Sinar matahari pagi menyinari halaman sekolah yang berdebu. Bayangan gedung-gedung tua menari-nari di tanah, menciptakan suasana yang sedikit suram. Arisu Lynn, dengan rambut putih pendeknya yang kontras dengan kulitnya yang pucat, dan mata merah pekat yang tajam, mengintai Hasane Reina dari balik tembok toilet tua yang kusam. Bau cat lama dan sedikit lembap menusuk hidungnya, namun Lynn tak menghiraukannya. Penasaran yang membakar jauh lebih kuat daripada ketidaknyamanan fisik. Reina, siswi tercantik di sekolah, teman dekat Kei—tetangga Lynn yang misterius dan selalu tampak acuh tak acuh—adalah sebuah teka-teki yang harus dipecahkan. Lynn, yang biasanya dingin dan pendiam, memiliki penampilan yang mencolok dengan rambut putih pendek dan mata merah pekatnya, merasakan gelombang emosi yang tak biasa: campuran kekaguman, iri hati, dan rasa ingin tahu yang membuncah. Dia ingin tahu, bagaimana Kei yang dingin itu bisa dekat dengan Reina.
Reina keluar dari toilet, tak menyadari mata Lynn yang mengintainya. Sepatu putihnya menorehkan jejak di lantai yang sedikit kotor. Pertemuan tak terduga itu menciptakan keheningan canggung. Udara seakan berhenti berhembus. Lynn, yang biasanya mampu mengendalikan emosinya, merasakan pipinya memerah—sesuatu yang jarang terjadi. Mata merah pekatnya berkedip, seakan terkejut dengan reaksi tubuhnya sendiri. Reina, yang terbiasa dengan pujian dan perhatian, merasakan jantungnya berdebar kencang di hadapan gadis dingin dengan rambut putih dan mata merah ini. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menarik.
"Uhm..." suara Lynn, serak dan tak terduga, memecah keheningan. Suaranya yang biasanya datar, kini terdengar sedikit gemetar.
Reina tersentak. "Hah... apa?" Suaranya gemetar, sedikit ketakutan. Ia tidak terbiasa dengan tatapan intens Lynn.
Rencana Lynn gagal. Ia hanya bisa mengucapkan, "Ayo, jam pertama sebentar lagi mulai," dan berbalik pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Reina yang masih tertegun.
Namun, Reina, yang merasa ada sesuatu yang menarik dari Lynn, menyusulnya. "Kamu nggak mau ke toilet dulu?" tanyanya dengan lembut, sedikit cemas, suaranya terdengar sedikit khawatir.
"Tidak," jawab Lynn singkat, tatapannya lurus ke depan, tetapi pipinya masih memerah. Ia mencoba untuk terlihat tenang, namun kegelisahannya terlihat jelas.
"Hehe..." Reina terkekeh gugup. "Lynn, bagaimana ulangan matematikamu?" Suaranya mencoba untuk memecah ketegangan.
"Biasa saja," jawab Lynn datar, membuat Reina terdiam sejenak. Lalu, sebuah kalimat tak terduga keluar dari bibir Lynn, "Tapi... aku menghargai usahamu untuk berbicara denganku." Suaranya terdengar gugup, jauh berbeda dari biasanya.
Senyum Reina mengembang. Mereka berjalan menuju kelas, diiringi bisikan-bisikan dari teman-teman mereka. Suara-suara itu seperti jarum yang menusuk telinga.
"Lynn... berteman dengan Reina..."
"Lihat itu, cewek populer berbicara dengan cewek pendiam..."
Reina dan Lynn mengabaikannya. Saat mereka berjalan menuju tempat duduk mereka yang bersebelahan, sekelompok siswa laki-laki mulai bergunjing. Tawa mereka terdengar nyaring dan menyebalkan.
"Apa yang dipikirkan Reina... dia mau bicara dengan Lynn?"
"Lebih mending Reina berbicara denganku..."
"Hahaha... jangan pede, Bro..."
Reina, yang sudah muak, menghampiri mereka. "Udah... udah selesai bergunjingnya?" tanyanya dengan nada dingin, raut wajahnya memerah menahan amarah. Mata merah muda nya yang biasanya bersinar, kini tampak tajam dan mengancam.
"Wah, si cantik datang ke sini, pasti ingin berbicara denganku," ujar salah satu dari mereka, diikuti tawa mengejek.
