Senja menyapa dengan lembut, langit dihiasi gradasi jingga dan ungu yang memudar perlahan. Debu-debu keemasan dari sinar matahari terbenam menari-nari di udara, seakan menyapa dedaunan kering yang berjatuhan dari pohon-pohon di pinggir jalan. Aroma tanah basah dan bunga melati samar-samar tercium, membaur dengan angin sepoi-sepoi yang menerpa wajah. Reina duduk di belakang Kei, matanya tertuju pada pemandangan yang memikat di depan. Keheningan menyelimuti mereka, hanya deru mesin motor yang menemani perjalanan pulang mereka.
"Sebenarnya, aku meminta kamu menjemput aku ke sekolah karena aku sering diganggu Hiro," ujar Reina, suaranya pelan, sedikit gugup. "Maaf telah menyusahkan kamu, Kei."
Kei tersenyum tipis, "Tidak menyusahkan kok, Reina. Sebenarnya, aku senang bisa menjemput kamu." Ia melirik Reina sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan.
"Tapi, soal Hiro... kenapa kamu tidak menerima dia saja? Maksudku, kenapa kamu tidak menerima perasaannya?" tanya Kei, suaranya terdengar ragu.
Reina mengerutkan kening, "Aku sangat risih sama dia. Dia selalu buka-bukaan menggoda aku di depan semua orang. Dan, aku sangat berterima kasih karena kamu telah bersikap kasar seperti tadi."
"Kenapa kamu berterima kasih? Dan emangnya, aku terlihat kasar sama Hiro?" tanya Kei, sedikit terkejut.
"Sangat kasar. Kamu berani mencekik dia dengan sangat keras. Sebenarnya, aku juga merasa sedikit cemas," ujar Reina, suaranya bergetar.
"Loh, kenapa? Kamu juga peduli sama dia?" tanya Kei, gugup. Ia takut kalau Reina juga punya perasaan kepada Hiro.
"Bukan, aku cemas dengan kamu, Kei," ujar Reina, suaranya sedikit takut.
"Cemas kenapa?" tanya Kei, lega mendengar jawaban Reina.
"Di saat kamu mencekik Hiro, aku sedikit ternostalgia di saat Papa melakukan kekerasan kepada Mama," ujar Reina, suaranya berbisik.
Kei terdiam, ia tidak menyangka bahwa tindakannya tadi membuat Reina teringat masa lalunya. "Kamu tidak kasar sama cewek kan, Kei? Sebenarnya, aku juga takut dengan laki-laki karena sikapnya yang kasar dan menakutkan," ucap Reina, suaranya pelan.
Motor berhenti di lampu merah, dekat persimpangan rumah Reina. Kei menoleh ke arah Reina, "Laki-laki memanglah kasar, tapi aku jika melakukan kekerasan kepada orang lain, aku melihat tangguhnya orang. Apakah dia kuat atau lemah." Suaranya sedikit berat, mencoba untuk menjelaskan.
Lampu merah berganti hijau. Kei menjalankan motornya, "Maksudnya, kalau orang itu sebanding dengan ku, aku akan mengasarinya. Tetapi, kalau aku terusik dengan orang yang terlihat lemah, rapuh, dan tidak sebanding dengan badan ku, aku akan menasehati nya dengan sangat lembut." Ia tersenyum tipis, matanya menatap jalanan di depan.
Reina terdiam, ia mencerna perkataan Kei. "Tapi, kenapa kamu bersikap terlalu kasar dengan Hiro? Perbedaan antara kalian berdua sangatlah jauh. Hiro terlalu lemah di banding dari kamu, seperti yang kamu ucap tadi. Kamu akan bersikap lemah lembut kepada orang yang lemah atau tidak sebanding dengan mu. Tapi, kenapa tidak dengan Hiro?" Reina menjahili Kei, suaranya sedikit menggoda. Ia tahu Kei sangat dingin, tapi hatinya sangat rapuh dan mudah goyah.
