Pintu terbuka dengan sentakan kecil. Reina, dengan senyuman lebar yang menerangi wajahnya, berlari kecil menyambut kedatangan mereka. "Hai, Kei! Hanna! Kenzi! Kalian datang juga!" sapa Reina, suaranya ceria seperti lonceng angin. Namun, senyumnya sedikit memudar saat tatapan Kei—dingin dan tajam seperti mata elang—menembusnya. Mata Kei seolah-olah membaca isi hatinya, membuat pipi Reina memerah, jantungnya berdebar kencang. "Kenapa kamu lihat aku seperti itu, Kei?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
Kei hanya tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. "Hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya singkat, lalu pandangannya beralih ke Kenzi yang sedang kerepotan dengan plastik kresek besar berisi samar-samar bayangan kotak PlayStation 4 yang mengkilap. Reina mengerutkan kening, penasaran. "Kenzi, apa itu? Dan kenapa kalian bertiga membawa tas besar-besar seperti itu?"
Hanna, dengan semangatnya yang selalu meluap, langsung menjawab, "Reina, kan kamu pernah cerita Mama Papa kamu ada urusan di luar kota, dan besok libur sekolah? Kami bertiga mau menginap di rumahmu!" Kegembiraan terpancar dari wajahnya, membuat Reina merasa sedikit terharu.
Reina tercengang. Mulutnya terbuka sedikit, tak percaya. "Hah? Menginap? Di sini?" Wajahnya memerah lagi, kali ini karena campuran antara terkejut dan… sesuatu yang lebih. Diam-diam, ia memang menyimpan rasa pada Kei. Bayangan menginap bersama Kei di rumah, membuat jantungnya berdebar-debar tak karuan. "Ya… ya, boleh kok. Silakan masuk," jawab Reina, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Mereka bertiga masuk, dan aroma petualangan seakan langsung memenuhi rumah Reina. Kei, dengan tatapannya yang masih tajam, melirik ke arah kamar Reina. "Siapa yang ada di kamarmu, Reina?" tanyanya, suaranya datar seperti batu.
Reina menjawab dengan sedikit gugup, "Itu… Arisu Lynn, tetangga Kei."
Kenzi, yang selama ini diam, tiba-tiba bersuara, suaranya sedikit meninggi, "Lynn?! Dia sepupu aku!"
Reina mengerutkan kening, tak percaya. "Hah? Sepupu? Seriusan?"
Kenzi mengangguk. "Iya. Keluarga aku sama keluarga Ibu Lynn punya ciri khas mata berwarna merah. Itu tanda keluarga kita." Dia berkata dengan nada sedikit preman, tapi ada sedikit kelembutan di baliknya, terutama saat ia melirik Hanna.
Reina dan Hanna saling berpandangan, akhirnya mengerti. "Oh…" gumam Reina, masih sedikit terkejut.
Di dalam kamar, Lynn mengintip dari balik pintu, ketakutan. Kenzi, sepupunya, ternyata teman Reina. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak terduga. Reina yang melihat Lynn yang sedang mengintip Reina yang dan teman teman nya, berbicara dengan Kei, Hanna dan Kenzi, badan nya memutar, melihat ketiga teman nya, "Kalian... tunggu di sini sebentar... " ujar Reina berbisik dengan suara pelan. Kei, Kenzi dan Hanna hanya mengangguk. Reina pun masuk ke kamar nya. menutup pintu nya.
Lynn pun langsung berjalan ke arah Reina "Reina, aku… aku ingin pulang," bisik Lynn, suaranya bergetar. Kehadiran Kenzi dan teman-temannya membuatnya sangat tidak nyaman.
Reina menoleh ke arah Lynn, "Kenapa, Lynn? Kamu tidak suka dengan mereka?" tanyanya dengan lembut, berusaha menenangkan Lynn.
"Bukan… bukan itu… Aku hanya tidak suka ramai," jawab Lynn, matanya masih terpaku pada pintu.
Reina tersenyum lembut. "Tenang saja, Lynn. Mereka baik kok. Lagipula, Kenzi kan sepupu kamu. Tidak usah takut," ujarnya, berusaha menenangkan Lynn.
"Ha...dia bilang itu sama kamu barusan?" Lynn masih ragu, tapi akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah… aku tetap di sini," ucapnya, suaranya masih sedikit gemetar.
Reina tersenyum lega. Ia berharap Lynn bisa merasa lebih nyaman di sana.
Reina bersorak, "Kalian bertiga... kalian sudah boleh masuk!" Suaranya, sebuah ledakan energi yang dibungkus kelembutan, seperti kilat yang menyambar di tengah badai. Senyumnya, campuran petir dan embun, mencerminkan kegembiraan yang terancam oleh bayang-bayang ketakutan.
Kei membuka pintu, tatapannya seperti pisau es yang langsung menusuk Lynn yang meringkuk di balik Reina. Lynn, bayangan hidup dari trauma, kurus kering bagai kerangka yang terbungkus kulit, tulang pipinya menonjol tajam, mata cekung dan kosong, rambut kusut seperti sarang burung yang ditinggalkan. "Lynn... kenapa kamu bersembunyi di balik badan Reina...?" Suaranya, bukan sekadar dingin, tetapi menusuk tulang, seperti bisikan kematian dari neraka beku.
Lynn, pucat pasi seperti hantu, berusaha menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar, suara yang tercekik oleh keputusasaan. Bibirnya gemetar hebat, menunjukkan betapa rapuhnya dirinya. "Aa... aa.. aku... ga terbiasa berbicara dengan orang yang tidak pernah ku ajak bicara, aa.. aa.. aku tidak suka keramaian... " Matanya, dua sumur tanpa dasar yang siap menenggelamkan jiwa, mencerminkan keputusasaan yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, kuku-kukunya pendek dan patah, seperti cakar binatang yang terluka parah.
Kenzi, dengan gerakan sigap yang dipenuhi kecemasan yang membara, berbisik pada Hanna, "Hanna... pegang ini sebentar," seraya menyerahkan plastik kresek dengan gerakan yang terburu-buru. Wajahnya, biasanya ceria, kini dipenuhi bayangan gelap—bayangan ketakutan dan keprihatinan yang mengerikan.
Kenzi mendekati Kei, tangannya mencengkeram pundak Kei dengan kuat, "Hei... kulkas... jangan berbicara dengan adik ku dengan suara dan tatapan yang menjengkelkan itu." Suaranya, bukan sekadar berat, melainkan sebuah gempa bumi kecil—suara yang mampu mengguncang jiwa. Amarahnya terpendam, namun di baliknya, terlihat percikan kepedulian yang menyala-nyala. Ia melangkah menuju Lynn, langkahnya penuh tekad, namun dipenuhi keraguan yang menggerogoti hatinya. Kenzi memperhatikan lingkaran hitam yang pekat di bawah mata Lynn, menunjukkan betapa kurangnya istirahat yang didapat adiknya, dan betapa dalamnya luka yang menggerogoti jiwanya.
Lynn, melihat Kenzi mendekat, tubuhnya menegang seperti patung yang terbuat dari es. "Hei... kau... jangan mendekati ku... Reina tolong aku... " Tangisannya meledak, suaranya diselingi isakan yang pilu, seperti ratapan jiwa yang tercabik-cabik. Tubuhnya gemetar hebat, bahu-bahunya naik turun dengan cepat, menunjukkan betapa terguncangnya jiwanya.
Reina, dengan wajah yang pucat pasi seperti mayat hidup, mencoba menghalangi Kenzi, "Kenzi... " Suaranya, lirih dan putus asa, seperti bisikan angin yang akan segera padam.
Kenzi, dengan nada yang lebih lembut, namun tetap tegas, berusaha menenangkan Lynn, "Percaya dengan ku... aku tidak akan kasar dengan adik kesayangan ku... " Suaranya bergetar, campuran antara kekhawatiran dan kasih sayang yang membuncah.
"Lynn... adik ku... bisa kah kita berbicara sebentar... aku mohon, dengar kan aku... " Kenzi meraih tangan Lynn, namun Lynn menepisnya dengan penuh amarah yang membara. Kuku Lynn yang pendek dan patah meninggalkan bekas merah di tangan Kenzi.
Lynn, dengan amarah yang membara bagai api neraka, menampar tangan Kenzi, "Jangan mendekat! Aku benci dengan mu dan keluarga mu! " Tangisannya seperti air bah yang menerjang bendungan, meluapkan kebencian yang membakar jiwanya. Kei, Reina, dan Hanna terpaku, menyaksikan adegan tersebut dengan perasaan yang tercabik-cabik. Rambut Lynn yang kusut seperti jerami menutupi sebagian wajahnya yang pucat pasi.
Lynn melanjutkan, suaranya dipenuhi rasa sakit yang amat dalam, "Kalau bukan karena papa kau, ibu ku masih hidup sekarang!, papa kau yang sangat najis, berselingkuh dengan wanita muda! mengapa dia tega membunuh mama ku sendiri karena mama ku telah memergoki papa mu selingkuh, ha....! " Tangisnya mengguncang ruangan, diselingi isakan dan jeritan yang menusuk kalbu. Reina menutup mulutnya, air matanya membanjir, Hanna tercengang, sementara Kei, dengan tatapan dinginnya yang tak tergoyahkan, mengamati situasi tersebut dengan penuh perhitungan. Lynn tampak kurus dan lemah, bahunya tampak menciut seperti hendak menghilang ke dalam dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa terguncangnya jiwanya.
Kenzi, dengan wajah yang tak terbaca—wajah yang menyimpan segudang emosi yang rumit dan gelap, memeluk Lynn erat-erat. Tatapannya datar, namun tangannya yang mengusap rambut Lynn dipenuhi kelembutan yang tak terbantahkan.
"Kalian jahat.... jahat... jahat! haa...! " Lynn memukul dada Kenzi dengan keras, kemudian tubuhnya lemas, membalas pelukan Kenzi. "Abang... aku sangat sedih... kenapa semua ini terjadi, kenapa papa mu membunuh ibu ku... aku... aku... tidak terima ibu ku di bunuh oleh papa mu... " Suaranya bercampur antara amarah yang membara, kesedihan yang mendalam, dan keputusasaan yang mencekam. Lynn tampak sangat rapuh, tubuhnya gemetar hebat, menunjukkan betapa terguncangnya jiwanya.
Kenzi, dengan suara yang bergetar hebat, berkata, "Adik ku... maaf kan aku... aku sangat cemas dengan mu... aku berusaha menghubungi kontak mu, tapi, nomor ku tidak aktif lagi... aku sangat cemas dengan mu dan perubahan mental kamu, Lynn, aku tau... cuman aku yang sangat mengerti dengan mu, tapi di saat nomor pesan ku terbaca dan nomor mu mendadak tidak aktif... aku sangat panik... aku pergi ke rumah mu dan kamu tidak membukakan pintu rumah nya. maafkan abang mu yang bodoh ini... "
Lynn merengek histeris di pelukan Kenzi, memukul-mukul dada Kenzi dengan penuh amarah. Kenzi tetap memeluknya dengan lembut, mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang yang tak tergoyahkan. Hanna membawa teh panas dari dapur, langkahnya tergesa-gesa, dipenuhi kekhawatiran.
Lynn, dengan suara yang nyaris tak terdengar, berkata, "Ibu... sk.. skk... aku kangen dengan mu ibu... " Ia melanjutkan, suaranya seperti bisikan dari alam kubur, "Di saat abang mengirim kan pesan terakhir, aku membuang Hp ku sampai hancur, aku tak tau apa yang harus ku lakukan.... aku sangat tertekan.... sangat... sk.. sk... "
Kenzi, dengan suara yang penuh kelembutan dan pengertian yang mendalam, berkata, "Lynn... ada abang mu di sini, aku akan menjaga mu, melebihi dari bibi Nene... jangan takut ya... abang tidak kuat melihat kamu tersakiti seperti ini... Lynn, kembali lah bermain bersama ku, bercerita dengan ku tentang kejam nya dunia ini, dan kembali kan lah senyuman ceria mu, walaupun berat untuk mengembalikan nya... "
Lynn memeluk Kenzi dengan erat, "Jangan pergi... bang Kenzi... dunia sangat kejam, jangan lepas kan pelukan ku... sk.. sk.."
"Iya... adik ku... aku ngerti... " Kenzi menyandarkan kepala Lynn di dadanya, mengusap rambutnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang tulus. Reina, memegang erat tangan Kei, menyaksikan adegan tersebut dengan air mata yang membanjir. Kei, meskipun wajahnya tetap datar, seakan merasakan getaran emosi yang kompleks dan dahsyat di ruangan tersebut. Suasana dipenuhi tangisan yang menggema, kebencian yang membara, kasih sayang yang tulus, dan keputusasaan yang mencekam. Lynn, dengan tubuhnya yang kurus dan rapuh, tampak seperti bayangan yang terluka parah, sebuah korban dari kekejaman dunia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments