Praaaang....
Sebuah piring dihempaskan dilantai dan ini sudah menjadi kebiasaan buat sang ibu mertua jika ada yang membuatnya merasa kesal.
Aku tersentak kaget dan meninggalkan beras yang masih ku cuci diwash taple begitu saja. Aku bergegas menghampiri sang ibu mertua yang memandangku dengan begitu bengis.
"Lamban sekali kamu, hanya mencuci beras begitu saja! Ini sudah siang, semua harus siap sebelum pukul 7 pagi," omelan ibu mertua mendenging ditelingaku yang terdengar sangat menyakitkan.
Kulirik pembayanku, alias istri dari adik iparku sedang sibuk mencuci sayuran untuk dimasak, ia seolah tak melihat apa yang terjadi. Namun ku berusaha untuk bersabar. Ya, beginilah hidup seatap dengan mertua.
Suamiku Johan masih tertidur pulas dipembaringannya, dan ia seolah tutup mata atas apa yang terjadi setiap pagi.
Berulangkali aku mengajaknya untuk mencari rumah kontrakan, namun ia tak mendengarkanku, dan ini saru kelemahanku, aku sebatang kara diperantauan karena ikut dengan keluarga suamiku.
Aku menarik nafasku dengan berat, memunguti semua pecahan piring yang berserakan. Aku tak mengerti mengapa akhir-akhir ini ibu mertuaku sering marah-marah tidak jelas padaku, semua itu bermula sejak kehadiran menantunya yang paling bungsu ke rumah ini dan ikut tinggal seatap juga denganku.
Setelah selesai memunguti semua pecahan kaca tersebut, aku kembali menanak nasi. Semua ini kami kerjakan sejak pukul 4 subuh dan dipukul 5 subuh, aku harus berjibaku ke pasar untuk berbelanja dan ini sangat melelahkan, namun aku sadar, jika aku menumpang dirumah ibu mertuaku, dan aku harus sadar diri.
Adzan subuh berkumandang, itu tandanya waktu subuh telah tiba. Aku menunggu hingga selesai, lalu meraih jaketku lalu keluar dari rumah, dan ku lihat ibu mertua sudah menunggu didepan rumah. Aku mencoba melupakan kejadian barusan, dan menguatkan hatiku.
Ku ambil motor dari garasi dan ibu mertua naik diboncengan, aku mengemudikannya dengan kecepatan sedang dan harus berpacu dengan waktu dan melawan dinginnya udara pagi yang menusuk tulang.
Sekuat tenaga aku menyeimbangkan tubuhku yang mungil untuk membonceng sang ibu mertua yang bertubuh bongsor dan dimana pulangnya aku juga harus menahan beban belanja yang cukup lumayan banyak.
lima belas menit berlalu, aku tiba dipasar dan aku memarkirkan motorku, lalu mengekori sang ibu mertua membawa dua keranjang belanja ditangan kanan dan kiriku.
"Kita ke tukang daging," ajaknya dengan nada datar.
"Ya," sahutku cepat.
Setibanya disana, ia memilah daging untuk direndang. "Kamu mau yang mana, nanti kita masak sop yang enak," ia menawarkan padaku.
Aku mengamati daging segar tersebut, satu yang menarik perhatianku. "Yang ini, Bu," saranku.
"Ya, sudah," ia mengambil potongan daging yang terkihat tanpa serat, lalu meminta untuk sang pedagang menimbangnya.
Begitulah ibu mertuaku, kadang lembut, kadang kasar, aku tidak tahu menebak hatinya.
*****
Semua sudah selesai dimasak. Suamiku sudah terbangun dan bersiap mandi. Sebab ia yang akan mengantar semua bahan dagangan ke kantin dengan menggunakan mobil bak terbuka.
Kami sudah bersiap dan akan berangkat, begitu juga Wita yang merupakan pembayan ku juga bersiap dengan membawa anak lelakinya. Ya, aku juga memiliki satu anak lelaki yang sebaya dengan anaknya.
Kami juga ikut ke kantin karena membantu melayani pembeli, jangan tanya bagaimana rasanya lelah tubuh ini, namun aku tak memiliki pilihan lain, semua harus aku jalani.
Ku lihat ayah mertuaku pergi menggunakan motor dan tujuannya adalah ke kota untuk menemui istri mudanya, dan itu sudah menjadi pemandangan yang biasa, disaat ibu mertuaku berjibaku dengan pekerjaan, ia memilih pergi kerumah madu ibu mertuaku.
Sebelumnya aku ingin mengenalkan jika aku adalah menantu ke tiga dari 4 menantu perempuannya, sebab suamiku 4 bersaudara dan Mas Johan anak ke tiga, bisa bayangkan bagaimana persaingan dari para menantu lainnya yang saling mencari muka alias perhatian dari sang ibu mertua.
Namun kakak iparku yang pertama sudah menduda karena perceraian dengan sang istri, juga mendapatkan satu anak lelaki yang masih kelas tiga sekolah dasar dan ikut tinggal juga seatap dengan ibu mertuaku.
Setibanya dikantin perusahaan yang disewa oleh ayah mertuaku, kami menata semua bahan dagangan dengan terampil, karena sudah terbiasa. Pembayan ku dulunya adalah karyawan dikantin ibu mertuaku, dan nikahi oleh adik iparku, dan sejak itulah semua terasa berubah.
Aku mulai melayani pembeli yang datang, dan entah mengapa mereka sangat senang aku layani, sebab mereka mengatakan aku ini sangat ramah.
Banyaknya pembeli membuat kami sering telat makan dan itu adalah awal aku sering terkena sakit asam lambung.
Aku melirik jam didinding kantin menunjukkan pukul 10 pagi, dan aku harus segera mengisi perutku, karena sangat perih.
Aku menyendokkan nasi dipiring, dan membuka rantang isi soup yang pagi tadi dimasak, dan kulihat kosong, tidak lagi bersisa.
"Dik, dimana soupnya?" tanyaku pada Wita yang saat itu baru saja keluar dari kamar mandi.
"Habis, aku dan Ifan yang makan, kenapa rupanya?" tanyanya dengan wajah tak senang.
Aku termangu. "Kenapa gak sisain buat mbak?"
Wita menatapku dengan bibir mencebik. "Itu saja jadi masalah, kan masih bisa makan sayur nangka, kenapa diributin, sih?" jawabnya dengan kesal.
"Aku merasa nelangsa, sebab soup itu sudah aku bayangkan sejak dipasar tadi, dan kini sudah habis tampa sisa.
Tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiri. "Ada apa, sih, ribut-ribut!"
"Itu, Bu, kak Anna, aku hanya makan sedikit soup dagingnya untuk Ifan juga, tetapi dia justru marah-marah gak jelas," sahut Wita cepat.
Ibu mertuaku menatapku. "Sudahlah, Anna, itu saja kamu ributin, buatin kopi untuk pelanggan, buruan!" titah ibu mertuaku.
Aku menatap sendu, rasanya bulir bening disudut mataku tak dapat untuk ku tahan, namun aku tidak ingin terlalu rapuh, sebab itu akan menjadi kebahagiaan untuk sang pembayanku yang saat ini tersenyum mengejek padaku.
Aku bergegas membuatkan kopi, lalu mengantar pada pelangganku, dan kembali melanjutkan sarapanku yang tertunda dan hanya dengan sayur gulai nangka saja, sebab lauk pauk untuk dagangan tidak boleh dimakan.
Aku menyuapkan makanku dengan perasaan sakit, soup daging yang sudah ku bayangkan harus melayang begitu saja.
Sesaat aku melihat pembayan ku berjalan menuju kamar mandi dengan terburu-buru, entah apa yang sedang dikerjakannya, tetapi pergerakannya sangat mencurigakan.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah yang tanpa masalah, dan aku mengabaikannya.
Hari menjelang sore, kami bersiap untuk pulang, sebab akan ada kakak iparku yang pertama yang akan menjaga kantin untuk shift malam.
Ibu mertuaku menghitung jumlah pendapatannya, dan ia mengerutkan keningnya. "Mengapa jumlah uang tidak sesuai dengan hasil yang terjual?" gumamnya dengan nada mencurigai dan ia melirik ke arahku.
"Mengapa uang penjualan berkurang? Sedangkan lauk hampir habis ludes," Ibu mertuaku terlihat masih sangat bingung dengan pendapatannya hari ini.
Selama ini, aku dan ibu mertua yang menangani kantin, namun tidak pernah ia mengeluh seperti itu.
Ku lihat ia melirik padaku, namun aku bersikap tak acuh, sebab aku merasa jika bukan aku yang mengambilnya, maka aku bersikap masa bodoh.
Ku bereskan piring kotor, dan membersihkan sisanya, sebab kami akan pulang dan kakak ipar tertuaku yang akan menggantikan kami bersama pembayan ku yang bernama Fina, istri dari iparku yang nomor dua untuk menggantikan shift malam.
Melihat aku tak acuh, ibu mertuaku terlihat geram namun aku ingin tetap menjaga kewarasanku dengan bersikap tak perduli.
Ibu mertuaku mengambil uang penjualan dari dalam laci, lalu ia memberiku 35 ribu rupiah untuk keringatku yang sedari subuh sudah terbangun dan berkutat dengan waktu.
"Terimakasih, Bu," ucapku padanya.
"Heem," jawabnya dengan malas. Sepertinya ia menuduhku mencuri karena saat ia menghitung uang penjualan, aku orang yang dekat dengan laci karena masih makan siang yang sudah terlalu telat, namun aku masih berusaha untuk sabar.
Aku menerima uang itu dengan rasa sabar, sebab setidaknya aku tak lagi memikirkan sewa rumah dan makanku sudah ditanggung bersama anakku.
Saat bersamaan, aku melihat sang ibu mertua memberikan uang selembar seratus ribu pada pembayan ku Wita yang saat ini baru saja keluar dari kamar mandi sejak tadi entah apa yang dikerjakannya didalam sana.
Seeeeerr....
Aliran darahku berdesir kencang menuju jantung. Rasanya sakit, ya, tentu saja. Sebab aku melihatnya secara langsung dan ini sangat manusiawi sebab ibu mertuaku membedakan pemberian upahku dan upah pada Wita.
Jika diungkit, aku yang sedari subuh mengantarnya ke pasar dan ikut membantu memasak dan juga melayani para pembeli, lalu mengapa harus dibedakan? Apakah ia benar-benar menuduhku mencuri?
Aku menarik nafasku dengan panjang, lalu menghelanya dengan berat dan mencoba bersabar, hanya itu yang aku mampu.
Ku lihat Fina sudah datang bersama kakak ipar tertuaku, aku mencoba kembali menata hatiku yang sangat sakit, dan berusaha ikhlas, mungkin Sang Rabb hanya memberiku rezeki sebatas ini saja, dan aku harus bersabar.
"Gimana An, ramai hari ini?" tanya pembayanku-Fina.
Aku menganggukkan kepalaku, dan memilih keluar untuk pergi dari kantin menuju mobil pick up diparkiran dan rasanya ingin segera merebahkan tubuhku yang terasa penat.
Dari kejauhan tampak Wita dan juga ibu mertuaku berjalan beriringan sembari bercengkrama ria dan terihat begitu sangat mesra antara menantu dan mertua, aku tak begitu perduli, toh aku adalah orang yang tak pandai bermuka dua apalagi bermanis-manis dihadapan ibu mertuaku.
Aku merasa mengantuk, anak lelakiku yang berusia 5 tahun berjalan bersama suamiku menuju mobil, dan ia memilih duduk didepan bersama ayahnya.
Ibu mertuaku masuk dibagian depan mobil, dan ia melihat puteraku ada disana. "Turun sana! Duduk dibelakang saja dengan ibumu, karena Indra yang akan duduk didepan!" hardik ibu mertuaku pada Arsyad anak lelakiku.
Seketika anakku berwajah sendu, aku yang mendengarnya sangat sakit saat buah hatiku dihardik seperti itu.
"Biarlah Arsyad didepan, Bu. Toh masih cukup untuk Indra dan dia, karena mereka kecil-kecil," bela suamiku pada anaknya.
Ya, itulah suamiku, ia akan bersikap tegas pada siapa saja yang mencoba menghardik anaknya, namun satu sikapnya yang membuat aku merasa kesal, ia sangat pemalas dalam bekerja.
Mendengar suamiku marah, akhirnya ibu mertuaku tak dapat membantah, sebab suamiku suka bersikap ngambekkan dan jika sudah begitu, maka ia tidak mau lagi untuk mengantarkan kami.
Akhirny ibu mertuaku mengalah, dan membiarkan Arsyad duduk didepan bersamanya.
Kini aku dan Wita yang duduk dibelakang dibak mobil bersama panci dan perlengkapan lainnya.
Aku menatapnya sekilas, namun kembali mengalihkan perhatianku, sebab aku sangat lelah dan letih, aku mencoba memejamkan mataku untuk menghilangkan rasa penat yang ku alami. Sialnya aku tak dapat tidur, meski ku paksa memejamkannya.
Ku rasakan mobil melaju membelah jalanan. Ku merasakan guncangan badan mobil saat tanpa sengaja suamiku melindas kaleng minuman yang ada dijalanan.
Saat bersamaan, mataku terbuka dan tanpa ku sengaja, aku melihat Wita sedang menghitung uang didalam tas sandangnya yang kupastikan jumlahnya cukup banyak.
Aku terdiam sejenak, lalu menutup mataku kembali dan berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan oleh pembayanku. Namun rasa penasaran menggelitik hatiku, sebab dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu, karena suaminya juga pengangguran seperti suamiku, dan itu hal yang mustahil yang membuat ia banyak uang.
Wita baru seminggu ini kembali ke rumah mertuaku, sebab selama setahun ini ia dan suaminya lari ke kampung halaman orangtuanya, sebab iparku yang paling bungsu itu terlibat kasus pencurian dan menjadi buronan polisi, sehingga membuat mereka mengungsi.
Setelah ibu mertuaku mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mengurusnya, maka ia dapat kembali ke rumah ibu mertuaku.
Aku merasa heran, mengapa iparku yang bungsu itu suka sekali mencuri, jika dilihat keluarga mereka tergolong yang kaya dikampung ini, sebab ayah mertuaku memiliki kebun kelapa sawit yang cukup luas, dan itu dapat mencukupi kehidupan keluarganya, namun kemungkinan adik iparku itu memiliki jiwa klepto.
Aku mendengar Wita mengancingkan tas sandangnya. Sepertinya ia sudah selesai menghitung uang yang kupastikan sekitar kurang lebih satu juta karena uang tersebut dalam lembaran seratus ribu dan pecahan 50 ribu.
Ah, entahlah, hanya ia dan Tuhan-Nya yang tau apa yang saat ini sedang ia sembunyikan. Aku tidak ingin terlalu ikut campur, selagi ibu mertuaku tidak menyebut namaku yang mencuri uang itu, maka aku tidak ambil peduli.
Tanpa terasa, kami tiba dirumah. Aku bergegas mengemasi barang-barang yang ada didalam bak pick up dan membawanya masuk ke dalam rumah. Lalu aku pergi mandi dan juga memandikan putera semata wayangku dan bersiap untuk beristirahat.
Malam semakin beranjak. Suamiku datang memasuki kamar. "An, minta lima belas ribu untuk beli rokok!" pintanya dengan tanpa merasa bersalah.
"Tidak ada, aku hanya diberi sedikit oleh ibumu," jawabku sembari membalikkan tubuhku dan menidurkan puteraku.
"Pelit banget, sepuluh ribu saja pun jadi," rengeknya lagi.
Aku merasa sangat kesal, lalu ku ambil selembar uang lima ribu rupiah dan ku berikan padanya. "Minta pada ibumu, atau setidaknya Kamu bekerja, Mas. Biar jangan taunya meminta padaku saja!" omelku dengan kesal.
Johan hanya diam saja, jika aku sudah mengomel, maka ia tak berani membantah, dan ia mengambil uang lima ribu tersebut, lalu beranjak pergi untuk membeli rokok dua batang dan melepasi dahaganya.
Aku sangat heran dengan anak-anak dari mertuaku yang semuanya laki-laki, sangat malas bekerja dan yang ku dengar dari para tetangga, jika mereka itu semua dulunya sangat dimanja dan semua permintaan mereka dituruti.
Ku melirik suamiku yang keluar dari kamar dan ini sangat begitu mengesalkan.
Aku mulai mengantuk dan tak lagi dapat menahan rasa kantukku, lalu aku terlelap dalam menjemput mimpi yang tak dapat kutebak.
Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi dan senyap. Aku tersentak saat mendengar suara benda terjatuh. Ku melirik ke arah ranjang, ternyata suamiku belum pulang dan ternyata ini sudah pukul 1 dini hari.
"Kemana bang Johan? Mengapa ia belum juga kembali?" fikiranku mulai melayang jauh. Aku tau jika saat ini ia pasti sedang kumpul dengan teman-temannya yang sudah rusak parah. Terkadang aku ingin marah, namun karena tinggal dirumah mertua, aku tak ingin ribut.
Suara berisik tadi menarik perhatianku. Ku turun dari ranjang dan melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati untuk melihat apa yang terjadi, sebab bisa saja pencuri menyelinap masuk, sebab didaerah tempat tinggal mertuaku sangat banyak pencuri, sebab para pemudanya sudah banyak yang terjebak penggunaan obat-obatan terlarang dan juga malas bekerja, sehingga membuat mereka menjadi pencuri yang aktif dimalam hari.
Ku tarik handle pintu dengan sangat hati-hati, ternyata tidak tertutup dengan benar, sebab tadi bang Johan menutupnya dengan asal.
Ku mencoba mengintai dari celah pintu yang terbuka sedikit dan suasana sangat gelap sekali. Sesaat ku melihat bayangan melintas ke arah dapur, dan rasa penasaranku semakin kuat untuk melihat apa yang terjadi, dan aku menyelinap dibalik gelapnya ruangan yang terhubung ke dapur.
Aku berlindung dibalik dinding pembatas antara ruangan tamu dan juga dapur. Aku tersentak kaget saat melihat Wita mengambil beberapa bungkus ro-kok yang malam tadi dibeli oleh ayah mertuaku untuk dijual dikantin.
Deeeeg....
Aku mencoba menenangkan hatiku, dan bergegas masuk kembali ke dalam kamar.
*****
Hari masih pagi. Ku ihat ayah mertuaku mengeluarkan mobil dan ternyata ia yang berbelanja subuh ini, dan aku bernafas lega, setidaknya aku tak lagi membuang tenagaku.
Ku ambil bahan bumbu dan mulai meracik berbagai bumbu yang dibutuhkan dan aku sudah menghafalnya karena sudah sangat lama aku membantu mereka didapur ini.
Ibu mertuaku sudah bangun dan ikut bergabung denganku meracik bahan.
Sesaat terdengar suara langkah bang Johan masuk ke rumah. Ia terlihat sangat bugar dan tidak tidur semalaman, dan baru balik ke rumah.
Jika saja kami tinggal dirumah sendiri, mungkin sudah ku omeli tuh suami yang kerjanya selalu kelayapan tidak jelas.
Ku lirik suamiku yang memasuki kamar mandi. Aku melihat prilakunya yang sangat aneh, fikiran buruk mulai menggelayutiku.
Tiba-tiba ibu mertuaku menghentikan pekerjaannya, lalu beranjak bangkit dan menarik kantong kresek berisi ro-kok yang menjadi perhatiannya.
Ia membukanya dan menghitungnya. Terlihat berulang kali ia menghitungnya dan memastikan jumlahnya.
"Lho, kenapa ini berkurang? Siapa yang ngambil rokoknya?" ibu mertuaku memandangku, ada tatapan curiga padaku.
"Aku tidak merokok, bu, dan aku juga tidak memperhatikan ada benda itu disana," jawabku dengan kesal, sebab pandangan ibu mertuaku sangat tak mengenakan.
Aku tau siapa pencurinya, tetapi aku tipe orang yang sangat malas untuk ribut, dan berharap suatu saat Allah memperlihatkannya sendiri.
"Johan, kamu yang ngambil rokok ini!" tuduh ibu mertuaku pada suamiku.
Meskipun suamiku sangat menyebalkan dan prilakunya terkadang membuatku kesal, namun ia bukan pencuri, itu yang ku tahu.
"Bang Johan baru pulang, Bu, bukankah ibu juga lihat tadi," belaku.
"Jadi siapa lagi kalau bukan Johan!" wanita itu semakin kesal.
Kreeeeek...
Pintu kamar tengahku terbuka. Ku lihat Ifan adik iparku yang bungsu kelur dari kamar dengan wajah mengantuk. Ia menguap beberapa kali, dan tampak Wita mengekorinya dari arah belakang.
Semalas-malasnya bang Johan, lebih parah lagi malasnya adik iparku. Ia bisa dikatakan super malas dan aku heran mengapa Wita dapat mengumpulkan uang yang banyak, sedangkan Ifan bekerja pun tidak.
Saat bersamaan, bang Johan keluar dari kamar mandi. Ku lihat wajahnya sangat segar dan tak ada rasa kantuk sedikitpun, sedangkan ia bergadang semalaman, . aku tahu apa yang dilakukannya. "Awas kamu ya, Bang," gumamku dalam hati.
"Johan, kamu mencuri rokok dagangan ibu, ya?" sergah ibu mertuaku pada suamiku.
"Aku baru balik, bu. Aku tidak tahu!" sahutnya.
"Jangan banyak alasan kamu!"
"Terserah, seharusnya ibu tau siapa pencuri sebenarnya," jawab Bang Johan sembari melirik Ifan yang menuju ke kamar mandi.
Ku letakkan bumbu yang akan diblender begitu saja. Ku ikuti langkah bang Johan ke dalam kamar. Ku abaikan segala tuduhan dan omelan ibu mertua, saat inin aku sudah sangat kesal. Lalu ku tutup pintu dengan cepat.
Ku tarik pundak bang Johan agar menghadapku, ia tersentak kaget.
"Kamu pasti habis nyabu kan-bang!" tuduhku padanya.
Ku lihat wajah pria yang telah menikahiku itu tergugup.
"T-tidak, Sayang, kamu jangan asal nuduh," jawabnya dengan cepat.
Aku menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Apa kau lupa menemukanku dimana? Maka kau tidak dapat membohongiku!" aku mulai menekan nada bicaraku.
Seketika ia bersujud dikakiku dan itu adalah jurus yang selalu dilakukannya untuk meluluhkan hatiku disaat aku mulai marah.
"Maafin abang, aku tidak akan mengulanginya lagi," rengeknya sembari mencium ujung kakiku.
"Akan ku maafkan, tapi kita pindah kontrakan, aku sudah tidak tahan tinggal seatap dirumah ini!" ucapku mencari kelemahannya.
Seketika ia menengadahkan wajahny. "Beri aku waktu," pintanya dengan wajah memelas, dan itu berhasil membuatku luluh.
"Anna....," teriak ibu mertuaku dari arah dapur.
"Ya," sahutku cepat.
Ku tatap suamiku yang masih bersimpuh memegangi kakiku. "Jika abang tak mau pindah, aku memilih kita berpisah!" ancamku padanya.
"Tidak, jangan tinggalkan abang, aku janji akan mencari kontrakan!" janjinya padaku.
Aku menghela nafasku dengan berat, lalu memintanya untuk melepaskan kakiku. "Lepaskan, ibumu sudah meneriakiku," ucapku dengan hati yang sangat nelangsa.
Bang Johan melepaskan dekapannya dan membiarkanku pergi. Setiap kali ia berbuat salah, maka ia akan berlutut mengemis meminta maafku, namun kesalahan itu akan diulanginya kembali.
Satu hal yang harus kalian tahu, jika didaerah mertuaku, menikahi seorang gadis adalah hal yang sangat mahal. Karena uang lamaran yang cukup tinggi sehingga membuat banyak para anak bujangannya menjadi jomblo akut.
Dan bang Johan menikahiku dengan uang lamaran seadanya, karena aku berasal dari dari daerah luar. Sehingga jika tiap kali bertengkar dan aku meminta untuk bercerai, maka itu menjadi hal yang menakutkan baginya, sebab ia tidak akan menemukan wanita sepertiku yang masih bertahan dengan sikap dan prilakunya.
Aku keluar dari kamar dan menghampiri ibu mertuaku. Ku lihat Wita sedang membantu mencuci daging ayam yang ternyata baru dibawa dari pasar oleh ayah mertuaku.
Tampak ibu mertuaku begitu baik padanya saat menyuruhnya untuk melakukan sesuatu.
Saat bersamaan, Fina yang merupakan pembayan ku juga yang mana ia adalah istri dari iparku yang kedua baru saja pulang dari kantin. Menurut yang ku dengar, Fina meruapakan menantu tersayang dan hal ini juga yang menjadi kebencian didalam diri Wita.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!