Seperti yang diprediksi Reina, wajah Kei memerah, ia terkejut dengan pertanyaan Reina. "Itu... aku cuman tidak suka aja melihat kamu dipegang sangat erat sama Hiro. Wajah mu aja terlihat sangat tidak tenang di saat Hiro memegang tangan mu," ujar Kei, gugup, memaksa untuk tenang.
"Khawatir dengan ku, atau cemburu melihat aku dipegang sama Hiro, hihihi," ejek Reina, suaranya berbisik, diiringi tawa kecil.
Kei memerhatikan jalanan yang sangat sunyi. Ia berencana mengusili Reina dengan mengerem mendadak motornya. Di saat Kei mengerem mendadak, badan Reina tergeser ke depan, yang mengakibatkan Reina memeluk Kei dari belakang.
Reina, yang agak sedikit malu, berusaha menahan dirinya dan mencari celah untuk membuat Kei menjadi panas dan sangat malu. Ia pun sengaja memeluk Kei dengan erat dan mengatakan, "Ternyata kamu tidak kasar ya, tapi kamu seperti orang mesum sekarang, hihihi." Ejekan Reina diiringi tawa kecil.
Kei, yang tadinya ingin menjahili Reina, malah dijahili balik oleh Reina. Wajah Kei semakin memerah, dan badannya tiba-tiba bergetar serentak dengan detak jantungnya.
"He he heiii... jangan memeluk aku seperti itu, dasar mesum!" sorak Kei, grogi, wajahnya mulai memerah seperti ingin meletus.
"Heee.. yang mesum siapa sih, kamu, atau aku? Kei.. Kei.., kamu sangat rapuh sekali," ujar Reina dengan santai.
"Berisik!" sorak Kei, menahan malunya.
Di perjalanan menuju rumah Reina, Reina selalu dapat celah untuk menjahili Kei. Sepertinya, Reina sangat ahli membuat Kei tersipu malu. Di maghrib yang tenang, matahari sudah terbenam. Lampu-lampu jalanan mulai hidup satu persatu. Bintang-bintang perlahan-lahan muncul satu persatu, seakan menanyakan matahari mengalah ke semua benda yang bercahaya untuk melihat kedekatan Kei dan Reina.
Di perjalanan, Kei sudah sampai di komplek rumah Reina. Terapi, seperti nya, Reina ingin membeli sesuatu untuk bisa di minum.
"Kei, kamu masih ingat dengan toko yang mempertemukan kita?" ujar Reina dengan santai, suaranya agak sedikit lambat. Matanya berbinar-binar, seakan ingin melihat reaksi Kei.
"Rencana apa lagi yang ingin di lakukan Reina supaya aku terlihat lemah di hadapan nya" ucap hati Kei agak gelisah, takut di jahili Reina kembali. Wajahnya menegang, tangannya mengepal erat di stang motor.
"Masih. emang nya kenapa?" suara Kei agak sedikit tegang.
"Santai dong. aku udah capek menjahili kamu, aku ingin membeli susu kotak di sana" ujar Reina dengan senang. Senyumnya mengembang, menampakkan gigi putihnya.
"Tapi, apakah kamu terburu buru pulang ke rumah, Kei? " ujar Reina suara nya menjadi pelan. Tatapannya berubah lembut, seakan ingin memahami Kei lebih dalam.
"Tidak sama sekali. aku tidak ingin cepat cepat pulang ke rumah" ujar Kei agak sedikit lega. Napasnya sedikit lega, raut wajahnya sedikit lebih tenang.
"Eh, nanti mama kamu cemas loh" ujar Reina agak sedikit terkejut, seolah Reina juga menghawatirkan Kei. Alisnya terangkat, matanya terbelalak, seakan tak percaya dengan ucapan Kei.
"Aku juga ingin di khawatir kan bunda, tetapi. semenjak ayah dan bunda ku cerai. aku di lepas kan, seolah-olah bunda tidak lagi peduli dengan ku" ujar Kei dengan suara pelan. Matanya berkaca-kaca, raut wajahnya penuh kesedihan.