"Bisa nggak kalian diam untuk hari ini?" suara Reina meninggi. Ia sudah kehilangan kesabaran.
"Kalau kita pergi kencan, aku akan diam... hahaha..." Mereka semakin berani. Reina mengepalkan tangannya, menahan amarah yang hampir meledak.
Lynn, yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba bersuara, suaranya datar namun tajam, "Kalian cuma cowok rendahan di mata Reina." Tatapannya menusuk, mata merah pekatnya seperti bara api yang siap membakar. Rambut putih pendeknya seakan bergetar karena amarahnya. Ini adalah Lynn yang berbeda, Lynn yang berani.
"Kalau kalian ingin kencan bareng Reina, lewati aku dulu," kata Lynn, suaranya berat dan penuh ancaman. Para siswa itu menunduk, menghindari tatapannya yang tajam dan menakutkan.
Lynn kembali ke tempat duduknya. Reina menyusul, berdiri di samping Lynn yang sedang membaca komik. Lynn terkejut. "A... a... apa..." suaranya terbata-bata. Ia tidak terbiasa dengan perhatian dan kebaikan Reina.
"Eh... maafkan aku. Aku membuat namamu terjerumus dari pembicaraan mereka..." Reina berkata lembut, sedikit gugup.
"G... g... nggak... masalah kok... a... a..." Lynn semakin gugup. Ia tidak terbiasa dengan pujian.
"Ada apa dengan Lynn?" batin Reina. "Lynn, kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan lembut dan cemas.
"Aa... a... a..." Lynn masih gugup. "Sebenarnya..."
"Santai saja, Lynn," Reina memindahkan kursinya ke depan meja Lynn, duduk berhadapan dengannya.
Lynn menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya... aku kagum dengan kecantikanmu... Reina." Pengakuan jujur yang mengejutkan.
Reina terkejut. "Heh..." "Maksudnya...?"
"Aku ingin sekali seperti kamu, diperhatikan banyak cowok. Bahkan orang sedingin Kei bisa berpacaran denganmu..." Lynn berkata agak santai, mencoba untuk menyembunyikan kegugupannya.
"Dari dulu, aku sering memerhatikanmu. Ingin berbicara denganmu. Tapi, karena aku takut..." Lynn menunduk, wajahnya murung.
Reina memotongnya, "Ta... takut kenapa ya... perasaan aku nggak gigit kok," katanya bercanda, mencoba untuk mencairkan suasana.
"B... bukan itu..." suara Lynn meninggi. "Hanya saja level kita berbeda..." suaranya pelan. "Maksudku... nggak wajar cewek pendiam sepertiku berbicara dengan cewek terpandang. Apalagi, hawa keberadaanku banyak yang nggak sadar."
Reina berdiri, mendekati Lynn. "Lynn," Reina mengulurkan tangannya. Lynn mengangkat kepalanya. "Aku nggak merasa terpandang kok. Bahkan aku nggak ingin menjadi populer di sekolah, bahkan sampai sekarang. Aku nggak pernah memiliki teman sejak pindah ke sekolah ini." Reina berkata lembut, berusaha menenangkan Lynn. "Mulai sekarang, mohon bantuannya ya..."
Lynn terkejut. "Aa... aa... apa, kamu ingin berteman denganku?"
"Iya... aku juga kagum denganmu. Walaupun kamu orangnya cuek dan dingin, tapi kamu sangat lembut dan asyik diajak bicara. Sepertinya kita ada kesamaan." Reina tetap mengulurkan tangannya.
Lynn berdiri, mata merahnya berkilat. Ia masih tampak dingin, namun ada sedikit kehangatan di dalam tatapannya. "Baik. Mohon bantuannya," jawabnya singkat, suaranya berat. Lalu, ia membalas uluran tangan Reina.
"Eh... balik lagi sikap dinginnya. Sepertinya kamu bisa mengubah emosinya dengan cepat ya... hahaha," ujar Reina. Mereka bersalaman.
"Itu mudah sih," kata Lynn santai.
"Oh iya... aku ingin ke kantin sebentar. Aku mau beli permen di sana. Kamu ikut?"
"Dengan senanG hati," jawab Lynn tenang, dengan senyum kecil di wajahnya. Untuk pertama kalinya, senyum itu terlihat tulus dan hangat.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments