“Intinya ...,” ucap pak Marsum lantang, tak lama setelah ia menghela napas dalam sekaligus panjang.
Bertepatan dengan itu, Daisy juga baru saja duduk. Daisy menatap calon bapak mertuanya dengan tatapan serius—patuh. Berkaca kepada sang ayah yang selama hidupnya selalu ia buat susah, Daisy kapok. Daisy berniat menjadi anak baik-baik. Anak berbakti yang bisa diandalkan untuk mengayomi ibu dan adiknya. Apalagi kini setelah ayahnya meninggal, Daisy merasa dirinya ibarat pengganti ayahnya dan menjadi kepala keluarga.
“Begini yah, Nak Daisy ... kalau dari pihak Bapak kan, biar bagaimanapun Dimas merupakan anak pertama. Meski dari pihak ibunya memang ada kakaknya,” lanjut pak Marsum. “Tetap yang dipakai buat patokan itu ya yang sedarah sekandung satu bapak dan satu ibu.”
“Permisah ... Sepertinya memang akan ada kabar buruk!” batin Daisy diam-diam menahan napas. Kedua matanya fokus menatap bibir tipis pak Marsum yang berwarna hitam. Sesekali, bibir yang sudah rusak warnanya akibat kandungan nikotin dari rokok itu, juga menghi.sap temba.kau serutu di tangan kanannya.
“Sementara dalam adat kejawen saya, anak pertama apalagi jika bersanding dengan anak pertama juga, ini wajib semua orang tua dalam keadaan utuh. Jadi, ... jika memang Nak Daisy ingin tetap melanjutkan hubungan dengan Dimas, ... mohon maaf, tolong ibunya suruh menikah dulu!” lanjut pak Marsum dengan sangat hati-hati bahkan santun.
Akan tetapi, Daisy yang posisinya saja masih sangat berduka. Daisy masih merasa sangat kehilangan sang ayah, justru jadi meradang.
“Iya. Ibu wajib nikah dalam waktu dekat, sebelum kita menikah, Yang. Karena kalau tidak, aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita. Bagiku, orang tuaku tetap nomor satu. Orang tuaku bakalan tetap jadi yang paling utama sampai kapan pun!” tegas Dimas yang menatap Daisy penuh kepastian. Di sebelahnya, wanita cantik berhidung mungil itu langsung menatapnya dengan napas tak beraturan.
Dimas sadar, jika keadaannya sudah begitu, Daisy yang tipikal pemarah, sudah emosi. Daisy tak terima dan bisa jadi dalam waktu dekat dan itu hanya dalam hitungan detik, Daisy akan mengamuk. “Menurut kejawen kami, kalau anak pertama menikah dengan calon yang orang tuanya enggak lengkap. Baik itu karena orang tuanya sudah cerai negara maupun cerai nyawa, yang kalah itu orang tuanya si anak pertana ini.” Dimas menjelaskan dengan hati-hati.
“Berarti, ... andai aku tetap nekat maju nikahin kamu, bapak atau ibuku bisa mati juga!” lanjut Dimas.
Daisy yang menyimak sekaligus menatap dengan saksama kedua mata Dimas, refleks menitikkan air mata. Daisy merasa dihakimi oleh orang-orang yang harusnya menyayangi sekaligus mencintainya.
Ibu Lilis yang tak kalah sinis juga sengaja angkat suara. Hanya saja, berbeda dari sang suami, ia melakukannya sambil membuang wajah. “Dimas ini ibarat laki-laki spesial. Sana sini melamar. Minggu ini saja ada dua keluarga yang melamar. Itu Senin kemarin, anaknya pak Haji yang punya kebun alpukat di pengkolan depan. Sementara Jumatnya, ada guru paud yang katanya ingin seriusan dengan Dimas. Yang guru paud itu mantan kamu, kan, Mas? Yang orang tuanya punya usaha gula merah itu dan sampai punya sopir sama pembantu itu!”
Alih-alih menenangkan Daisy, Dimas malah tersenyum sambil sesekali berdeham. Dimas menikmati dongeng dadakan yang ibu Lilis sampaikan.
“Keluarga Dimas beneran syialaaannn! Aku doakan, kalian bakalan seret rezeki, dan hidup pun penginnya mati saking susahnya hidup ini buat kalian!” batin Daisy di tengah dadanya yang bergemuruh parah. Bersamaan dengan itu, kedua tangannya juga mengepal kencang di pangkuan.
Akan tetapi, belum sempat mulut Daisy terbuka, memaki tiga manusia jahanam di hadapannya, ponsel di tas yang masih menghiasi pundak kanannya berdering. Dering tanda telepon masuk dan membuatnya memastikan tanpa basa-basi apalagi pamit.
“Bos Athan ...?” batin Daisy karena memang, alasan ponselnya berdering memang sang bos. Kemudian, ia teringat ajakan menikah dari Athan. Athan yang berkali lipat lebih baik dari Dimas.
Meski sampai saat ini Daisy belum tahu alasan pasti dari sang bos ingin menikahinya. Daisy sengaja memanfaatkan Athan untuk membalas Dimas dan orang tuanya. “Sakit banget rasanya! Sakit sesakit-sakitnya! Seumur-umur, aku belum pernah sesakit ini. Karena biasanya, memang aku yang bikin orang sakit hati!” batin Daisy yang memang langsung menjawab telepon Athan. Ia sampai berdiri dan melangkah beberapa langkah meninggalkan kebersamaan.
“Sharelock, ... sepertinya aku tersesat. Aku sudah di desa Harapan Kahuripan desanya ibunya si Tukang Siomay!” ucap Athan terdengar serius dari seberang.
Untuk beberapa saat, Daisy terdiam tak percaya. Sungguh tidak ia sangka, sang bos akan mencintainya secara ugal-ugalan. “I—iya, ... sebentar!” ucap Daisy yang juga langsung menutup sambungan telepon mereka.
Dengan sangat cekatan, jari panjang Daisy mengirim pesan sekaligus membagikan lokasi keberadaannya kepada Athan. “Alhamdullilah ... alhamdullilah ... matilah kalian!” batin Daisy yang kemudian duduk dengan elegan.
“Bos kamu ngapain sampai ugal-ugalan nyusul segala sih? Apa jangan-jangan, kamu sengaja ngajak dia?!” sewot Dimas.
Daisy yang sengaja menyimak dengan serius, mengangguk paham. “Begini, ... sebelumnya saya minta maaf yang sedalam-dalamnya. Ini cincin saya kembalikan. Karena alasan saya mau diajak ke sini juga untuk membereskan hubungan kita.” Daisy melepas cincin emas di jari manis tangan kirinya. Ia menaruhnya di telapak tangan kanan Dimas sambil berkata, “Jadi mulai sekarang, Mas enggak usah pusing-pusing merencanakan pernikahan baru buat ibu saya yang jelas-jelas masih sangat berduka. Bahkan kuburan ayah saya belum kering! Sedangkan untuk urusan kepercayaan kejawen dan kepercayaan lainnya, semuanya balik ke yang menjalani.”
“Namun intinya, memang kita yang belum jodoh ya, Mas Dimas! Meski setelah menyimak dongeng singkat dari kalian, saya secara pribadi cukup terhibur. Selain itu, saya juga ingin mengabarkan. Bahwa selama satu minggu terakhir, bos saya selalu melamar saya. Sementara dongeng yang baru saja kalian sampaikan membuat saya semakin mantap menerima lamarannya!” Daisy tersenyum riang, dan susah payah menahan diri untuk tidak ngereog.
“Triiittt ... triiit!”
Klakson mobil mahal terdengar dari depan rumah orang tua Dimas. Dengan segera, Daisy ke depan tanpa bisa menyudahi kegirangannya. Namun, Daisy juga sengaja menghantamkan tas di pundak kanannya ke wajah Dimas. Daisy melakukannya dengan gaya, seolah dirinya tidak sengaja.
“Aduh!” refleks Dimas sambil memegangi wajahnya yang terhantam tas berat milik Daisy.
“Sebentar, ... saya ajak bos saya masuk!” sergah Daisy seiring ia yang buru-buru pergi. Air matanya jatuh membasahi pipi, sementara kedua tangannya memegang erat gagang tas di pundak kanannya.
“Sori, aku terlalu berharga buat orang seperti kalian!” batin Daisy.
Di lain sisi, Athan yang baru turun dari mobil, langsung mengawasi suasana di sana dengan saksama. “Rasanya, tempat ini sungguh tidak asing. Desa Harapan Kahuripan ...?” batin Athan yang segera menoleh ke depan. Apalagi selain terdengar suara buru-buru mirip suara larinya kuda dan baginya benar-benar mirip langkah seorang Daisy, tadi ia juga mendengar suara Daisy.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Endah Setyati
Bu Lilis ini sama dengan yg istrinya RT tempat tinggal syukur waktu kecil kah??🤔🤔 ibunya iman yg meninggal dipenggal ayahnya Ibrahim
2024-12-23
0
azka myson28
bu lilis ini yang jadi pelakon pesugihan itu y
2024-07-15
0
Erina Munir
atuuh kebeneraaann...euuyyy
2024-07-14
0