Kei menghela napas, matanya menatap langit senja yang mulai meredup. Warna jingga kemerahan bercampur dengan ungu lembut, perlahan menyelimuti cakrawala. Siluet pepohonan di taman tampak menari-nari di balik bayangan senja, seperti lukisan abstrak yang tercipta oleh alam. "Pertemuan hari itu, membuatku sangat lega. Akhirnya, aku mendapatkan semangat dari Reina. Dan saat itu, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda padanya. Tapi aku tidak tahu, apakah Reina merasakan hal yang sama."
"Tapi fokusku sebenarnya adalah mencari tahu apa masalah sebenarnya dari keluarga ku dan keluarga Reina," lanjutnya, mengerutkan kening. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga melati yang harum, seakan menenangkan hati yang sedang dipenuhi pikiran.
Pintu kamar Kei terbuka, dan Kennya Max, pacar Yuri, masuk dengan senyum lebar. "Hei teman-teman, apa aku terlambat?" Max mengenakan kaos oblong berwarna biru cerah dan celana jeans yang sedikit robek di bagian lutut, gayanya santai dan ceria seperti biasanya.
"Kemana saja kau, gendut?" tanya Naoubi Earl dengan nada bercanda. Naoubi, dengan kaos bergambar band metal kesukaannya dan rambut gondrong yang sedikit berantakan, menunjukkan ekspresi khasnya yang sedikit judes namun ramah.
Max mengangkat kantung plastik berisi makanan. "Ada yang mau?" Aroma ayam goreng dan nasi hangat tercium dari dalam kantung, menggugah selera makan mereka.
"Nanti saja makannya, Max. Kau mau mendengar cerita masa laluku atau tidak?" tanya Kei, menatap Max dengan serius. Kei mengenakan kaos putih polos dan celana bahan berwarna hitam, penampilannya sederhana namun memancarkan aura misterius.
"Iya iya, santai saja," jawab Max sambil duduk di samping Yuri. Yuri, dengan rambut panjang yang diikat rapi dan gaun berwarna pastel, tampak tenang dan anggun.
Kei mengangguk dan melanjutkan kisahnya. "Jadi, aku bertemu Reina di taman...,"
...****************...
"Sampai jumpa, Kei. Ingat, jangan sedih lagi!" Reina melambaikan tangan, matanya berbinar. Senyumnya yang manis seperti gula cair, membuat hati Kei sedikit lebih tenang. Kei, yang baru saja meninggalkan rumah Reina dengan motornya, merasa lega setelah menceritakan masa lalunya. Suasana senja diiringi suara jangkrik yang bernyanyi, membuat suasana terasa damai dan syahdu.
Reina mengambil cangkir kosong di teras dan masuk ke dalam rumah. Teras rumahnya dihiasi tanaman rambat yang menjalar indah, menambah kesan asri dan nyaman. Saat hendak menuju dapur untuk mencuci cangkir, ia mendengar suara neneknya memanggilnya dari dalam kamar.
"Reina, sayang, ayo kemari," bisik neneknya. Suara neneknya yang lembut dan sedikit serak, membuat Reina merasa hangat.
Reina tersentak kaget. "Ih, nenek, bikin Reina kaget saja!" Matanya membulat karena terkejut, pipinya sedikit memerah.
"Maaf ya, sayang," jawab neneknya sambil tersenyum tipis. Neneknya mengenakan baju kurung berwarna ungu muda, rambutnya yang sudah memutih diikat rapi, wajahnya yang keriput terpancar kecantikan yang lembut. "Reina, ayo masuk ke kamar nenek. Ada yang ingin nenek bicarakan."
Reina mengangguk, lalu meletakkan cangkir di wastafel dapur. Dapur rumahnya yang sederhana namun bersih, dihiasi oleh beberapa tanaman hias yang menambah kesan segar. Saat hendak mencuci, matanya tertuju pada bekas bibir Kei di cangkir cappucino-nya. "Lihat itu, garis bibir Kei, indah sekali," gumamnya sambil tersenyum. Ia teringat kembali senyum Kei yang hangat, membuat hatinya berdesir.
Reina mencuci cangkir dengan hati-hati, kemudian menuju kamar neneknya. Kamar neneknya yang sederhana, dihiasi dengan foto-foto keluarga yang terpajang di dinding, menambah kesan hangat dan penuh kenangan.
"Nenek, izin masuk," kata Reina, mengetuk pintu dengan lembut.
"Iya Reina, masuk sayang," jawab neneknya.
Reina masuk dan berjalan cepat ke arah ranjang, penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan neneknya. Ranjang kayu tua yang dihiasi dengan selimut bermotif bunga, tampak nyaman dan empuk.
"Tidak usah terburu-buru, sayang. Sini, duduk di sebelah nenek," kata neneknya sambil menepuk-nepuk kasur.
Reina duduk di samping neneknya. "Apa yang ingin nenek bicarakan, Nek?"
"Begini sayang, tadi nenek mendengar kamu berbicara dengan seseorang di luar rumah," kata neneknya dengan suara lembut. Matanya yang tajam menatap Reina, seakan ingin membaca isi hatinya.
Wajah Reina langsung berubah panik. "Tunggu sebentar, Nek. Apakah nenek melihat semuanya?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Iya, nenek melihat semuanya," jawab neneknya dengan tenang. Senyum tipis terukir di bibirnya, membuat Reina semakin gugup.
"Haa, maafkan aku, Nek. Aku tidak berniat untuk memeluknya, memegang pipinya. Dan saat itu, aku tidak sengaja memegang tangannya dan memindahkannya ke pipiku," Reina menjelaskan dengan gugup. Tangannya yang gemetar, seakan menunjukkan rasa takut dan cemas.
"Tenang sayang, tidak apa-apa. Justru nenek sangat senang melihatnya," kata neneknya sambil memegang pundak Reina. Sentuhan tangan neneknya yang lembut, membuat Reina merasa sedikit tenang. "Jujur, nenek tahu dengan siapa kamu berbicara di luar tadi." Ekspresi neneknya berubah serius.
"Loh, nenek kenal dengan dia?" tanya Reina, penasaran.
"Tidak terlalu, tapi nenek sangat kenal dengan ayahnya," jawab neneknya. "Saat dia menceritakan masa lalunya, nenek merasa sedih mendengarnya." Suaranya sedikit bergetar, menunjukkan kesedihan yang terpendam.
Reina penasaran. "Apakah nenek juga tahu dengan masa lalu Kei?"
"Untuk apa kamu menanyakan itu, sayang? Apakah kamu simpati dengan dia?" tanya neneknya sambil tertawa kecil. Tawa neneknya yang renyah, membuat suasana terasa lebih ringan.
"Sebenarnya iya. Dia sangat membantu ku selama ini, walaupun dia bersikap seperti orang dingin," jawab Reina, menunduk. Pipinya yang memerah, menunjukkan rasa malu dan sedikit gugup.
Nenek Reina bertanya dengan penasaran, "Apa yang dilakukan anak Haruto kepadamu? Biasanya, kamu juga bersikap dingin kepada laki-laki."
"Dia mengajakku pergi keliling kota, memperkenalkan ku dengan restoran mie pedas, dan membawa ku ke taman yang indahnya seperti surga," jawab Reina, matanya berbinar. Ia teringat kembali saat-saat indah yang ia lalui bersama Kei, membuat hatinya berbunga-bunga.
"Wah, pasti kamu merasa senang berada di dekatnya," kata neneknya dengan senang. Senyumnya yang lebar, menunjukkan kebahagiaan melihat cucunya bahagia.
Reina mengangguk. "Eh, tahu ga, Nek? Tadi, kan dia aku suruh untuk menjemputku di sekolah. Waktu aku berjalan keluar gerbang sekolah, ada hama yang mengajakku pulang bersama dia. Aku tidak mau. Dia sangat gila, sampai-sampai dia menggenggam tanganku, memaksa aku untuk menerima ajakannya." Suaranya sedikit meninggi, menunjukkan rasa kesal terhadap Hiro.
"Terus, terus, apa yang terjadi?" tanya neneknya dengan bersemangat.
"Lalu, aku mendorongnya dengan sangat keras. Ternyata, karena aku terlalu marah, aku tidak sengaja mendorong Hiro mengenai tubuh Kei yang sedari tadi berdiri di belakang Hiro," jelas Reina. Matanya berbinar, seakan masih terbayang kejadian itu.
"Iya kah? Apa reaksi Kei saat itu?" tanya neneknya.
"Kei mengatakan bahwa dia tidak suka melihat Hiro memegang tanganku dengan keras. Lalu, Kei mencekiknya, seolah-olah dia tidak mau melihat aku kesakitan. Hiro melepaskan genggamannya dan terduduk dengan tidak berdaya," kata Reina, bangga dengan Kei. Ia teringat kembali tatapan Kei yang tajam dan tegas, membuat hatinya berdebar kencang.
"Tapi, aku berakting kalau dia adalah pacarku, lalu kami berdua berjalan ke arah motor Kei. Teman-teman sekolahku melihat aku dan Kei dengan ekspresi terpukau, seolah-olah mereka tidak percaya melihat aku yang pendiam mendapatkan cowok gagah seperti Kei. Tapi ingat, Nek, ini hanyalah akting supaya Hiro tidak mengganggu ku lagi di sekolah," kata Reina, wajahnya memerah. Ia sedikit malu mengingat aktingnya yang terkesan berlebihan.
"Berarti, kamu sangat senang ya, dekat sama Kei?" tanya neneknya dengan senyum tipis.
"Sangat senang, Nek!" jawab Reina, matanya berbinar. Senyumnya yang manis, membuat neneknya merasa lega.
Ekspresi wajah neneknya berubah panik. "Seperti nya, kamu siap mendengar kan hal ini," katanya dengan wajah pudar. Suaranya terdengar sedikit gemetar, membuat Reina semakin penasaran.
"Maksud Nenek?" tanya Reina, penasaran.
"Penyebab bunda dan ayah Kei bercerai, ada hubungannya dengan keluarga kita," jawab neneknya dengan suara terbata-bata. Wajahnya yang pucat, menunjukkan kesedihan yang mendalam.
Reina tercengang, sangat terkejut mendengar kenyataan itu. "Nenek tidak bercanda kan? Eh, benar kan, Nek?" tanyanya, suaranya bergetar. Tangannya yang gemetar, menunjukkan rasa tidak percaya dan ketakutan.
"Yang dikatakan nenekmu itu benar, Reina," Hasane Ina, mama Reina, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan berkata dengan suara keras. Mama Ina mengenakan baju batik berwarna biru tua, rambutnya yang diikat rapi, wajahnya yang tegas menunjukkan rasa cemas.
Reina terkejut, tapi tetap tidak percaya. "Apa maksud dari perkataan mama dan nenek? Aku tidak mengerti." Suaranya terdengar sedikit meninggi, menunjukkan rasa penasaran dan kekecewaan.
"Maafkan kami, Reina. Tapi kamu tetap harus tahu dengan apa yang terjadi dengan keluarga kita, nak," kata Mama Ina dengan suara pelan. Matanya yang berkaca-kaca, menunjukkan kesedihan yang terpendam.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong katakan kepada ku, Ma? Kenapa ini tiba-tiba terjadi?" tanya Reina panik. Suaranya yang sedikit bergetar, menunjukkan rasa cemas dan ketakutan.
"Seperti nya, tunggu papa pulang saja kalau menanyakan soal ini," jawab Mama Ina dengan suara kecil. Wajahnya yang pucat, menunjukkan rasa takut dan khawatir.
"Hah, tunggu dia pulang? Kenapa harus menunggu papa pulang? Lalu, mengapa mama mengatakannya sekarang? Jangan buat aku cemas, Ma!" sorak Reina marah, matanya berkaca-kaca. Suaranya yang meninggi, menunjukkan rasa kesal dan kecewa.
"Kata kan saja, nak Ina, tidak perlu menunggu papa nya pulang dulu," kata nenek Reina dengan suara kecil. Wajahnya yang keriput, menunjukkan rasa iba dan simpati kepada Reina.
"Baik lah, kalau Reina anak ku yang memaksa," Ina menarik napas dalam-dalam. "Waktu mama di tampar oleh papa, sebelum kamu mulai ujian akhir SD. Kami sebenarnya mempermasalahkan masalah hutang papa. Papa yang lalai di saat bekerja, membuat mobil truk milik ayah Kei rusak parah, dan tidak bisa di pakai lagi. Yang membuat ayah Kei meminta rugi kepada papa sebesar Rp 30.000.000. Ayah Kei menganggur karena mobil truknya rusak, dan itu sebabnya keuangan keluarga Kei menurun, dan memaksa bunda Kei untuk bekerja sebagai penjahit baju. Tapi itu tidak membuahkan hasil, mama Kei terpaksa meminta tolong dengan pria yang diakui teman masa kecilnya untuk membiayai keluarganya. Dan akhirnya, ayah Kei mencap bunda nya telah berselingkuh, dan langsung cerai." Suaranya yang bergetar, menunjukkan rasa sedih dan penyesalan.
"Ha! Rp 30.000.000? Mama tidak ngarang cerita kan?" Reina tidak percaya dan berbicara dengan nada tinggi. Matanya yang membulat, menunjukkan rasa tidak percaya dan kekecewaan.
"Mama tidak bohong, nak. Karena itu lah kami selalu bertengkar. Papa kamu tidak mau membayar hutang ayah Kei. Bahkan dia sekarang mati-matian mencari pekerjaan baru untuk mementingkan dirinya sendiri," kata Ina gugup. Wajahnya yang pucat, menunjukkan rasa takut dan khawatir.
"Tapi, untuk apa dan kepentingan apa, Ma? Kemana saja uang pencarian dia selama ini? Katakan, Ma-," Reina yang histeris, dihentikan oleh Mama Ina. Mama Ina memegang kedua pundak Reina dan berkata, "Sudah cukup, Reina. Tidak seharusnya kamu tahu dengan permasalahan ini. Mama tidak mau melihat kamu hancur setelah mendengar semuanya. Kamu masih kecil, Reina. Jangan membuat mentalmu goyah karena hal itu!" Suaranya yang tegas, menunjukkan rasa khawatir dan protektif terhadap Reina.
"Mama...," air mata Reina mengalir di wajahnya. Pipinya yang basah, menunjukkan rasa sedih dan kekecewaan.
Mama Ina memeluk Reina, tidak tega melihatnya menangis. "Maafkan mama telah jahat selama ini dengan mu, nak. Mama tidak pernah memerhatikan kamu selama ini. Mama tidak bisa menjaga mama yang baik buat kamu, nak. Tolong jangan terus memikirkan ini ya, Reina." Suaranya yang bergetar, menunjukkan rasa penyesalan dan kasih sayang yang mendalam.
"Mama, jangan menangis. Aku mohon, hatiku makin goyah di saat mendengar mama menangis di hadapanku," kata Reina, membalas pelukan Mama Ina. Suaranya yang serak, menunjukkan rasa sedih dan iba.
Nenek Reina, yang sedari tadi melihat keharuan itu, merasa lega. Ia berpikir kalau suatu hari nanti, Mama Ina dan Reina pasti akan sangat dekat. Senyum tipis terukir di wajahnya, menunjukkan harapan dan optimisme.
Mama Ina dan Reina melepaskan pelukannya.
"Tapi, aku tetap bisa kan berteman dengan Kei? Aku tidak mau berpisah dengannya. Dia adalah teman yang paling berharga bagiku saat ini. Mohon, jangan pisahkan kami, Ma, Nek," kata Reina, suaranya serak. Matanya yang berkaca-kaca, menunjukkan rasa takut dan kekecewaan.
"Justru kami mengatakan hal itu supaya kamu tidak akan pisah dengan Kei. Nenek dan mama sangat senang melihat kalian berdua sangat dekat. Dan mama juga melihat kalian saling menyemangati satu sama lain saat berbincang di luar rumah barusan," kata Mama Ina bahagia. Senyumnya yang lebar, menunjukkan rasa senang dan bangga.
"Tapi, yang harus kamu takuti sekarang adalah papa mu sendiri," kata Mama Ina serius. Wajahnya yang tegas, menunjukkan rasa khawatir dan ketakutan.
"Apa? Kenapa, Ma?" tanya Reina terkejut. Matanya yang membulat, menunjukkan rasa penasaran dan kekecewaan.
"Papa mu pasti akan memisahkan kalian berdua. Dan itulah maksud mama memberi tahu mu semua permasalahan keluarga kita dan keluarga Kei," jelas Mama Ina. Suaranya yang tegas, menunjukkan rasa khawatir dan protektif terhadap Reina.
"Lalu, bagaimana dengan ayah Kei?" tanya Reina serius. Matanya yang tajam, menunjukkan rasa penasaran dan kekecewaan.
Nenek Reina langsung melihat ke arah Reina dan berkata, "Jangan takut dengan ayah Kei. Dia sangat baik. Sebenarnya, ayah Kei lah yang telah membiayai kamu untuk terus bersekolah di sekolah Himania." Senyumnya yang lembut, menunjukkan rasa sayang dan perhatian.
"Tapi, untuk apa ayah Kei melakukan itu? Kan ayah Kei dan papa sedang tidak baik-baik saja?" tanya Reina terkejut. Matanya yang membulat, menunjukkan rasa penasaran dan kekecewaan.
"Ayah Kei tidak mau melihat kamu tidak bersekolah karena masalah hutang ini. Dia khawatir dengan kamu, nak. Bahkan ayah Kei sendiri yang sangat rutin membelikan obat-obatan nenek mu," jelas Mama Ina. Suaranya yang lembut, menunjukkan rasa sayang dan perhatian.
Reina senang mendengarnya. "Sebagai gantinya, jaga lah Kei dengan sangat baik, Reina. Mama tahu, sikap Kei sebenarnya tidak dingin. Karakternya berubah karena permasalahan keluarganya. Kedua orang tuanya terlalu terbuka bertengkar di hadapan Kei, yang membuat hati Kei semakin rapuh dan tidak percaya lagi dengan kasih sayang." Suaranya yang lembut, menunjukkan rasa sayang dan perhatian.
"Baik lah, Ma. Aku akan menjaga Kei dengan sepenuh jiwa ku. Dan bila bertemu dengan ayahnya, aku akan berterima kasih kepada nya," kata Reina. Matanya yang berbinar, menunjukkan rasa sayang dan perhatian.
"Tapi, apakah Kei tahu dengan semua ini, Ma?" tanya Reina serius. Matanya yang tajam, menunjukkan rasa penasaran dan kekecewaan.
"Mama rasa tidak. Seperti yang mama dengar, saat kalian berdua berbicara di luar rumah, Kei hanya membicarakan setengah dari permasalahan keluarganya kepada mu," jawab Mama Ina. Wajahnya yang serius, menunjukkan rasa khawatir dan protektif terhadap Reina.
"Jangan beritahu Kei ya. Biar saja dia tahu sendiri. Karena mama yakin, pasti dia akan sadar dengan sesuatu," kata Mama Ina sambil memegang pundak Reina. Sentuhan tangannya yang lembut, menunjukkan rasa sayang dan perhatian.
"Baik lah, Ma," jawab Reina lega. Senyum tipis terukir di bibirnya, menunjukkan rasa lega dan bahagia.
Selasa, 12 Juni 2019.
Matahari bersinar cerah di sore hari. Sinar matahari yang hangat, menyinari jalanan yang ramai dengan aktivitas. Udara sejuk berhembus lembut, membawa aroma bunga-bunga yang sedang mekar. Bunga-bunga berwarna-warni, bermekaran dengan indah di taman-taman kota, seolah ingin menghiasi suasana sore yang indah.
"Semoga aku tidak terlambat menjemput Reina," gumam Kei sambil mengendarai motornya dengan cepat. Motor sport berwarna hitam mengkilat, melaju dengan kencang di jalanan yang mulus. Kei mengenakan jaket kulit berwarna hitam, helm yang menutupi kepalanya, dan kacamata hitam yang membuat penampilannya semakin keren.
"Tapi aneh sekali, hari ini Reina tidak mengirimkan pesan kepadaku. Mungkin paket kuotanya habis kali." Kei sedikit cemas, karena biasanya Reina selalu mengirimkan pesan kepadanya.
Di tempat lain, Reina berdiri di depan gerbang sekolah. Ia menghirup udara segar, menikmati suasana sore yang menenangkan.
"Haaa.. udara nya sangat sejuk ya hari ini," gumamnya, matanya tertuju pada jalanan, mencari taksi yang lewat.
Di balik pos satpam, Hiro bersembunyi, matanya tak berkedip menatap Reina.
"Aku akan menunggu Kei menjemput Reina. Aku akan berbicara dengan Kei," gumamnya, raut wajahnya penuh tekad.
Lynn, dengan langkah tenang, mendekati Reina. Sentuhan dinginnya terasa saat ia menyentuh pundak Reina.
"Hei Reina.." sapa Lynn, suaranya dingin seperti angin malam.
Reina menoleh, tatapannya bertemu dengan tatapan dingin Lynn.
"Ha.. halo Lynn," jawab Reina, suaranya sedikit gemetar.
"Dimana Kei? Apakah dia tidak menjemputmu sekarang?" tanya Lynn, senyum tipis terukir di bibirnya.
Reina terkejut. Lynn tahu nama Kei? Padahal, Reina belum pernah menyebutkan nama Kei kepada Lynn.
"Bagaimana kamu bisa tahu namanya?" tanya Reina, suaranya sedikit gemetar. Ia menatap Lynn, berusaha membaca raut wajahnya yang terkesan suram.
"Dia adalah tetangga ku," jawab Lynn singkat.
"Wah, kalian bertetangga ya? Aku baru tahu. Maaf ya," ucap Reina, rasa takut mulai merayap di hatinya.
Lynn hanya menjawab dengan anggukan singkat. Tatapannya semakin tajam, membuat Reina semakin tidak nyaman.
Dari kejauhan, Lynn melihat Kei mendekat dengan motor sportnya.
"Itu Kei," ucap Lynn, menunjuk ke arah belakang Reina.
Reina menoleh, dan benar saja. Kei sudah sampai di depan gerbang sekolah.
"Haaa.. kenapa dia menjemputku? Padahal aku tidak menyuruhnya menjemputku," batin Reina, bingung.
Kei menghentikan motornya, membuka helm, dan berkata, "Maaf Reina. Aku agak telat." Suaranya berat, namun ada nada lembut yang tersirat.
"Apa, apa, apaan ini? Dua orang dingin berada di dekatku. Pantas saja hari ini terasa sangat sejuk," batin Reina, pikirannya melayang, tak mendengar ucapan Kei.
"Hei, kenapa melamun?" tanya Kei, suaranya lembut. Ia turun dari motor dan merapikan rambut Reina.
"Tapi, tapi, aku tidak menyuruhmu untuk menjemputku," ujar Reina, sedikit gugup karena sentuhan lembut Kei di rambutnya.
"Kenapa ya? Aku juga tidak tahu," jawab Kei, suaranya lembut, namun wajahnya tetap datar.
Kei selesai merapikan rambut Reina, lalu mengambil helm dan memasangkannya dengan lembut. Aroma parfum Kei tercium samar, membuat hati Reina bergetar.
Reina menatap mata Kei, tatapannya tajam dan intens. Kei, yang selama ini menjaga image dinginnya, tidak tahan melihat tatapan Reina dan wajahnya yang memerah.
Ia menutup visor helm Reina dengan cepat, membuat Reina terkejut dan kesal.
"Haa, tiba-tiba banget deh," ujar Reina, kaget.
Lynn mulai berbicara dengan Kei, "Hei Kei," sapa Lynn, suaranya dingin.
Kei menoleh, tatapan dinginnya bertemu dengan tatapan Lynn. "Hai, kau pasti Lynn, tetangga ku."
"Kau benar," jawab Lynn singkat.
"Apa, apaan juga kali ini? Sesama orang dingin berbicara. Kenapa aku berada di antara pembicaraan mereka berdua?" batin Reina, wajahnya muram.
Tiba-tiba, Hiro berlari ke arah mereka, berteriak memanggil nama Kei.
"Kei, tunggu aku! Aku ingin berbicara denganmu!" sorak Hiro, nafasnya tersengal-sengal.
"Orang aneh itu," ujar Lynn, Reina, dan Kei serentak.
Hiro berhenti di depan mereka, tubuhnya merunduk, nafasnya masih tersengal-sengal.
"Kenapa lagi?" tanya Kei, menatap Hiro dengan tatapan dingin.
"Aku minta maaf atas tindakan ku yang membuat Reina, pacarmu risih," ucap Hiro, nafasnya masih tersengal-sengal.
"Apa? Dia mengira kalau kita pacaran!" batin Reina, wajahnya memerah.
"Baiklah, kau telah meminta maaf kepada ku," ujar Kei, suaranya datar. Reina mendengar ucapan Kei, seolah-olah mereka memang berpacaran. "Malah diiyain sama bocah kulkas dua pintu ini!" batin Reina, kesal.
"Sebagai gantinya, aku akan menjaga Reina, supaya tidak diganggu oleh laki-laki lain, selagi kamu masih belum menjemput Reina," ujar Hiro, suaranya penuh tekad.
"Kau tidak perlu menjaga dia. Aku percaya dengannya. Kalau diganggu pun, hatinya pasti tidak berpaling dariku," ujar Kei, menunjukkan sisi romantisnya.
"Apa! Sejak kapan dia bisa berbicara seperti itu!" Reina kaget, mendengar Kei berbicara seperti buaya darat.
"Dan kau tidak harus merasa bersalah. Wajar saja laki-laki bersikap seperti itu kepada perempuan yang dicintainya. Dan kau juga belum tahu bahwa Reina sudah memiliki pacar," ujar Kei, suaranya datar dan sedikit berat.
Lynn berbisik kepada Reina, "Reina, kenapa aku jijik mendengar perkataan Kei?"
"Bagaimana aku tahu!" bisik Reina, wajahnya memerah.
Reina tidak tahan lagi. Ia memanggil Kei, "Kei, aku kepanasan. Gimana kalau kita beli es krim?" Reina meminta Kei pergi membeli es krim, padahal cuaca saat itu cukup dingin.
"Baiklah," ucap Kei, melihat ke arah Reina. Ia menoleh ke arah Hiro dan Lynn. "Aku pergi duluan. Sampai bertemu di kemudian hari," ucap Kei sambil berjalan ke arah motornya.
Kei dan Reina pergi, meninggalkan Hiro dan Lynn berdua.
"Kau lihat sendiri. Jangan berharap lagi," ujar Lynn dengan dingin kepada Hiro.
"Ba~baik, Lynn," jawab Hiro, gugup.
Di perjalanan, Kei mengendarai motor dengan lambat, menikmati udara sore yang sejuk. Reina, yang duduk di belakang Kei, tidak menikmati pemandangan sore yang indah. Kei membelikan Reina es krim. Sebenarnya Reina ingin menolak, tapi ia teringat kembali dengan perkataan Kei, "Bagaimana kita makan es krim?" Ia pun terpaksa memakan es krim di cuaca yang dingin.
"Bagaimana, Reina? Bagus kan aktingku?" tanya Kei, fokus pada jalanan.
"Sangat bagus. Tapi, kenapa kamu mengatakannya dengan sangat baik, tanpa grogi sedikit pun?" tanya Reina, jantungnya berdebar kencang.
"Kenapa ya? Sebenarnya aku juga tidak tahu, mengapa aku sangat lancar berbicara bahwa kamu adalah pacarku," ujar Kei, sambil berpikir.
Reina tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya dingin karena memakan es krim di cuaca yang dingin.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments