Bab Sebelas

“Ran, ... aku kasih kamu hape. Biar pas kita enggak bareng apalagi aku sudah di Yogyakarta, kita bisa tetap komunikasi!” ucap Davin kepada Aranti yang baru memasuki kamarnya.

Davin menghampiri dan berjalan mengiringi Aranti. Tak peduli meski Aranti terlihat sangat lemas sekaligus kelelahan.

“Kapan pun aku telepon, kamu wajib jawab. Termasuk ketika aku minta foto dan video kamu, kamu wajib kasih!”

“Kamu enggak boleh simpan apalagi komunikasi sama yang lain. Yang boleh komunikasi sama kamu cuma aku!”

“Jadi, ... kalau aku telepon nomor kamu, jawaban dari pihak operator, ... kamu sedang sibuk. Atau malah kamu cuma baca pesan dariku, ... berarti kamu selingkuh!”

Nada bicara Davin cenderung menuduh sekaligus memberatkan Aranti dengan segala aturannya.

Aranti masih diam dan memilih duduk di lantai. Ia meluruskan kedua kakinya dengan sangat hati-hati, di sebelah meja sekaligus tempat tidur. Kemudian, ia juga sengaja mengambil baby oil. Sambil mengurut kakinya menggunakan baby oil, sesekali Aranti mengembuskan napas panjang dari mulut. Aranti pasrah dan memang masih mencoba menjadi istri yang baik.

“Ran ... jawab dong,” tagih Davin.

“Bentar ih ... napas saja susah,” lemas Aranti yang memang sampai tak berdaya.

Aranti berangsur menatap sang suami yang masih berdiri di hadapannya. “Dia suamiku, bagaimanapun keadaan kami. Harusnya, dia menjadi rumah bahkan sumber kenyamananku. Paling tidak, bersamanya aku juga harus merasa damai sekaligus bahagia,” batin Aranti yang kemudian meminta dipeluk kepada sang suami yang ia tatap sendu.

“Aku mau peluk ... rasanya ... rasanya aku enggak yakin, aku sanggup.” Kali ini Aranti tersedu-sedu. Tubuhnya yang kurus terguncang pelan layaknya menggigil. Padahal kali ini Aranti tidak sedang kedinginan.

Apa yang terjadi pada Aranti membuat Davin kasihan. Hati Davin bahkan teriris hanya karena menyaksikan keadaan sang istri. Ia dengan segera memeluk, memberikan pelukannya kepada Aranti. Hingga ia juga turut berlutut hanya untuk melakukannya.

Dua minggu menjadi istri Davin, membuat Aranti terus mengalami penurunan berat badan. Beban hidup Aranti makin tidak bisa dihitung. Namun sejak pukul empat pagi dan baru akan berakhir hingga pukul sepuluh malam layaknya sekarang, Aranti benar-benar sibuk bekerja. Pekerjaan rumah, toko, bahkan sawah, Aranti jalani setiap harinya. Belum lagi cacian yang juga terus Aranti dapat dari Davin maupun ibu Susi. Tak kalah miris, makanan layak juga nyaris tidak Aranti dapatkan. Sekali dalam satu hari, dapat jatah makan nasi putih saja sudah untung. Itu saja lebih sering berupa sisa dari Davin dan keluarganya.

“Mungkin, ... ini yang dinamakan belajar sabar,” batin Aranti sambil terus memeluk Davin.

“Aku sayang kamu ... masa sudah sejauh ini, ... aku bahkan enggak yakin ini aku masih hidup atau mati, kamu masih mikir aku selingkuh?” ucap Aranti masih belum bisa menyudahi air mata maupun luka-lukanya.

“Yang namanya selingkuh kan enggak butuh alasan,” balas Davin sambil merengut sebal. Ia mengunci punggung kiri Aranti menggunakan dagunya.

“Astaghfirullah ...,” lirih Aranti yang juga kembali istighfar lantaran Davin menanyakan kesediaan Aranti melayaninya berhubungan se.ksual.

“Bahkan sampai sekarang aku masih kaya mens loh,” lemah Aranti. Ia menatap Davin dengan mata yang basah karena ia memang belum mengelap air matanya.

“Masa iya, pendarahan terus?!” kesal Davin yang memang jengkel.

“Kemarin Mas dengar sendiri kan, penjelasan dokter Sundari? Mas lihat sendiri keadaan janin kita? Termasuk ... punyaku yang lecet parah dan sekadar pipis saja, aku kesakitan Mas!” ucap Aranti.

Lantaran Davin tetap tidak menanggapi dan memang tampak jengkel, Aranti berkata, “Wallahualam bissawab, ... jangankan ke aku. Ke dokter yang jelas berkompeten saja, Mas dan mama Mas ragu.” Aranti berangsur berpegangan ke lantai maupun meja karena ia berusaha berdiri.

“Ak mandi dulu, ... setelah itu, aku akan melayani Mas. Jika memang anak ini rezekiku. Jika memang ini sudah takdirku, Yang Punya Kehidupan pasti lebih tahu!” ucap Aranti.

Davin menatap jengkel Aranti. Ia beranjak berdiri tanpa menyudahi tatapan tajamnya kepada Aranti. “Kamu diajak ibadah, sudah semestinya jadi kewajibanmu melayani aku, kok enggak ikhlas gitu!” kecamnya.

Mendengar itu, Aranti yang kesal sekaligus merasa tak habis pikir, refleks menghela napas dalam sekaligus kasar. “Aku mandi dulu!” lembutnya tapi penuh penakanan.

Davin yang curiga bahkan yakin Aranti berbohong mengenai pendarahan yang dialami, sengaja ikut masuk ke dalam kamar mandi. Davin lebih percaya ke mamanya yang meyakinkan, bahwa pendarahan nyaris kuret yang Aranti alami, tidak bahaya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena semestinya, wanita hamil yang mengalami, tetap bisa beraktifitas sekaligus bekerja. Jadi, andai Aranti menolak dan bahkan sekadar lemas, itu artinya Aranti memang pemalas.

Dua minggu selanjutnya, akhirnya Davin berangkat ke Yogyakarta. Aranti sampai diajak mengantar Davin hingga kost sang suami akan tinggal. Namun bukan berarti Davin sekeluarga sudah memperlakukan Aranti dengan baik bahkan sekadar manusiawi. Karena sampai detik ini, Aranti masih tersiksa lahir dan batin.

“Kalau Mama Papa mau jalan-jalan, kalian pergi saja. Biar Aranti di sini sama aku. Barulah kalau Papa Mama mau pulang, tolong samperin ke sini, jemput Aranti,” ucap Davin bersemangat.

Dalam diamnya, Aranti tahu alasan Davin memintanya ditinggal. Tentu karena Davin ingin bersenang-senang sepuasnya dengan Aranti. Davin kembali ingin Aranti layani, tak peduli meski sampai detik ini, Aranti masih flek dan kadang pendarahan mirip mens.

“Ya Allah ... jika memang mereka tidak baik untukku, tolong jauhkan kami. Namun jika memang mereka takdirku, tolong waraskan mereka. Tolong lembutkan hati mereka agar mereka bisa menerima sekaligus menyayangiku,” batin Aranti turut melepas kepergian mertuanya hingga teras depan pintu kost Davin.

“Ayo cepat! Kita beneran masih punya banyak waktu karena papa mama pasti baru ke sini agak malam. Sementara sekarang baru pukul sebelas siang!” sergah Davin sangat bersemangat.

Davin menatap tak sabar wajah cantik sang istri yang jadi tirus. Selain itu, bekas lebam di sana juga nyaris hilang semua. Andai masih ada, itu terbilang baru dan merupakan bagian dari emosi Davin maupun ibu Susi. Kerena baik Davin maupun ibu Susi, memang masih merasa ada yang kurang jika kemarahan mereka kepada Aranti, tak sampai disertai tamparan atau malah bogeman.

“Rekam, ya! Biar pas aku kangen kamu dan memang pengin, aku cukup nonton rekaman kita!” ucap Davin berbisik-bisik sambil buru-buru menutup sekaligus mengunci pintu.

Aranti yang refleks menghela napas dalam nyaris mengumpat, “Otakmu isinya cuma ngesseeks, ya?!” Namun lagi-lagi, Aranti berusaha bersabar. Jauh di dalam hatinya, Aranti yang jadi sibuk menghela napas pelan sekaligus dalam, kerap istighfar. Lagi-lagi, Aranti meminta bantuan Sang Pemilik Kehidupan agar kali ini, ia tak harus menjadi bagian dari rencana sableng sang suami.

“Sssttttt! Enggak hapeku, bahkan hapemu, sama-sama ngedrop!” Ketika Davin sibuk uring-uringan dan sampai melempar asal kedua ponsel yang dimaksud, saat itu juga Aranti jadi sibuk memanjatkan syukur jauh di dalam hatinya.

Terpopuler

Comments

Firli Putrawan

Firli Putrawan

y yg ada d otaknya ngeseks trs dasar manusia hati iblis

2024-04-25

0

Sarti Patimuan

Sarti Patimuan

Astaghfirullah sampai kapan penderitaan Aranti

2024-04-24

0

denas29

denas29

baca novel yg ini harus extra sabar...
bner" mnguras smua nya...
nunggu tndakan nya aranti mau gmana kya nya msih lma deh...
ya ampun bner" udah nano nano ini...😤

2024-04-22

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!