"Saat itu, hatiku hancur berkeping-keping mendengar kenyataan yang Nenek Reina ucapkan. Bukan hanya karena rahasia keluargaku terbongkar, tapi karena melihat Reina, jiwanya tercabik-cabik saat mengetahui bahwa takdir kita terjalin erat, bahkan dalam kesedihan. Seolah-olah, luka lama yang terpendam selama ini kembali menganga, menyayat hatiku lebih dalam dari sebelumnya," ujar Kei, suaranya bergetar, seolah-olah luka lama itu kembali menganga. Hujan di luar jendela semakin deras, menyamai derasnya air mata yang tak terbendung di dalam hati mereka.
"Lalu, setelah Nenek Reina mengungkap semua itu, dan kau menenangkan Reina, apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Emy, matanya berbinar-binar, haus akan kisah cinta yang penuh lika-liku. Suasana di ruangan itu terasa hening, hanya suara gemerisik hujan yang menemani mereka, menciptakan melodi sendu yang menyentuh jiwa.
Kei menghela napas, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Cerita selanjutnya? Ah, cerita selanjutnya dipenuhi tawa, sungguh," katanya, matanya berbinar-binar, seolah-olah mengingat kembali momen-momen indah yang pernah mereka lalui.
...****************...
Cahaya lampu kamar Reina yang redup menciptakan suasana hangat dan nyaman, seperti pelukan yang menenangkan jiwa yang lelah. Kei dan Reina melepaskan pelukan mereka, air mata mereka masih membasahi pipi. Kei melirik jam dinding yang tergantung di langit-langit kamar Reina. Pukul 22.13 malam. Dia terkejut. Waktu berlalu begitu cepat, seakan-akan tak mampu menyamai lautan emosi yang tengah mereka alami. Udara di ruangan itu terasa dingin, seolah-olah membeku bersamaan dengan perasaan mereka, menciptakan suasana yang mencekam.
Reina menatap Kei, matanya masih sembab, namun ada secercah cahaya yang muncul di dalamnya, seperti bintang yang menerobos kegelapan. "Sudah saatnya pulang ya?" tanyanya, suaranya lembut, seperti bisikan angin malam yang menenangkan.
"Iya Reina, kalau begitu," jawab Kei, turun dari ranjang Reina. "Aku mau pulang dulu ya, istirahatlah dengan tenang."
Nenek Reina keluar dari kamarnya. Kei pun melangkah keluar, namun tiba-tiba Reina memanggilnya dengan suara lemah, "Kei!"
Kei menoleh kebelakang. "Ada apa Reina?" tanyanya dengan suara datar.
"Bisa kah kamu ke sini sebentar?" Reina ingin membisikkan sesuatu kepada Kei.
"Hmm, baiklah," jawab Kei, melangkah mendekati Reina yang terduduk di ranjangnya.
Reina menyuruh Kei mendekat kan kepala nya, supaya Reina mudah membisikkan sesuatu. Kei mendekat kan kepala nya kepada Reina.
"Bisa kah aku mencium aroma jaketmu sekali lagi?" bisik Reina, suaranya lembut, seperti angin sepoi-sepoi yang menerpa daun, membawa aroma kenangan yang tak terlupakan. Keheningan di ruangan itu seolah-olah terisi dengan aroma lembut jaket Kei, menciptakan aura magis yang menawan.
Seketika, jantung Kei berdebar kencang, wajahnya memerah. "A.. apa... aroma jaketku?" tanyanya dengan gugup, suaranya bergetar, seolah-olah terbawa arus emosi yang tak terkendali.
Kei menjauh kan menegak kan kepala nya, menjauh kan telinga nya dari bisikan Reina.
"Iya," jawab Reina singkat, suaranya lemah, tatapannya begitu lemas, karena demamnya yang semakin tinggi.
"Ta... tapi untuk apa?" tanya Kei gugup, suaranya agak keras seperti orang terkejut.
"Aku merasa kesepian kalau kamu tidak ada menemani aku di saat sakit," ucap Reina, mengeluarkan perkataan nya dengan tidak berpikir dua kali, seolah-olah kata-kata itu mengalir langsung dari lubuk hatinya yang terdalam.
"Heh... apa yang sedang dia pikir kan..., Reina. Dan tatapan itu, mengapa dia berlaga manis dengan ku!!" sorakan hati Kei, begitu shock setelah mendengar kan perkataan Reina.
