Musim Panas Tahun 2019
Dua tahun telah berlalu sejak terakhir kali Hikari Kei dan Hasane Reina bertemu. Kei, yang dulunya ceria, kini tumbuh menjadi pemuda dewasa yang pendiam. Reina, di sisi lain, tumbuh menjadi gadis yang keras kepala dan sering marah. Dia menjauhi orang tuanya, tetapi sangat dekat dengan neneknya.
Selasa, 5 Juni 2019, Pukul 09.00
Telepon berdering. Kei mengangkatnya.
"Selamat pagi, Kei," sapa suara seorang perempuan tua, Bibi Serika.
"Selamat siang, Bi," jawab Kei.
"Apakah kamu sibuk hari ini?" tanya Bibi Serika.
"Tidak, Bi," jawab Kei.
"Bisakah kamu menolong membereskan rumah baru Bibi? Di sini sangat berantakan. Kalau Bibi sendiri yang bekerja, Bibi tidak sanggup," pinta Bibi Serika.
"Ya sudah, Bi. Aku akan berangkat jam sepuluh nanti," jawab Kei sambil menggaruk kepalanya.
Pukul 10.15 Pagi
"Ada-ada saja hari ini. Sebenarnya aku malas bergerak, tapi yang meminta tolong adalah Bibi ku sendiri. Aku tidak bisa menolaknya," gumam Kei dalam hati saat mengendarai sepeda motornya menuju rumah baru Bibi Serika.
Kei tiba di rumah Bibi Serika. Dia turun dari motor dan membawa peralatan bersih-bersih seperti sapu dan kemoceng. Dia melangkah ke depan pintu rumah yang dipenuhi peralatan rumah yang berserakan.
"Permisi, Bibi Serika. Apakah kamu ada di rumah?" teriak Kei ke dalam ruangan rumah yang hampa dan gelap.
Tidak lama kemudian, Kei mendengar suara seseorang bersin dari ruang gudang. Dia menyusul ke arah suara tersebut.
Di ruang gudang, Kei melihat Bibi Serika sedang menyapu lantai yang sangat kotor.
"Hai, Bibi Serika. Aku sudah sampai," sapa Kei sambil memasang masker agar tidak ikut bersin.
"Wah, Kei. Jarang-jarang kamu datang tepat waktu," ujar Bibi Serika dengan senyuman manis.
"Jangan pedulikan hal itu, Bi. Sekarang, apa yang harus aku bantu?" tanya Kei dengan raut wajah dingin.
"Kan kamu bawa motor ke sini. Nah, sekarang tolong Bibi membawakan barang-barang yang terletak di rumah lama Bibi, lalu bawa ke sini," pinta Bibi Serika.
"Hmm, tapi..." Kei terhenti karena Bibi Serika memotong pembicaraannya.
"Barang-barangnya tidak terlalu berbobot kok. Cuman kotak kardus yang berisi buku-buku anak Bini. Bisa kan?" tanya Bibi Serika dengan senyuman.
"Sama sekali tidak, Bi. Ya sudah, aku akan ke sana, Bi," jawab Kei dan melangkah keluar dari ruangan gudang sambil melambaikan tangan.
"Baiklah, Kei. Hati-hati," sorak Bibi Serika dari dalam ruangan gudang.
Kei keluar dari rumah baru Bibi Serika dan bersiap-siap pergi ke rumah lama Bibi Serika.
"Sebenarnya aku cuman menanyakan di mana anak Bibi Serika sekarang, tapi Bibi memotong pembicaraan ku seolah-olah aku tidak mau membawa barang yang berat dan berbobot. Apakah aku terlihat pemalas di mata orang?" gumam Kei dalam hati sambil memasang helm.
Pukul 11.00 Siang
Kei telah sampai di rumah lama Bibi Serika.
"Nah, sekarang, di mana kotak kardus yang berisi buku-buku itu?" gumam Kei di dalam ruangan rumah lama Bibi Serika yang kosong.
"Apakah kotak kardus nya yang ini?" ucap Kei dengan canggung sambil melihat dus yang lumayan besar.
Saat Kei membuka kotak kardus yang besarnya setengah dari tubuhnya, dia terkejut melihat isinya.
"Seharusnya aku tidak terkejut di saat melihat isi dalamnya. Kan aku tau sendiri dengan perkataan Bibi Serika. Dia sering mengucap kan kata konotatif. Tapi aku sangat malas hari ini. Ah, apa boleh buat, angkat aja semua nya," ucap Kei sambil mengangkat kotak kardus tersebut.
"Eh, kok tidak berat sama sekali ya? Ternyata aku salah menilai perkataan dari Bibi Serika. Tapi masalah nya, kotak kardus nya menghalangi penglihatan ku," gumam Kei dengan terkejut setelah mengangkat kotak kardus yang dikira berat ternyata sangat ringan.
Kei pun berjalan keluar dari rumah lama Bibi Serika sambil mengangkat kotak kardus tersebut. Lalu, dia meletakkan kardus tersebut di depan hadapannya, menyalakan motornya, dan pergi menuju rumah baru Bibi Serika.
Pukul 11.30 Siang
Kei memarkirkan motornya di depan toko yang berada di dekat rumah baru Bibi Serika karena jalur ke rumah Bibi Serika melalui gang yang lumayan sempit. Kei turun dari motor dan mengangkat kardus tersebut.
Saat Kei mengangkat kardus tersebut, dia kesusahan karena penglihatannya terganggu oleh kardus yang menutupi seluruh wajahnya.
"Harus kah aku jalan di gang ini? Huh, ribet sekali. Yang penting, selagi tidak ada orang yang menghalangi, aku cepat sampai ke rumah baru nya Bibi Serika," gumam Kei dalam hati sambil mengangkat kardus tersebut.
Tidak lama kemudian, ada seorang perempuan cantik dari lawan arah yang mau melewati Kei. Namun, perempuan itu merasa terganggu karena Kei menghalangi jalannya.
"Hei, bisakah kamu tidak menghalangi jalan ku?" ucap perempuan cantik itu sambil memegangi kotak kardus yang diangkat oleh Kei.
"Maaf, bisa kah anda mengalah? Apakah anda tidak bisa melihat aku sedang mengangkat barang?" ujar Kei kepada perempuan cantik itu dengan nada suara yang rendah.
"Aku, mengalah? Itu tidak ada dalam kamus besar ku," ujar perempuan cantik itu dengan nada keras sambil menggoyang-goyangkan kotak kardus yang diangkat oleh Kei.
"Kalau kau terus mengganggu ku seperti ini, dan tidak mau mengalah, jangan salah kan aku apa yang nanti ku lakukan," ujar Kei dengan emosi dan mengambil ancang-ancang untuk menerobos.
"A~apa.. hei.." sorak perempuan cantik itu dengan keras dan berusaha menyelip ke samping Kei.
"Hei, bahu mu menyenggol kepala ku," sorak perempuan cantik itu kepada Kei.
"Aduh, kenapa kau tidak mengalah saja? Dasar laki-laki misterius memakai masker hitam," ujar perempuan cantik itu di samping badan Kei.
Ternyata perempuan cantik itu adalah Hasane Reina. Kei pun melihat Reina dengan tatapan tajamnya.
"Sudah aku bilang, aku tidak mau tau. Seharusnya, orang yang tidak mengangkat beban apapun, dia lah yang mengalah. Dan jangan menyebut aku dengan sebutan laki-laki misterius dengan memakai masker hitam. Aku punya nama sendiri," ujar Kei dengan dingin kepada Reina sambil mengangkat kotak kardus yang diangkatnya.
Akhirnya, Reina bisa melewati Kei.
"Aku tidak peduli dengan nama mu," ujar Reina dengan suara yang rendah dan wajah kesal, dengan tatapan ke samping melihat Kei. Lalu, dia berlari menjauh dari Kei.
"Hah, siapa juga yang mau memberikan nama ku kepada mu," sorak Kei kepada Reina yang sudah jauh dari dirinya.
"Eh, wajah nya, wajah nya tidak asing bagi ku. Aku penasaran, siapa nama perempuan yang menganggu ku barusan," batin Kei dengan ekspresi bingung.
Akhirnya, Kei sampai ke rumah baru Bibi Serika. Dia meletakkan kardus tersebut di depan ruangan gudang dan keluar dari rumah Bibi Serika.
Bibi Serika pun keluar dari kamar mandi.
"Di mana sih Kei sekarang? Udah dari tadi aku nungguin, tapi dia belum sampai ke sini dengan kardus tersebut. Ehh..." gumam Bibi Serika sambil mengeriting rambutnya. Dia terkejut melihat kardus yang terletak di depan pintu gudang.
"Loh, ini kan kardus nya. Tapi, di mana Kei?" batin Bibi Serika sambil memeriksa barang-barang di dalam kardus tersebut.
Kei berada di parkiran depan toko dan bersiap untuk meletakkan motornya di depan rumah Bibi Serika. Namun, setelah tiba di depan toko, dia melihat Reina keluar dari toko tersebut. Tidak lama kemudian, Kei menyusul Reina yang baru saja keluar dari toko.
Kei pun berdiri di hadapan Reina.
"Kau lagi? Apa mau mu sekarang?" ujar Reina kepada Kei dengan nada suara yang tinggi.
"Aku seperti pernah melihat mu, tapi aku tidak tau di mana kita pernah bertemu," ujar Kei kepada Reina dengan ekspresi dingin, yang masih memakai masker hitam di wajahnya.
"Lalu, apakah kau pikir, kalau kau masih memakai masker dan tidak menyebutkan nama mu, aku langsung tau siapa diri mu? Orang aneh," ujar Reina dengan kesal kepada Kei sambil memegang keningnya dan menurunkan kepalanya.
"Oh iya, maaf. Perkenalkan nama ku Hikari Kei. Salam kenal," ujar Kei kepada Reina sambil membuka maskernya.
Reina pun terkejut melihat wajah dan nama Kei. Dia masih ingat dengan Kei.
"Kau? Ihh, kenapa sih, hari ku sangat suram sekarang!" sorak Reina dengan keras. Lalu, dia jongkok dan memegang kepala nya sendiri dengan kedua tangannya.
"Hah? Kau kenal dengan ku? Tapi siapa kau sebenarnya? Kenapa kamu bertingkah seperti itu, di saat aku telah menyebutkan nama ku?" ujar Kei kepada Reina yang masih jongkok seperti orang yang merengek.
Lalu Reina pun berdiri dan menatap Kei dengan tajam, hal itu membuat Kei terkejut.
"Nama ku Hasane Reina. Kau satu sekolah dengan ku saat masih bersekolah di SD," ujar Reina dengan nada suara yang kencang.
Kei pun langsung mengingat siapa Reina sebenarnya, dan melakukan hal yang bodoh, seperti yang dilakukan oleh Reina.
"Kau lagi? Kau lagi? Kau lagi? Kenapa semua ini bisa terjadi!" ucap Kei dengan keras sambil memegang kepalanya sendiri dengan kedua tangannya, dengan kepala menghadap ke atas.
"Hadeh, jangan alay. Kau baru saja membuat ku jijik," ujar Reina kepada Kei dengan suara yang rendah dan melipat kedua tangannya dengan kepala menghadap ke bawah.
"Barusan kau juga bersikap seperti anak kecil yang tidak dibelikan keinginan nya oleh orang tua nya," ujar Kei dengan dingin sambil menatap Reina.
"Aku masih ingat! Pada kejadian itu, di saat kau menginjak sepatu ku, kau sama sekali tidak meminta maaf ke pada ku. Dan sekarang kita bertemu lagi. Ayo minta maaf kepada ku soal sepatu dan kejadian tadi," ujar Reina dengan santai tapi mengandung ejekan kepada Kei.
"Kau sama sekali tidak berubah. Kau makin bersikap seperti orang arogan, bahkan lebih di sebut sebagai orang yang arogan," ujar Kei dengan ekspresi dingin.
"Kau juga sama sekali tidak berubah. Pria sok keren. Dan sekarang, kau adalah laki-laki yang ambigu. Tidak heran kau tidak memiliki teman di sekolah," ujar Reina dengan keras kepada Kei dengan wajah yang merah.
"Teman? Benda macam apa itu? Lagi pula, teman itu membuang waktu santai ku. Tidak ada gunanya kamu berkata seperti itu kepada ku," cemooh Kei kepada Reina.
"Oh, bahkan kau sekarang bisa di sebut dengan kulkas dua pintu," ejekan Reina kepada Kei dengan wajah santai nya.
"Aku tidak peduli dengan kata kata yang kau sebutkan kepada ku. Jadi, izinkan aku untuk pergi menjauh dari hadapan mu," ujar Kei kepada Reina yang dimana, Kei masih bersikap dingin dan santai di saat berbicara dengan Reina.
"Kau tidak perlu meminta izin kepada ku. Kalau mau pergi, silahkan saja. Dan jangan memperlihatkan wajah mu yang menyebalkan itu," ujar Reina kepada Kei dengan nada suara yang tinggi.
Tetapi Kei langsung pergi menjauh dari Reina dengan motor yang dikendarai olehnya.
"Hei, kau mau ke mana? Kau belum minta maaf kepada ku. Dasar laki-laki ambigu," sorak Reina dengan keras ke arah Kei.
"Cih, dasar cewek arogan. Cuman orang bodoh lah yang mau minta maaf kepada orang yang seperti dia," batin Kei.
Tetapi, Kei berpikir sejenak.
"Tapi, walaupun sikap dia seperti itu, aku juga harus meminta maaf ke dia. Ah, aku menelan air liur ku sendiri. Aku lah orang bodoh yang ingin minta maaf keoada orang yang seperti dia. Tapi dengan cara apa, supaya Reina memaafkan aku dengan cepat?" batin Kei sambil mengendarai motornya.
"Biasanya, orang-orang kalau mau minta maaf, dia membeli kan makanan atau barang semacam nya yang akan di berika kepada orang yang mau di minta maaf kan. Mungkin aku harus membeli susu kotak untuk nya," batin Kei sambil memarkirkan motornya di depan rumah Bibi Serika.
Pukul 18.49
Hari pun sudah mulai gelap. Kei pamit pulang kepada Bibi Serika dan ketiga anaknya, lalu bersiap untuk pergi ke toko untuk membeli susu kotak sebagai permintaan maafnya kepada Reina.
Di saat Kei keluar dari gang rumah Bibi Serika, dia tidak sengaja melihat Reina dan temannya, Hanna, yang sedang berjalan menuju toko.
"Seperti nya, aku di mudah kan untuk meminta maaf kepada cewek arogan itu. Berarti, Tuhan mengharuskan aku untuk meminta maaf kepada dia," batin Kei dan membuntuti Reina dan Hanna dengan pelan.
Dan akhirnya, Reina dan Hanna masuk ke dalam toko. Di situlah ada Kei yang memarkirkan motornya di depan toko tersebut. Kei selalu membuntuti Reina dan Hanna dari kejauhan.
"Hanna, aku mau beli mie pedas itu. Kamu mau?" ujar Reina kepada Hanna dengan ceria.
"Pedas lagi? Pedas lagi? Ya sudah, untuk hari ini aja ya, Reina," ujar Hanna kepada Reina dengan kewalahan.
"Yee, malam ini kita makan yang pedas-pedas," seru Reina.
"Ya ya ya, terserah kamu sih. Ya sudah, aku akan membeli soda, dan kamu, pergilah mengambil mie itu," ujar Hanna kepada Reina dengan senyumannya.
Reina pun pergi mencari mie yang akan dibelinya, sedangkan Hanna berjalan berlawanan arah dari Reina dengan tujuan untuk membeli minuman soda.
Tetapi, Kei yang dari tadi membuntuti Reina dan Hanna, hanya fokus ke arah Hanna, dengan tujuan ingin menanyakan kepada Hanna, apa yang akan dibeli oleh Reina. Kei pun menyusuli Hanna.
"Hei, Akasi Hanna, lama tidak berjumpa dengan mu," ujar Kei kepada Hanna yang saling berhadapan, dengan ekspresi Kei yang sangat senang bertemu dengan kawan dekatnya di saat bersekolah di sekolah dasar.
