Malam itu, langit malam menorehkan warna dongker pekat di ufuk barat. Angin sepoi-sepoi berbisik di antara dedaunan, membawa aroma tanah basah dan sedikit harum bunga kamboja. Di jalanan yang lengang, hanya terdengar deru mesin motor Kei yang mengantar Reina pulang.
Reina, dengan pipi memerah dan hidung yang mulai tersumbat, udara dingin malam itu tak kunjung meredakan rasa tidak nyaman di tubuhnya.
"Hitschew!" Bersin Reina pecah, menggema di antara deru motor.
Kei, yang sedari tadi fokus pada jalanan, menoleh ke arah Reina dengan raut wajah khawatir. "Apa kau baik-baik saja, Reina?" tanyanya dengan suara datar, matanya masih mengawasi jalanan.
"Sepertinya, aku kurang enak badan... hitschew!" Reina menjawab dengan suara serak, bersinnya semakin sering dan membuat hidungnya terasa semakin panas.
Kei mengerutkan kening, hatinya mulai diliputi rasa cemas. Ia pun mencari tempat untuk membelikan Reina minuman hangat. Matanya menjelajah ke kanan dan kiri, mencari toko yang sekiranya menjual minuman hangat.
"Reina, kita berhenti sebentar ya," kata Kei, motornya melambat dan berbelok ke arah sebuah toko kecil di tepi jalan.
Reina, yang merasa semakin lemas, mengerutkan kening. "Kenapa kita harus berhenti di sini... shik... shik..." Ia berusaha menahan ingus yang terus mengalir, tubuhnya terasa semakin berat.
"Aku akan membelikan kamu susu hangat, untuk menghangat kan tubuh mu sementara," jawab Kei, matanya menatap Reina penuh perhatian.
Kei memarkirkan motornya di parkiran toko yang remang-remang, hanya diterangi lampu jalan yang kuning redup.
Kei melompat turun dari motor, tangannya terulur cepat, siap menangkap tubuh Reina. Ia ingin menggendongnya turun dari motor yang tinggi, menjamin pendaratan yang lembut dan aman.
Reina, yang semakin lemas, hanya bisa menatap Kei dengan pandangan bingung. "Huh.. untuk apa... shik... shik..." Hidungnya semakin tersumbat, suaranya terdengar lirih.
"Jangan duduk di atas motor ku, nanti kamu jatuh, sini aku gendong," ujar Kei, suaranya lembut, penuh kekhawatiran.
Reina terdiam, matanya menatap Kei dengan tatapan kosong. Ia terlalu lemas untuk menolak, tubuhnya terasa seperti kapas, tak berdaya.
Reina menjulurkan kedua tangannya, menunggu Kei menggendongnya.
Kei, dengan perasaan gugup dan sedikit malu, menggendong Reina dengan hati-hati. Ia merasakan tubuh Reina yang lembut dan hangat di pelukannya.
Reina, yang tak lagi merasakan tubuhnya, hanya pasrah di gendongan Kei. Ia merasakan kelembutan dan kehangatan tubuh Kei, membuatnya merasa sedikit tenang.
Di tengah suasana malam yang tenang, Kei menggendong Reina, turun dari motor. Di matanya, terbersit sebuah perasaan yang baru saja ia sadari, sebuah perasaan yang hangat dan lembut, sebuah perasaan yang membuatnya ingin melindungi Reina.
Angin malam berdesir dingin menusuk tulang, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Lampu-lampu toko di sepanjang jalanan kota itu berkelap-kelip seperti bintang jatuh, menciptakan suasana romantis yang sayangnya tak dapat dinikmati Reina. Tubuhnya lemas, demam yang merayap membuatnya menggigil hebat.
Kei, dengan hati-hati menurunkan Reina dari motornya, menyadari wajah pucat Reina dan mata yang berkaca-kaca menahan air mata. "Reina, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya lembut seperti bisikan angin.
Reina menggeleng lemah, hidungnya tersumbat dan terasa berat. "Kepala ku terasa pusing, Kei."
Kei langsung meraih tangan Reina, merasakan panas yang menjalar di kulitnya. "Ayo, aku antar ke toko untuk membeli susu hangat."
"Tapi..." Reina meringis, "aku tak ingin merepotkanmu."