Hati Kei di penuhi dengan bunga matahari, yang mengartikan, hati Kei sangat bersinar. Hingga mata Kei mengucapkan "Menyala abang ku!! ".
Reina yang melihat Kei yang sedang senyum nyengir mengatakan "ada yang salah, Kei?" tanya Reina, mengerutkan kening nya.
Kei spontan terkaget kan dengan suara Reina. Padahal di saat itu, Kei sedang berbicara dengan organ tubuh nya yang menyaksikan tingkah manis nya Reina.
"Ehh.. ya.. tidak terganggu," ucap Kei dengan grogi. Kei pun mengambil tas nya, lalu mengeluarkan botol parfum kecil, botol kaca yang berisi cairan harum bewarna biru muda. Kei pun memberikan nya kepada Reina. "Ini parfumku, Reina. Kamu tidak perlu meminjamkan jaketku. Kamu bisa mencium aroma jaketku dengan menghirup aroma parfumku," ujar Kei dengan grogi.
"Baiklah," Reina mengambil parfum Kei dengan sangat cepat.
"Heh.. dia sakit atau tidak?" pertanyaan hati Kei setelah melihat reaksi Reina mengambil parfum tersebut dari tangan Kei.
Reina pun membuka tutup botol parfum tersebut, menyemprotkan nya ke bantal nya yang akan digunakan oleh Reina untuk tidur.
Kei tercengang melihat apa yang dilakukan Reina barusan. Dia berpikir "Kalau dia menyemprotkan nya di bantal nya, sama aja dengan tidur bersebelahan dengan ku." Kei membayangkan ketika dia akan tidur bersama Reina, di ranjang yang sama.
"Heh.. ada apa... shik... shik.." tanya Reina, ingus nya mulai turun.
Kei yang bermenung dengan senyuman nya yang nyengir. terkejut di saat mendengar suara Reina "Eh, Reina.. ".
Reina pun memotong Kei yang berbicara "udah dua kali loh," jawab Reina.
Seketika Reina berpikir diam. Di saat dia paham dengan apa yang Kei pikir kan, dia tersenyum, perlahan lahan dia tertawa kecil.
Kei yang melihat Reina tertawa dengan menutupi mulut nya. Kei merasa malu "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Kei dengan gugup, suara nya lumayan keras dan wajah nya memerah.
"Hihihi, tingkah ku membuat kamu tersipu ya.." ujar Reina, sedikit tersenyum.
"Tapi sebenarnya, perkataan ku yang aku katakan kepada mu, itu asli dari perkataan hati ku, Kei," jawab Reina, senyuman nya yang tipis, membuat Kei bermenung sebentar.
Kei tersadar, melangkah keluar sambil mengatakan "aku pulang, dada... " Kei tidak tahan berada di kamar Reina, karena Reina terus saja menggoda Kei secara tidak lansung.
Kei melangkah keluar dari rumah Reina, hatinya dipenuhi dengan pusaran emosi yang tak terurai. Dia baru saja menerima kenyataan pahit tentang masa lalunya, namun juga menemukan secercah harapan dalam janji yang baru saja terucap. Di teras rumah, siluet seorang wanita tua menanti dengan sabar, seperti pohon tua yang tegak menjulang, penuh dengan hikmah dan pengalaman. Nenek Reina.
"Eh nenek.. oh iya makasih nek, telah memberitahu aku tentang fakta keluarga aku, dan juga Reina." Kei berterima kasih kepada nenek Reina dengan senyum tipis yang menyembunyikan kerumitan di dalam hatinya. Cahaya lampu taman yang remang-remang menerangi wajah nenek Reina, menciptakan aura hangat dan penuh kasih sayang, seperti pelukan lembut yang menenangkan jiwa yang lelah.
"Sama-sama, Kei," ucap nenek Reina, suaranya lembut seperti alunan melodi yang menenangkan, membawa ketenangan di tengah badai emosi yang melanda.
"Terapi, sesudah kamu mengetahui semua nya. apa yang akan kamu lakukan?" tanya nenek Reina, sedikit penasaran, matanya yang tajam memancarkan ketajaman yang penuh pengertian.
"Aku akan fokus membahagiakan Reina dengan sepenuh jiwa ku. Dan aku akan mencari ayahku," jawab Kei dengan bersungguh sungguh. Tatapannya memancarkan tekad yang kuat, seolah-olah dia telah menemukan tujuan hidupnya, seperti kompas yang menunjuk arah yang benar.
"Nenek akan mendukung setiap langkah yang kalian jalanani. Dan Kei, jaga lah cucu nenek yang sangat rapuh itu," kata Nenek Reina dengan suara lembut nya, suaranya penuh dengan kasih sayang dan perhatian yang mendalam.
"Tentu saja nek.. " jawab Kei dengan wajah datar, namun matanya berbinar-binar dengan tekad yang terpancar dari dalam dirinya, seperti api yang membara dengan semangat yang tak terpadamkan.
"Baiklah, hati-hati lah di perjalanan pulang mu, Kei. Dan titip salam kepada bunda mu, kata kan ke pada nya, bibi Yomi merindukan mu," ujar nenek Reina.
"Jadi, nama nenek adalah Yomi ya?" tanya Kei, sedikit terkejut, seolah-olah dia baru menyadari rahasia yang tersembunyi di balik sosok nenek yang penuh kasih sayang.
"Iya, Kei," jawab nenek Reina yaitu Hasane Yomi.
Kei pun terkaget. Dan kembali ke motor nya.
Dia menjauh dari rumah Reina dan pergi ke rumah nya.
Di tengah perjalanan, lampu-lampu neon menghiasi perkotaan malam yang Kei lalui. Cahaya lampu kota yang gemerlap seolah-olah memantulkan kilasan kenangan masa lalu, seperti film yang diputar ulang dalam benaknya. Kei mengingat masa-masa nya waktu tersesat di pasar. Waktu itu Kei di bawa oleh bunda Ratih ke pasar. Tetapi, Kei lengah di saat melihat baju yang ada di pasar tersebut. Yang membuat, Kei terpisah dengan bunda Ratih. Dan pada saat itu, Nenek Reina yaitu Hasane Yomi, menyadari bahwa Kei tersesat.
Nenek Yomi menghampiri Kei yang sedang menangis. Dan pada saat itu, nenek Yomi ingin mengantarkan Kei kepada bunda nya. Kei menerima pertolongan dari nenek Yomi. Lalu Kei menemukan bunda Ratih yang sedang mencari Kei. Kei pun berlari ke arah bunda nya. Tetapi lari Kei berhenti, berputar arah ke arah nenek Yomi. Kei berterima kasih kepada nenek Yomi dan menanyakan nama Nenek Yomi, dan nenek Yomi mengatakan nama nya.
Kei yang sedari tadi fokus ke jalanan di saat mengendarai motor, tertawa disaat mengingat kembali masalalu nya di saat dia tersesat di umur lima tahun, saat pergi ke pasar dengan bunda Ratih.
"Hahaha... Makasih... Nek Yomi," gumaan Kei, melakukan kecepatan motor nya dengan sangat cepat, seolah-olah ingin terbang bersama kenangan indah masa lalunya, seperti burung yang merdeka di langit biru.
...****************...
Kei dan teman teman menikmati pembicaraan masalalu Kei, sampai tidak sadar bahwa malam yang sunyinya telah terganti menjadi pagi yang tenang. Mentari pagi, bak dewi yang enggan menyingkap tabir malam, hanya menebarkan semburat jingga samar di ufuk timur. Udara sejuk, seperti nafas embun pagi, menyelimuti kota, membawa aroma kopi dan roti panggang yang menguar dari sudut-sudut jalan, membangkitkan gairah kehidupan di pagi hari. Di sebuah rumah sederhana, Kei berdiri di depan jendela, matanya menerawang ke luar, seakan ingin menelan semua keindahan pagi ini. Namun, wajahnya tetap datar, seperti sebuah patung yang terlupakan, menyimpan rahasia di balik topeng ketenangannya. Kecemasan yang tak terucap terpancar dari matanya, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya, seperti embun yang berusaha menahan diri untuk tidak menetes dari daun.
"Hahaha... kau juga bisa tersesat, Kei!" ejek Earl dengan suara keras, memecah kesunyian pagi. Kekehan Earl, seperti dentuman petir yang menggelegar, menggema di udara, penuh dengan rasa senang melihat Kei yang terlihat gugup.