Setiba di toko, tempat pertemuan kembali Kei dan Reina. Langit senja mulai meredup, warna jingga dan ungu bercampur menjadi satu. Di atas, bintang-bintang mulai berkelap-kelip, seolah menyapa Kei yang tengah larut dalam kesedihan.
"Sebentar. bagai mana kalau kita bicara kan di teras rumah ku. kita akan menikmati pembicaraan kita dengan melihat bulan dan bintang yang sangat terang di hari ini." ujar Reina mengajak Kei untuk membicarakan masalalu Kei di teras rumah nya. Senyumnya mengembang, matanya berbinar-binar, seakan ingin berbagi keindahan malam dengan Kei.
"Baik lah" Kei memberhentikan motor nya di depan toko, dan Reina pun turun dari motor Kei.
"Sebentar ya, aku akan membeli susu dulu ya" ujar Reina terburu buru memasuki toko.
"Iya, Reina. tapi jangan terburu buru begitu. natik jatuh" Sorak pelan Kei kepada Reina yang telah masuk ke dalam toko.
Beberapa menit kemudian. Reina keluar dari toko sambil memegang plastik kresek yang berisi susu kotak coklat pisang dan bubuk cappucino saset. lalu Reina memerhatikan Kei dengan sangat sedih. karena Reina melihat Kei larut dengan kesedihan nya di masalalu, Kei menatap bulan dengan mata yang berkaca kaca. Reina yang tak tahan melihat Kei makin larut dengan kesedihan nya, jalan dengan pelan dan menghampiri Kei.
"Kei, kamu kenapa?." Reina menghawatirkan Kei sambil memegang pundak Kei yang duduk di atas motor sambil melihat ke atas langit langit.
Kei yang kaget, berusaha tenang dan melihat ke arah Reina.
"Wah cepat sekali ya. baik lah, ayok naik, kita akan pulang" ujar Kei menutupi sesuatu yang dia pikiran. Senyumnya dipaksakan, matanya masih berkaca-kaca, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Kei sangat pandai menutupi masalah nya, aku tidak akan menghilang kesempatan untuk mendengar kan masalalu nya" Ucap hati Reina. Matanya berbinar-binar, seakan ingin menggali lebih dalam tentang masa lalu Kei.
"Baiklah, Kei" ujar Reina dengan suara yang agak bersemangat, seolah-olah ingin melihat senyum Kei disaat Reina bersemangat. Senyumnya mengembang, matanya berbinar-binar, ingin melihat Kei tersenyum kembali.
Dan Kei pun tersenyum kepada Reina. Senyumnya sedikit dipaksakan, tetapi cukup untuk membuat Reina merasa lega.
Jam 19.50.
Udara malam terasa dingin menusuk, embun tipis menempel di dedaunan yang tergoyang lembut oleh angin sepoi-sepoi. Daun-daun jati di taman Reina berdesir pelan, seperti bisikan rahasia yang ingin didengar Kei. Ia memarkirkan motornya di depan rumah Reina, rumah bercat putih yang tampak menawan di bawah cahaya bulan yang lembut. Cahaya bulan itu seperti menyelimuti rumah Reina dengan kelembutan, seolah-olah ingin menenangkan hati Kei yang sedang bergelut dengan masa lalu.
Reina, dengan senyum hangat, menyambut Kei di teras. Senyumnya seperti mentari pagi yang menyingkirkan kabut kegelapan di hati Kei.
"Sebentar ya, Kei. Aku akan masuk sebentar," ujar Reina, langkahnya cepat menuju pintu rumah.
Kei hanya tersenyum tipis, matanya menatap langit malam yang bertabur bintang. Bintang-bintang itu seperti berkelap-kelip, seolah-olah ingin menghibur Kei, namun tak mampu meringankan beban berat di dadanya. Bayangan masa lalu yang kelam kembali menghantuinya, seperti hantu yang tak henti-hentinya mengejarnya.