"Astaga, Hikari Kei! Wah lama tidak berjumpa. Kamu terlihat lebih tinggi dan tampan ya. Dulu waktu masih SD, kamu sangat pendek. Bahkan waktu kelas 1, tinggi kamu hampir sama dengan meja guru," ujar Hanna kepada Kei dengan sangat gembira.
"Wah iya kah? Ternyata, aku sependek itu ya," ujar Kei kepada Hanna sambil memegang kepala nya sendiri dengan tangan kanan nya.
"Eh, maafkan aku. Aku terbawa suasana. Aku jadi tak enak sesudah mengatakan hal itu kepada mu," ujar Hanna kepada Kei dengan merasa bersalah.
"Kamu sama sekali tidak berubah. Kau sering meminta maaf kepada aku, walaupun kamu tidak melakukan kesalahan apapun kepada ku. Dan sama dengan teman mu yang itu," ujar Kei kepada Hanna dengan senyumannya sambil menunjuk ke arah Reina yang sedang mencari mie yang akan dibelinya.
"Maksud mu Reina? Yaa.., dia sangat baik, tapi keras kepala," ujar Hanna kepada Kei.
"Aku setuju dengan keras kepala yang baru saja kamu bilang, tapi aku agak kurang yakin kalau dia adalah orang yang baik," ujar Kei kepada Hanna sambil menggelengkan kepalanya.
"Sebenarnya, aku mengerti kenapa kamu berkata seperti itu. Apakah kamu belum minta maaf kepada Reina?" ujar Hanna kepada Kei sambil melihat ke arah Reina.
"Sebenarnya tujuan ku ke sini, untuk memberikan susu yang baru saja ku beli, sebagai permintaan maaf ku," ujar Kei kepada Hanna sambil memperagakan susu yang baru saja Kei beli.
"Ehh, Kei, apa yang terjadi kepada mu? Apakah kau demam sekarang?" sorak Hanna kepada Kei sambil menyentuh keningnya Kei, untuk memastikan Kei benar-benar demam.
"Hei, apa yang kamu lakukan? Aku tidak demam, Hanna," ujar Kei kepada Hanna dengan bingung.
"Kei yang aku kenal, adalah orang yang susah meminta maaf kepada seseorang, dan memberikan makanan sebagai permintaan maaf? Apakah kamu udah berubah?" tanya Hanna dengan heran kepada Kei.
"Bisa dibilang tidak, tapi masalahnya panjang, tidak bisa dibicarakan sekarang. Tapi kalau kamu ingin tau, simpan aja nomor telepon ku," ujar Kei kepada Hanna sambil mengeluarkan ponselnya.
"Wah, pasti aku adalah teman cewek mu yang pertama, yang berada di dalam kontak ponsel mu," ujar Hanna dengan sangat girang dan bersiap mencatat nomor telepon Kei.
"Yah, bisa dibilang begitu," ujar Kei sambil tertawa kepada Hanna.
Mereka berdua pun tertawa dengan sangat kencang.
Reina pun sudah mengambil mie yang akan dibelinya, dan dia akan menyusul Hanna. Tetapi, dari kejauhan, Reina melihat Kei dan Hanna berbincang dan tertawa.
"Hah, Hanna dengan bocah ambigu itu? Apa yang sedang mereka lakukan? Aku harus menyusul mereka berdua," monolog Reina dengan wajah kesal.
Reina pun sampai di hadapan Hanna dan Kei.
"Wah wah wah, keliatan nya asik sekali pembicaraan kalian berdua. Seperti sepasang pasangan. Tapi, kenapa aku sangat geram melihat kalian berdua ya?" ucap Reina dengan nada ejekan nya kepada Hanna dan Kei.
"Maksudnya, apa barusan yang kau bilang? Jangan bersikap seperti tokoh antagonis," ujar Kei yang agak sedikit terkejut melihat Reina yang tiba-tiba berada di hadapannya di saat masih berbincang dengan Hanna.
"Iya, kenapa kamu tiba-tiba bersikap seperti orang jahat? Apa yang terjadi dengan kalian berdua sebenarnya?" tanya Hanna kepada Reina dengan cemas.
"Jangan mengucapkan kata-kata retoris kepada ku, Hanna. Kan kamu tau sendiri, apa yang telah terjadi kepada ku dan bocah ambigu yang di samping mu itu," ocehan Reina kepada Hanna.
"Terserah apa kata mu, Hasane Reina," ujar Kei kepada Reina dengan santai.
"Hanna, aku udah membayar makanan yang kamu beli. Jadi, aku pergi duluan. Aku muak lama-lama berada di sini," Reina pun pergi menjauh dari Hanna dan Kei dengan ekspresi sangat kesal.
"Reina, tunggu aku. Aduh, ada apa dengan dia sih?" ucap Hanna dengan perasaan cemas.
"Mungkin ini salah aku, Hanna. Tapi, apa yang harus aku lakukan untuk meminta maaf ke dia?" ujar Kei kepada Hanna dengan merasa bersalah.
"Ya sudah, gini aja, biar saja aku yang memberikan susu itu kepada Reina, dan maksud dari susu pemberian dari mu itu," ujar Hanna kepada Kei.
"Baik lah, sampai kan kepada dia ya, Hanna. Dan beri tau kepada ku kalau dia telah memaafkan aku," ujar Kei kepada Hanna.
Lalu, Kei pun memberikan susu tersebut kepada Hanna. Kei dan Hanna pun melangkah keluar dari toko.
"Kei, sebenarnya aku ingin sekali berbicara dengan mu lebih lama lagi," ujar Hanna kepada Kei dengan malu.
Tetapi Kei santai menanggapi perkataan Hanna.
"Kayak nya kita bakalan sering bertemu, soal nya, sekarang rumah nya bibi Serika dekat dengan rumah mu," ujar Kei dengan senyuman yang menawan, matanya berbinar-binar seperti bintang di langit malam.
Hanna terkesima sejenak. "Wah benar kah, aku senang sekali mendengar nya, baik lah, aku pergi ke rumah nya Reina ya, sampai jumpa, Kei," ucap Hanna, suaranya bergetar sedikit, menahan rasa gugup yang menggerogoti hatinya.
"Baik lah, sampai jumpa, Hanna," balas Kei dengan nada lembut, senyumnya semakin lebar.
Hanna pun berlalu, langkahnya terasa ringan, hatinya dipenuhi rasa bahagia. Ia berjanji akan menceritakan pertemuannya dengan Kei kepada Reina, sahabatnya yang selalu setia menemani suka dan dukanya.
Kei menyalakan motornya, melaju meninggalkan komplek itu.
Di saat Hanna pergi menuju ke rumah Reina, ia tertegun melihat sahabatnya itu duduk di halaman rumah, air mata mengalir deras membasahi pipi Reina yang pucat. Hanna yang cemas melihat Reina, lansung berlari ke arahnya.
"Hei Rei., kamu kenapa?" sorak Hanna, suaranya bergetar karena khawatir.
Seketika, Hanna mendengar suara papa dan mama nya Reina yang sedang adu argumen di dalam rumah, suara mereka bercampur aduk dengan tangisan Reina. Hanna mendengar papa nya Reina menyebut nama Reina, dan ia mendengar papa nya menyesal menikah dengan mama nya Reina. Namun, Hanna tidak tau, apa maksud dari perkataan papa nya Reina, yang sempat menyebutkan nama anak nya.
Hanna menarik Reina untuk berdiri dan membawa Reina menjauh dari rumah, ia memeluk Reina erat, berusaha menenangkan sahabatnya itu.
"Han, kenapa mereka beruda selalu bertengkar, kalau aku yang menyebabkan mereka bertengkar, lebih baik aku mati sekarang, Hanna," ujar Reina di pelukan Hanna sambil menangis, suaranya bergetar hebat.
"Reina, apa yang barusan kamu katakan, kamu tidak boleh berbicara seperti itu," ujar Hanna, suaranya tegas, berusaha menenangkan Reina.
"Han, aku tidak berani kembali ke rumah, aku mau menginap di rumah mu Hanna, boleh kan?" ujar Reina sambil menghapus air mata nya, matanya masih berkaca-kaca.
"Apapun untuk sahabat ku," ujar Hanna, suaranya lembut, penuh kasih sayang.
"Terimakasih Hanna, mari, kita kerumah mu sekarang, aku udah lapar," ujar Reina kepada Hanna sambil tersedu-sedu, matanya menatap Hanna penuh harap.
"Baik lah, nanti setelah sampai di rumah ku, cuci muka mu, dan ada yang ingin aku bicarakan," ujar Hanna kepada Reina sambil memegang pundak kanan nya Reina, matanya menatap Reina dengan penuh perhatian.
"Baik lah, Hanna," ujar Reina kepada Hanna dengan wajah yang memerah lembab, ia mengangguk pelan, seakan mencari kekuatan dari tatapan Hanna.
Sesampainya di rumah Hanna, Reina membasuh wajah nya di dalam kamar mandi yang berada di kamar Hanna. Ia menatap wajahnya di cermin, matanya kosong, pikirannya melayang jauh.
"Apakah aku adalah puncak permasalahan mereka, sampai sampai mereka sering bertengkar, sebenarnya, apa guna nya aku di lahir kan, kenapa dunia ku tidak sama dengan Hanna, bahkan aku lebih tenang berada di sini daripada rumah ku sendiri, apakah dunia ku adalah sebuah ilusi?" monolog Reina sambil melihat wajah nya di kaca cermin di dalam kamar mandi Hanna, suaranya lirih, penuh keputusasaan.
"Reina, apa yang kamu lakukan di sana, tidak baik berlama-lama di kamar mandi tau," sorak Hanna dari luar kamar mandi, suaranya sedikit khawatir.
"Iyaa.. aku mau keluar sekarang, jangan berteriak seperti itu," sorak Reina dari dalam kamar mandi, suaranya sedikit tertahan, seakan takut membuat Hanna khawatir.
Reina pun keluar dari kamar mandi, matanya masih berkaca-kaca, ia duduk di sebelah Hanna, tubuhnya lemas.
"Reina, duduk lah di samping ku, ada yang mau ku bicarakan," Hanna menyuruh Reina duduk di sebelah nya, sambil menepuk nepuk kasur nya, matanya menatap Reina dengan penuh perhatian.
Reina pun duduk di sebelah Hanna, ia menunduk, seakan takut menatap mata Hanna.
"Apa yang mau kamu bicarakan, Hanna?" ujar Reina kepada Hanna dengan suara lemas, suaranya terdengar seperti bisikan angin.
"Ya, kamu harus mendengar kan apa yang akan aku bicarakan, aku tau, kamu benci dengan hal yang akan aku bicara kan ini," ujar Hanna sambil mengelus kepala Reina, matanya memancarkan kasih sayang.
"Aku tau apa yang ingin kamu bicara kan, baik lah, aku akan mendengar kan nya, walaupun aku muak mendengar namanya lagi," ujar Reina dengan nada rendah kepada Hanna, suaranya bergetar, penuh kekecewaan.
"Baik lah, yang pertama, fun fact, aku dan Kei adalah teman dekat sewaktu kami masih SD, dan yang ke dua, Kei pergi ke toko membeli kan kamu susu kotak sebagai permintaan maaf, dan inilah fakta yang menarik," ujar Hanna dengan girang kepada Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.
"Apapun itu, selagi tidak membuat ku jijik, aku akan mendengar nya," ujar Reina kepada Hanna, suaranya datar, tanpa emosi.
Reina pun mengeluarkan seluruh belanjaan nya dan mengambil kantong belanja nya, seakan-akan ingin muntah di dalam kantong belanja tersebut..
"Hei tenang dulu, ini tidak menjijikkan kok," ujar Hanna yang kewalahan melihat tingkah lucu nya Reina, suaranya sedikit terengah-engah, menahan tawa.
"Jadi, sebenarnya, Hikari Kei orang nya sangat ramah, tetapi ketika melihat orang baru, Kei berprilaku acuh tak acuh, jadi, aku meminta kamu lebih dekat dengan Kei, jangan menolak ya," ujar Hanna dengan girang sambil mencubit pipinya Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.
"Ya ya ya, terserah kamu saja, dan di mana susu pemberian dari bocah ambigu itu?" ujar Reina dengan ekspresi kesal, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.
"sebentar ya, aku akan mengambil nya di luar," Hanna keluar dari kamar dan meninggal kan Reina sendirian di kamar, matanya masih tertuju pada Reina, seakan ingin memastikan bahwa Reina baik-baik saja.
"Aku, dekat dengan Kei? " perkataan hati Reina sambil memikirkan kejadian tadi siang bersama dengan Kei, suaranya lirih, penuh keraguan.
"Mungkin yang di bilang Hanna itu benar, aku harus dekat dengan Kei, supaya, kalau aku bertemu dengan dia lagi, aku tidak akan merasa jijik di saat bertatapan lansung dengan dia," perkataan hati Reina, suaranya semakin lirih, penuh keraguan.
Tapi, Reina sempat sempat nya membayangkan wajah Kei, yang mengakibatkan, wajah Reina memerah, matanya berbinar-binar, penuh keraguan.
"Apa yang kamu bayangkan Reina, kau bodoh sekali, kenapa kau cepat luluh ketika melihat orang sekeren, eh maksud ku orang yang ambigu seperti dia, ah lupakan," perkataan hati Reina sambil menutupi wajah nya dengan bantal, suaranya lirih, penuh keraguan.
"Nah, ini dia susu nya, Reina, tangkap ini! " sorak Hanna kepada Reina, dan melemparkan susu tersebut ke arah Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.
Reina pun terkejut dan menangkap susu tersebut, matanya membulat, penuh keterkejutan.
"Kebiasaan banget sih kamu, Hanna, melemparkan barang secara tiba tiba kepada ku! " sorak Reina kepada Hanna dengan ekspresi terkejut, suaranya sedikit meninggi, penuh ketidaksukaan.
Reina pun melihat susu pemberian dari Kei, matanya tertuju pada susu itu, penuh rasa penasaran.
Reina terkejut melihat susu yang di belikan oleh Kei, matanya membulat, penuh keterkejutan.
"Ini kan susu favorit ku, apakah Hanna memberi tau kan nya kepada Kei, tapi kayak nya, Hanna tidak tau apa susu favorit ku," perkataan hati Reina dengan heran, suaranya lirih, penuh keraguan.
"Hanna, kamu bisa menebak, apa susu favorit ku?" tanya Reina kepada Hanna, suaranya sedikit bergetar, penuh keraguan.
"Pasti susu strawberry," Hanna menjawab pertanyaan Reina, matanya berbinar-binar, penuh semangat.
"Benar juga sih, aku juga suka susu rasa strawberry, tapi, yang di belikan Kei ini, susu rasa coklat pisang, ini susu favorit ku," Reina canggung mengatakan itu kepada Hanna, suaranya sedikit tertahan, penuh keraguan.
Hanna pun ketawa histeris dan menyarankan untuk mengirim kan pesan kepada Kei, dan memaafkan Kei, matanya berbinar-binar, penuh semangat.
"Tapi, bagai mana cara berbicara dengan orang seperti dia," ujar Reina kepada Hanna, suaranya sedikit bergetar, penuh keraguan.
"Kan ada aku, aku akan mendikte kan apa yang harus kamu tulis, tapi lebih bagus, kamu mengatakan nya melalui nalar dan hati kamu sendiri," ujar Hanna dengan gembira, matanya berbinar-binar, penuh semangat.
"Hei, sejak kapan kamu padai berbicara seperti itu," ujar Reina kepada Hanna sambil menahan tawa, suaranya sedikit bergetar, penuh keraguan.
Dan akhirnya mereka berdua melepaskan tawa nya masing-masing, tawa mereka bercampur aduk, penuh kebahagiaan.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
范妮·廉姆
yu gabung bcm..
wajib Follow onel..mksh
2024-10-01
1
Rezaa..
kasihan sama kei, tapi makin kasian sama reina 😎
2024-04-16
2
esere
wkwkwk kata kata reina yang sering muncul,"ahh lupakan" 🤣
2024-04-16
2