Aku berjalan memasuki rumah mbak Lisa. Ia membawaku ke arah dapur, membuka pintu bagian belakang. Ia menyuguhkanku segelas teh manis lengkap dengan crackres.
"Makanlah," ucapnya dengan lirih. Aku tau ia sedang mengamati mataku yang sembab.
Lalu ia duduk dihadapanku, bersandar pada kusen pintu, tatapannya jauh menerawang ke luar sana.
Aku masih tersedu. Aku tak dapat menyembunyikan rasa sedihku.
"Jika aku menitipkan Alif padamu, Mbak, apakah kau mau?" tanyaku padanya. Aku bingung saat ini mau berbuat apa.
Ia menoleh ke arahku, tatapannya sangat dalam. "Emangnya mau kemana?" tanyanya dengan santai.
"Aku mau bekerja diluar kota. Jika membawa Alif, maka itu tidak mungkin," ucapku dengan sedu-sedan.
"Bekerja dimana?" cecarnya, seolah sedang menyelidiki.
Aku terdiam sejenak. Aku tak tau menjawab apa, aku seolah tak dapat mengatakan apapun.
"Apakah ada yang membuatmu begitu sangat sakit?" tanyanya padaku,
Aku menganggukkan kepala dengan lemah.
"Ibunya mengatakanku janda ja-lang..," ucapku sembari menitikkan kembali bulir bening yang jatuh membasahi pipiku.
Mbak Lisa meraih tubuhku. Ia memelukku dengan penuh cinta. "Andai suatu saat badai menghempasmu, satu pintaku padamu, jangan pernah kembali ke jalan yang hitam," pintanya padaku dengan penuh harapan.
Seeeerrr....
Seketika aliran darahku berdesir menuju jantung. Tidak ada yang pernah seperhatian itu padaku, ini begitu membuatku merasakan setetes embun yang membasahi kegersangan hatiku.
Aku terdiam, ia melepaskan pelukannya, lalu kedua tangannya menyeka air mataku yang mulai mengering.
"Aku mau pulang ke rumah ibu," ucapku padanya.
Ia menggenggam jemari tanganku. "Apakah keputusanmu sudah kau fikirkan dengan matang?" tanyanya padaku.
Aku mengangguk pelan. "Jika nanti bang Johan mencariku, katakan padanya aku pulang ke rumah ibuku," ucapku lirih.
Aku tau caraku salah kabur dari rumah tanpa seizin dari bang Johan, tetapi aku sangat rapuh, aku harus menjaga kewarasanku.
"Apakah kau memiliki ongkos untuk pulang?" tanyanya.
Aku menganggukkan kepalaku. Uang pemberian Rumi sang ibu mertua selama aku membantu dikantin ku simpan dengan rapih dan itu cukup untuk aku pulang kampung dan bekal selama disana.
"Ada yang ingin mbak tanyakan padamu,"
"Apa itu?" jawabku cepat.
"Apakah Johan selama ini pernah memukulmu?"
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Sebab seperti apapun kami bertengkar, ia tak pernah memukulku, bahkan aku yang pernah melemparnya dengan senter, tetapi ia tetap tidak bergeming.
"Apakah ia pernah selingkuh?"
Aku menggelengkan kepalaku lagi. Setauku selama ini, ia tak pernah dekat dengan wanita lain, sebab berdandan saja ia tak pernah, bagaimana wanita mau dekat dengannya.
"Apakah Ia seorang pemabuk?"
Aku kembali menggelengkan kepalaku. Sebab aku tak pernah menciumnya bau minuman.
"Dia pemakai narkoba," sahutku cepat. Ku lihat Mbak Lisa terdiam. "Tetapi tidak terlalu parah, sebab duit saja gak punya," ucapku, menimpali.
"Kalau begitu, semua keputusan ada padamu," ucapnya dengan penuh makna. Ia beranjak bangkit dari tempatnya. Lalu mengambil sarapan pagi dan memberikannya kepadaku.
"Ini ada lontong sisa sebungkus, pagi tadi abangmu yang beli, makanlah," ucapnya, sembari menyodorkan sebungkus lontong pecal yang masih utuh diatas sebuah piring batu dan memberikannya padaku.
Jujur saja, perutku saat ini sudah bernyanyi ria karena lapar. Tanpa menolak akupun menyantapnya dan menyuapi puteraku. Setelah habis, ku teguk teh manis yang tadi dihidangkannya hingga habis.
"Bagaimana awal kamu bisa bertemu?" tiba-tiba Mbak Lisa bertanya padaku sembari memotong sayuran.
Aku menghela nafas dengan berat. Sebenarnya sulit untuk menceritakan tentang semuanya, tetapi hanya mbak Lisa tempatku untuk berbagi cerita.
"Ia dan teman-temannya sering berkunjung ke cafe remang-remang tempatku bekerja. Disana awal kami bertemu," sahutku, mencoba menceritakan tentang masa silamku. Sesaat ingatanku kembali ke masa lalu.
Saat aku bekerja disebuah tempat hiburan malam. Aku melarikan diri dari rumah mantan suami pertamaku karena tidak tahan oleh cacian dan hinaan dari sang ibu mertua yang membuatku begitu sangat sakit. Aku menikah saat usiaku masih 16 tahun, masih terlalu belia.
Ibu mertuaku mengatakan aku seorang pemalas, kerjanya berbaring terus, padahal saat itu aku sedang mengandung 3 bulan. Duniaku rasanya berputar, bahkan untuk bangkit saja aku serasa sangat pusing.
Ibu mertua dari suami pertamaku selalu membolakan matanya dengan tajam saat aku akan mengambil makanan, sehingga aku sering menahan lapar, sedangkan suamiku bekerja dihutan mencari kayu yang mana sebulan sekali baru pulang ke rumah dan uang hasil penjualan ilegal logging ia serahkan pada ibu mertuaku, dan sebagian dipegang pada suamiku, sedangkan aku tidak diberi uang sepeserpun, jika ingin sesuatu, maka harus meminta padanya.
Hingga usia kandunganku menginjak enam bulan, tubuhku semakin kurus dan lemah karena jarang mendapat asupan makanan, bahkan aku pernah menggigil menahan rasa lapar dengan janin diperutku.
Suatu hari, aku beranjak dari dudukku setelah membersihkan piring yang kotor dibelakang rumah. Aku tinggal dirumah mertuaku diarea yang masih sangat sepi dan termasuk hutan, sedangkan aku anak broken home yang dibawa ibuku merantau bersama ayah tiriku membuka lahan perkebunan kelapa sawit ditengah hutan Sumatera.
Aku berjalan tertatih ingin mengambil sepiring nasi, sebab perutku sudah sangat lapar dan janin dikandunganku bergerak-gerak seolah meminta asupan energi untuk ia serap.
Saat aku membuka tudung saji, tiba-tiba ibu mertuaku datang dari arah belakang dengan tatapan yang tak suka.
"Dasar, pemalas! Kerjanya makan saja, ngabisin duit anakku!" sergahnya, yang membuat aku tersentak kaget.
Seketika piring yang ku pegang terbuat dari bahan kaleng terpental dilantai kayu karena rumah panggung.
Aku bergetar ketakutan. Tatapan ibu mertuaku begitu sangat membenciku. Aku beranjak dari arah dapur. Lalu turun ke bawah dan tidak menghiraukan teriakannya. Aku terus berjalan menyusuri jalanan menuju pondok tempat ibuku dan ayah tiriku yang sedang menanam kelapa sawit seluas 4 hektar.
Jarak 5 km yang ku tempuh dengan berjalan kaki tak lagi ku hiraukan. Bahkan hewan buas yang melintas seolah tak ku perdulikan, aku harus pulang ke pondok ibuku.
Rasa sakit didalam rahimku dan juga perih karena lapar tak lagi ku hiraukan, air mataku sudah kering untuk menangisi semua hal buruk tentang hidupku.
Hampir senja aku tiba dipondok ibuku, namun ia tidak ada disana, aku meyakini jika ibuku sedang mencari getah damar. Aku sudah sangat lemah, ku singkap tudung saji, disana hanya ada sayur tumis pucuk paku dan semangkuk nasi. Seperti orang sedang kalap, aku menghabiskannya tanpa sisa.
Tak berselang lama, ibuku pulang bersama ayah tiriku. Ku lihat ia membawa sekarung damar diatas kepalanya. Ia tersentak kaget melihat kondisiku yang sangat kurus dan pakaianku yang kotor oleh debu jalanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Neulis Saja
Anna oleh suami pertama tdk dihargai begitupun dgn suami kedua yg malasnya minta ampun jadi kamunya yg hrs berubah
2024-09-09
0
V3
aku baru dengar klu ada piring batu. ❓🤔
tp klu piring dr tanah liat aku tahu ,, Krn di Jawa juga ada nama nya Leyeh.
kok dr awal kehidupan Anna sllu menderita sich , gak prnh ada bahagia nya ❓❓
miriis bgt 🥺
2024-05-08
1
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
jadi Anna dua kali nikah dapet mertua modelnya kurang lebih sama 🤔 sama2 ga suka dia, hhh... kasian nya 🥹
2024-05-05
3