Reina, dari balik jendela, mengamati Kei. Ia merasakan kesedihan yang terpancar dari raut wajah Kei, seperti badai yang sedang menerjang wajahnya. Ia tahu, Kei menyimpan luka mendalam di hatinya, luka yang tak kunjung sembuh.
Beberapa menit kemudian, Reina kembali ke teras, membawa dua cangkir minuman panas. Cangkir cappucino panas diletakkan di samping Kei, sementara Reina duduk di sebelahnya, cangkir coklat pisang panas di tangannya. Uap hangat dari minuman mereka mengepul ke udara, seperti harapan yang ingin mencairkan es yang membeku di hati Kei.
"Terima kasih, Reina," ucap Kei, suaranya berat, matanya masih menatap langit.
"Sama-sama, Kei. Aku tahu, ini pembicaraan yang berat. Aku menambahkan sedikit gula ke dalam cappuccinomu, semoga bisa sedikit meringankan bebanmu," ujar Reina, suaranya lembut dan menenangkan, seperti angin sepoi-sepoi yang menenangkan ombak di lautan.
Kei hanya mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada langit. Ia menyesap cappuccinonya, mencoba menenangkan diri, namun rasa pahit di mulutnya tak mampu meredam rasa pahit di hatinya.
"Tapi, Mama dan Papa-mu mana? Dan Nenek-mu di rumah sekarang?" tanya Kei, suaranya sedikit lebih tenang.
Reina menyesap coklat panasnya, "Mama sedang beristirahat di kamar, Papa lagi kerja. Nenek juga ada di kamar, sedang melipat pakaian."
"Kei, aku sangat khawatir padamu. Aku melihat kamu menyimpan kesedihanmu di toko tadi. Dan kamu berhasil menyembunyikannya di depanku. Sebenarnya, saat aku masuk ke rumah, aku mengintipmu dari jendela. Kamu juga sama saat di depan toko. Kamu menatap langit dengan wajah sedih. Izinkan aku mendengar keluh kesahmu, Kei," pinta Reina, matanya menatap Kei dengan penuh perhatian.
Kei terdiam, matanya masih tertuju pada langit. Ia merasakan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya, seperti air mata yang ingin meletus dari bendungan yang sudah lama menahannya.
"Apakah kamu tidak keberatan, Reina?" tanya Kei, suaranya sedikit gemetar.
"Justru aku sangat senang, kamu bercerita denganku," jawab Reina, suaranya penuh semangat, berusaha menenangkan Kei.
"Baiklah," Kei menarik napas dalam-dalam, "Kembali ke masa kecilku, saat masih duduk di TK, aku sangat dimanja Bunda dan Ayah. Mereka sangat menyayangi aku. Bahkan dulu, sekolah TK-ku merayakan ulang tahunku yang kelima, karena Bunda dan Ayah merencanakan hal sebesar itu untuk membuatku senang. Saat memotong kue ulang tahun, mereka berdua memegang tanganku, menyaksikan aku dengan sorak bahagia, melihat keharmonisan keluarga kami dulu," ujar Kei, suaranya pelan, wajahnya muram. Ia menyesap cappuccinonya, mencoba menenangkan diri, namun rasa pahit di mulutnya tak mampu meredam rasa pahit di hatinya.
"Ternyata, waktu kecil kamu sangat dimanja ya, Kei," ujar Reina, senyumnya mengembang.
"Iya, tapi itu sementara," jawab Kei, matanya kembali menatap langit.
Reina terkejut mendengar kata 'sementara' yang diucapkan Kei.
"Maksudnya sementara?" tanya Reina, suaranya pelan, seakan khawatir mendengar cerita selanjutnya.
"Seiring berjalannya waktu, Ayah pulang satu bulan sekali. Paling lama, Ayah pulang sekali enam bulan karena beratnya pekerjaan. Bunda, aku, dan Havik sangat kesepian saat itu. Keuangan keluarga semakin sedikit. Saat Havik masuk SD, Bunda ingin menyekolahkan Havik satu sekolah denganku. Tapi, kamu kan tahu sendiri, sekolah SD-ku dulu termasuk sekolah swasta yang sangat mahal. Ayah jarang sekali mentransfer uang. Lalu, Bunda terpaksa kerja sampingan sebagai penjahit baju."
"Sesekali pulang, Ayah membawa ayam yang dibelinya dengan uangnya sendiri. Bunda muak dengan hobinya yang sering membeli ayam untuk diadu dengan ayam lain. Bunda mengatakan kepada Ayah, "Ayah, kenapa Ayah membeli ayam lagi, sedangkan kita membutuhkan banyak uang untuk keberlangsungan hidup keluarga kita?" Lalu, Ayah berkata sangat kasar ke Bunda, "Kan kau kerja sampingan, pakai aja uang itu untuk menyekolahkan anak-anak." Bunda yang tidak senang mendengar perkataan Ayah, seakan-akan tidak peduli lagi dengan kami, masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan sangat keras."
"Aku mengerti, Kei. Lanjutkan," ucap Reina, suaranya lembut, hatinya teriris mendengar kisah Kei.
Kei pun melanjutkan ceritanya, namun air matanya perlahan-lahan ingin keluar. Ia terlalu memaksa untuk tidak menangis, namun rasa sakit di hatinya semakin menjadi-jadi. Reina yang melihat wajah Kei, terkejut bukan main.
"Kei, apakah ini air matamu?" batin Reina, ia pun ingin menangis karena tidak tega melihat mata Kei yang berkaca-kaca.
Kei terdiam, matanya kosong menatap langit malam. Bulan purnama bersinar terang, menerangi taman yang sunyi. Daun-daun kering berjatuhan, berdesir pelan ditiup angin malam. Udara dingin menusuk tulang, namun Kei tak merasakannya. Ingatan pahit masa lalu menghantuinya.
“Saat aku berumur sebelas tahun, aku mendapatkan kekerasan dari Bunda dan Ayah,” bisiknya, suaranya serak menahan tangis. Air mata mulai menetes, membasahi pipinya yang pucat.
Reina, yang duduk di sampingnya, merasakan getaran tubuh Kei. Ia merangkulnya erat, mengusap lembut punggungnya.
“Bunda, yang sangat stres mengejar uang masuk dari hasil kerja sampingannya, melampiaskan kekesalannya kepadaku. Sesekali, Bunda memarahi Havik,” Kei melanjutkan, suaranya bergetar. “Aku melindunginya dengan sisa tenagaku, supaya Havik, adikku, tidak mendapatkan kekerasan fisik dari Bunda. Tetapi, hal itu membuat hati Havik hancur. Dia melihatku selalu melindunginya.”
Kei terisak. Bayangan masa lalu berputar di kepalanya. Havik, adik kecilnya yang polos, menatapnya dengan mata penuh ketakutan.
“Dan Ayah... sering melakukan kekerasan kepadaku dan Havik, karena lupa memberi makan ayam peliharaan Ayahku saat Ayah pergi kerja,” Kei terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. “Ayah melampiaskan kemarahannya kepada Havik dengan mengangkat baju Havik dan mengangkat Havik sampai ke langit-langit rumah. Aku yang ingin melindungi Havik, ditendang oleh Ayah sampai terpental.”
Kei terdiam, tubuhnya gemetar. Ingatan tentang kekerasan yang dialaminya begitu nyata.
Reina diam, mendengarkan cerita Kei dengan hati yang teriris. Ia merasakan kepedihan yang terpendam di balik kata-kata Kei.
“Di umurku yang ke-dua belas, Bunda dekat dengan teman laki-lakinya,” Kei melanjutkan, suaranya pelan. “Dia sering kerumahku, membeli perlengkapan rumah, membayar sewa rumah, apapun yang kurang di rumahku dan biaya SPP sekolahku, dia yang bayar. Aku dan Bunda cukup terbantu dengannya. Tetapi, kami berdua tetap mendapatkan kekerasan dari Bunda.”
Kei terdiam, matanya menatap kosong ke depan.
“Sampai-sampai, di suatu hari, tetangga mengadukan Bunda telah membawa laki-laki lain ke rumah kepada Ayah. Yang membuat Ayah marah besar,” Kei berbisik, suaranya bergetar. “Di malam yang tenang, saat itu aku tertidur di sofa, Bunda-ku mencuci baju, dan Ayahku duduk di teras rumah pada saat itu.”
Kei terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Bunda-ku telah selesai mencuci pakaian, lalu pergi ke kamar mengambil handuk dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mandi. Selesai mandi, Bunda masuk ke kamar dan mengunci pintu kamarnya, karena dulu pintu kamar Bunda tidak bisa ditutup dengan rapat, maka nya Bunda mengunci pintu supaya semisal aku bangun, aku tidak melihat Bunda disaat mengganti pakaian.”
Kei terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Beberapa menit kemudian, Ayah masuk ke dalam rumah, dan ingin masuk ke dalam kamar. Dikarenakan pintu kamarnya dikunci dari dalam, Ayah bersorak dengan sangat kencang, yang membuatku terbangun. Tetapi, di saat itu, aku ketakutan dan berpura-pura tidur pada saat itu. Bunda-ku akhirnya membuka kan pintu kamarnya dengan wajah marah dan mengatakan, "Kenapa berteriak di malam-malam hari?" Tapi, disaat itu, Ayah tidak mempedulikan Bunda dan membuka lemarinya. Dan pada saat itu, Ayah mengeluarkan surat cerai dan memberikannya kepada Bunda.”
Kei terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Aku yang mendengar keributan pada saat itu sangat ketakutan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sedengar ku, Ayah mengatakan bahwa dia ingin bercerai dengan Bunda karena Ayah mendengar gosip tetangga bahwa ada laki-laki lain yang sering pergi ke rumah Bunda. Pada saat itu, Ayah mengira Bunda telah berselingkuh. Bunda pun ingin menjelaskan kesalahpahaman itu. Tetapi, Ayah tidak mempedulikan Bunda yang ingin meluruskan kesalahan pahaman tersebut.”
Kei terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Beberapa menit kemudian, Ayah berjalan ke arahku. Perasaan cemas dan takut mengelilingi pikiranku. Lalu, Ayah membangun kanku dan berkata, "Kau ikut dengan Ayah atau Bunda, Kei!" sorak Ayah dengan kencang. Coba kamu bayangkan, di umurku yang masih kecil, dia memaksa aku untuk mengatakan ikut dengan siapa. Hatiku sangat-sangat terluka,” Kei terisak, suaranya bergetar.
Reina memeluk Kei erat, merasakan tubuhnya gemetar. Ia tak tega melihat Kei terpuruk dalam kenangan masa lalu.
“Aku sangat ragu memilih 'ikut siapa', setelah aku pikir-pikir, aku mengatakan kepada Ayah bahwa, "Aku mewakili Havik, akan memilih tinggal bersama Bunda," dengan suara yang gugup,” Kei berbisik, suaranya serak. “Aku memilih tinggal sama Bunda, supaya aku lebih mudah melindungi Havik. Tetapi, Ayah sangat marah dan berjalan keluar rumah sambil mengatakan, "Itu pilihan kau, dan terimalah nasib kau di kedepannya." Aku hanya terduduk bermenung, merenungkan kejadian yang tidak ingin terjadi. Dan Bunda pun memelukku sambil menangis. Aku ga tega melihat air mata Bunda keluar dengan sangat cepat. Aku bodoh, sangat bodoh. Aku tidak bisa mempertahankan mereka berdua tetap tidak cerai. Aku hanya bisa berpura-pura tidur dan mendengar semua kejadian itu dengan sangat cepat,” Kei terisak, matanya berkaca-kaca.
Reina merasakan kepedihan yang terpancar dari mata Kei. Ia tahu, Kei menyimpan luka mendalam yang tak terobati.
“Kei, cukup,” Reina berkata lembut, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak kuat mendengar ceritamu. Aku sangat larut mendengar masa lalumu. Aku akhirnya tahu, kenapa kamu, waktu SD dulu, bersikap sangat dingin. Ternyata, sikap dinginmu itu karena ulah keluargamu. Kamu sering mendapatkan kasih sayang semasa kecil. Lama kelamaan, kasih sayang itu memudar dan bertukar dengan kekerasan keluarga.”
Reina memegang kedua tangan Kei, lalu dengan lembut memindahkannya ke kedua pipinya. Jari-jari Kei yang kasar terasa hangat di kulit pipi Reina yang halus, seperti sentuhan lembut angin musim semi. Kei terdiam, matanya membulat, melihat mata Reina yang sangat bersinar. Reina menatap Kei dengan tatapan penuh kasih sayang, seolah ingin menenangkannya dengan sentuhan lembut itu. Pipi Reina terasa halus dan lembut, seperti sutra yang lembut. Sentuhan itu seakan menenangkan hati Kei yang sedang kalut.
“Akhirnya, kamu mengerti juga, Reina,” Kei berbisik, suaranya serak.
Reina menatap Kei dengan mata penuh kasih sayang, lalu memegang pipi Kei dengan tangan lembut halus nya seperti lembut nya sutra.
“Kei, lihat aku,” Reina berkata lembut, matanya berkaca-kaca. “Aku ada di sini, sebagai teman yang sangat berharga untukmu. Aku akan menerima rasa sakit yang kau alami. Terus berjuang Kei. Aku yakin, kamu adalah sosok laki-laki yang kuat, yang tegar, dan sabar melewati rintangan yang seharusnya tidak kamu lewati. Buat Bunda-mu bangga Kei, supaya hatinya terobati. Dan di saat hati Bunda-mu terobati, kamu akan merasa senang melihat senyuman wajah Bunda-mu yang keluar dari dalam hati. Ayok, kita berjanji, kita sama-sama melewati rintangan busuk yang seharusnya tidak kita lewati. Kita sama-sama yakin, dengan kekuatan kita, kita pasti bisa melewati dunia yang hitam ini, dan mencari cahaya kecil yang ada di dunia yang gelap gulita ini.”
Kei terdiam, matanya berkaca-kaca. Kata-kata Reina bagaikan angin segar yang menerpa jiwanya yang lelah.
Kei melepaskan sentuhan Reina, dan memeluknya erat.
“Makasih Reina, kamu telah berjanji denganku, untuk menjalankan dunia yang pahit ini. Aku akan berjanji, selalu memperlakukanmu dengan sangat baik. Aku tidak akan membiarkan orang-orang menyakiti hatimu yang sangat rapuh itu,” Kei berbisik, suaranya bergetar.
Reina membalas pelukan Kei dengan erat.
“Kamu juga rapuh Kei. Aku akan selalu menjagamu. Aku tidak akan membiarkan dunia ini menghancurkan hatimu. Aku akan menjadi tembok pelindungmu di saat kamu akan dihancurkan,” Reina berkata dengan penuh kasih sayang.
“Jadi kamu ingin berevolusi menjadi tembok ya, hahaha,” Kei tertawa, suaranya bergetar, seolah Kei sudah tenang.
“Ih kamu, masih bisa bercanda di situasi seperti ini,” Reina berkata dengan suara lembut.
Kei dan Reina tertawa bersama, tawa mereka bergema di taman yang sunyi.
Bintang-bintang di langit, bulan purnama, dan bunga-bunga di taman menyaksikan kedekatan mereka. Mereka tak menyadari, Nenek Reina dan Mama nya Reina mengintip mereka dari dalam rumah. Nenek Reina terharu melihat percakapan mereka berdua.
“Maaf Kei, kami berdua lah salah satu faktor penyebab Bunda dan Ayahmu cerai,” bisikan hati Ina, ibu nya Reina, sedari tadi mengintip Kei dan Reina dari jendela rumah.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments