriak Daniel terus lari mencari bantuan terdekat.
Daniel khawatir, setangguh apa pun ibunya. Ibu ya itu tetap perempuan biasa yang bisa dikalahkan oleh laki-laki apalagi jika sampai ada adegan main keroyo.k.
••••
“Baaaanggggkkkeeee, emang si Dimas sama ibunya!” teriak Daisy sambil membanting empat buah dokumen secara bersamaan ke meja kerjanya.
Athan yang terbiasa bekerja dengan keheningan, refleks berdiri saking terkejutnya. Setelah refleks memastikan apa yang terjadi di luar sana, Athan buru-buru mem-pause video yang tengah ia putar sekaligus cek, di laptopnya.
“Apa lagi? Kenapa dia sampai seemosi itu? Meski ruang kerja kami bersebelahan, gini-gini harusnya ruanganku cukup kedap suara. Astaga, ... telingaku langsung panas. Jantungku langsung terancam. Untung aku sudah telanjur sayang,” lirih Athan yang kemudian menghampiri Daisy.
“Astagfirullah ....” Daisy jadi sibuk istighfar secara lirih seiring ia yang menyimak penjelasan sang ibu melalui sambungan telepon suara yang masih berlangsung di ponselnya.
“HAAAH?!” syok Daisy karena ketika ia balik badan setelah ia beres telepon dengan ibu Syifa, Athan malah berdiri kokoh mirip patung pancoran, di hadapannya.
Daisy yang sampai terduduk di tempat duduk kerjanya, refleks menghela napas pelan sekaligus dalam.
“Semarah apa pun, bisa enggak jangan sampai teriak-teriak apalagi banting-membanting? Jantungku beneran jadi enggak aman. Ini aku harus susah payah meredamnya.
“Masa iya, emosi reaksinya kosidahan, shalawatan, atau malah nyinden sih, Bos. Emosi, bahagia, sedih, kan ada konteknya. Termasuk juga lihat orangnya. Kecuali kalau aku ini muslimah dari orok, anaknya pemilik pesantren atau kyai junjungan semua orang. Kau marah langsung nyebut binatang, nah ini perlu dipertanyakan,” lemas Daisy.
Tanpa Athan maupun Daisy ketahui, dari lorong sebelah dan sengaja bersembunyi di balik tembok menuju ruang kerja Daisy, ibu Hasna terdiam menyimak.
“Pasti mas Athan sudah sangat berjuang buat mengarahkan Daisy yang bar-bar. Andai pak Maryo enggak meninggal demi melindungi Athan, setidaknya Daisy jangan ditempatkan jadi asisten Athan. Lebih baik Daisy ditempatkan di posisi lain, biar Athan bisa hidup damai. Apalagi, ... Daisy dan Athan kan saling bertolak belakang!” pikir ibu Hasna yang kemudian memilih pergi dari sana.
Padahal tak lama setelah kepergian ibu Hasna, Athan sengaja memutari meja kerja Daisy. Athan sengaja jongkok bahkan berlutut di hadapan Daisy. Tangan kanannya meraih tangan kiri Daisy yang ia genggam hangat sambil sesekali mengelusnya.
Daisy menatap baper kedua mata Athan yang sedari tadi sibuk menatapnya penuh kepedulian. “Jangan begini, ... takut ada yang lihat, takut jadi bahan gosip juga,” lirih Daisy, tapi Athan malah memilih merebahkan kepalanya di pangkuannya. Sesekali, Athan juga akan mengecup lutut Daisy yang sampai detik ini masih terbungkus celana panjang. Sampai detik ini, Daisy masih memegang teguh arahan pak Maryo untuk selalu memakai celana panjang termasuk juga lengan panjang, sebagai pakaiannya.
“Hari ini kita bisa pulang cepat. Aku bakal urus semuanya lebih cepat,” lembut Athan masih menatap teduh kedua mata Daisy yang jadi sibuk menghindari tatapannya.
“B—Bos, ... Dimas dan ibunya bikin gara-gara. Masa mereka bilang, aku mengizinkan mereka tinggal di rumah orang tuaku. Padahal komunikasi dengan mereka saja, aku udah enggak. Aku sudah block nomor mereka seperti arahan Bos,” lirih Daisy. Perlakuan Athan yang makin lembut penuh kepedulian, membuat rasa nyaman tumbuh sangat cepat atas kebersamaan mereka. Rasa nyaman yang juga menjadi alasannya dengan begitu mudah membagi kisahnya kepada Athan.
“Maksudnya, mereka mau numpang tinggal bahkan numpang hidup ke Daisy? Efek rumahnya dibakar Syukur, kah?” pikir Athan.
“Aku bakalan kirim orang buat urus. Biar mereka diciduk ke kantor polisi saja. Beri aku nomor ponsel ibumu. Biar aku bicara dengannya,” lembut Athan berusaha memberi solusi.
“Kuburan ayahku belum kering, Bos meski ibuku memang sudah resmi jadi janda,” ucap Daisy masih lemas tak bersemangat.
“Aku maunya sama kamu, bukan dengan ibumu!” balas Athan yang memang jengkel. Athan memilih mengambil ponsel Daisy. Ia menghubungi ibu Syifa melalui ponsel tersebut.
Athan sengaja menyelesaikan urusan Dimas dan keluarga Daisy di kantor polisi. Pemuda itu sengaja melakukannya agar Daisy sekeluarga bisa hidup tenang, dan dirinya pun bisa kencan dengan damai.
“Baru kali ini aku merasa benar-benar punya pasangan!” batin Daisy merasa lega, tapi tetap deg-degan tegang karena Athan masih ada di sana.
Athan yang mendengar suara hati Daisy, refleks tersenyum. Ia yang baru selesai menghubungi pengacaranya buru-buru berlutut di hadapan Daisy. “Minimal kasih aku hadiah di pipi.” Ia sengaja menagih.
“Hadiah apaan? Mau tanda tangan?” balas Daisy benar-benar gugup karena ia tahu, yang Athan minta itu sebuah kecupan di pipi syukur-syukur di bibir juga. “Dia sampai berlutut gitu!” batinnya sengaja mengambil pulpen kemudian membuat bintang dalam ukuran kecil di pipi kiri Athan.
“Cap bibir, ih!” rengek Athan tanpa berniat menghapus apa yang sudah Daisy ukir di pipi kirinya.
Alih-alih memberi Athan apa gang pemuda itu mau, Daisy malah ngakak dan berakhir dicium paksa oleh Athan yang menang sedang buru-buru.
“Takut ada yang lihat, ih!” rengek Daisy buru-buru berdiri tak lama setelah Athan juga berdiri. Ia melongok ke sumber kedatangan yang tetap sepi, dan harusnya memang tidak ada orang di sana.
“Sebelum pukul lima, kita harus sudah keluar dari kantor! Kami kerjanya yang fokus! Aku enggak mau kencan kali ini gagal!” tegas Athan sambil buru-buru pergi dari sana dan masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Kencan ... belum apa-apa jantungku sudah enggak aman,” batin Daisy sambil memegangi dadanya menggunakan kedua tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Erina Munir
ngedate meureeuun...🤣🤣🤣🤣
2024-07-14
0
Hilmiya Kasinji
tetap semangat kak... aku tuh suka banget karyamu, tapi aku bisanya baca novel kl ada waktu , makanya aku gak berani baca karyamu yg on going , takut ngerusak retensi
2024-06-26
0
Al Fatih
Inilah realita hidup yg ada Bun,, mereka ga puas jadi orang yg jahat d dunia nyata sj,, smpe2 mereka juga pengen eksis d dunia pernovelan.
Kayaknya hidup mereka ga tenang kalo ad org lain yg sukses,, seneng kalo orang lain merasa sedih. Orang kayak gitu,, kalo sdh kembali k tanah,, mqkn baru bisa tidak menjahati org lain.
Semoga Bu Hasna ga salah faham yaa,, takutknya malah ga mendukung Athan sama Daisy
2024-06-15
1