"Anak kecil ga mungkin tidak tersesat di saat sendiri berjalan di pasar, Earl," ujar Kei, tatapannya datar tertuju ke wajah Earl, suara nya dingin seperti embun pagi yang menetes dari daun. Nada bicara Kei terdengar datar, namun ada sedikit getaran ketegangan yang tersembunyi di baliknya, seperti embun yang menahan diri untuk tidak menetes dari daun.
"Tapi, Reina kan masih demam. Apakah kamu menjenguk Reina?" tanya Hiro dengan rasa penasaran, matanya berbinar seperti anak kucing yang melihat mainan baru. Rasa ingin tahu Hiro terpancar jelas dari sorot matanya, ia tampak begitu penasaran dengan hubungan Kei dan Reina, seperti anak kucing yang ingin tahu tentang dunia di luar kotaknya.
"Pasti, aku menjenguk Reina di besok hari nya, tapi sebelum aku menjenguk Reina, ada kejadian lucu di saat aku membuat sup untuk Reina. aku mengalami kejadian yang absurd bersama dengan bunda ku di saat membuat sup bersama." jawab Kei, menatap Hiro, suara nya terdengar dingin, seperti angin sepoi-sepoi yang berbisik di telinganya. Ke dinginan nya suara Kei membuat Hiro sedikit terdiam, namun rasa penasarannya tidak berkurang, seperti api yang terus menyala meskipun ditiup angin.
"Baik lah, aku akan melanjutkan cerita masalalu ku, kalian semua harus mendengar nya, karena ini adalah cerita lucu, dari tingkah bunda ku sendiri." Kei melanjutkan cerita masalalu nya, wajah nya bahagia, mengingat masalalu yang indah bersama bunda Ratih. Senyumnya mengembang, seperti bunga yang mekar di pagi hari. Senyum Kei tampak tulus, ia benar-benar menikmati kenangan indah bersama Reina, seperti bunga yang menikmati mentari pagi.
...****************...
Jam 05.00.
Kei berada di dapur, matanya masih sembab karena kurang tidur, namun semangatnya membara. Dia menyiapkan bekal untuk Reina: sup daging, yang menurutnya akan membantu Reina cepat sembuh. Kei lumayan bisa memasak segala macam makanan, karena Kei telah di ajari oleh bibi Serika. Kei tampak begitu fokus dengan pekerjaannya, tangannya bergerak lincah menyiapkan bahan-bahan, seperti pengrajin yang menorehkan ukiran di kayu.
Bunda Ratih bangun dari tidur nyenyak nya, terkejut mencium bau aroma yang wangi. Dia mencari dari mana asal aroma itu. Bau rempah-rempah yang hangat dan gurih itu seperti memanggilnya dari kejauhan, membangkitkan rasa penasaran dan sedikit terkejut.
Bunda Ratih pun masuk ke dalam dapur dengan tergesa-gesa bahagia. Bunda Ratih kaget, karna yang menciptakan aroma se sedap ini adalah aroma sup yang di buat oleh Kei. Bunda Ratih tampak begitu gembira, matanya berbinar-binar, seperti melihat keajaiban yang tersembunyi di balik aroma yang menggoda.
"Hmmm. Harum sekali, kamu juga hebat memasak Kei!!" bunda Ratih takjub dengan Kei. Suaranya terdengar penuh kekaguman, ia benar-benar terkesan dengan kemampuan memasak Kei, seperti seorang penikmat seni yang terpesona oleh karya seni yang indah.
"Yaa... biasa aja sih, apakah bunda ingin mencicipi nya sedikit?" ujar Kei, mengambil sendok sup, lalu mengambil kuah sup tersebut. Kei menyuapi bunda Ratih dengan sangat halus. Kei tampak sedikit malu, namun tetap berusaha bersikap tenang, seperti seorang anak yang ingin mendapat pujian dari ibunya.
"Gimana rasanya, bun?" tanya Kei, tatapan nya datar, tapi suara nya lembut, seperti bisikan angin yang menyapa daun. Kei tampak sedikit gugup menunggu penilaian Bunda Ratih, seperti seorang siswa yang menunggu nilai ujian dari gurunya.
"hmm.. Ini seperti bubur untuk orang sakit, dari bau nya tercium rempah rempah yang tercampur. Tetapi, di saat bunda cicip. Kamu kekurangan cabe, sup nya kurang pedas!!" bunda Ratih mengkritik sup Kei, lalu mengambil cabei giling. Dan memasukkan nya ke dalam sup daging buatan Kei yang masih mendidih. Bunda Ratih tampak sedikit usil, namun nada bicaranya tetap lembut, seperti seorang ibu yang menasihati anaknya.