"Tidak apa-apa, Reina. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja." Kei menatap wajah Reina dengan penuh kasih sayang. Ia tahu Reina selalu berusaha mandiri, tapi kali ini, Reina benar-benar membutuhkan bantuannya.
Kei menuntun Reina menuju toko yang terletak di ujung jalan. Lampu kuning di depan toko menerangi wajah Reina, membuat pipinya terlihat semakin merah padam.
Aspal jalanan, yang biasanya berdenyut dengan hiruk pikuk siang hari, kini terbenam dalam kesunyian malam. Hanya deru samar mesin mobil yang terparkir rapi di area parkir, seperti orkestra yang sedang bersiap memainkan simfoni hening. Lampu-lampu jalanan, yang biasanya menerangi langkah kaki para pejalan kaki, kini hanya menjadi saksi bisu bagi perjalanan Kei dan Reina.
Reina, yang sedari tadi menunduk, seperti ingin menyerang demam nya di balik bayangan rambutnya, perlahan mengangkat kepalanya. Matanya, yang biasanya berbinar dengan semangat muda, kini tertuju pada toko yang dihiasi lampu-lampu warna-warni. Cahaya itu, seperti percikan mimpi yang tertangkap dalam jaring malam, memancarkan pesona yang tak tertahankan.
Kei, yang selama ini memperhatikan Reina dengan penuh perhatian, merasakan hatinya sedikit lega. Senyum tipis terukir di bibirnya, seperti embun pagi yang menyapa kelopak bunga yang baru mekar. Akhirnya, setelah perjalanan yang terasa panjang, mereka berdua telah sampai di tujuan.
Di depan toko, yang terbungkus dalam keheningan malam, terukir sebuah cerita yang baru saja dimulai.
"Reina, duduklah di sini sebentar, ya. Aku akan membeli susu hangat untukmu," ujar Kei, menunjuk kursi kosong di luar toko.
Reina mengangguk, kepalanya terasa berat dan pusing. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan demam yang semakin menggerogoti tubuhnya.
Kei melepas jaketnya dan memberikan nya kepada Reina. "Pakai ini, Reina. Cuacanya dingin."
Reina menerima jaket itu dengan tangan gemetar. Aroma vanila lembut yang tercium dari jaket itu membuatnya tenang. Aroma itu mengingatkannya pada kue vanila yang dulu sering dibuat nenek nya.
"Kei, kenapa kau tidak membawaku masuk ke dalam saja?" tanya Reina, suaranya terengah-engah.
"Aku takut kau akan kelelahan berjalan, dan aku tak ingin orang lain melihatmu dalam keadaan seperti ini," jawab Kei, matanya menatap wajah Reina dengan penuh kekhawatiran.
Reina mengerti maksud Kei. Ia tahu Kei selalu berusaha melindungi dirinya, meskipun Reina sendiri tak sempat meminta bantuannya.
Kei berlari kecil memasuki toko, meninggalkan Reina sendirian di kursi itu. Reina menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma lembut dari jaket Kei. Rasa hangat yang menyelimuti tubuhnya membuatnya sedikit tenang, "Kei, aroma jaket mu, membuat hidung dan badan ku terasa tenang. "
"Kei, kau begitu baik padaku," gumam Reina, matanya terpejam. Ia merasakan kelembutan dan perhatian Kei, yang selalu ada untuk dirinya.
Di tengah dinginnya malam, Reina merasakan kehangatan yang tak ternilai dari kasih sayang Kei.
Kei melangkah keluar toko dengan tergesa-gesa, cangkir berisi susu vanila hangat tergenggam erat di tangannya. Reina, yang sejak tadi duduk di kursi luar toko, matanya sembab dan sulit dibuka, tersenyum tipis saat melihat Kei menghampirinya.
Kei berdiri di hadapan Reina, wajahnya datar, dan menyodorkan cangkir susu hangat itu. "Susu kamu, Reina," ucapnya singkat, tangannya terulur.
Reina, yang awalnya menatap Kei dengan mata lelah, tiba-tiba matanya membulat, terkesima oleh kebaikan hati yang terpancar di balik wajah dingin Kei. Ia menerima cangkir itu dengan senang hati. "Terima kasih, Kei," ucapnya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya yang memerah karena demam.
Mata Kei membulat, melihat senyum Reina yang lemah. "Sama-sama, Reina," jawabnya, suaranya sedikit goyah, tatapannya penuh kasih sayang.
Jam 20.20 malam.
Kei dan Reina telah sampai di rumah Reina. Malam itu sunyi, dihiasi pohon-pohon hijau yang menjulang di sekitar taman rumah Reina. Cahaya bulan menyinari rumah berwarna putih itu dengan penuh arti, diiringi ribuan bintang yang menyaksikan Kei membantu Reina berjalan, tangan mereka saling bertaut.
Sesampainya di depan pintu, Kei mengetuknya. Beberapa detik kemudian, nenek Reina membuka pintu dengan pelan. "Selamat malam, mau..." sapa nenek Reina lembut, namun ekspresi wajahnya berubah panik saat melihat Reina yang tersandar tak berdaya di pundak Kei.
"Apa yang terjadi pada Reina?" tanya nenek Reina panik.
"Reina terkena demam, Nek," jawab Kei datar.
"Ayok masuk ke rumah, Kei, dan bawa Reina ke kamarnya," ucap nenek Reina, panik melihat cucunya lemah. Ia menunjuk jalan menuju kamar Reina.
Kei, sedikit terkejut karena tiba-tiba diizinkan masuk ke kamar Reina, mengikuti nenek Reina yang berjalan tergesa-gesa.
Sesampainya di kamar Reina, nenek Reina berkata, "Kesini Kei, tidurkan dia di atas kasur ini." Ia menunjuk kasur Reina yang rapi.
Kei berjalan, memegang pundak dan tangan Reina, lalu membaringkannya di kasur. Ia menyelimuti Reina dengan selimut berwarna pink, warna kesukaan Reina.
Reina tertidur dengan wajahnya yang memerah karena demam.
Kei melihat sekeliling kamar Reina. Kamar itu dipenuhi warna pink muda yang terang. Lemari bajunya berwarna putih dengan hiasan garis-garis emas. Meja belajarnya dipenuhi buku-buku sekolah yang tersusun rapi. Beberapa boneka imut terpajang di meja panjang.
Nenek Reina berjalan ke arah Kei dan berkata, "Terima kasih, Kei, telah menjaga Reina selama ini." Senyumnya indah dan berkilau.
"Sama-sama, Nek," jawab Kei.
"Tetapi, dari mana Nenek tahu namaku? Apakah Reina sudah menceritakanku kepada Nenek?" tanya Kei, sedikit gugup, namun tatapannya tetap datar.
"Iya, Reina menceritakan tentang kamu kepada Nenek. Dan sebelum Reina kenal baik dengan kamu, Nenek sudah kenal dengan kamu," jawab nenek Reina dengan senyumnya.
"Wah, aku senang sekali. Tetapi, dari mana Nenek tahu tentangku, sebelum Reina menceritakannya?" tanya Kei penasaran.
Nenek Reina menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Nenek kenal dengan ayah dan bundamu, Kei." Ekspresinya berubah kaku.
Kei senang mendengarnya, namun wajah nenek Reina tampak tidak nyaman.
Seketika, Kei teringat perkataan Hanna, "Kalau ingin tahu kelanjutan masalah keluarga Reina, tanyakan kepada neneknya."
Kei tidak ingin kehilangan kesempatan emas ini. Ia menatap nenek Reina dengan serius. "Nek, ada yang ingin aku tanyakan, ini berkaitan dengan Reina."
Nenek Reina terkejut, karena Kei tiba-tiba menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan Reina. "Apa yang ingin kamu tanyakan, Kei?" Senyum paksa terukir di wajahnya, menyembunyikan kekhawatirannya.
"Sebenarnya, aku ingin mengetahui masa lalu Reina. Aku pernah mendengarnya dari dirinya sendiri, tetapi bagiku, pasti ada beberapa hal yang tidak diketahui oleh Reina. Izinkan aku mendengarnya dari Nenek," pinta Kei, menunjukkan keseriusannya.
"Tapi, sebelum Nenek menceritakan masa lalu Reina, Nenek harus tahu. Apa tujuanmu untuk mengetahui masa lalunya?" tanya nenek Reina, sedikit serius.
"Aku ingin mengenal Reina lebih dalam. Dari beberapa cerita yang pernah Reina ceritakan kepadaku, aku sangat sedih mendengarnya. Karena itu, aku ingin mengetahui masa lalunya dan bertanya kepada orang yang sangat disayangi oleh Reina, yaitu Nenek sendiri. Aku akan menjaga Reina dengan sepenuh kekuatanku, karena aku sendiri telah berjanji padanya," jelas Kei, menatap nenek Reina, suaranya datar.
"Apakah kamu mencintai cucuku? Hahaha," suara nenek Reina sedikit serak, tawanya lembut.
Wajah Kei tiba-tiba berkeringat dingin. "Gak tahu juga, Nek. Bisa kah kembali ke topik?" ujar Kei datar, tatapannya dingin, namun hatinya berdetak kencang.
"Baiklah, baiklah. Maafkan Nenek ya, haha," suara nenek Reina halus.
"Tapi, lebih baik kita ceritakan di luar saja. Biarkan Reina beristirahat di kamarnya," ujar nenek Reina, berjalan keluar dari kamar Reina.
"Baiklah, Nek," jawab Kei, hendak mengikuti nenek Reina. Namun, saat ia melangkah, tangannya dipegang oleh Reina yang masih setengah sadar.
"Ceritakan saja di sini, uhuk... uhuk... Aku ingin mendengarnya juga," suara Reina lemah, tangannya menggenggam tangan Kei, melarang Kei pergi meninggalkannya.
Nenek Reina menoleh ke belakang. Ia tidak punya pilihan lain. Ia mengambil kursi untuk Kei dan meletakkannya di dekat tempat Kei berdiri. "Kei, duduk di sini," kata nenek Reina, menggeser kursi itu.
"Nenek tidak usah repot-repot," ujar Kei, sedikit malu.
Kei pun duduk di kursi yang disediakan oleh neneknya. Nenek Reina duduk di atas kasur, di samping kaki Reina.
Di tengah malam yang sunyi, kamar Reina diselimuti keheningan. Reina, tertidur lelap dengan wajah pucat, menggenggam erat tangan Kei. Nenek Reina, dengan tatapan yang penuh makna, menatap Kei dan berkata, "Kei, apakah kamu sudah siap mendengarnya?"
Kei, dengan semangat yang terpancar dari matanya, menjawab, "Untuk masa lalu Reina, aku akan selalu siap, Nenek."
Nenek Reina mengangguk perlahan, "Tapi sebelum nenek menceritakannya, ada satu fakta yang harus kamu ketahui." Suaranya berbisik, penuh teka-teki.
Kei mengerutkan kening, "Fakta? Apa maksud Nenek?"
Nenek Reina menarik napas dalam-dalam, "Masa lalu Reina dan keluarganya, Kei… terkait erat dengan keluargamu." Tatapannya berubah cemas, seakan-akan ada beban berat yang ingin dia lepaskan.
Kei terkesiap mendengarnya. Wajahnya memucat, matanya membulat tak percaya, dan mulutnya ternganga. Dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Reina, yang tertidur tak berdaya, merasakan ketakutan yang menjalar di tubuhnya. Dia menggenggam tangan Kei lebih erat, seakan-akan ingin mencengkeramnya agar tidak pergi. Pikirannya berputar-putar, bertanya-tanya apakah Kei akan tetap bersamanya setelah mengetahui masa lalu gelap mereka berdua.
"Maksud Nenek?" tanya Kei, suaranya gemetar. Dia seolah-olah masih ragu dengan apa yang baru saja didengarnya.
Nenek Reina menghela napas, "Baiklah, Nenek akan menceritakan masa lalu keluarga kalian berdua." Dia bersiap untuk membuka tabir masa lalu, tabir yang penuh dengan duka dan misteri.
Kei, dengan jantung berdebar kencang, bersiap untuk mendengarkan. Dia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang mengubah segalanya.
"Ketika Reina berusia enam tahun…" Nenek Reina terbatuk kecil, "Dia ingin bersekolah di tempat yang sangat mewah. Tapi, kenyataannya, uang Papa Reina tidak cukup untuk membiayai sekolah itu. Mama Reina, yang curiga kemana uang Papa selama ini, mulai bertengkar hebat dengan Papa. Reina, yang tak berdaya, hanya bisa mengintip mereka dari balik pintu kamarnya. Nenek, yang tak tega melihat Reina, masuk ke kamarnya dan memeluknya." Suaranya bergetar, penuh kesedihan.
"Pertengkaran, kekerasan, dan ketidakharmonisan… Reina melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri." Nenek Reina mengelus kaki Reina dengan lembut, seakan-akan ingin menenangkan cucunya yang tertidur.
"Dan sekarang, kita akan melompat ke pertikaian antara keluarga Reina dan keluargamu, Kei." Nenek Reina menatap Kei dengan tatapan yang penuh arti. Dia siap untuk membuka tabir masa lalu yang kelam, masa lalu yang akan mengungkap rahasia yang tersembunyi selama bertahun-tahun.
Kei terdiam, memasang kupingnya dengan saksama. Dia ingin menyerap setiap kata yang keluar dari mulut nenek Reina, ingin memahami benang merah yang menghubungkan masa lalu keluarganya dengan keluarga Reina.
"Saat itu, Reina baru berumur tiga belas tahun," Nenek Reina memulai lagi, suaranya berbisik pelan, "Papa Reina menceritakan masalah pekerjaannya kepada Mama. Masalahnya adalah, Papa Reina kehilangan pekerjaannya karena tidak ada yang mau meminjamkan truk muatan kepadanya. Haruto, Papa Kei, meminjamkan truk muatannya kepada Papa Reina, berharap Papa Reina bisa mendapatkan uang untuk membiayai sekolah Reina di sekolah mewah itu. Tapi, Papa Reina mabuk saat mengendarai truk itu, Kei. Dia mengalami kecelakaan, membuat truk Ayahmu rusak parah. Ayahmu sangat marah, Kei, sangat marah dengan ulah Papa Reina."
Reina, yang tertidur tak berdaya, berbalik menghadap Kei. Dia merasakan ketakutan yang menjalar di tubuhnya, tetapi dia berusaha tetap tenang. Dia menggenggam tangan Kei lebih erat, mencari ketenangan di tengah badai yang sedang melanda mereka. Kei merasakan genggaman itu, dan dia menoleh ke arah Reina. Dia tersenyum lembut, berusaha menenangkan Reina dengan tatapannya.
"Lanjutkan, Nek," bisik Kei, suaranya datar, tetapi tatapannya tajam, penuh penasaran dan siap menerima kenyataan pahit.
"Ayahmu meminta ganti rugi sebesar tiga puluh juta rupiah untuk memperbaiki truknya," lanjut Nenek Reina, "Tapi, Papa Reina tidak mampu membayarnya. Dia bahkan tidak sanggup membayar cicilan. Dia memilih untuk kabur, mencari pekerjaan baru, entah kemana tujuannya." Nenek Reina terdiam sejenak, seakan-akan terbawa kembali ke masa lalu yang penuh duka.
"Ceritakan lagi, Nek, kelanjutannya…" desak Kei, suaranya bergetar, diiringi kecemasan yang mendalam.
Nenek Reina terbatuk kecil, "Kejadian itu menjadi salah satu penyebab orang tua kamu bercerai, Kei. Setelah kejadian itu, Ayahmu kehilangan pekerjaannya. Dia memilih bekerja bersama teman lamanya, mengangkut barang. Ayahmu bekerja keras mengangkat barang, sementara temannya hanya mengendarai truk. Ayahmu hanya digaji seperempat dari hasil kerja mereka. Ayahmu tidak bisa membiayai keluarganya, Kei, karena dia terlalu hobi memelihara ayam jantan untuk diadu. Dia tidak bisa menyeimbangkan mana yang lebih penting. Dan, Bunda kamu memilih menerima bantuan dari teman masa kecilnya." Nenek Reina menatap Kei dengan tatapan yang penuh makna.
"Ayahmu mendengar gosip dari tetangganya, dan dia langsung berlari ke sini untuk menceritakannya kepada Nenek. Nenek menganggap Ayahmu seperti anak sendiri. Dia orang yang baik, Kei, tapi temperamental. Nenek menyuruhnya untuk tidak salah paham dengan Bunda, tapi dia di kendalikan oleh emosinya. Dia bersiap-siap pergi ke pengadilan agama untuk mengajukan gugatan cerai." Nenek Reina mengenang masa kedekatannya dengan Ayah Kei, dengan sedikit kerinduan.
"Aku sekarang paham, Nek," kata Kei, matanya tertunduk, tertutup oleh bayangan rambutnya. Dia merasakan beban berat yang menindih hatinya, beban yang tak tertahankan.Nenek Reina, dengan tangan yang lembut, memegang pundak Kei. Dia ingin memberikan kekuatan kepada Kei, ingin memberinya semangat untuk menghadapi kenyataan pahit yang baru saja terungkap.
"Saat Ayah dan Bunda kamu bercerai, Ayahmu tinggal bersama Nenekmu, Kei," Nenek Reina melanjutkan kisahnya, "Dan sesekali, Ayahmu melihat Nenek ke rumah Nenek yang ada di sebelah rumah Reina. Dia tidak lupa membelikan Nenek obat-obatan, agar Nenek tetap sehat dan bisa terus menjaga Reina dengan penuh kasih sayang. Lalu, saat Reina ingin didaftarkan ke sekolah mewah, Papa Reina entah berada di mana, seakan-akan tidak peduli dengan Reina. Tapi, Ayahmu, Kei, dia turut prihatin. Dia menitipkan uang kepada Nenek untuk menyekolahkan Reina di sekolah mewah itu." Nenek Reina mengakhiri kisahnya dengan suara yang pelan, penuh dengan kesedihan.
Reina, yang terbaring lemah karena demam, terbangun dari tidurnya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat. Dia merasakan kesedihan yang mendalam, menyadari bahwa masa lalunya yang kelam telah memengaruhi hidup Kei.
Kei, yang mendengar tangisan kecil Reina, tergerak hatinya. Dia duduk di tepi kasur Reina, berusaha menenangkannya. Dia mendudukkan Reina dengan lembut, lalu menyandarkan tubuh Reina ke tubuhnya. Tangan Kei dengan lembut memindahkan kepala Reina ke pundaknya. Kei mengelus lembut rambut Reina, memberikannya ketenangan. Dia menyandarkan kepalanya di atas kepala Reina, seolah-olah ingin menyerap demam yang sedang diderita Reina.
"Reina, kenapa kamu menangis?" tanya Kei dengan suara yang penuh dengan kekhawatiran.
"Kei… shik… shik… kamu tidak akan meninggalkan aku kan? Maafkan keluargaku, Kei," tangis Reina, memohon kepada Kei untuk tetap bersamanya.
Kei memindahkan tangannya ke pundak Reina, mendekatkan tubuh Reina ke tubuhnya. Dia mengelus lembut pundak Reina dan berkata, "Kita sudah berjanji, Reina, untuk menjalani tantangan ini bersama-sama. Iya kan? Sudah, jangan nangis lagi. Kasihan air matamu terbuang sia-sia."
Bukannya semakin tenang, perkataan Kei justru membuat Reina semakin terharu. Air matanya mengalir semakin deras. Tangisannya yang pilu memenuhi ruangan, membuat suasana menjadi semakin sedih. Bulan dan bintang-bintang di langit seolah ikut berduka, menyaksikan kesedihan yang dialami Reina dan Kei.
Reina menangis kencang, memeluk Kei dengan erat. Kepalanya tersandar di dada Kei, tubuhnya semakin lemas.
Kei pun mengusap punggung Reina dengan lembut. Perlahan, air matanya juga keluar, tak tertahankan lagi.
"Tidak bisa berhenti menangis ya," kata Kei, membalas pelukan Reina. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya.
Malam yang tenang, bukan berarti damai. Pelukan mereka berdua mengandung banyak arti. Pelukan yang penuh dengan kesedihan, tetapi juga penuh dengan semangat untuk saling menguatkan. Nenek Reina ikut sedih melihat nasib yang menimpa Kei dan Reina.
Di luar kamar Reina, Mama Ina mengintip dari balik pintu. Air matanya mengalir deras, membasahi wajahnya. Kesedihan Reina dan Kei, terasa menusuk hatinya. Dia merasakan kesedihan mereka berdua, seakan-akan kesedihan itu adalah kesedihannya sendiri.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments