Beginning And End
...****************...
Di dalam kegelapan kamarnya yang lembap, diterangi hanya oleh cahaya remang-remang lampu jalan dari balik jendela, seorang pemuda berbisik, suaranya bergetar menahan tangis yang mengancam akan pecah. Udara malam terasa dingin menusuk kulitnya, seakan merefleksikan dinginnya hatinya. Rambutnya yang coklat tua, agak panjang dan sedikit berantakan, jatuh menutupi sebagian wajahnya yang pucat.
"Apa daya nya aku," bisiknya, suara serak menahan isak, "di saat kau telah pergi, aku bukan siapa-siapa lagi. Bahkan, kita berdua merasa tidak layak menghirup udara yang berbeda. Semuanya, peninggalanmu, kata-katamu, bahkan aroma tubuhmu yang masih tercium samar-samar di dalam indra penciuman ku... masih menghantui ku. Dan, kenapa semua ini begitu cepat? Apakah aku memiliki dosa yang tidak bisa diampuni? Tapi, jujur, aku sudah tak peduli lagi."
Air mata mengalir deras dari matanya yang biru muda, membasahi telapak tangannya yang gemetar. Kegelapan seakan semakin pekat, menenggelamkannya dalam lautan kesedihan yang tak berujung.
"Penyesalan," suaranya terputus-putus, "akan terus mengalir dari dalam diriku. Aku terlalu egois, naif, dan arogan. Bahkan, aku sempat tak bersyukur dengan setiap rintangan yang kita hadapi. Seharusnya, hubungan kita akan sampai ke pelaminan. Tapi, semua ini... semua ini murni dari kesalahanku. Bukan salah orang lain, bukan salahmu."
Ia menarik napas panjang, dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak seperti ombak di tengah badai. Dada terasa sesak, setiap tarikan napas terasa berat.
"Semua ini," ia melanjutkan, suaranya sedikit lebih tenang, "berawal pada delapan tahun yang lalu..."Sebuah kilatan cahaya, seperti kilas balik memori, menerobos kegelapan, membawa kita kembali ke masa lalu.
...****************...
tepatnya pada tanggal 14 Mei 2017.
Cahaya matahari pagi yang hangat menerpa Kota, langit biru cerah tanpa cela menghiasi cakrawala. Di sebuah rumah sederhana dengan cat tembok yang mulai pudar, Ratih, seorang ibu rumah tangga dengan rambut yang diikat rapi, tengah menyiapkan sarapan untuk putranya, Hikari Kei. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.
"Kei, sayang, sarapan dulu sebelum pergi ke sekolah!," seru Ratih dengan suara ceria, namun sedikit khawatir. Ia mengetuk pintu kamar Kei dengan lembut.
Kei, seorang anak laki-laki berusia 12 tahun dengan rambut coklat tua yang sedikit berantakan dan mata biru muda, mengerang pelan dari balik selimut. Wajahnya pucat, lesu, matanya masih terpejam.
"Maaf, Bun," keluhnya, suaranya masih parau, "tapi setelah sarapan....biasanya perutku sakit." Ia mengusap kepalanya yang terasa pening.
"Eh, kalau nggak sarapan, nanti kamu nggak fokus mengerjakan ujiannya, Nak," Ratih bersikeras, namun suaranya dipenuhi kelembutan. Ia tahu Kei sedang tidak enak badan.
"Ya udah, Bun, aku sarapan roti dan teh aja," Kei akhirnya mengalah. Ia berjalan gontai ke dapur, mengambil sepotong roti tawar dan secangkir teh panas yang sudah disiapkan ibunya.
Kei mengunyah roti dengan malas, pikirannya melayang-layang ke ujian akhir SD yang akan dijalaninya hari itu. Kecemasan dan rasa sakit di perutnya membuatnya kehilangan selera makan.
Beberapa menit kemudian, Kei sudah siap berangkat. Ia mengenakan seragam sekolahnya yang rapi, namun langkahnya masih terlihat lesu.
"Bunda... aku pamit ya!" teriak Kei, sepatu sekolahnya sudah terpasang di kaki.
"Eh, tunggu dulu, Kei! Kamu kebiasaan banget lupa bawa uang jajan. Nanti kalau mau jajan di kantin, uangnya nggak ada," Ratih mengingatkannya dari balik pintu.
"Oh iya, Bun, maaf, Kei lupa," Kei mengusap lembut rambut nya, mengambil uang dari tangan ibunya. Ratih tersenyum, mengusap lembut rambut putranya.
Jam 07.55.
Udara pagi yang dingin menusuk kulit Kei saat ia tiba di gerbang sekolah yang terbuat dari besi bercat hijau kusam, sedikit mengelupas di beberapa bagian. Gerbang itu berderit nyaring saat dibuka oleh penjaga sekolah yang ramah, namun pagi ini Kei tak sempat memperhatikannya. Langkahnya gontai, kelelahan karena harus berjalan kaki menuju sekolah. Jalanan yang biasanya ramai dengan lalu lalang kendaraan dan para siswa siswi lain pagi ini terasa sunyi di telinganya, semuanya teredam oleh rasa sakit yang mulai mencengkeram perutnya. Bau khas knalpot kendaraan dan aroma jajanan kaki lima yang biasanya menggelitik hidungnya, kini tak mampu mengalihkan perhatiannya dari rasa nyeri yang semakin menusuk.
Ia melewati lapangan sekolah yang masih sedikit basah karena embun pagi. Rumput hijau yang biasanya terlihat segar kini tampak buram di matanya. Ia hanya fokus pada langkahnya yang semakin tergesa-gesa, namun setiap langkah terasa berat. Bayangan gedung sekolah yang kokoh dengan cat putih yang mulai menguning di beberapa bagian, tampak semakin dekat. Namun, rasa sakit di perutnya semakin terasa.
Akhirnya, ia sampai di depan gedung sekolah. Ia memasuki gedung, melewati koridor yang dipenuhi dengan suara langkah kaki siswa siswi lain yang berlalu lalang. Suara bising itu seakan semakin memperparah rasa sakit di perutnya. Ia berjalan cepat menuju ruang ujian, ruangan yang terletak di ujung koridor, di dekat perpustakaan. Ruangan itu terlihat sederhana, dengan dinding berwarna krem yang mulai kusam, dan beberapa lukisan pemandangan alam yang sudah mulai pudar warnanya. Bau kapur dan buku-buku tua sedikit tercium samar di udara.
Sesampai di depan pintu ruang ujian, perutnya kembali berbunyi dengan keras, "Brrrttt brrrttt...". Ia menarik napas dalam, mencoba meredakan rasa sakit yang semakin intens. Pintu ruang ujian terbuat dari kayu jati tua yang kokoh, dengan sedikit ukiran di bagian atasnya. Ia mendorong pintu itu perlahan, dan masuk ke dalam ruangan yang terasa pengap.
Ruang ujian itu cukup luas, dengan deretan meja dan kursi yang tertata rapi. Jendela-jendela besar di ruangan itu terbuka sedikit, membiarkan angin pagi masuk dan sedikit mengurangi rasa pengap. Namun, bau kapur dan buku-buku tua masih sedikit tercium. Di setiap meja, terdapat lembar ujian daN alat tulis yang sudah disiapkan. Para siswa siswi sudah duduk di tempatnya masing-masing, dengan wajah tegang dan fokus. Suasana di ruangan itu hening, hanya terdengar suara pena dan pensil yang mencoret-coret kertas ujian. Kei menemukan tempat duduknya, di bagian belakang ruangan. Ia duduk, mengeluarkan pena dan kartu ujiannya. Ia mencoba fokus, namun rasa sakit itu terus mengganggu konsentrasinya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Ia mencengkram pahanya, menahan rasa sakit yang semakin menusuk-nusuk.
Jam 08.00.
Ujian dimulai. Semua siswa dan siswi fokus dengan ujiannya, kecuali Kei. Ia berusaha menahan rasa sakit di perutnya sambil mengerjakan soal, keringat dingin mulai membasahi dahinya. 32 menit berlalu, rasa sakit di perut Kei semakin menjadi-jadi. Ia meringis, menahan nyeri yang hampir tak tertahankan. "Ahh, sial! Perutku makin sakit," batin Kei, mencengkram pahanya, menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ia menggigit bibirnya, mencoba untuk tetap tenang. Seketika, guru pengawas mengalihkan perhatiannya ke arah Kei.
"Hei, Hikari Kei, dari tadi saya lihat kamu gelisah. Ada apa?" tanya guru pengawas dengan nada lembut, penuh perhatian.
"Sebenarnya dari tadi perut saya sakit, Pak. Mungkin saya harus ke toilet," jawab Kei, tangannya masih memegang perutnya. Wajahnya pucat pasi.
Guru pengawas mengangguk mengerti. Ia pun berdiri dari kursinya.
"Kalau begitu, saya kasih 10 menit untuk ke toilet. Kamu nggak keberatan, kan?" tanya guru pengawas.
"Tidak, Pak. Waktu segitu sudah cukup," jawab Kei, berusaha menahan rasa sakit yang semakin hebat.
"Baiklah, cepat pergi," ucap guru pengawas. Kei pun berterima kasih dan bergegas menuju toilet.
Beberapa menit kemudian.
Kei keluar dari toilet, wajahnya masih pucat pasi. Rasa sakit di perutnya sedikit mereda, namun kelelahan masih terasa. Ia berjalan menuju rak sepatu yang terletak di antara toilet putra dan putri. Sepatu-sepatu berserakan sedikit berantakan di lantai, beberapa di atas rak, sebagian lagi tergeletak tak beraturan. Kei buru-buru mencari sepatunya, matanya hanya fokus pada tujuannya, yaitu kembali ke ruang ujian. Tanpa sengaja, kakinya menginjak sesuatu yang lunak. Ia mendengus kesal, tanpa melihat apa yang telah diinjaknya.
Dari kejauhan, seorang anak perempuan berseru dengan suara lantang, "Hei! Kamu! Apa yang kamu lakukan?!"
Suara itu membuat Kei berhenti. Ia menoleh ke belakang, melihat seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang sedikit menutupi poninya dan mata berwarna merah muda menatapnya dengan marah. Gadis itu, Reina, memegang sepatu putihnya yang tampak penyok di bagian tumit.
"Emang aku ngapain?" tanya Kei dengan nada datar, tatapannya dingin dan acuh. Rambut coklat tuanya yang sedikit berantakan sedikit menutupi matanya yang biru muda.
"Dasar tidak punya sopan santun! Kau menginjak sepatuku!" seru Reina, suaranya bergetar menahan amarah. Wajahnya memerah menahan emosi.
"Cih, lebay," Kei mendengus, ia menatap Reina dengan pandangan tajam, "Siapa suruh naruh sepatu sembarangan?" Ia berbalik dan hendak kembali ke ruang ujian.
"Hei! Tunggu!" Reina berteriak, menahan Kei. "Minta maaf lah kepada ku!"
Kei berhenti, ia kembali menatap Reina dengan tatapan dingin. "Buat apa? Lagian, itu salahmu sendiri." Ia kembali berbalik dan berjalan cepat menuju ruang ujian, meninggalkan Reina yang masih berdiri di sana dengan wajah merah padam menahan amarah. Mata merah mudanya berkaca-kaca, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia mengepalkan tangannya, menahan amarah yang membuncah.
Beberapa jam kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Kei berjalan gontai menuju gerbang sekolah, ia berniat menunggu bus. Ia merasa lelah, baik fisik maupun mental. Ujian yang melelahkan ditambah kejadian dengan Reina membuatnya semakin frustasi.
"Huh, akhirnya selesai juga ujiannya," gumam Kei, ia bersandar di tembok gerbang, menunggu bus yang akan membawanya pulang.
Dua menit kemudian, seorang pria paruh baya dan seorang gadis muncul dari gerbang sekolah. Pria itu, Hasane Danton, terlihat ramah dengan senyuman hangat di wajahnya. Gadis di sampingnya adalah Reina, wajahnya masih terlihat sedikit kesal.
"Bagaimana ujianmu, Reina?" tanya Danton, ia mengacak rambut putrinya dengan lembut.
"Biasa saja, Pa," jawab Reina, ia melirik ke arah Kei yang masih berdiri di dekat gerbang. Matanya masih menunjukkan sedikit sisa kemarahan.
"Eh, dia... orang yang menginjak sepatuku tadi," batin Reina.
"Papa, tunggu sebentar," kata Reina, ia berjalan ke arah Kei. Danton mengikuti dari belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh perhatian.
Reina berdiri di depan Kei, tatapannya tajam. "Kau," ujarnya, suaranya dingin. "Kita belum selesai."
Kei mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata merah muda Reina. Ia mengerutkan keningnya, menunjukkan ekspresi tidak suka. "Ada apa lagi?" tanyanya, nada suaranya datar dan dingin.
"Minta maaf!" pinta Reina, suaranya tegas.
"Tidak," jawab Kei, suaranya keras. "Itu salahmu."
Danton, yang telah sampai di dekat mereka, mencoba menengahi. "Reina, Kei," katanya, suaranya lembut. "Sudahlah, jangan bertengkar lagi." Ia mengenali Kei, putra dari teman kerjanya, Hikari Haruto. "Kei, kan? Aku Hasane Danton, ayah Reina. Kebetulan, ayahmu adalah teman kerjaku."
Kei terkejut. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan ayah Reina di tempat ini. "Senang bertemu dengan Anda, Pak," katanya, nada suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya.
Reina masih terlihat kesal. "Tapi Papa, dia..."
Danton menenangkan putrinya. "Sudahlah, Nak. Kita harus pergi." Ia tersenyum pada Kei. "Sampai jumpa lagi, Kei."
Kei mengangguk, lalu menaiki bus yang baru saja berhenti di hadapannya. Ia menatap Reina sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Perjalanan pulang terasa panjang dan penuh dengan pikiran. Ia masih memikirkan kejadian di sekolah, dan juga pertemuan tak terduga dengan ayah Reina.
Bus melaju meninggalkan kompleks sekolah, meninggalkan Kei yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pemandangan kota yang berlalu di luar jendela seakan kabur, tak mampu mengalihkan perhatiannya dari kejadian pagi itu. Kejadian dengan Reina, pertemuan tak terduga dengan ayah Reina, dan rasa sakit di perutnya yang masih sedikit terasa, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan perasaan campur aduk yang menguasainya.
Di rumah, setelah beristirahat sejenak, Kei mulai memikirkan ujiannya. Ia merasa lega karena ujian akhirnya selesai, namun rasa khawatir masih sedikit menghantuinya. Ia membuka buku catatannya, memeriksa kembali beberapa soal yang menurutnya sulit. Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali cara penyelesaiannya. Mata birunya yang tajam fokus pada angka dan rumus yang tertulis di buku catatannya. Rambut coklat tuanya yang sedikit berantakan sedikit mengganggu konsentrasinya, namun ia tetap berusaha fokus.
Hari-hari berlalu. Hasil ujian akhir sekolah dasar akhirnya diumumkan. Kei mendapatkan nilai yang cukup memuaskan, tidak terlalu tinggi, namun juga tidak terlalu rendah. Ia cukup lega, karena setidaknya ia berhasil melewati ujian tersebut. Ia tak terlalu memikirkan peringkatnya, yang terpenting ia telah lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.
Namun, pertemuannya dengan Reina masih terngiang di benaknya. Sikap Reina yang keras kepala dan pemarah masih membuatnya sedikit kesal. Ia mengakui bahwa ia salah telah menginjak sepatu Reina, namun sikap Reina yang berlebihan menurutnya juga tidak bisa dibenarkan. Ia merasa keduanya sama-sama salah, namun tidak ada yang mau mengakui kesalahannya. Kejadian itu menjadi pelajaran berharga baginya, bahwa ia harus lebih berhati-hati dan lebih peka terhadap perasaan orang lain.
Beberapa tahun berlalu.
...****************...
"Itulah awal mula aku bertemu dengan Hasane Reina... " Gumam seorang pemuda dari dalam kegelapan.
"Yah... awal yang sangat menjengkelkan bukan?.... namun... setelah mengingat nya kembali.... hati ku perlahan lahan sedikit hancur.... " Gumam nya, suara nya darat, namun pemuda itu berusaha menyembunyikan rasa kekecewaan nya yang amat dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Raziq Zafran
ouhh jadi gini toh awal nya, lanjut ngab 😭
2024-04-16
4
esere
emang sikap alami cewek kek gini wkwk, btw jangan lama up eps nya
2024-04-16
4