Tahun 2025.
Cahaya pagi menerobos jendela kamar Kei, menerangi ruangan sederhana yang dihiasi poster band rock dan gitar akustik bersandar di sudut. Kei, dengan tatapan dingin namun penuh kelembutan, bercerita tentang masa lalunya enam tahun silam. Suaranya datar, namun ada getaran emosional yang tak tertangkap mata.
"Saat itu, aku tak tahu di mana Mama Reina dan Bunda-ku berada. Tapi, aku tak peduli. Aku hanya ingin memastikan Reina baik-baik saja. Aku ingin dia merasakan kehangatan, meskipun hanya melalui semangkuk sup," kata Kei, suaranya bergetar sedikit, seakan menahan beban yang tak terucapkan. Kei mengusap wajahnya dengan telapak tangan, matanya terpejam sejenak, seakan mengingat kembali rasa sakit yang terpendam.
Lynn, yang duduk di sofa, masih dengan aura dinginnya, bertanya, "Kei, di mana toilet?" Nada bicaranya datar, seperti es yang tak tergoyahkan.
Sunsan Ryu, pacar Zerav, langsung menyahut dengan semangat, "Aku tahu, dan aku juga mau ke toilet. Ayo pergi bareng!" Ajakan nya dengan matanya yang berbinar.
Lynn menjawab singkat, "Terserah," lalu berdiri dan berjalan keluar. Aura dinginnya menyelimuti ruangan, seperti es yang tak tergoyahkan.
Ryu langsung mengejar Lynn, "Tunggu, Lynn. Jangan salah masuk ruangan..." Rasa khawatir terpancar dari suaranya.
Zerav, yang penasaran, berkata, "Kei, lanjutkan saja cerita masa lalumu. Aku ingin tahu." Tatapannya penuh rasa ingin tahu, yang membuat Kei merasa sedikit tidak nyaman.
"Baiklah, kalau begitu, akan ku lanjutkan," jawab Kei. Dia kembali mengingat masa-masa indah bersama Hasane Reina pada tahun 2019. Ingatan itu membangkitkan perasaan nostalgia dan sedikit kerinduan.
Flashback ke tahun 2019.
Udara pagi terasa sejuk dan segar, embun masih menempel di dedaunan. Kei berjalan menuju kamar Reina, membawa dua piring berisi sup. Rumah Reina, yang sederhana namun penuh dengan keceriaan, tampak sepi. Dia berjalan dengan santai, sambil mengawasi sekitar. Sejak keluar dari kamar Reina, dia tidak melihat Mama Ina dan Bunda Ratih. Kecemasan mulai merayap di hatinya, namun dia berusaha menepisnya.
Sampai di kamar Reina, Reina menyambutnya dengan mata berbinar, "Ayo, Kei... Aku tidak sabar mencoba sup buatanmu!" Senyumnya yang manis membuat hati Kei sedikit hangat.
"Sabar," kata Kei sambil duduk di hadapan Reina. Mereka berdua duduk di bawah kasur, yang dihiasi dengan selimut bermotif bunga-bunga. "Ini piringmu," Kei meletakkan piring di depan Reina. "Reina, salin saja supnya sendiri."
Reina bertanya dengan lembut, "Kenapa piringnya tidak satu berdua saja?" Tatapannya penuh harap, seakan ingin berbagi momen intim dengan Kei.
Kei menjawab dengan datar, "Biar apa seperti itu?" Dia berusaha bersikap dingin, namun ada sedikit rasa canggung yang terpancar dari suaranya.
"Ya... bukan apa-apa sih. Tapi, kan lebih enak kalau makan dengan menggunakan piring satu berdua orang," jawab Reina dengan lembut. Keinginannya untuk berbagi momen intim dengan Kei terpancar dari matanya yang berbinar.
"Kalau itu yang kamu inginkan, baiklah," kata Kei. Dia menggeser piring miliknya menjauh, lalu menggeser piring milik Reina ke tengah-tengah, sehingga mereka bisa makan bersama. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan sikap dinginnya.
"Nah gitu dong... Baiklah, akan aku salin supnya," kata Reina. Dia mengambil plastik berisi sup dan menuangkannya ke piring. Aroma sup yang menggoda membuat hidung Reina, yang sedikit tersumbat, dapat mencium aromanya dengan baik. Senyumnya merekah, menunjukkan rasa syukur dan kebahagiaan.
Sepuluh menit kemudian, Reina terduduk lemas karena kenyang.
"Bagaimana suapan terakhirnya?" tanya Kei, ingin tahu apakah Reina benar-benar menikmati sup buatannya dan Bunda Ratih. Dia berusaha menyembunyikan rasa cemas dan ingin tahu yang menggerogoti hatinya.
"Jangan ditanyakan lagi. Supnya sangat... sangat... sangat... enak," jawab Reina dengan semangat. Tatapannya penuh syukur dan kebahagiaan, yang membuat hati Kei sedikit lega.
"Aku senang mendengarnya," kata Kei dengan senyum kecil. Dia berusaha menyembunyikan rasa lega dan sedikit kekecewaan yang terpancar dari matanya.
Mereka berdua berdiri. Kei mengambil piring kotor dan berjalan keluar kamar, diikuti oleh Reina yang telah menyiapkan handuk.
"Loh, kamu ngapain ikut?" tanya Kei, sedikit bingung. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan sikap dinginnya.
"Aku mau mandi," jawab Reina singkat. Tatapannya kosong, seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Oh... baiklah," jawab Kei pelan. Dia berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya dengan sikap dinginnya.
"Dan jangan pulang dulu ya," kata Reina sambil berbelok menuju kamar mandi. Tatapannya penuh harap, seakan ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Kei.
"Baiklah, terserah," jawab Kei sambil berjalan ke arah dapur Reina. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan sikap dinginnya.
Lima belas menit kemudian, di dalam kamar mandi Reina, Reina sudah siap mandi dan memakai handuk. Dia menatap ke arah cermin kaca. "Bagaimana aku menyuruh Kei untuk menyisiri rambutku?" pikirnya. Dia merasakan sedikit rasa malu dan gugup.
Dia membuka pintu kamar mandi perlahan dan menengok ke arah sekitar. "Tidak ada Kei di sekitar sini. Baiklah, aku akan keluar," kata Reina sambil melangkah keluar dari kamar mandi dan berjalan perlahan menuju kamarnya. Dia berusaha menyembunyikan rasa gugupnya dengan sikap tenang.
"Sepertinya Kei berada di ruang tamu," pikirnya. "Baiklah, aku akan cepat siap-siap dan meminta Kei untuk menyisiri rambut panjangku ini," pikir Reina sambil tersenyum kecil. Dia merasakan sedikit rasa gugup dan harapan.
Di luar rumah Reina.
Kei duduk sambil menikmati udara segar di siang hari, cuaca nya sangat terang. hingga dedaunan yang di basahi oleh embun, telah Kering karana terik nya matahari. Kei bermenung, memikirkan tentang pergi pesta malam bersama Reina mengenakan gaun indah yang dilihat kan nya barusan.
"Kei... hei.. Kei" bisik Reina dari dalam kamar, memanggil Kei lewat jendela.
Kei yang melamun, terkaget di saat mendengar suara bisikan yang memanggil namanya, seperti hembusan angin yang terdengar lembut di telinga.
Reina yang melihat Kei kaget dan kebingungan saat mencari sumber suara tersebut, memanggil nya, "Hei.. lihat ke jendela kamar ku.. " bisik Reina dari balik jendela kamar nya.
Kei pun menoleh ke belakang, "Oh, kau rupanya" ujar datar Kei, "Kenapa bisik bisik seperti itu, tanpa memanggil nama ku? " tanya Kei dengan suara datar. tatapan nya begitu dingin, namun sedikit kesal.
"Ya maaf hehe.. " ujar Reina, sedikit senyum, "Bisakah kamu membantu ku? " ujar Reina meminta tolong ke pada Kei.
"Bantu apa? " jawab singkat Kei.
"Masuk dulu ke kamar ku.. " ujar lambat Reina, melambai lambai kan tangan nya memanggil Kei.
"Baik lah. " Kei pun berdiri. lalu berjalan masuk ke dalam rumah Reina.
Kei melangkah masuk ke dalam rumah Reina, matanya menjelajahi ruangan tamu yang sederhana namun hangat. Aroma sup hangat masih tercium samar, mengingatkannya pada momen makan siang yang baru saja berlalu. Tapi Mama Ina dan nenek Yomi tak terlihat. Kecemasan yang tak terucapkan mulai merayap di hatinya, tapi dia berusaha menepisnya.
Langkahnya terhenti di ambang pintu kamar Reina. Pintu kamar itu terbuka sedikit, menawarkan sekilas pandang ke dalam. Reina duduk di depan cermin, rambut panjangnya yang berwarna merah kusut, membuat wajahnya yang biasanya ceria tampak sedikit muram.
Kei masuk perlahan, "Ada apa?" Suaranya datar, seperti biasanya.
Reina menoleh, matanya berbinar sedikit jahil saat melihat Kei. "Eh Kei, kalau ga keberatan... bisa kah kamu menyisir rambut ku? Rambut ku sangat panjang, jadi aku sangat kesusahan menyisir nya. Lagipula, kamu kan jago ngurusin rambut, kan?" Suaranya sedikit mengejek, namun ada nada manja yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Kei berusaha bersikap dingin, tapi rasa gugupnya tak dapat disembunyikan. Dia berjalan mendekat, berdiri di belakang Reina. "Sisirnya mana?" Suaranya datar, namun matanya tak lepas dari rambut Reina yang kusut.
Reina meraih sisir kayu berwarna cokelat tua yang terletak di meja rias. "Ini," jawabnya sambil menyerahkan sisir itu pada Kei. "Aku sudah mencoba menyisirnya sendiri, tapi tetap saja kusut. Kayaknya kamu bisa ngurusin rambut cewek, deh."
Kei menerima sisir itu, jari-jarinya sedikit gemetar saat menyentuh sisir kayu itu. "Biarkan aku," katanya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya. Dia mulai menyisir rambut Reina dengan hati-hati, jari-jarinya bergerak dengan lembut, seakan takut menyakiti rambut Reina yang lembut.
"Kei, kamu selalu bisa membuatku tenang," perkataan hati Reina, "Rambutku selalu kusut, tapi kamu selalu bisa menjinakkannya. Kamu memang jago ngurusin rambut. Mungkin kamu harus buka salon, deh." Reina terkekeh pelan, "Salon 'Kei's Hair Solutions'!"
Kei terdiam, jari-jarinya bergerak lebih lembut, menelusuri rambut Reina yang lembut dan halus. "Hm," gumamnya, "Boleh juga." Namun, suaranya sedikit lebih lembut, menunjukkan Bahwa dia sebenarnya memperhatikan kata-kata Reina.
Setelah selesai menyisir rambut Reina, Kei sedikit terkejut. Rambut Reina yang awalnya kusut kini terurai rapi, menunjukkan warna hitam dengan ujung rambut berwarna merah yang berkilauan. "Sudah," katanya, suaranya masih datar, tapi ada sedikit kekaguman yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Reina berdiri dan berbalik, menatap cermin. "Wah, rambutku jadi cantik! Terima kasih, Kei!" Senyumnya merekah, menunjukkan keceriaan yang tak tertahankan. "Kamu memang jago ngurusin rambut, kayaknya kamu harus buka salon beneran, deh."
Kei hanya mengangguk, mencoba untuk bersikap dingin, tapi hatinya sedikit berdesir. "Hm," gumamnya, "Kau terlalu mudah terkesan."
Mentari siang menyorot tajam, membias di kaca spion motor sport Kei. Dia melirik sekilas ke belakang, melihat Reina yang masih asyik berkaca, mengagumi rambutnya yang baru saja disisir rapi. Senyum tipis terukir di bibir Kei, "Sepertinya dia suka," gumamnya dalam hati.
"Reina, ayo berangkat." Kei melambaikan tangan, suaranya datar, tanpa sedikitpun nada gembira.
Reina langsung menutup cermin kecilnya, matanya berbinar, "Ayo!" Suaranya penuh semangat, kontras dengan nada datar Kei.
Reina menaiki motor, namun tak mengenakan helm. Kei mengerutkan kening, "Aku tidak mau jalan kalau kamu nggak pakai helmnya." Suaranya tetap datar, tatapannya lurus ke depan, "Helmnya mana?"
Reina merengek, "Hee... nanti rambutku jadi rusak." Suaranya lembut, sedikit manja.
"Kalau nggak pakai helm, nanti rambutmu bisa tambah kusut, Reina." Kei tetap bersikeras, "Jangan merengek, cepat pakai helm ini, sekarang." Dia menyerahkan helm berwarna pink ke Reina.
"Iss.. iya iya.." Reina menerima helm dengan sedikit kesal, wajahnya cemberut.
"Jangan mengeluarkan raut wajah seperti itu, wajahmu keliatan dari kaca spionku." Kei menoleh sekilas ke spion, suaranya datar, tanpa sedikitpun emosi.
"Ih.. apa sih kamu, gunanya spion kan untuk melihat aku, kamu tertarik ya dengan wajah imutku, hihi." Reina mengusik Kei, suaranya merayu, sedikit berbisik.
Kei berusaha tenang, "Bodo, bodo amat." Suaranya tetap tenang, meski Reina menggodanya.
"Ihh.. sekali saja nggak dingin napa." Reina merengek, "Yaudah ayo ke mall, Kei." Suaranya sedikit bersemangat, mendorong Kei untuk segera berangkat.
Tanpa berkata apa-apa, Kei menjalankan motornya dengan perlahan. Udara siang hari berhembus lembut, membawa aroma bunga-bunga kota yang semerbak. Pemandangan perkotaan yang ramai dan penuh hiasan, terhampar di depan mata mereka.
Lampu merah. Kei dan Reina hampir sampai di mall yang direkomendasikan Reina untuk membeli jas.
"Kei, udaranya sangat sejuk ya.." Reina berseru, suaranya penuh semangat.
"Iya.. tapi cuacanya agak panas." Kei menjawab singkat, matanya tertuju pada lampu lalu lintas.
"Humm, bagi aku nggak panas, mungkin karena kamu memakai jaket hitam kali." Reina tersenyum, suaranya lembut, "Nanti sesampainya di mall, buka lah jaket itu ya, Kei."
Kei mengangguk, tatapannya lurus ke depan. Dia ingin melihat Reina melalui spion, tapi ternyata Reina sudah lebih dulu melihat ke arah spion, menunggu Kei melihatnya.
"Ketahuan banget pengen lihat wajahku, emang nya aku secantik itu, hihi, udah lah Kei, bilang saja kalau aku ini sangat cantik dan dapat membuat hatimu meleleh." Reina tertawa kecil, suaranya lembut, sedikit berbisik.
Kei terkejut, "Kalau untuk membuat hatiku meleleh, itu membutuhkan waktu yang lama, tidak semudah itu nona cantik." Kei menjawab santai, kemudian menjalankan motornya karena lampu telah berganti hijau.
Reina sedikit tersipu mendengar ucapan Kei, "Aku dibilang 'nona cantik' oleh Kei, tenang Reina, masak cuman kata-kata bodoh itu membuat aku berdebar." Ucapan hati Reina, wajahnya sedikit memerah.
...****************...
Tahun 2025.
Kamar Kei, dengan aroma khas rokok yang bercampur dengan aroma kopi dingin, menjadi saksi bisu cerita masa lalu. Kei, dengan tatapan sendu yang terbenam dalam kenangan, menatap foto Reina yang terbingkai di meja. Di sekelilingnya, teman-temannya, dengan gaya nyablak khas anak muda, mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali saling berbisik, mencoba memahami cerita Kei yang penuh misteri.
"Beberapa menit kemudian, kami sampai di mall Appamoru," ujar Kei, suaranya berat, penuh nostalgia, seolah-olah dia masih bisa merasakan sensasi udara mall yang ramai di sekitar mereka.
"Dari awal aku sudah menebak sih," jawab Max, dengan suara yang pelan dan serius, matanya berbinar-binar seolah-olah dia sedang mengingat kembali momen itu. "Cuman mall itu yang paling terkenal di kota ini."
Kei tersenyum tipis, "Begitulah, kota ini kecil, tapi juga banyak sejarah." Dia menarik napas dalam-dalam, "Baiklah, aku akan melanjutkan ceritanya..."
...****************...
Tahun 2019.
Mall Appamoru, dengan hiruk pikuk pengunjung dan aroma parfum mahal yang tercium dari berbagai toko, menjadi latar belakang kisah mereka. Cahaya matahari siang yang menyinari mall, membuat suasana semakin ramai dan penuh warna.
"Reina, kamu turun dulu, dan tunggu aku di sini. Aku akan memarkirkan motor di sana," ujar Kei, suaranya datar seperti biasanya, namun matanya menyorot sedikit kekhawatiran, seolah-olah dia ingin memastikan bahwa Reina aman.
Reina, dengan semangat yang meluap-luap, turun dari motor, matanya berbinar-binar, seolah-olah dia sedang menunggu petualangan baru. "Baiklah..."
"Aku pergi dulu..." Kei melajukan motornya, tatapannya tertuju lurus ke depan, namun pikirannya melayang pada Reina, seolah-olah dia ingin memastikan bahwa Reina baik-baik saja.
Di perjalanan menuju parkiran, Kei merenung. "Reina, dia selalu bersemangat di depan ku. Bertolak belakang dengan sikap asli nya. Syukurlah, dia perlahan lahan menunjukkan senyum nya, aku senang..."
Senyum tipis terukir di balik visor helmnya, sebuah senyuman yang hanya bisa dilihat oleh dirinya sendiri, seolah-olah dia sedang menyimpan rahasia bahagia.
Beberapa menit kemudian, Kei kembali ke tempat Reina menunggu. Reina sedang asyik berkaca, merapikan rambutnya yang baru saja disisir oleh Kei. Senyumnya merekah, memancarkan aura bahagia yang mampu mengalahkan silau matahari yang menyinari mall, seolah-olah dia sedang menikmati momen itu dengan penuh kebahagiaan.
Kei berdiri di samping Reina, menunggu gadis itu menyadari kehadirannya. Dengan lembut, Kei mendorong kepala Reina dari samping kiri, membuat Reina terkejut.
"Ehh..." Reina menoleh, matanya melotot, seolah-olah dia tidak percaya bahwa Kei sedang menggodanya.
"Apasih, gausah pake dorong segala, tinggal sebut nama cantik ku aja, ok," Reina cemberut, sambil menunjuk-nunjuk Kei, seolah-olah dia sedang protes karena Kei tidak bersikap romantis.
"Terserah... Ayok masuk," ujar Kei, suaranya datar, namun matanya menyorot sedikit kelegaan karena Reina sudah siap untuk masuk ke mall.
Reina menatap punggung Kei yang menjauh, "Dia tetap dingin seperti biasa, yaa... Ga itu juga yang aku pikirkan sekarang. Aku akan memilih kan pakaian yang cocok untuk Kei..."
Tatapan Reina penuh makna, seolah-olah dia sedang membaca pikiran Kei, memahami sikap dinginnya, dan berusaha untuk mengerti hatinya, seolah-olah dia ingin memastikan bahwa dia bisa membuat Kei bahagia.
Reina berlari kecil, menyusuli Kei yang telah masuk ke dalam mall. Mall itu megah, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari sore yang mulai meredup. Cahaya jingga itu menyapa mata Reina, menciptakan pantulan warna-warni di lantai marmer yang berkilau. Aroma khas mall, campuran parfum dan makanan, langsung menyergap hidung Reina. Aroma itu terasa begitu kuat, seolah ingin menyaingi aroma khas kue yang baru saja dibakar di toko roti yang terletak di ujung lorong.
"Kei, tunggu!" teriak Reina, berusaha mengejar Kei yang sudah melangkah jauh. Suara Reina terdengar sedikit terengah-engah, namun tetap penuh semangat. Hatinya berdebar-debar, ingin segera menyusul Kei yang berjalan dengan langkah panjang dan tenang.
Di dalam mall, Kei dan Reina berjalan menelusuri berbagai tempat. Reina tergiur melihat toko makanan yang berjajar rapi, dengan aroma menggoda yang tercium dari balik kaca. Aroma ayam goreng krispi bercampur dengan wangi cokelat panas, membuat perut Reina berdesir. Rasa lapar mulai menggerogoti dirinya, namun Kei, dengan wajah datarnya yang biasa, hanya melirik sekilas lalu melanjutkan langkahnya. Rasa kecewa bercampur dengan kekecewaan mulai menjalar di hati Reina.
"Kei, apakah kamu ga kepanasan?" tanya Reina, heran karena sebelumnya Kei mengeluh kepanasan. Reina menatap wajah Kei dengan penuh perhatian, berharap bisa melihat sedikit perubahan ekspresi di wajahnya. Rasa ingin tahu dan sedikit kekhawatiran memenuhi hatinya.
"Udah tidak lagi," jawab Kei, suaranya datar, matanya menatap lurus ke depan. Nada bicara Kei terdengar dingin, seperti es yang baru saja dikeluarkan dari freezer. Rasa kecewa kembali menghantui hati Reina.
"Yah.. wajar sih, di sini sangat dingin. Bahkan keseluruhan toko makanan cepat saji yang ada disini, menyajikan makanan yang pedas.. " ucap Reina, melihat ke sekeliling toko. Reina mencoba menyembunyikan kekesalannya, karena Kei tampak tidak peduli dengan apa yang dia katakan. Rasa kesal dan sedikit amarah mulai muncul di dalam dirinya.
"Pada inti nya, mereka menyesuaikan situasi cuaca," jawab Kei dengan singkat dan jelas. Nada bicara Kei terdengar seperti robot yang sedang membaca teks. Rasa frustasi mulai menguasai hati Reina.
Mereka berdua pun sampai di depan pintu toko yang menyediakan jas. Pintu toko itu terbuat dari kaca bening, sehingga Reina bisa melihat dengan jelas deretan jas yang tertata rapi di dalam. Pencahayaan di dalam toko sangat terang, membuat setiap detail jahitan dan warna jas terlihat jelas.
"Kei, bagai mana kalau kita beli jas nya di sini?" tanya Reina, matanya berbinar melihat toko tersebut. Reina sangat menyukai jas, dan dia yakin Kei akan terlihat sangat tampan dengan jas baru. Rasa antusias dan harapan mulai muncul di dalam dirinya.
"Baik lah," ujar Kei, lalu berjalan masuk ke dalam toko tersebut, meninggalkan Reina yang masih terpesona dengan indahnya toko tersebut.
"Dia sengaja atau memang sedingin itu karakter nya?" gumam Reina dalam hati, melihat Kei dengan tatapan pasrah. Reina merasa sedikit kecewa dengan sikap Kei yang dingin, namun dia tetap berusaha untuk bersikap positif. Rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran kembali menghantui hatinya.
Reina pun berjalan memasuki toko tersebut. Di saat Reina di dalam, Reina tersenyum kecil di saat melihat Kei sangat antusias memilih jas untuk acara pernikahan saudara nya Hanna. Senyum Reina terpancar begitu hangat, seolah ingin mencairkan suasana dingin yang tercipta di antara mereka. Rasa bahagia dan sedikit lega mulai muncul di dalam dirinya.
"Ku rasa, dia sangat menantikan acara itu," perkataan hati Reina, menunjukkan senyuman tipis nya. Reina mencoba untuk memahami perasaan Kei, meskipun dia tahu bahwa Kei tidak akan pernah menunjukkan perasaannya secara terbuka. Rasa empati dan kasih sayang mulai muncul di dalam dirinya.
Sementara itu, di sisi Kei. Kei sangat kebingungan memilih jas yang akan di pakainya nanti. Kei tampak serius, matanya mengamati setiap detail jas yang ada di rak. Kemeja putih, biru, dan abu-abu, semuanya tampak sama di matanya. Dia merasa bingung dan tidak yakin mana yang akan cocok untuknya. Rasa gugup dan ketidakpastian mulai menguasai dirinya.
Tidak lama kemudian, Reina memberikan jas berwarna putih kepada Kei. "Kau sungguh tak berselera yah hihi, cobalah pakai ini, pasti cocok dengan mu," suara Reina terdengar ceria, penuh semangat. Reina mencoba untuk menyemangati Kei, dan dia yakin bahwa jas putih akan sangat cocok dengan kulit Kei yang putih bersih. Rasa optimis dan keyakinan mulai muncul di dalam dirinya.
"Oh.. makasih.." jawab Kei, lalu mengambil jas tersebut. "Lalu, dalaman nya seperti apa, Reina?" tanya Kei, suaranya begitu serius, rasa penasaran nya tertutupi oleh kepribadian dingin nya. Kei sebenarnya ingin bertanya tentang dalaman jas, namun dia merasa malu untuk bertanya secara langsung. Rasa malu dan sedikit rasa takut mulai menguasai dirinya.
"Hmm... saran ku, dalaman nya pakai kemeja hitam. Lalu, memakai dasi berwarna hitam. Pasti cocok," saran Reina dengan serius, suaranya lembut. Reina memberikan saran dengan penuh perhatian, berharap bisa membantu Kei untuk tampil sempurna di acara pernikahan Hanna. Rasa peduli dan keinginan untuk membantu mulai muncul di dalam dirinya.
"Baik lah, ku serah kan semuanya dengan mu," ucap Kei, berjalan menuju ruang ganti. Kei merasa lega karena Reina mau membantunya memilih pakaian. Dia tahu bahwa Reina selalu bisa diandalkan, meskipun dia seringkali merasa kesal dengan sifat dingin Kei. Rasa lega dan sedikit rasa syukur mulai muncul di dalam dirinya.
Reina pun duduk di sofa empuk berbalut kain beludru biru tua di toko itu, menunggu Kei sambil melihat pesan dari grup sekolahnya. Cahaya lampu neon yang menyala terang di atas kepalanya, memantulkan bayangannya di lantai marmer yang berkilau. Suasana toko yang sunyi, hanya diiringi alunan musik jazz lembut, membuat Reina merasa sedikit gelisah.
Di dalam ruang ganti, Kei telah selesai mencoba baju nya. Kaca cermin besar di dinding ruang ganti memantulkan bayangannya yang terlihat gagah dalam balutan jas putih yang mengkilau. Kemeja dalaman hitam pekat dan dasi biru tua yang dipakainya, menambah kesan elegan pada penampilannya. Namun, di balik penampilannya yang sempurna itu, Kei merasa sedikit tidak nyaman. Dia tidak terbiasa dengan penampilan yang formal seperti ini.
Kei pun menelpon Reina.
"Bringg... bringg" suara dering hp Reina. Tanpa basa basi, Reina pun mengangkat telpon nya.
"Ada apa Kei? " tanya Reina, suara nya lembut, penuh perhatian. Rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran mulai muncul di hatinya.
"Itu.. bisa kah kamu melihat nya ke sini, dan apa tanggapan mu tentang jas yang kamu pilih" Suara Kei terdengar tertahan tahan, seolah ada yang di sembunyikan nya. Nada bicaranya terdengar sedikit gugup, tidak seperti biasanya.
"Baik lah, aku akan ke sana" ucap Reina, lalu Reina matikan telpon dan berjalan menuju ruang ganti, tempat Kei ganti pakaian. Langkahnya terasa ringan, diiringi debaran jantung yang semakin cepat.
Reina pun berada di depan pintu ruang ganti, bersiap siap untuk mengetuk ngetuk pintu nya. Pintu kayu jati yang berwarna cokelat tua itu, terlihat begitu kokoh dan elegan.
"Tok tok... " ketukan pintu. "Kei, ini aku, Reina... apakah sudah siap? " tanya Reina, dengan wajah penasaran dan suara nya yang lembut. Rasa penasaran dan sedikit rasa gugup mulai muncul di hatinya.
Kei pun tidak berkata apa apa. dan lansung membukakan pintu ruang ganti tersebut.
Reina pun melihat penampilan Kei. Reina terkejut, karena, Kei sangat rapi dan tampan di saat memakai jas yang di sarankan oleh Reina. Serasa, Reina menahan raut wajah nya yang cengar cengir. Jas putih yang mengkilau, kemeja dalaman berwarna hitam pekat, dasi warna hitam tua, dan rambut Kei terlihat sangat keren.
"Bagai mana pendapat mu.. " tanya Kei, sedikit gugup. Tatapan nya tertuju ke bawah, seolah tidak berani menatap mata Reina.
Reina yang berusaha menahan diri nya berkata. "I.. itu sangat keren Kei, kau sangat tampan memakai jas itu. aku ga sabar melihat mu nanti di acara besok... " Ucap Reina dengan polos dan blak blakan, "Eh... -" Reina tersadar dengan perkataan nya yang dia ucap kan ke pada Kei. Pipinya mulai memerah, dan dia merasa sedikit malu dengan ucapannya yang berlebihan.
"Huu.. makasih... " Ucapan Kei terdengar di tahan tahan, seolah dia tidak mau terbawa suasana. Nada bicaranya terdengar sedikit canggung, namun ada sedikit nada senang di balik kata-kata itu.
Keadaan di depan ruang ganti sangat netral. Yang di mana, perlahan lahan, Es yang ada di hati Kei sedikit demi sedikit meleleh, sedangkan Reina yang keceplosan memuji Kei dengan berlebihan, hanya bisa memikirkan alasan dan wajah nya mulai memanas.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments