Sore itu, 15 Juni 2019.
langit membentang luas, biru cerah diselingi awan putih tipis yang seperti kapas. Kei, mengendarai motor sport-nya, merasakan hembusan angin sore yang membawa aroma bunga kamboja dan tanah basah – aroma yang biasanya ia abaikan, kini terasa menenangkan, sedikit meredakan kegugupannya yang bergelombang seperti ombak kecil di dadanya. “Semoga acara ini lancar,” batinnya, disertai seutas doa lirih yang hampir tak terdengar. Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan lama saat ia merasa cemas.
Lima menit kemudian, ia sampai di rumah Reina, sebuah rumah mungil dengan halaman yang ditumbuhi tanaman rambat yang merambat di dinding rumah yang selalu membuatnya merasa sedikit gugup, namun juga nyaman. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, jari-jarinya sedikit gemetar saat ia menekan tombol untuk menghubungi Reina.
Di dalam rumah Reina.
Gadis itu duduk di depan meja rias, sedang didandani oleh Mama Ina. Wajah Reina berseri, namun ada sedikit keraguan yang tersirat di matanya yang berbinar.
"Reina, kamu cantik sekali!" puji Mama Ina, suaranya penuh kasih sayang, matanya berbinar-binar melihat kecantikan putrinya.
"Makasih, Ma!" Reina tersenyum sumringah, namun senyumnya sedikit canggung, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Nah, sekarang apa yang harus kamu lakukan?" tanya Mama Ina, mengamati putrinya dari cermin, senyumnya lembut, namun dengan sorot mata yang penuh arti.
"Nunggu Kei jemput, Ma," jawab Reina santai, namun suaranya sedikit bergetar, menunjukkan kegugupannya yang berusaha disembunyikan.
"Mama nggak sabar lihat Kei, Nak," kata Mama Ina, tersenyum tipis, sebuah senyum yang menyimpan keraguan dan harapan. "Boleh ya, Mama antar kamu ke luar, lihat Kei?"
Reina sedikit gugup, matanya berkedip-kedip, menunjukkan keraguannya. "Boleh, Ma… tapi kok minta izin ke aku dulu?" suaranya sedikit terbata-bata.
Mama Ina terkekeh, suaranya ringan namun penuh makna. "Ya, kan Kei milikmu, wajar dong Mama minta izin. Hihi." Ia menyeringai, menunjukkan sedikit godaan yang terselubung.
Wajah Reina memerah, pipinya merona seperti buah persik yang matang. "Ih, Ma! Aku belum pacaran sama Kei, kita cuma teman dekat!" Suaranya sedikit meninggi, menunjukkan rasa malunya yang tercampur dengan sedikit kekesalan.
"Drung… drung…" HP Reina berdering.
Mama Ina cepat-cepat meraih ponsel itu, matanya berkilat-kilat, menunjukkan rasa ingin tahunya yang besar. Melihat nama kontaknya, ia tertawa kecil, sebuah tawa yang penuh arti dan sedikit usil. "'Bocah Ambigu'… pft… hahaha!"
"Ih, Mama jangan usil!" Reina merebut ponselnya dan mengangkat panggilan, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan campuran rasa malu dan gugup.
"Halo Kei, kamu udah di depan?" tanya Reina, suaranya sedikit gemetar.
"Iya," jawab Kei datar, suaranya terdengar tenang, namun ada sedikit getaran yang menunjukkan kegugupannya.
"Oke, aku keluar sekarang," kata Reina, lalu menutup panggilan, napasnya sedikit terengah-engah, menunjukkan debaran jantungnya yang berpacu kencang.
"Mah, aku keluar ya," kata Reina, berjalan menuju pintu, langkahnya sedikit tergesa-gesa, menunjukkan kegembiraan dan kegugupannya yang bercampur aduk.
"Iya, hati-hati ya, Nak!" seru Mama Ina, suaranya penuh kasih sayang, matanya memancarkan harapan dan sedikit kekhawatiran.
Pintu terbuka. Kei dan Reina saling bertatap muka, waktu seakan berhenti sejenak. Wajah mereka memerah, mata mereka saling bertemu, menunjukkan perasaan yang kompleks dan sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Reina," sapa Kei, suaranya sedikit terbata-bata, menunjukkan kegugupannya yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.
"Hai, Kei," jawab Reina, suaranya lebih gugup lagi, namun ada sedikit kegembiraan yang tersirat di dalamnya.
Kei berusaha tenang, mencoba kembali ke sikap dinginnya, namun pipinya memerah, menunjukkan bahwa ia juga merasakan kegugupan yang sama.
"Gaunmu bagus," katanya, suaranya datar, namun ada sedikit kekaguman yang tersirat di dalamnya.
"Makasih," balas Reina, senyumnya tipis, namun matanya berbinar-binar, menunjukkan rasa bahagianya. "Kamu juga ganteng pakai jas itu."
"Hm," gumam Kei, pipinya sedikit memerah, bahkan lebih merah daripada Reina, menunjukkan bahwa ia juga merasakan perasaan yang sama.
Reina menjahili Kei, suaranya sedikit menggoda, "Wajahmu merah, jangan dipaksain, deh!"
Mama Ina tiba-tiba muncul, suaranya penuh kegembiraan, "Wah, asyik banget ngobrolnya!"
Reina terkejut, matanya membulat, menunjukkan keterkejutannya. "Ma…"
"Hai, Bib—" sapaan Kei terpotong oleh Mama Ina, suaranya lembut namun tegas.
"Panggil Mama, Kei! Mama udah bilang kemarin, kan? Mama bete, lho!" Mama Ina mengerucutkan bibirnya, pura-pura cemberut, namun matanya berbinar-binar, menunjukkan rasa gembiranya.
"Maaf, Ma," Kei menundukkan kepala, menunjukkan rasa hormat dan sedikit rasa bersalah.
"Angkat kepalamu, Nak," ujar Mama Ina, suaranya penuh kasih sayang. "Kamu ganteng banget, Kei. Mirip Haruto waktu muda, nostalgia banget!"
"Makasih, Ma," Kei tersenyum tipis, sebuah senyum yang menunjukkan rasa terima kasih dan sedikit rasa malu.
Melihat senyuman itu, Reina langsung menyindir, suaranya sedikit keras, menunjukkan rasa jahilnya. "Kalau Mama yang muji, kamu senyum. Tapi kalau aku yang muji, wajahmu datar kayak tembok! Dasar!"
Mama Ina hanya tersenyum ternganga, matanya berbinar-binar, menunjukkan rasa gembiranya melihat interaksi antara Reina dan Kei.
"Kan jelek. Buat apa diliatin ke kamu," balas Kei santai, namun ada sedikit senyum yang tersembunyi di balik kata-katanya yang dingin.
Beberapa menit kemudian, Kei dan Reina sudah siap di atas motor.
"Ma, aku pergi ya," pamit Reina, suaranya penuh kegembiraan dan sedikit gugup.
"Iya, hati-hati, Nak!" seru Mama Ina, suaranya penuh kasih sayang dan harapan.
Kei menjalankan motornya, melaju menjauh, meninggalkan Mama Ina yang tersenyum penuh arti, memandangi mereka berdua dengan perasaan haru dan bahagia.
"Wah, takdir yang mengejutkan, ya…" gumam Mama Ina, suaranya lirih, menunjukkan perasaan kompleks yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Dalam perjalanan menuju pesta saudara Hanna, suasana sore itu begitu menawan. Udara sejuk menyelinap lembut ke dalam pakaian mereka berdua, menciptakan momen yang penuh harapan.
“Reina, apakah masih jauh?” tanya Kei, suaranya datar namun lembut, tatapannya tetap fokus menembus jalanan yang membentang di depan mereka.
“Tidak, Kei. Sekitar dua kilometer lagi,” jawab Reina, suara lembutnya terasa seperti aliran air yang menyejukkan. Matanya berbinar, penuh semangat menantikan pesta yang akan datang.
“Oh, baiklah.” Kei mengangguk pelan, lalu menambahkan, “Kau tidak kedinginan, kan?”
Reina mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Gak terlalu sih… emangnya kenapa, Kei?” Suaranya yang lembut kini dibalut rasa penasaran.
Kei mengerutkan keningnya, seolah merenungkan jawabannya. “Pertanyaan retoris,” jawabnya dengan nada tenang, mencoba menjaga jarak emosional meski hatinya berdebar.
“Eh…” Reina terdiam sejenak, bingung. “Aku tidak tahu, loh!” Suaranya sedikit mengeras, ingin tahu lebih lanjut.
“Hadeh…” Wajah Kei mendadak memerah, membuatnya terlihat lebih nyata. “Bajumu… apa kamu tidak kedinginan?” tanyanya dengan nada terbata-bata, menunjukkan perhatian yang tulus meski ia berusaha terlihat dingin.
“Oh, ya, jangan khawatir tentang itu,” Reina menjawab sambil memasang senyumnya, seolah mengusir semua kekhawatiran Kei. “Setelah kita lewat kafe di depan, langsung belok kiri ya, Kei.” Ia memberikan arahan dengan percaya diri.
“Ok…” jawab Kei, mengangguk, sementara pikirannya masih melayang pada kekhawatiran yang tak terucapkan.
Di persimpangan dekat kafe, Papa Danton keluar dengan sebuah desahan. “Huahh… baiklah, saatnya pulang…” ucapnya sambil merenggangkan badannya. Namun, tatapannya teralih pada sosok yang dikenalnya. “Eh… itu kan…” Papa Danton melihat Kei dan Reina yang berbelok di persimpangan. “Pergi ke mana mereka berdua? Pakaian mereka rapi sekali.” Dalam hati, ia berkata, “Sepertinya mereka semakin dekat. Aku tak akan membiarkan itu terjadi.” Senyum jahat mengembang di wajahnya.
Jam menunjukkan 18.55, dan Reina serta Kei telah tiba di acara pernikahan saudara Hanna.
“Turun di sini, aku akan memarkirkan motor,” ucap Kei, melirik Reina dari belakang.
“Baiklah…” Reina pun turun dari motor dengan semangat, merasakan getaran kegembiraan yang membara.
“Reina… Kei…!” seru Hanna dari dalam pintu masuk pesta, suaranya ceria dan penuh energi.
Reina segera menoleh, melihat Hanna dan Kenzi mendekat, wajahnya dipenuhi senyum bahagia. “Hanna…” serunya, lantas mereka berpelukan, menciptakan momen hangat di antara mereka.
“Wah, lihat dirimu, Reina. Kamu sangat imut dan cantik,” puji Hanna tulus, senyumnya merekah seperti matahari terbenam.
“Makasih ya, kamu juga sangat cantik dengan gaun itu…” sahut Reina, suaranya tinggi namun lembut, seolah melukis kebahagiaan di udara.
“Pasti Kei kelepek-klepek melihat penampilanmu, hahaha…” Hanna tertawa riang, mengundang tawa di antara mereka.
“Kalau mau berbicara tentang orang, jangan di depan orangnya langsung, ya, Hanna,” ujar Kei, suaranya datar dengan sedikit nada malu dan kesal, namun ada perhatian di balik kata-katanya tersebut.
“Eh hehehe… maaf,” Hanna menjawab sambil menggosok-gosok kepalanya, sedikit kikuk namun tetap ceria.
“Kei, kau parkirkan saja di parkiran VIP, karena kalian berdua adalah tamu spesial hari ini,” ucap Kenzi, suaranya agak keras dan kasar, tetapi tanpa nada kesal, seolah memancarkan rasa persahabatan yang tersembunyi.
“Baiklah, terima kasih…” Kei memasang visor helmnya dan meluncur menuju parkiran VIP, hatinya masih bergetar karena interaksi yang penuh emosi dengan Reina.
Beberapa menit kemudian, Kei kembali ke tempat Reina, Hanna, dan Kenzi berada.
“Wah, Kei...Kei… kau sangat keren hari ini,” ucap Kenzi, tatapannya tampak menyeramkan, namun suaranya lembut, seperti mengingatkan akan sisi baik dirinya.
“Terima kasih, kau juga sangat cocok memakai jas itu. Aura jahatmu jadi terlihat, apakah tidak masalah bagi mami dan papi-nya Hanna?” ujar Kei, suaranya datar dengan sedikit ejekan, berusaha membuat suasana lebih ringan.
“Waw… jangan takutkan aku, dasar batu es. Aku tahu maksudmu, hahaha,” tawa Kenzi, suaranya berat namun penuh kehangatan, seperti bos terakhir dalam permainan yang ternyata baik hati.
“Jangan berlama-lama berdiri di sini, ayok masuk dan ikuti kami berdua,” ucap Kenzi sambil melirik Reina dan Kei, tatapannya lembut seperti tidak sesuai dengan karakter aslinya.
“Okey, Kenzi,” jawab Reina, suaranya lembut dan bahagia, wajahnya berseri-seri dengan semangat yang tak terbendung.
Di dalam ruangan pesta pernikahan.
Lampu gantung kristal berkilauan, menari-nari di atas kepala para tamu yang memenuhi ballroom megah itu. Aroma hidangan mewah memenuhi udara, bercampur dengan aroma parfum mahal dan gelak tawa riang. Namun, di tengah gemerlap pesta pernikahan itu, Kei berdiri seperti patung marmer, wajahnya sedingin es di tengah lautan kehangatan.
Reina, dengan gaunnya yang berwarna pastel, menarik lengan Kei lembut. "Wah.. besar sekali, Kei.. " bisiknya, matanya berbinar takjub, kontras dengan ekspresi datar Kei.
Kei hanya mengangguk singkat, tatapannya melayang ke kerumunan orang yang berlalu-lalang. Bukannya ia tidak menghargai kemewahan pesta itu, namun hiruk-pikuk dan keramaian itu membuatnya merasa tercekik. Ia lebih nyaman dalam kesunyian, dalam dunia pribadinya yang terbungkus rapat.
Hanna, dengan senyum ramahnya yang khas, mendekat. "Iya, kan? Banyak teman kerja Abang Yujin yang datang. Maklum, dia orang penting di kantornya," ucapnya, suaranya lembut dan menenangkan. Ia melirik Kei sekilas, menyadari kekakuan yang terpancar dari sahabatnya itu.
Kenzi, dengan langkahnya yang percaya diri, bergabung dengan mereka. Ia mengamati Kei dengan tajam. "Hei, Kei. Kau terlihat tegang. Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dan sedikit mengancam.
Kei menghela napas pelan, suara beratnya terdengar sedikit tertekan. "Ramai sekali... Aku tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini," jawabnya, matanya masih tertuju pada kerumunan orang.
Kenzi menyeringai tipis. Ia tahu Kei lebih suka menyendiri, lebih suka bersembunyi di balik tembok pertahanan yang kokoh. "Kau selalu saja seperti ini," gumam Kenzi, tatapannya berubah menjadi penuh perhatian.
Hanna, dengan kepekaannya yang tinggi, menuntun mereka ke tempat duduk VIP. "Nah, mari kita duduk di sini," ujarnya, suaranya menenangkan seperti embusan angin sepoi-sepoi.
Mereka duduk. Kei di samping Reina, Kenzi di samping Hanna. Keheningan singkat menggantung di udara, diselingi oleh musik lembut yang mengalun pelan.
Kenzi memecah keheningan itu, suaranya berbisik namun tajam, "Hei Reina, seberapa dekat kalian berdua?" Pertanyaannya langsung membuat Reina tersipu malu, wajahnya memerah seperti apel ranum.
Hanna, dengan semangatnya yang khas, ikut nimbrung, "Aku juga penasaran! Apakah kalian sudah...?" Hanna tidak perlu menyelesaikan kalimatnya, tatapannya yang berbinar-binar sudah mengungkapkan pertanyaan yang sama.
Kei memotong pembicaraan mereka, suaranya datar namun tegas, "Jangan memaksa dia menjawab." Tatapannya dingin, namun ada setitik kelembutan yang hanya Reina yang bisa menangkap.
"Hei, pertanyaan ini juga untukmu, batu es," balas Kenzi, suaranya menantang.
Kei menatap Reina sejenak, lalu kembali menatap Kenzi dan Hanna. "Haruskah aku menjawabnya?" tanyanya, suaranya terdengar berat, seperti menahan beban yang tak terlihat.
Reina semakin gelisah, wajahnya memerah semakin dalam.
Hanna, dengan jeli mengamati perubahan ekspresi Reina, "Lihat, Kenzi! Wajahnya memerah! Apakah kalian sudah...?" Ia kembali menggoda, berharap untuk melihat percikan api cinta di antara Kei dan Reina.
Reina, dengan suara yang hampir tak terdengar, menjawab, "Kami... tidak pacaran..." Ia menunduk, namun kemudian mengangkat wajahnya, matanya menatap Kei dengan penuh harap. "Tapi... kita teman dekat, kan, Kei? Kita sudah berjanji untuk selalu bersama, menghadapi apapun... iya, kan?"
Kei diam sejenak, matanya beradu dengan tatapan Reina. Pipinya sedikit memerah, namun ia tetap berusaha untuk tenang. Ia memotong sepotong daging sapi, suaranya pelan dan berat, "Kau benar... tapi... kau sepertinya tak butuh ditemani lagi."
Kalimat itu seperti pukulan telak bagi Reina. Hanna dan Kenzi juga terkejut.
Kei melanjutkan, suaranya sedikit lebih lembut, "Bercanda... kau sangat rapuh, tak bisa ditinggalkan begitu saja." Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang jarang terlihat.
Reina, dengan sedikit kesal, "Apasih... kau juga rapuh, dasar ambigu!" Ia menatap Kei dengan tatapan yang penuh kasih sayang, seperti anak kucing yang manja.
Hanna dan Kenzi saling bertukar pandang, senyum jahil terukir di wajah mereka. Kenzi berkata, "Jangan biarkan ketakutan membelenggu kebahagiaan. Ungkapkan perasaan kalian, walau hasilnya belum pasti." Ia menyuapi Hanna sepotong daging.
Hanna, setelah mengunyah daging itu, berkata, "Membiarkan perasaan mengendalikan kita bisa membuat kita kehilangan kendali. Tapi, kita bisa belajar untuk mengelola emosi dengan saling mengerti."
Kenzi menambahkan, "Menutupi perasaan bisa menjadi beban yang berat. Aku tahu mungkin menakutkan untuk mengungkapkan perasaan, tapi aku yakin kalian bisa menemukan kekuatan untuk melakukannya."
Hanna melanjutkan, "Kalian telah berjanji untuk saling menguatkan. Ini adalah langkah berani menuju pertemuan yang lebih erat."
Reina termenung, namun Kei berkata, "Tapi aku belum memikirkan hal itu. Aku hanya ingin membuat Reina bahagia, aku tak ingin membuatnya terpuruk dengan masalah keluarganya."
Kenzi, dengan suara yang tegas, "Baguslah. Jangan cuma ngomong doang, Kei. Tunjukkan bahwa kau serius! Reina sangat membutuhkannya!"
Kei mengangguk, suaranya datar namun penuh tekad, "Mengerti. Terima kasih." Untuk pertama kalinya, senyum Kei terlihat tulus dan hangat.
Reina, dengan suara yang lembut, "Kei... terima kasih telah mengkhawatirkan ku." Ia menatap Kei dengan penuh harapan. Kei mengelus lembut rambut Reina.
Suasana berubah menjadi lebih hangat dan penuh harapan. Di tengah gemerlap pesta pernikahan itu, sebuah benih cinta mulai tumbuh di antara Kei dan Reina.
Beberapa menit kemudian.
Pidato Yujin, pengantin pria, menggema di ballroom. Suaranya beresonansi, penuh dengan kebahagiaan dan sedikit humor. Ia menceritakan kisah cintanya dengan istrinya, kisah yang dibumbui dengan pertengkaran kecil tentang warna cat kamar tidur dan menu makan malam. Gelak tawa memenuhi ruangan, namun di sudut ruangan, Hanna merasakan sesuatu yang berbeda. Kebahagiaan kakaknya bercampur dengan sedikit kesedihan. Ia tahu, Yujin akan pindah kota setelah pernikahan ini.
Setelah pidato, Hanna berlari menghampiri Yujin dan istrinya. Air matanya berlinang, ia memeluk kakaknya dengan erat. "Bang Yujin! Jangan lupakan aku, ya!" suaranya tercekat isak tangis.
Yujin membalas pelukan adiknya, mengelus rambut Hanna dengan lembut. "Hahaha... adikku yang manis dan manja. Walaupun Abang tidak akan tinggal di kota ini, Abang tidak akan melupakanmu, Hanna."
Kei, Reina, dan Kenzi berjalan mendekat. Yujin, yang melihat Kenzi, tersenyum ramah. "Apakah kamu Kenzi?" tanyanya, suaranya hangat.
Kenzi, dengan sedikit canggung, menjawab, "Iya, Pak. Senang bertemu dengan Anda. Nama saya Masachika Kenzi." Ia memperkenalkan dirinya dengan formal, berbeda dengan sikapnya yang biasanya.
Reina dan Kei saling bertukar pandang, mengerutkan kening. "Mengerikan," bisik Reina kepada Kei. Kei hanya mengangguk setuju.
Yujin tertawa kecil, "Wah, kamu sangat sopan, ya. Tapi kalau berbicara denganku, kamu boleh lebih santai. Hanna sering membicarakanmu."
Wajah Kenzi memerah. Ia merasa sedikit malu dengan sikap formalnya.
Yujin melanjutkan, "Dan, jagalah adikku dengan baik. Dia sangat manja dengan orang yang dicintainya." Ia menatap Kenzi dengan penuh kepercayaan.
Hanna memukul pelan dada Yujin, "Ih, Bang Yujin bilang apa sih! Aku jadi malu!"
Kenzi menjawab dengan sedikit ragu, "Dengan senang hati, Pak Yujin."
Yujin kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Kei dan Reina. "Kalian pasti teman Hanna. Perkenalkan, namaku Akasi Yujin. Senang bertemu dengan kalian."
"Senang berkenalan dengan Anda," jawab Kei dan Reina serentak.
Kei memperkenalkan diri dengan datar, "Namaku Hikari Kei."
Reina, dengan senyum ceria, "Dan aku, Hasane Reina. Aku teman dekat Hanna. Senang sekali berkenalan dengan Abang."
Beberapa saat kemudian.
Mereka berempat—Kei, Reina, Hanna, dan Kenzi—berfoto bersama. Senyum yang dipaksakan terukir di wajah Kei, namun ia berusaha untuk terlihat tenang. Reina, dengan senyum cerianya, berhasil mencairkan suasana. Hanna, dengan air mata yang masih membasahi pipinya, tersenyum tulus. Dan Kenzi, dengan senyum canggungnya, mencoba untuk terlihat santai.
Kilatan cahaya kamera mengabadikan momen itu, momen perpisahan dan pertemuan baru. Momen di mana benih-benih cinta mulai tumbuh, dan persahabatan yang kuat terjalin erat.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments