Mentari menyingsing malu-malu di balik lembah, menebarkan semburat jingga lembut yang menari-nari di atas dedaunan hijau. Jam 05.00 pagi. Udara sejuk pagi masih berembun di jendela kamar Reina, kamar mungil yang dihiasi poster band kesukaannya. Reina, dengan rambut acak-acakan, mengganti piyama flanelnya dengan seragam sekolah yang rapi. Senyum tipis mengembang di bibirnya, bayangan wajah Kei, teman masa kecilnya, terlintas di benaknya.
"Hmm… apa ya yang Kei suka?" gumamnya, jari-jari lentiknya merapikan rambutnya yang panjang dan berkilau. Mata merah muda nya yang ceria berbinar-binar. Bukan sekadar menyiapkan sarapan, ini adalah cara Reina untuk mengungkapkan perasaannya, meskipun ia sendiri masih belum sepenuhnya memahaminya.
Ia melangkah keluar kamar, menuju dapur kecil yang sederhana namun hangat. Aroma kopi dari tetangga sebelah menyelinap masuk, bercampur dengan bau kayu manis dari rak bumbu yang tergantung di dinding. Reina mengeluarkan wajan kecil, panci mungilnya berdengung riang ketika ia letakkan di atas kompor gas.
"Ikan goreng cabe hijau, deh!" Ia membuka kulkas, mengambil ikan segar yang masih dingin. Kulkas tua itu, warisan dari neneknya, berdengung pelan, seperti sebuah lagu pengantar tidur. Reina memotong ikan itu dengan hati-hati, setiap gerakannya terkesan lembut dan penuh kasih sayang.
Minyak goreng berdesis di dalam wajan, aroma harumnya memenuhi udara. Reina bernyanyi kecil, suaranya merdu mengalun seperti aliran sungai kecil di pagi hari, suara yang mampu menenangkan jiwa yang gelisah. Suaranya, seindah senyumnya, mampu menghidupkan suasana pagi yang sunyi.
Setelah ikan matang, ia mulai menyiapkan bumbu. Cabe hijau, bawang merah, bawang putih, dan tomat, semuanya ia potong dengan teliti. Aroma tajam cabe bercampur dengan aroma bawang, menciptakan harmoni aroma yang menggugah selera. Blender kecil berdengung, mengolah bumbu-bumbu menjadi pasta yang kental dan harum.
Aroma sedap masakan Reina memenuhi seluruh rumah. Mama Ina, yang baru keluar dari kamarnya, tertegun. Ia mencium aroma yang begitu familiar, aroma yang selalu membuatnya rindu pada masa muda.
"Apa ini… harum sekali…" Mama Ina melangkah ke ruang makan, matanya terbelalak melihat hidangan yang masih mengepulkan uap panas di atas meja. Ia menyolek sedikit bumbu cabe hijau, mencicipinya dengan hati-hati. Ekspresi wajahnya berubah, dari heran menjadi terkejut, kemudian menjadi senyum yang lebar. "Reina… pasti Reina yang memasak ini!"
Reina masuk ke kamar, menyemprotkan parfum kesukaan Kei—parfum yang selalu mengingatkannya pada aroma Kei—lalu kembali ke ruang makan. Ia melihat Mama Ina yang sedang asyik menikmati masakannya.
Reina menyentuh pundak ibunya, "Ma…" suaranya sedikit seram, ingin mengejutkan ibunya.
Mama Ina tersenyum, "Eh, Reina… masakanmu sangat enak!" Ia mengambil sepotong ikan goreng, matanya berbinar.
"Aku senang, Ma," kata Reina, suaranya sedikit pelan, "tapi aku minta maaf, aku hanya menggoreng empat potong ikan, untuk Mama, Nenek, dan…"
Mama Ina memotong pembicaraan Reina, "Untuk Kei, ya? Haha…"
Wajah Reina memerah. "I… iya, Ma…"
"Eh… sudah pacaran, ya?" tanya Mama Ina dengan semangat.
Reina menggeleng, "Tidak…" Jawabannya singkat, tegas, seperti Kei.
Mama Ina tertawa, "Oh, baiklah. Izin Mama makan dulu, ya…"
Reina tersenyum, bahagia melihat ibunya menikmati masakannya. Namun, di balik kebahagiaannya, ada bayangan kelam tentang ayahnya, Danton.
Jam 06.30. Suara dering ponsel Kei memecah kesunyian pagi. Kei, yang sudah siap berangkat sekolah, menerima panggilan dari Reina.
"Ada apa, nelpon pagi-pagi gini?" Suara Kei datar, tenang, namun terdengar sedikit kelembutan di baliknya.
"Kei… mau bareng ke sekolah?" Suara Reina sedikit malu-malu.
"Oh… baiklah. OTW," jawab Kei, lalu mematikan panggilan.
"Eh… langsung dimatiin!!" Reina berteriak kecil, kecewa namun juga geli.
Beberapa menit kemudian, Papa Danton muncul, wajahnya pucat pasi, langkahnya sempoyongan karena mabuk. Ia mencium aroma ikan goreng, matanya berbinar.
"Reina… ada yang bisa Papa makan?" tanyanya, suaranya serak.
Reina, dengan ekspresi jijik yang tergambar jelas di wajahnya, menjawab, "Oh, tidak. Aku baru saja menggoreng empat potong ikan cabe hijau untuk Mama, Nenek, dan Kei. Jadi, kalau mau makan, buat sendiri." Suaranya datar, dingin, meniru nada bicara Kei. Ia melangkah pergi, meninggalkan ayahnya yang mabuk sendirian.
"Huh… padahal kau hidup di bawah duitku…" Papa Danton bergumam, suaranya semakin lemah.
"Bawah duit Papa? Apakah Papa salah mengeja kata-kata?" Reina membalas, suaranya datar, tanpa emosi. "Udah ya, Pa… Kei menungguku di depan sana. Daa…" Ia tersenyum sinis, sebuah senyum yang penuh kebencian dan kekecewaan.
Di depan halaman rumah Reina, Kei menunggu Reina dengan motor Scoopy kesayangannya. rumah itu tampak megah di pagi hari, dikelilingi taman yang asri dan rindang. Suara burung berkicauan, menciptakan simfoni alam yang menenangkan.
"Kei… kamu cepat juga, ya," kata Reina, suaranya riang.
Kei menatap ayahnya Reina yang masih berdiri di dalam rumah, raut wajahnya tak terbaca. "Itu Papa-mu?" Suaranya tenang, namun ada sedikit ketegangan di dalamnya.
"Iya… tapi, emang kenapa?" tanya Reina, penasaran.
Kei mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membuncah. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Tidak… lupakan…" Ia menyalakan motornya, memberikan helm kepada Reina.
Reina tersenyum jahil, "Aku nggak mau naik, kalau kamu nggak memasangkannya…"
Kei tersenyum tipis, mengetahui itu adalah jebakan Reina. Ia memasang helm untuk Reina, lalu… puk! Ia memukul helm itu dengan lembut.
Reina terkejut, "Iakkk… apa sih, Kei?!"
Kei tertawa kecil, menutup mulutnya dengan tangan. Reina ikut tertawa, suara tawanya riang, menghilangkan ketegangan sesaat.
"Ayok, Reina. Nanti terlambat," kata Kei, suaranya terdengar bahagia.
"Baiklah…" Reina naik ke motor, memeluk jaket hitam Kei yang berbau maskulin.
Mereka melaju dengan kecepatan sedang, menuju sekolah. Di sepanjang jalan, Reina menikmati suasana pagi yang indah, dan kehadiran Kei di sampingnya.
Di depan gerbang sekolah, Kei berhenti. Reina turun dari motor.
"Baiklah, Reina. Aku pergi dulu," kata Kei, siap untuk pergi. Namun, Reina memegang lengan jaketnya.
"Ada apa?" tanya Kei, sedikit heran.
Reina tersenyum sedikit gugup, "Itu… aku buat sarapan untukmu. Di makan, ya… hihi…"
Kei terdiam sejenak, mencium aroma ikan goreng cabe hijau yang harum. "Terima kasih, Reina. Aku akan memakannya di jam istirahat pertama." Ia mengusap kepala Reina dengan lembut.
Dari kejauhan, Arisu Lynn, tetangga Kei, mengintip mereka dari balik pohon. Matanya menyipit, melihat kedekatan Kei dan Reina.
"Kalau gitu, aku berangkat ke sekolah, ya. Sampai jumpa, Reina," kata Kei, memakai helmnya.
"Baik, Kei. Hati-hati di jalan…" Reina melambaikan tangan, menatap kepergian Kei dengan senyuman nya yang sangat cerah dan menawan.
Lynn masih mengintip dari balik pohon, mengamati Reina dengan tatapan yang penuh arti, tatapan nya begitu datar dan dingin, bahkan melebihi tatapan dingin Kei
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments