Daisy sengaja mengaku kurang enak badan hanya untuk menghindari pertemuan lebih jauh dengan orang tua Athan. Daisy sadar, sebagai keluarga yang sudah sangat berjasa ke keluarganya, menolak kemauan Athan sekeluarga tak ubahnya pantangan untuknya.
“Dia tipikal wanita yang sangat setia. Hatinya terlalu bersih, hingga meski dia bertemu pasangan yang salah, dia masih berusaha bertahan,” batin Athan.
Daisy memilih mengurung diri di kamar dan sampai mengunci pintunya. Hal pertama yang Daisy lakukan ialah mengecek ponselnya. Daisy berharap mendapatkan kabar dari Dimas yang masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Karena memang, sejauh ini, kesibukan pemuda itu melebihi kesibukan abdi negara yang tidak kenal waktu.
Mas Dimas : Sayang, aku enggak boleh libur lagi sama si bos. Ini lagi lembur karena memang lagi kejar target. Malam ini juga wajib beres. Namun besok juga, niatnya aku pengin bawa kamu pulang ke kampungku.
Mas Dimas : Mumpung besok kamu juga libur, dan acara tujuh harian ayah juga sudah beres. Ibu dan bapakku pengin ketemu kamu.
Sembari menurunkan tas kerjanya ke tempat tidur, Daisy yang juga berangsur duduk di pinggir tempat tidur pun membalas pesan dari Dimas.
Daisy : Bukannya lebih afdol kalau orang tua Mas yang ke sini? Sekalian silaturahmi loh Mas. Ayah baru meninggal, sebagai calon besan harusnya kan ya silaturahmi. Apalagi kita akan menikah.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit kemudian, Dimas pun membalas. Daisy yang sudah sempat meringkuk dan belum ganti pakaian, segera memastikan.
Mas Dimas : Orang tuaku sibuk urus panen di sawah. Kalau aku sampai memaksa mereka ke Jakarta, yang ada kita dikero.yok kakak-kakakku.
Daisy : Dimana-mana pihak laki-laki yang datang ke pihak wanita, Mas. Posisinya pun, keluargaku sedang berduka gini.
Mas Dimas : Ya sudah, besok kita ke orang tuaku dulu. Habis itu, gantian ke kamu. Lagian kalau bawa orang tua sama keluargaku ke rumah kamu, butuh dana lebih juga. Sementara ketimbang buat itu, ya lebih utama lagi buat urus pernikahan kita.
Daisy : Ya sudah risiko lah Mas. Risiko mau punya hajat, risiko punya keluarga. Kalau Mas enggak mau keluar modal, ya cukup jadi boneka kayu saja. Mas enggak usah nikah. Enggak usah punya orang tua maupun keluarga. Gampang, kan? 😤😤😤😤
Mas Dimas : Iya, ... iya, ... nanti aku usahakan. Makanya ini aku kejar target banget. Lembur terus begini biar target kita kecapai semua.
Obrolan via pesan kali ini dengan Dimas membuat Daisy ragu melanjutkan hubungan mereka.
“Aku susah payah memperjuangkan hubungan kami karena aku kasihan ke dia. Takut dia yang tampang saja di bawah standar, dan penghasilan pun masih sering bikin dompet kelaparan, enggak dapat jodoh. Lah sekarang, setelah aku mengorbankan masa depanku bahkan masa depan calon anakku. Dia malah terang-terangan perhitungan. Jangan-jangan, ke ibu dan adikku dia juga enggak mau peduli apalagi sampai menafkahi ....”
“Terus, aku harus bagaimana?” Keraguan Daisy dalam melanjutkan hubungannya dan Dimas makin kuat.
“Apa besok, ... sekalian sudahi saja?” pikir Daisy dan semua itu juga sampai di telinga Athan.
Athan yang awalnya tengah ikut tahlilan dan sampai memakai peci hitam, perlahan diam. “Besok, dia mau ke mana?” pikir Athan yang memang kurang informasi lantaran Daisy tak sampai mengabarkan tujuan untuk hari besok.
••••
“Daisy pergi dibawa Dimas pulang kampung?” sergah Athan di keesokan harinya ketika datang ke rumah ibu Syifa.
“Iya, Mas. Tadi subuh, katanya naik kereta,” jelas ibu Syifa.
“Apakah ini masih berkaitan dengan suara hati dan juga pikiran Daisy kemarin malam?” pikir Athan yang langsung meminta alamat rumah orang tua Dimas.
Setelah mengantongi alamat Dimas dari ibu Syifa, Athan memutuskan untuk langsung menyusul. Athan tetap menggunakan mobilnya, menuju Sukabumi Jawa Barat, sebagai tujuannya.
“Ke Sukabumi dari sini cukup dua jam kalau aku lewat tol!” batin Athan masih fokus mengemudi.
“Kenapa malah Daisy yang dibawa, bukan pihak Dimas atau minimal orang tua Dimas yang ke sini, sekalian silaturahmi? Pak Maryo baru meninggal, bukankah alangkah baiknya ya datang? Apalagi kan, ya memang sudah selumrahnya begitu.” Athan jadi kesal sendiri dengan cara pikir Dimas dan orang tuanya.
“Apa karena alasan ini juga, Daisy bermaksud menyudahi semuanya?”
Ketika Athan masih sibuk menerka, Daisy baru saja tiba di stasiun Sukabumi. Setelah mengarungi perjalanan menggunakan kereta api, perjalanan dari stasiun dilanjutkan menggunakan motor. Pihak Dimas sengaja menyusul menggunakan dua motor matic.
Daisy yang dibonceng Dimas dibuat senam jantung lantaran medan perjalanan ke rumah orang tua Dimas, penuh tanjakan khas jalan pegunungan.
“Ini enggak ada jalan lain, Mas? Masa jalannya nanjak lurus kayak mau manjat langit!” berisik Daisy. “Kalau gini caranya, mending kita ke Cilacap saja, ke kampung bapaknya Mas!” bawel Daisy lagi.
Yang Daisy tahu, mama Dimas itu asli Sukabumi, sementara sang bapak asli Jawa—Cilacap. Sekitar setengah tahun lalu tak lama setelah tunangan, Daisy juga sempat diajak ke kampung halaman bapak Dimas yang di Cilacap.
“Semua tanah dan sawah di Cilacap sudah dijual buat beli kebun sekalian sawah di sini. Jadi nanti, setelah kita menikah, kamu tinggal di sini urus sawah dan kebun!” lantang Dimas masih berusaha fokus menaiki jalan di hadapannya.
“No no no no, ... ini sudah terencana banget. Ini aku bakalan dijadikan petani tulen? Masa aku bakalan disuruh urus sawah dan kebun sementara sekarang saja, aku kerja kantoran. Terus setelah ini, yang urus ibu dan adikku siapa? Enggak ... enggak. Kalau gini caranya, mending aku enggak nikah!” batin Daisy makin mantap dengan keputusannya.
Setelah menempuh perjalanan hampir empat puluh menit lamanya menggunakan motor, akhirnya mereka sampai. Rumah orang tua Dimas yang di sana terbilang sangat sederhana. Masih semi permanen dan sekitarnya dikelilingi kebun sayuran. Yang membuat Daisy agak sanksi, orang tua Dimas juga jadi menanggapinya dengan dingin.
“Ayah kamu sudah meninggal?” tanya ibu Lilis selaku mamanya Dimas.
Alih-alih kabar Daisy yang lebih dulu ditanyakan, ibu Lilis justru mengusik kematian pak Maryo dengan sinis.
Daisy menoleh dan menatap Dimas yang sudah lebih duduk di sofa tunggal.
“Iya, Bu. Ayah sudah meninggal. Ibu, apa kabar?” balas Daisy masih berusaha menjaga sopan santunnya. Ia sengaja agak jongkok kemudian menyalami tangan kanan ibu Lilis dengan takzim. Bersamaan dengan itu, Daisy sengaja melirik reaksi wajah ibu Lilis dengan saksama.
Daisy dapati, ibu Lilis yang memalingkan wajah. Wanita itu tampak tidak sudi membiarkan tangan kanannya disalami Daisy. “Ibu Lilis ada masalah hidup apa, ya? Kok langsung berubah drastis? Apa gara-gara ayah meninggal?” pikir Daisy seiring ia yang menyudahi salamannya.
Tentunya, menyalami pak Marsum selaku bapaknya Dimas, juga segera ia lakukan. Kebetulan, pak Marsum duduk di sofa panjang bersebelahan dengan ibu Lilis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Rahmawati
daisy batalin aja pernikahan km sm dimas, gk bgt punya mertua kayak gitu
2025-02-11
0
Erina Munir
yaah....bu lilis miskin sombong lgi...blagu banget kya anaknya kegantengan ajaa
2024-07-14
0
Hilmiya Kasinji
hadewww....orang tua dimas Iki , wajah anak pas2an , Yo gak kaya pisan kok kyk e sombong tenan yo
2024-06-26
1