Kei pun terkejut "A... Apa yang bunda lakukan, ini memang sup untuk orang sakit!" sorak Kei pasrah melihat tingkah bunda nya. Kei tampak panik, ia khawatir Bunda Ratih akan merusak sup yang sudah dibuatnya, seperti seorang seniman yang melihat karyanya dirusak.
Bunda Ratih pun ikutan terkejut "Ehhh.. Kamu ga bilang dari awal sih... Kan, ya sudah lah" ujar bunda Ratih, mengaduk kuah sup nya yang masih tercampur dengan cabei giling. Bunda Ratih tampak sedikit menyesal, namun tetap berusaha tenang, seperti seorang ibu yang berusaha menenangkan anaknya.
" 'Ya sudah lah' maksud bunda apa?" ujar keras Kei. "Bunda...!! Kenapa malah di aduk. Astaga naga!" sorak Kei memegang kedua kepala nya yang menatap ke sup yang berubah menjadi warna merah. Kei tampak frustasi, ia merasa Bunda Ratih tidak mengerti situasi, seperti seorang anak yang tidak mengerti logika orang dewasa.
"Hei... Supaya nikmat loh.. " kata lambat halus bunda Ratih. "Kan kamu walau sakit, suka makan yang pedas pedas" kata bunda Ratih, menganggap Kei lah yang sakit. Bunda Ratih tampak berusaha menghibur Kei, namun ia tidak menyadari bahwa Kei tidak sakit, seperti orang yang tidak menyadari kesalahan yang telah dibuatnya.
"Emang nya aku terlihat seperti orang sakit di mata kepala bunda?" tanya Kei, suara nya begitu pasrah dengan tingkah receh nya bunda Ratih. Kei tampak lelah menghadapi tingkah Bunda Ratih yang tidak masuk akal, seperti seorang anak yang lelah menghadapi tingkah laku orang tuanya yang tidak masuk akal.
"Selalu sih, lihat aja wajah mu, selalu datar begitu" suara lembut bunda Ratih. Tapi terkesan mengejek. Bunda Ratih tampak sedikit jahil, ia senang menggoda Kei, seperti seorang ibu yang senang menggoda anaknya.
"Tapi itu emang ke pribadian ku, bunda ku sayang!!" ujar Kei memegang kedua pipi bunda Ratih. Kei tampak sedikit kesal, namun ia tetap berusaha bersikap lembut kepada Bunda Ratih, seperti seorang anak yang berusaha sabar menghadapi ibunya.
"Betul juga sih" ujar bunda Ratih sambil memegang dahi nya. Bunda Ratih tampak setuju dengan pernyataan Kei, seperti seorang ibu yang mengakui kesalahan anaknya.
Kei pun melepaskan sentuhan nya.
"Hmmm, untuk siapa sup ini, Kei?" tanya bunda Ratih, mata nya berbinar, ingin tau kepada siapa sup ini akan di berikan Kei. Bunda Ratih tampak penasaran dan ingin tahu, seperti seorang detektif yang ingin mengungkap sebuah misteri.
Kei pun berpikir, kepala nya menunduk "Tak ada guna nya kalau aku menyembunyikan nya kepada bunda. Yang ada, bunda makin menjengkelkan, memaksa aku untuk jujur". Kei tampak sedikit ragu, ia tidak ingin membuat Bunda Ratih marah, seperti seorang anak yang takut dimarahi ibunya.
Kei menegak kan kembali kepala nya, menatap bunda Ratih dengan tatapan malu.
"Sup ini untuk teman ku yang terkena demam" ujar Kei, malu malu. Kei tampak gugup saat mengatakan hal itu, seperti seorang anak yang confessing kepada ibunya.
"Sudah ku tebak, kamu akan memberikan sup ini kepada anak nya Ina kan. Hahaha... " Bunda Ratih menebak nya dengan suara nya yang begitu semangat. Bunda Ratih tampak senang karena tebakannya benar, seperti seorang detektif yang berhasil mengungkap sebuah misteri.
Kei terkaget, mendengar tebakan benar dari bunda nya.
"Hee... Dari mana bunda tau?" tanya Kei, wajah nya malu malu, memerah secara tiba-tiba. Kei tampak terkejut dan malu karena Bunda Ratih mengetahui rahasianya, seperti seorang anak yang ketahuan berbohong oleh ibunya.
"Santai aja kali... " bunda Ratih menyentil kepala Kei dengan lembut. Bunda Ratih tampak santai dan tenang, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.
"Tanpa kamu sadari, kemarin bunda pergi ke toko buat membeli saus dan nuget. Tapi di saat bunda masuk ke dalam toko. Bunda melihat kamu membeli susu panas, lalu terburu buru keluar toko. Bunda dengan hati hati, mengikuti kamu dari belakang. " ujar bunda Ratih dengan suara nya yang lembut, seperti ibu ibu tua yang masih berparas cantik muda. Bunda Ratih tampak senang menceritakan kisahnya, seperti seorang ibu yang menceritakan kisah masa kecil anaknya.
"Di saat bunda mengintip dari balik pintu toko, bunda melihat kamu memberikan susu itu kepada Reina, anak nya Ina" ujar bunda Ratih dengan suara menggoda. Bunda Ratih tampak begitu senang menggoda Kei, seperti seorang ibu yang senang menggoda anaknya.
Kei menutup mulut bunda Ratih, dia sangat malu melihat diri nya sendiri. Kei tampak sangat malu dan ingin menghentikan Bunda Ratih berbicara, seperti seorang anak yang malu karena ketahuan berbohong.
"Udah cukup bun! Aku malu mendengar nya. " kata Kei, malu di saat mendengar penjelasan dari bunda Ratih. Kei tampak sangat malu dan ingin menghentikan Bunda Ratih berbicara, seperti seorang anak yang malu karena ketahuan berbohong.
"Gausah malu.... Tapi Reina sangat cantik ya. Apakah kamu pacaran dengan nya, wah pas sekali ya, hihihi.. " ujar singgung dari bunda Ratih. Bunda Ratih tampak begitu usil dan ingin tahu, seperti seorang ibu yang penasaran dengan kehidupan anaknya.
Seketika wajah Kei berubah panik, kerena dia mengingat sekilas tentang konflik keluarga nya dengan keluarga Reina. Kei tampak gugup dan khawatir karena Bunda Ratih mengetahui tentang konflik keluarga, seperti seorang anak yang takut dimarahi orang tuanya.
Bunda Ratih yang paham melihat wajah Kei yang terlihat panik, mengatakan "Jadi, kamu sudah tau ya?" tanya lembut dari bunda Ratih. Bunda Ratih tampak begitu tenang dan memahami situasi, seperti seorang ibu yang mengerti anaknya.
"Iya aku udah tau semuanya.. " ujar lemas Kei, kepala merunduk. Kei tampak lelah dan pasrah, seperti seorang anak yang menyerah pada kenyataan.
"Jangan di pikirkan, lagi pula. Ini adalah konflik keluarga, bukan berarti, bunda tidak menyetujui pertemanan kalian. Malah bunda sangat senang melihat anak bunda, bisa merasakan percikan benih kasih sayang, kepada teman nya yang paling dia sayangi." wajah bunda Ratih berubah serius, membicarakan nya kepada Kei. Bunda Ratih tampak begitu bijaksana dan mendukung Kei, seperti seorang ibu yang mendukung anaknya.
Mata Kei membulat terharu. "Bunda... " mata Kei berkaca kaca. Kei tampak begitu terharu dengan kata-kata Bunda Ratih, seperti seorang anak yang tersentuh oleh kata-kata ibunya.
"Sekarang, ini adalah perintah kapten. Jaga Reina dengan sebaik mungkin, kapten mu ini juga sayang dengan Reina. Kalau sampai gagal. Kamu tidak akan di beri jajan selama satu tahun. Di terima!?" sorak bunda Ratih, bercanda kepada Kei dengan penuh semangat, menyuruh Kei menjaga Reina. Bunda Ratih tampak begitu semangat dan optimis, seperti seorang ibu yang memberikan semangat kepada anaknya.
"Siap di terima, kapten!" tangan Kei tegak ke samping kepala, memberi kan hormat kepada bunda Ratih. Kei tampak begitu semangat dan bersemangat untuk menjalankan tugasnya, seperti seorang prajurit yang siap bertempur.
Bunda Ratih pun memeluk Kei "jaga dia Kei, dia sosok perempuan yang sangat membutuhkan kasih sayang dari laki laki lain" ucap bunda Ratih, memeluk Kei dengan penuh kasih sayang. Bunda Ratih tampak begitu perhatian dan penuh kasih sayang, seperti seorang ibu yang mencintai anaknya.
"Baik bund" ujar Kei, membalas pelukan bunda nya. Kei tampak begitu bahagia dan bersyukur memiliki Bunda Ratih, seperti seorang anak yang bersyukur memiliki ibunya.
Kei mencium aroma terbakar.
"Bau apa ini, bunda" tanya Kei, takut sup nya hangus. Kei tampak khawatir dan takut sup yang dibuatnya hangus, seperti seorang koki yang takut masakannya gagal.
"Jangan menanyakan nya, kalau kamu sudah tau jawaban nya" ujar bunda Ratih sadar kalau sup nya hangus. Bunda Ratih tampak sedikit panik, namun ia tetap berusaha tenang, seperti seorang ibu yang berusaha menenangkan anaknya.
Mereka berdua melepaskan pelukan hangat nya, lalu menoleh ke arah kompor dan panci presto yang stengah hangus. Mata mereka membulat terkejut. Lalu bunda Ratih mematikan kompor tersebut. Mereka berdua tampak terkejut dan panik, seperti orang yang melihat sesuatu yang tidak terduga.
"Apa yang akan aku lakukan bun!" tanya panik Kei karena semua bahan nya habis. Kei tampak begitu panik dan khawatir, seperti seorang anak yang kehilangan mainan kesayangannya.
"Cih jangan khawatir anak muda" jawab candaan bunda Ratih. Bunda Ratih tampak begitu tenang dan berusaha menghibur Kei, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.
"Bunda masih saja bercanda di kondisi seperti ini! " sorak Kei, kewalahan melihat sikap bunda Ratih. Kei tampak begitu frustasi dan kesal, seperti seorang anak yang kesal dengan tingkah laku orang tuanya.
"Tenang.. tenang.. Sini lihat ini" bunda Ratih mengajak Kei untuk melihat kulkas. Bunda Ratih tampak begitu tenang dan berusaha menenangkan Kei, seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya.
Bunda Ratih membuka pintu kulkas nya dengan cepat "Tadaaa.... " menunjukkan isi kulkas yang kosong. Bunda Ratih tampak begitu optimis dan yakin, seperti seorang ibu yang yakin dengan kemampuan anaknya.
Wajah Kei pudar "Isi nya kosong, bunda" ujar lemas Kei melihat isi kulkas nya yang kosong seperti hati Thomas Shelby. Kei tampak begitu kecewa dan putus asa, seperti seorang anak yang kehilangan harapan.
"Siapa bilang" ujar bunda Ratih dengan halus. Bunda Ratih menggeser pintu kulkas nya dengan perlahan "Lihat ini, penyimpanan rahasia!" suara bunda Ratih seperti suara Doraemon yang memberikan benda dari kantong ajaib nya. Penyimpanan rahasia nya berisi berbagai macam rempah rempah dan daging mentah, mulai dari ikan, ayam, dan daging sapi. Bunda Ratih tampak begitu senang dan bangga, seperti seorang ibu yang menemukan harta karun.
Kei ternganga terkejut "Sejak kapan kulkas kita seperti ini, bunda?" tanya Kei dengan heran. Kei tampak begitu terkejut dan heran, seperti seorang anak yang menemukan sesuatu yang tidak terduga.
"Hustt.. hustt... Jangan banyak bicara, ayok kita buat sup nya bersama sama" Bunda Ratih menutup mulut Kei dengan jari telunjuk nya, lalu mengambil semua bahan bahan yang di rasa perlu untuk membuat sup yang sangat enak. Bunda Ratih tampak begitu semangat dan ingin segera membuat sup, seperti seorang ibu yang ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Kei yang masih ternganga, tidak menyangka bahwa kulkas nya mempunyai penyimpanan rahasia, padahal usia kulkas tersebut lebih tua dari pada Kei. Kei tampak begitu terkejut dan heran, seperti seorang anak yang menemukan sesuatu yang tidak terduga.
Mereka pun membuat sup dengan penuh candaan. Pada subuh yang sunyi, hanya mendengar kan suara candaan Kei dan bunda Ratih yang bekerja sama membuat sup untuk Reina. Mereka berdua tampak begitu bahagia dan menikmati waktu bersama, seperti dua orang sahabat yang saling mendukung.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments